Category: Life (Page 24 of 30)

Terpuruk di Yogya

Yogya 1994, di atas bis kota yang tak terurus. Musik latarnya something dengan “terpuruk” oleh Katon cs. Maunya memang lagi terpuruk juga. Rasanya segalanya berjalan monoton tanpa variasi: pekerjaan yang melelahkan (lagi ada gebyar pembukaan ribuan pelanggan telepon baru, dan harus dibuka satu-satu plus dites satu-satu), dan bis yang panas dan lembab. Emang hidup lagi terasa tanpa arti. Terpuruk ku di sisi … eh di sisinya siapa?

Duduk di sebelah aku, ibu-ibu setengah baya, dengan jualannya, pernik-pernik elektronik semacam senter, kipas angin, dan mainan anak-anak berbaterai. Dia lagi megangin kipas anginnya.Kok tumben makhluk introvert kayak aku tau-tau nanya, “Kenapa, Bu, kipas anginnya?” Rusak, kata dia, nggak bisa dijual. Kami diam. TMP Kusumanegara terlintasi. Boleh liat? Dia berikan kipas angin itu. Pasti coil motornya, pikir aku, benda murahan ini. Gimana ngebukanya? Ambil dulu baterainya. Nggak bawa obeng, aku coba mengalihkan ide. Kali cuman konektor baterai. Geser dikit dan ditekuk dikit pakai balpen. Pasang baterainya. Kipas cuek. Buka lagi, geser-geser aja lagi. Pasang lagi. Kipas berpusing dengan indahnya (bisnya panas abis soalnya). “Cuman sambungan baterainya kok Bu.” Dia senyum ceria. Terima kasih, jadi bisa dijual lagi, katanya. Di luar matahari menyengat tajam, tapi rasanya jadi kayak kehangatan yang ramah. Terima kasih, Tuhanku, buat hidup yang bervariasi dan indah ini. Lempuyangan di depan mata. Aku lompat dari bis, dan bis menderu dengan asap hitamnya.

MoU Telkom–Indosat

Telkom dan Indosat akhirnya berhasil menyusun MoU. Tampak jelas bahwa keduanya terpaksa mengorbankan banyak hal untuk memecahkan masalah-masalah untuk mendukung deregulasi telekomunikasi.

Telkomsel, yang selama ini diperebutkan kedua perusahaan yang konon pernah bersaudara itu, dimenangkan Telkom, dan Indosat mau mengalah cuma memperoleh Satelindo. Namun, sebagai kompensasi, Telkom kehilangan Divre IV dan Lintasarta.

Kehilangan Lintasarta sih, bisa diatasi dengan mudah. Tapi kehilangan Divre IV (yang merupakan bagian dari Telkom, bukan anak perusahaan) bakal bikin masalah besar. Telkom bakal kerepotan bikin infrastruktur baru yang bakal sangat mahal. Dan karyawan Divre IV belum tentu mau dipindah ke Indosat. Haha, yang terakhir sih lucu juga. Kalau aku sih, kayaknya mau bener deh kalo dipindah ke Indosat. Secara profesional jelas lebih bagus. Secara emosional juga tak terlalu berpengaruh. Kan masih bersaudara. Direkturnya aja suka ditukar-tukar dari Telkom ke Indosat dan sebaliknya.

Kira-kira kalau aku mendaftar kerja ke Indosat, bakal diterima nggak ya? Tapi kali-kali aku mau iseng cari kerja dulu di sini, buat cari experience. Biar aja ninggalin Telkom rada lama. Nggak ngaruh buat karir. Di Telkom nggak ada karir.

Snowy Westwood


Salju malah turun, deras pula. Kayak mau bilang “see you later” (logat Alan –Red). Tapi jangan-jangan memang cuaca di sini selalu nggak beraturan kayak gini sepanjang tahun. Derassss. Baju merahku penuh bencah salju.

Amien & Mega

Amien mau berkoalisi dengan Mega? Wah kalau politisi Islam dan politisi nasionalis di Indonesia mau bekerja sama dengan ikhlas, aku harus mengakui bahwa Oom Dur punya bakat jadi wali. Cuman kayaknya kasusnya nggak bakal kayak gitu deh.

Politisi kita bakal memanfaatkan momen terbatas buat cari keuntungan masing-masing aja. Masih kayak gitu. Kalaupun bener Amien dan Mega bisa bekerja sama dengan baik dan ikhlas, aku masih punya satu keraguan besar: apa Amien bener membela kepentingan Islam, dan apa Mega bener membela kepentingan nasional Indonesia. Mungkin aku salah lagi, tapi: aku nggak percaya sama kalian semua.

Jaman dulu Oom Dur pernah bilang bahwa kita bisa belajar demokrasi dari Israel. Politisi Islam marah-marah. Katanya: Israel itu penuh penjahat, bukan negara demokratis. Barangkali mereka semua benar. Israel didirikan dan dijalankan dengan dasar kejahatan, tapi sadarkah kita bahwa negara Indonesia sudah lebih jahat dari Israel?

Israel anti Islam, katanya. Tapi sebenarnya kita juga anti Islam, biarpun kita selalu mengaku jadi orang Islam. Kapan sih kita bener-bener menjalankan nilai Islam? Ada gitu orang yang menjalankan Islam di Indonesia? Amien Rais? Oom Dur? Para kiai? Anak muda yang bawa bendera hijau keliling Jakarta? Yang Islam apanya sih? Orang Israel lebih jujur, ngaku anti Islam. Kita rajin ke masjid, tapi nggak pernah menjalankan nilai-nilai Islam.

Sorry, kok ke politik. Tapi lama-lama nggak kuat juga nahan kesebelan.

Angin Meniup Keras

Mr Winter kayaknya enggan bener meninggalkan tanah ini. Di hari-hari terakhir gini, angin malah meniup keras menyebar kebekuan terakhir. Derau campur desau.

Dulu aku ketawa aja baca penderitaannya Herriot, “Aku tak mengenakan baju. Kandang itu tak berpintu. Angin meniup keras, dst” (gila kali kalo aku bisa apal lebih dari 3 kalimat).

Sekarang kebayang deh, dengan suhu kayak gini, waktu kebekuan bisa menyakitkan kulit, dan rasa menggigil bisa menembus baju rangkap tiga, kebayang sekali gimana rasanya jadi Herriot. Mendingan pulang ke Bandung deh, kalau disuruh buka baju di tempat tak berpintu dan anginnya bertiup keras.

Bener kata Herriot, selalu ada hal-hal yang tidak ada di dalam buku. Termasuk melintasi tumpukan salju sepanjang setengah mil, kata Herriot. Bukan cuma itu, aku pikir. Banyak hal yang bahkan tidak ada di buku Herriot.

(Refer: James Herriot, “Seandainya Mereka Bisa Bicara”, Gramedia 1976, halaman 1. Versi bahasa Inggris “If Only They Could Talk” digabungkan ke dalam “All Creatures Great and Small”)

Asal Usul Kopi

Mood suka kacau balau. Persis yang diramalkan di buku panduan British Council. Cuman produktivitas harus tetap tinggi. Jadi mulai akrab lagi dengan kopi. Decaffeinated coffee, biar ramah buat perut dan jantung. Sedap.

Di Intisari tahun 1980-an, Slamet Soeseno pernah cerita tentang asal-usul kopi. Kopi ditemukan oleh domba di Arab. Penggembala jadi kesal, soalnya dombanya berkicau, eh mengembik terus-terusan sepanjang malam, tidak bisa tidur. Jadi dia lihat itu domba, ternyata mereka sedang mengunyah daun dan biji tanaman kahwah. Penggembala mengusir dombanya menjauh, lalu sambil agak emosional dia membakar tanaman kahwah itu. Tapi saat dibakar, tercium aroma menarik. Ternyata aroma sedap itu datang dari biji yang terbakar. Si pengembala penasaran, dia ambil biji yang sudah hangus itu, dan langsung digigit.

Wadow, kerasnya.

Tapi kita tahu, orang Arab itu gigih. Dia ambil biji-biji hangus itu, lalu dia rendam di air, kemudian airnya direbus, agar bijinya melunak. Tapi para biji ternyata lebih keras hati, kurang berkenan untuk melunak biarpun direbus lama-lama. Malah airnya yang ikutan jadi menghitam dan harum.

Dasar si Arab suka penasaran, dia mau coba rasa airnya. Diminumlah itu air. Wow, enak dan segar. Namun kemudian situasi berubah — sekarang dia ikutan tidak bisa tidur.

Namun tentunya, jauh setelah masa itu, untuk menikmati sari kahwah (café, coffee, kopi) orang tidak harus bakar pohonnya. Gilé apé? Cukup petik bijinya, baru dibakar. Kadang difermentasikan dulu sih.

OK, satu cangkir lagi ah. Yang decaf sih … Kopi is oke, tapi bobo juga oke.

Indonesia: Living Dangerously

National Geographic bulan ini menyajikan Indonesia: Living Dangerously.

Diawali dari pengungsi Ternate, “The Muslims burned our house.” kata pensiunan tentara; disambung seorang guru “We were living in peace. We never experienced religious hatred before.” Lalu orang Bandung bilang, “We sympathise with the Acehnese people, but I worry what will happen if Aceh leaves.” Lalu cuplikan dari HB-X “You can’t run a modern country like Indonesia by tradition.

We don’t have to kill the Madurese,” timpal seorang Dayak dengan rokoknya, “We’re civilised people.

Dan Sabam Siagian menutup dengan, “If we’re holding together after five years, that’s the miracle.

Aristokrasi Korporasi

Wow, hebat, Gugun jadi karyawan berprestasi di Metrodata. Hadiahnya, boleh jalan-jalan keliling Eropa. Congrats, Gun. Titip pampers yah, buat keponakan aku yang menggemaskan itu.
Untung aja Gugun nggak jadi karyawan Telkom. Di Telkom, kalau kita berprestasi sampai dapat sertifikat yang ditandatangani Menteri, kita cuman dapat hadiah jalan-jalan keliling Ancol. Abis itu kapan-kapan disuruh ngambil sertifikatnya sendiri, ke kantor corporate. Kalau mau jalan ke Eropa sih harus jadi pejabat dulu, atau minimal deket sama pejabat, haha. Aristokrasi di perusahaan yang bergerak di bidang teknologi itu sebenernya udah nggak lucu lagi. Dan mereka nanya, kenapa kok aku seyumnya mahal bener kalau lagi rapat sama boss-boss.

Feynman Mencuri Pintu

Feynman mencuri pintu. Paginya orang-orang sibuk mencari pintu.

Ketua himpunan pun bertanya: “Siapa yang mengambil pintu?”
Feynman menjawab: “Saya, tadi pagi.”
Ketua marah: “Jangan becanda. Ini serius.”

Pintu itu tak ditemukan hingga beberapa minggu, dan ruang belajar jadi berisik gara-gara tak ada pintunya. Akhirnya diadakan rapat khusus. Feynman usul agar pencuri pintu diminta menulis pesan anonim untuk menyebutkan di mana pintu itu disembunyikan, dan semua orang akan mengakuinya sebagai jenius yang bisa menyembunyikan pintu tanpa ketahuan.

Si ketua memilih cara lain. Atas nama kehormatan persaudaraan, satu per satu ditanya dan harus menjawab jujur.
Ketua: “Maurice, apa kamu mencuri pintu?”
Maurice: “Tidak, saya tidak mencuri pintu.”
Ketua: “Feynman, apa kamu mencuri pintu?”
Feynman: “Ya, saya yang mencuri pintu.”
Ketua: “Jangan becanda. Ini serius.”

Satu per satu ditanya, namun tidak ada lagi yang mengaku mencuri pintu. Semua kaget, merasa ada pembohong di persaudaraan mereka.

Malam itu Feynman menulis surat anonim, menyebutkan di mana pintu itu disembunyikan. Besoknya semua menemukan surat itu, menemukan pintunya, dan memasangnya kembali.

Kasus ditutup.

Feynman & Faust

Mbak Ida cerita-cerita tentang Feynman di milis mus-lim@. Memang fisikawan yang ini, selain minatnya sangat luas, dan kecakapannya tinggi, juga pintar berkomunikasi. Selalu banyak hal yang menarik di buku-buku Feynman. Nah, aku sekarang mau bercerita tentang Feynman dan Faust. Kebetulan, dua-duanya pernah dibahas di site ini secara terpisah.

Sebagai mahasiswa fisika, Feynman juga disuruh ikut kuliah di bidang yang non sains, biar agak berbudaya. Salah satunya, sastra. Di kuliah ini, dia diminta bikin essay tentang Faust, tulisan Goethe. Usai baca Faust sekilas, Feynman merasa kurang tersambung, jadi dia tidak mau menulis. Salah satu temannya bilang: daripada tidak menulis apa-apa, lalu dibilang malas, lebih baik menulis essay tentang hal lain. Jadi Feynman menulis essay tentang keterbatasan akal, dikaitkan dengan pengetahuan dan budaya. Tapi begitu essay selesai, teman yang lain bilang: essay itu bakal ditolak, kecuali kalau dia bisa mengait-ngaitkan dengan Faust. Feynman menurut lagi. Jadi dia tambahkan di bagian awal, bahwa menurut interpretasinya, Faust melambangkan jiwa, dan Mephistopeles melambangkan akal (reasoning). Dan interaksi keduanya .. dst … dst … masuk ke essay aslinya dia.

Essay itu diterima si dosen dengan nilai cukup bagus. Namun ada catatan kecil bahwa referensi langsung ke naskah asli tidak terlalu banyak.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑