Twitter memang bikin cercah-cercah ide itu terpecah dalam bentuk cericau sebelum bisa tergumpal seukuran blog. Pemecahan dengan miniblog tak terlalu berhasil. Mungkin seharusnya kita mulai menyerah, dan menulis blog dengan bentuk cericau ala twitter :).
September.
Di agendaku, ini berarti IPTV sudah mulai ditulis dengan tinta merah. Semangat, dan sekaligus tanda bahaya. Jika ada yang memiliki ide keren mengenai content IPTV, sila kontak aku. Platform, perangkat, sistem, dll, sudah bukan waktunya lagi — semua sudah didefinisikan. Yang masih diperlukan adalah content.
IEEE. Comsoc. Kegiatan Q3 tak sebanyak Q2 dan Q1. Banyak diskusi kecil untuk mendefinisikan action plan ke depan. Juga ada beberapa peluang kerjasama yang menarik. Tapi Comsoc Indonesia sedang tumbuh menarik, jadi menarik minat para scammer juga. Ah, aku sudah hafal pola kerja para scammer. Lupakan, dan fokus ke kegiatan yang real.
Comsoc Indonesia juga bulan ini ditampilkan di Global Communications Newsletter (GCN). GCN adalah bulletin aktivitas kegiatan Comsoc, yang diterbitkan bulanan. Versi cetaknya dibundel di dalam Communications Magazine, yang merupakan majalah bendera dari Comsoc; dan versi onlinenya memiliki web tersendiri di http://dl.comsoc.org/gcn. GCN bulan ini, yang memuat laporan Comsoc Indonesia, dapat diambil secara bebas pada URL http://tlk.lv/gcn1009. Isi laporan lebih pada aktivitas yang telah dilakukan selama tahun terakhir ini, dan hanya sedikit menyinggung rencana ke depan. Kegiatan2 ini tentu sempat disinggung juga di blog ini, sejauh yang aku ikuti :).
Untuk pengingat, di bulan September ini, IEEE juga sudah memulai proses perpanjangan keanggotaan. Buat para anggota, silakan melakukan perpanjangan di http://ieee.org/renewal. Konon ada hadiah menarik tahun ini. iPad?
Di IEEE, sedang dirayakan juga dua puluh tahun IEEE 802.11. Gugus Tugas IEEE 802.11 (Wireless Local Area Network, WLAN) didirikan pada 13 September 1990 untuk mewujudkan ide-ide mutakhir dalam pengembangan teknologi WLAN dengan kecepatan data 1 Mb/s. Hasil karyanya lebih akrab dengan nama WiFi, yang telah membaur dalam dunia Internet nirkawat beberapa tahun terakhir. Dalam usia dua puluh tahun, standar terakhir yang telah diterbitkan kelompok ini adalah IEEE 802.11n dengan kecepatan 600 Mb/s, dan saat ini tengah disusun standardisasi dengan target baru sebesar 5000 Mb/s. Standard 802.11 juga terus diperkaya dengan peningkatan efisiensi spektrum, keamanan informasi, QoS pada interface, dan feature-feature lain mengikuti kebutuhan user.
Lucunya, tanggal 13 September juga diperingati sebagai ultah kesepuluh Mac OS X. Mac OS X sedikit banyak mengubah hidup juga, membuatku berani beralih ke Mac, tanpa khawatir terputus dengan rekan2 kerja yang masih bergelimang lumpur Windows (hush). Aku mencobai Mac OS X di sebuah Mac Mini, trus ke Macbook, dan sekarang ke Macbook Pro. Si Mac Mini masih hidup, tapi lebih jadi music & DVD player, si MBP menemani kerja, dan si Macbook putih baru disiksa dengan dibootcamp Windows Vista. Masih ada beberapa aplikasi yang hanya hidup di Windows, dan aku pikir itu pas untuk Macbook putih, daripada pensiun. Vista-nya sendiri aku dapat dari Priyadi, di Pesta Blogger 2007 :). Tak terasa lambat dia berjalan di Macbook 2.1 GHz dengan memori 2.5 GB dan HD dialokasikan 80 GB. Kadang masih crash sih.
September juga peralihan Ramadhan ke Syawal. Moga masih sempat melakukan refleksi diri biarpun sudah meninggalkan Ramadhan.
Dalam break antara sesi diskusi Dave Bowler Februari lalu, sebuah telefon masuk. Nomor Malang. Dan di ujung sana — sebuah surprise — suara Pak Sholeh. Beliau mengajak sesekali menjenguk kampus Brawijaya, kalau sedang kebetulan ke Jawa Timur. Antara Februari sampai Mei itu, aku sudah melintasi garis khatulistiwa dan garis bujur 0 derajat. Aku juga sudah menghampiri — biarpun belum menembus — batas barat dan timurku (Cardiff kira2 sejajar Lannion dan masih kurang barat dibandingkan Glasgow; juga Mactan masih 1 derajat kurang timur dibanding Minahasa). Tapi ternyata belum sampai juga aku ke Jawa Timur.
Akhirnya, aku menyengaja datang ke Malang tanggal 19 Juni 2010 – berultah di kota yang sempat membesarkanku :). M Ary Mukti langsung bersedia bergabung – kebetulan ada kompetisi robotika antar kampus yang diselenggarakan di Malang. Dan yang menarik, Arief Hamdani juga berminat bergabung. Waktu diarrange bersama Pak Sholeh. Trus memilih transportasi. Tak banyak waktu luang di pertengahan tahun ini. Jadi aku harus berangkat pada Hari-H itu juga. Arief Hamdani sempat naik kereta pada H-1, sementara Ary Murti sudah dari H-2 ada di Malang buat bermain2 dengan robot2nya.
Dini hari, aku sudah meluncur ke Soekarno-Hatta Airport (CGK). Masih dengan nada kelelahan dari hari2 sebelumnya. Sarapan sebentar di Sunda Kelapa Lounge (dan ketemu Rakhmat Januardi, juga alumnus Unibraw), aku langsung boarding. Dan bukan pertama kali aku tertidur justru waktu pesawat selesai proses taxi dan sedang tinggal landas. OK, jadi aku tak merasai lompatan sang Garuda. Aku terbangun di atas Jakarta Timur. Notebook dibuka, dan presentasi dibereskan. Ini adalah gabungan dari presentasi2 IEEE sebelumnya, ditambah dengan ikhwal New Convergence. Aku review sebentar, saat pemandangan yang akrab di mataku tampil di luar jendela. Hey, itu Mt Semeru! Cuaca cerah, hingga Mt Semeru tampak di jendela. Nampaknya pesawat memasuki landasan ini dari arah Selatan :). Landasan Abdurrachman Saleh (MLG) ini pendek, tetapi Garuda mendarat dengan percaya diri, tanpa hentakan.
Ini perjalanan pendek. Tapi aku bawa 1 luggage. Dan beratnya mendekati batas berat luggage untuk kartu GFF Platinum, yaitu 30kg. Aku memang iseng membawai jurnal2 IEEE Communications dan IEEE Internet Computing beberapa tahun terakhir ini ke Malang buat oleh2. Plus 2 DVD berisi berbagai proceeding. Tentu berat :). Menyeret luggage antik ini, pandangan tertumbuk ke senyum Pak Sholeh. Dan di sebelahnya: Pak Chairuzzaini :). Wow, kejutan!
OK, orang2 ini special buat aku. Pak Sholeh adalah satu dari penguji skripsiku. Dan bukan penguji yang murah hati. Tapi beliau mengasah skripsiku jadi lebih tajam dan membuat aku suka membacanya lagi :). Beliau juga pernah memberi nilai B buatku di mata kuliah Komunikasi Optik (minoritas B, tidak ada A di kelas itu), dan membuat aku jadi harus menghabiskan liburan buat belajar komunikasi optik lebih serius — malu sama nilai.
Pak Zaini mewarnai masa kuliahku bahkan dari hari pertama – beliau adalah dosen waliku. Juga pengarah waktu aku jadi redaksi majalah Quad. Beliau suka becanda, tapi jarang tertawa. Jadi aku suka berbagi canda di ruang kerja beliau, sambil sama2 berkeras untuk tak tertawa. Pun sikap beliau di kelas tak jadi lunak. Ujian, jaket harus dilepas (itu agak jadi masalah buat aku). OK, aku cerita 2 episode dulu tentang Mr Zaini sekian tahun sebelumnya. Yang lain … lain hari.
Episode 1. Aku baru datang dari LPK Kopma — tempat aku cari uang jadi instruktur komputer. Tensi turun (kayak sekarang), pusing, dan kehujanan. Di pintu kelas, aku malah tanya ke Pak Zaini: “Hari ini kuis nggak Pak?” Beliau bertanya serius: “Kalau kuis kenapa?” Dan aku jawab: “Kalau kuis, saya mau masuk.” Beliau menyuruh masuk. Kelas penuh, jadi aku duduk paling depan. Pak Zaini mulai mengajar. Tapi … “Tapi nggak ada kuis. Kamu boleh istirahat saja,” kata beliau. Aku minta izin, “Boleh tidur di sini, Pak?” Dan tetap dengan muka sama2 serius, beliau membolehkan. Aku benar2 tidur di kelas, di kursi paling depan. Bangun, papan tulis sudah penuh skema dan berbagai huruf latin dan Yunani. Analisis transien dengan … aku langsung protes: “Yang di tengah kan short, Pak? Buat apa dihitung. Nantinya akan ke 0.” “Itu dia. Nantinya dia akan stabil di 0. Sebetulnya nggak usah dihitung. Yang bangun tidur saja tahu,” kata beliau. OK, aku belum ketinggalan. Jadi kuliah diteruskan.
Episode 2. Aku udah nggak punya kuliah yang dipegang Pak Zaini. Jadi aku mulai iseng main2 ke rumah beliau. (Aku nggak suka berakrab2 dengan dosen, kalau aku masih tergantung pada dosen itu. Ini efek dari zaman SMP, dimana guru2 doyan ngasih nilai bagus buat murid2 yang suka berakrab2 — I hate that). Kebetulan dosen pembimbing skripsiku rumahnya dekat beliau. Masuk rumah, aku lihat Pak Zaini sedang menggali2 taman. Memakamkan kertas2 ujian. “Mahasiswa kayak kamu, ingat Bismillah hanya waktu ujian. Ditulis lagi. Jadi nggak bisa dibakar, dan tentu nggak bisa dijual. Dikubur saja.” “Saya nggak bantu ya Pak. Pusing nih.” Beliau senyum. Trus aku berbaring di kursi malas, dan beliau mengambilkan air jeruk, dan meneruskan menggali2 tanah. Bener2 mahasiswa kurang ajar. Tapi aku lelah :). Selesai, kami nonton Jurassic Park :). Duh, masih ingat. Kacau.
Pak Zaini sudah sempat operasi jantung 9x. Jadi amat ajaib bahwa beliau sempat ikut menjemput aku ke airport. Benar2 kejutan luar biasa. Kami langsung ke kampus. Di tengah jalan, beliau sempat menyampaikan keheranannya bahwa beliau masih bisa hidup setelah melalui 9x operasi jantung itu. Aku riang saja menyampaikan bahwa tampaknya ada hal yang harus beliau lakukan sebelum suatu hari kita semua pergi. Itu diskusi sambil ketawa-ketawa. Sambil bahas urusan jabulani si bola ajaib. Dan Smith Chart, haha. Kampus cukup dekat dari airport, jadi tak lama kami sudah sampai Departemen Teknik Elektro Unibraw. Satu sesi kopi dulu buat menyegarkan pagi. Tak lama bergabunglah Ary Murti yang baru menjemput Arief Hamdani ke stasiun. Kami langsung masuk ke salah satu ruang kelas.
Kelas terisi sekitar 80 orang, termasuk beberapa dosen, dan dosen senior. Ada Mr Dhofir yang dulu menghadiahiku nilai A untuk Teori Medan (dan membuatku doyan menulisi Maxwell Equation di mana2). Ada Mr Wahyu, yang tugas2 seminarnya dulu bikin panik, tapi bikin aku mendadak pintar bahasa Inggris (reading, skimming, etc). Serius, Mr Wahyu ini salah satu yang paling berjasa bikin aku bisa bahasa Inggris :) — tak termasuk speaking :). Ada Mr Daru, teman seangkatanku, yang dulu doyan naik gunung dan tempat 2 liar seantero Nusantara. Lucu juga temen seangkatanku ni — wajahnya nggak berubah. Ada … eh, kuliah dimulai.
Kuliah ini bertema 4G Mobile Network. Materinya tak jauh dari yang sering disampaikan di forum2 IEEE. Tapi ada yang menarik. Teman2 di Unibraw ternyata sudah cukup mendalami technology behind 4G. Aku banyak melakukan skip2, sambil cukup memberikan simpulan2 di titik2 tertentu. Lalu Arief Hamdani menjelaskan soal LTE, including oleh2 info terbaru dari LTE Summit di Amsterdam bulan sebelumnya. Lebih menarik lagi, tanya jawab langsung terjadi, dan langsung menembak bagian2 kritis; baik pada teknologi, implementasi, hingga arah bisnis. Surprise juga :). Di kampus lain mahasiswa tak seaktif ini, terutama di depan dosen2 mereka. Aku serasa kembali sekian tahun lalu, waktu berdebat panjang dengan Widiyanto dan Sigit Shalako tentang perlunya membuat Workshop Mahasiswa yang melengkapi materi kuliah dosen. Kekurangajaran kami tak unik — itu tradisi yang berlanjut sampai sekarang. Ary Murti memancing dengan bercerita tentang IEEE Student Branches yang mulai didirikan di kampus2 tetangga. Mudah2an pancingannya berhasil :).
Sayang, waktu terlalu singkat. Arief Hamdani langsung meluncur ke Juanda Airport mengejar pesawat untuk kembali ke Jakarta. Aku meneruskan diskusi tentang Mobile Content (context-aware applications). Lalu mengakhiri kuliah. Trus lunch rawon dengkul di Jl Ijen. OK, mungkin kolesterolnya tinggi, masih dengan Mr Zaini dan Mr Sholeh. But it was my birthday. Boleh donk pesta :).
Sisa hari dihabiskan dengan menemani Ary Murti ke Kompetisi Robotika Antar Universitas yang diselenggarakan di Univ Muhammadiyah Malang. Kebetulan Ketua Dewan Juri-nya Dr Wahidin Wahab — juga salah satu past chair dari IEEE Indonesia Section. Kompetisi yang sungguh menarik. Aku baru sadar bahwa mahasiswa Indonesia sudah sedemikian advanced-nya merancang prototype robot2 dengan berbagai tugas (pemadam kebakaran, penari, dll). Dan tak terasa Malang memasuki tengah malam. Dinner di dekat Pulosari. Lalu … z z z z z.
Dan paginya Garuda menerbangkan aku lagi ke Jakarta. Siang dink. Delay 2 jam. Tak apa. Aku berterima kasih bahwa Garuda memberiku delay waktu pulang, bukan waktu berangkat ke Malang. Plus, delay sambil melihat lereng Gunung Semeru dan Gunung Arjuno, itu seperti bonus tambahan untuk trip hari ini. Luggage yang sempat kosong, kali ini diisi kripik tempe, kripik apel, kripik salak, dll.
Di pintu perjalanan yang lain, membalik2 passport, aku baru menyadari satu hal menarik tahun ini: Filipina. Kunjungan ke negara2 lain tahun ini adalah kunjungan ulang. Tapi Filipina adalah kunjungan perdana. Negeri kepulauan di Pasifik Barat Daya ini seolah kembaran Indonesia: alamnya, masyarakatnya, masalah2nya. Aku jadi ingin bercerita tentang tokoh Filipina: José Rizal.
José Rizal lebih dikenal di Indonesia melalui bukunya, Noli Me Tangere (1887), yang diterjemahkan di Indonesia menjadi Jangan Sentuh Aku (1975). José sendiri lahir di Calamba pada 19 Juni 1861, di negeri Filipina yang waktu itu masih dijajah Spanyol. Konon José adalah polymath yang meminati dan mencakapi banyak bidang ilmu, dan mempelajari banyak bahasa. Tapi ia adalah polymath yang merepotkan, karena sikap intelektual kritis yang ditampakkannya semenjak masa pelajar. Buku Noli Me Tangere aku baca di masa sekolah, dan termasuk buku yang tak dapat cepat dibaca. Gaya berceritanya tajam, benar2 tajam menusuk, memaparkan bagaimana pemerintahan yang kuat diatur oleh agama negara itu terlalu mudah diselewengkan oleh para agamawan, bahkan kalaupun itu bertentangan dengan kehendak penguasa administratif dan masyarakat. Berbeda, namun dengan tekanan yang sama dengan buku2 Indonesia masa penjajahan dulu: menggambarkan semangat yang hidup dalam atmosfer yang penuh tekanan.
Perjuangan José sendiri tidak terlalu ditekankan pada soal ras dan kolonialisme; tetapi lebih ke arah penyelenggaraan tata masyarakat yang lebih adil dan beradab. Sebagai anak yang cerdas, José memperoleh prestasi yang baik di sekolah. Namun ia enggan mengambil kuliah kedokteran di Filipina, karena sikap para paderi yang menurutnya tak menarik. Akhirnya ia malah mendamparkan diri ke Madrid dan mengambil kuliah kedokteran di sana, dilanjutkan dengan mengambil doktor di Paris dan Heidelberg. Adalah di negeri2 Eropa ini ia menulis buku Noli Me Tangere: setengah di Spanyol, seperempat di Prancis, dan sisanya di Jerman. Ia tak anti Eropa. Dalam bukunya, ia menggambarkan negeri Filipina sebagai entitas masyarakat yang terpisah dari Spanyol, namun memiliki ikatan patron yang erat. Dan kalau buku itu kemudian menimbulkan kemarahan oleh pemerintah kolonial, itu karena alur dalam buku itu benar2 mendeskripsikan tekanan yang terjadi pada masyarakat Filipina masa itu.
Ketidaksukaan intelektual José pada praktek agama di Filipina membuatnya meninggalkan jamaah katolik. Alih2 yang disebutnya sebagai beragama ala pengelana Spanyol menggunakan api dan pedang, ia memilih menjalani keimanannya melalui pendekatan kejujuran dan akal sehat. Dengan ini ia meneruskan penentangannya pada perbudakan, pembodohan, dan eksploitasi manusia di negeri jajahan.
Bukan hanya oleh pengaruh Rizal bahwa masyarakat Filipina di masa itu memang dalam tahap kebangkitan menyusun identitas diri dan menentang penjajahan; seperti yang juga tengah terjadi di negeri2 terjajah lainnya. Rizal menghindar dari tuduhan terlibat pemberontakan2, dengan berangkat ke Kuba untuk turut memberantas penyakit demam kuning. Namun pemberontakan yang menghebat membuat Pemerintah Spanyol merasa harus bersikap keras, yang ditunjukkan antara lain dengan menangkap José Rizal. Faktanya, memang kaum2 yang memberontak itu memperoleh energi dari pesan2 yang disampaikan José melalui buku2nya.
José dihukum tembak. Jenasahnya dihilangkan, tak dikembalikan ke keluarganya. Sebuah monumen untuk mengenangnya didirikan di tempat ia ditembak. Terdapat tulisan di sana: “I want to show to those who deprive people the right to love of country, that when we know how to sacrifice ourselves for our duties and convictions, death does not matter if one dies for those one loves – for his country and for others dear to him.”
Filipina sendiri kemudian lepas dari penjajahan Spanyol, tetapi kemudian dijajah Amerika Serikat, lalu diduduki Jepang pada masa Perang Dunia II, dan dimerdekakan setelah perang usai. José Rizal menjadi pahlawan dan simbol nasional Filipina. Hari eksekusinya diperingati setiap 30 Desember. Dan wajahnya menghiasi berbagai artefax Filipina. Koin2 misalnya. Dan kata2nya menghiasi idiom2 Filipina. “There can be no tyrants where there are no slaves.“
Coventry menyambut dengan aroma bekunya yang khas dan akrab. Cukup menyentakku, menghadirkan ilusi seolah aku baru meninggalkan kota ini beberapa bulan lalu. Banyak yang nampaknya terbekukan waktu: gedung dengan label yang sama, teks yang sama, aroma yang sama, dan nada yang sama. Mesin jaguar di Q Block, penjaga KFC, hingga matahari yang belum terbenam pukul 20:00.
Tapi sebenarnya banyak yang berubah. Lower precinct yang dulu direnovasi itu, kini sudah jadi mall yang ramah, menyatu dengan upper precinct yang tak berubah itu. Konon inilah pedestrian precinct pertama di Inggris, yang kemudian banyak ditiru kota lainnya. Millenium arc juga sudah selesai, menambah menarik kawasan sekitar Pool Meadow dan Museum Transportasi.
Coventry pernah jadi kota keempat terbesar di Inggris, setelah London, Norwich, dan Bristol. Sempat tumbuh dari industri wool dan tekstil, ia beralih jadi raja industri mekanik: jam tangan, sepeda, hingga mobil. Namun industri persenjataannyalah yang membuat kota ini habis diluluhlantakkan Luftwaffe tahun 1940.
Kota-kota di sekitar Coventry menampilkan kecantikan masa lalu. Warwick dengan tembok megah dan kastil raksasanya; Leamington dengan taman luas dan gedung anggun bernuansa krem; Stratford-upon-Avon dengan beraneka gaya kecentilan abad2 lalu. Tetapi bom-bom dari Jerman membuat Coventry kehilangan banyak dari masa lalu itu. Namun, seperti seekor phoenix, ia bangkit dari abu kehancurannya, membangun diri sebagai kota modern.
Beberapa situs menandai masa-masa dibangunnya Coventry saat itu. Belgrade Theatre dibangun atas sumbangan rakyat Yugoslavia, karena saat itu Coventry masih harus membangun instalasi vital. Patung-patung rekonsiliasi menunjukkan tiadanya minat mengungkit luka dan lebih memilih bekerja akrab meningkatkan harkat. Dan warna multikultural Coventry adalah warna asali yang membentuk kota ini.
Tentu aku mengawali jelajah Coventry dari Coventry University. Kampus berlogo phoenix ini menjadi simbol kota Coventry yang menjadi kuat oleh kemampuan dan kepeloporan teknologi. Lanchester library, technopark, gedung Jaguar (ruang kuliahku dulu), hingga kantor pusat dengan penjaga yang extra ramah. Logo baru (yaitu logo lama yang dicerminkan) kini menghiasi hampir semua gedung di kampus ini.
Herbert Museum, yaitu pusat budaya dan sejarah Coventry, jadi tujuan berikutnya. Kebetulan ada pameran tentang asal usul Coventry di sini; dari masa prasejarah Coventry, pembentukan kota dan kisah Lady Godiva, perang saudara dan revolusi industri, hingga hancur dan lahir kembalinya Coventry.
Barulah kemudian city centre dan kawasan precinct. Dan kemudian kawasan lain di sekitar kota. Dan berakhir dengan kunjungan ke kota-kota di sekitar. Stratford-upon-Avon dengan puluhan angsa putih yang besar namun lincah di sungai Avon, Warwick dengan kastilnya nan megah dan fantastik, dan Leamington dengan tupai-tupai imutnya. Lalu, Coventry kembali harus ditinggalkan.
Coventry menginspirasi untuk bergerak, berinovasi kreatif, berkomitmen pada kejujuran ilmiah, dan terus maju ke depan; bukan untuk terus berada di masa lalu atau melamuni masa kini. Maka kunjungan ke Coventry belum selesai. Kita terus berada di Coventry justru saat kaki kita melompat jauh darinya, dan kekuatan kreatif kita mewarnai dunia-dunia yang terus kita jelajahi.
Jadi aku harus menamainya mission atau passion? :), ini digencarkan di entry blog ini beberapa bulan lalu. Tapi program Indigo bukan hanya merupakan platform kerja Telkom: ia juga mendefinisikan Telkom. Strategi dan komitmennya untuk melaju bersama komunitas-komunitas kreatif dan elemen-elemen pembangun ekonomi dan budaya bangsa, ditampilkan dalam visualisasi baru, tagline baru. Sebuah brand positioning pun diperkenalkan: Life Confident.
Logo baru Telkom dan brand positioning ini sendiri baru disoftlaunchkan malam tadi, sebelum diluncurkan secara lebih besar bersamaan dengan penganugerahan Indigo Awards tanggal 23 Oktober mendatang. Aku sedang cukup disibukkan oleh persiapan Indigo Awards, jadi tak sempat menghadiri soft launching :). Tapi sekilas melirik, tampaknya aku langsung jadi fans logo Telkom yang baru ini.
Pesan Life Confident sendiri langsung membangkitkan optimisme. Hidup bukan sesuatu yang mudah bagi siapa pun. Tetapi deretan perjuangan hidup mewarnai jiwa kita dengan nilai-nilai yang membuat tak memiliki alasan untuk tidak menganggap hidup itu indah. Di atas sinisme jenaka kita, kita memiliki optimisme. Di atas beku udara (brrr), ada hati dan jabat tangan hangat yang menemani perjuangan kita. Dan dengan kecerdasan hidup kita, kita bisa mencapai kegemilangan negeri ini.
Ayo, ini dunia kita. Isi dengan warna-warna kita, dengan keyakinan diri dan kelincahan langkah.
Belum satu jam sejak Garuda meluncuri lintasan di samping lereng Gunung Arjuna yang memukau itu dan melandas di Abdurrahman Saleh Airport, aku sudah berada di tempat yang seperti mimpi itu: Halaman SMA Negeri 3 Malang. Dan aku harus menulis namaku di daftar absen. Dan aku harus menulis nama di nametag. Aku pakai dua nama yang dulu aku pakai di sini: Kuncoro dan Nukov. Yang pertama buat guru2, dan yang kedua buat teman2. Koen hanya tertempel di mading (offline blog) waktu itu (pun jarang).
Bertahun kadang aku dikunjungi mimpi yang sama. Bahwa suatu hari kami harus kembali ke sini. Tapi dalam mimpi itu, kami mengenakan seragam putih abu2, kembali masuk ke kelas masing2, dan meneruskan diskusi yang dulu tertunda, dipimpin Walikelas III. Kali ini diskusinya diperkaya dengan apa yang kami pelajari setelah lulus dan setelah mengelanai dunia. Duh mimpi. Dalam realita, hari itu kami harus pakai kaos yang didesain serupa dengan yang kami pakai waktu masih kelas I, waktu kaon didesain dengan optimasi harga pewarna :). Lucunya, di dalam kaos itu, kami kehilangan semua waktu berpisah. Rasanya kayak baru berpisah 3-4 bulan dengan makhluk2 yang mukanya nggak jauh berubah. Cuman the ladies banyak yang sudah pakai kerudung, dan the gentlemen banyak yang sudah gemuk. Ah, klasik.
Nukov sebenarnya bukan satu2nya namaku. Dulu (eh, 3 bulan lalu) aku jadi wapimred, baik untuk mading maupun majalah Gema. Kadang banyak tulisan yang masuk dari rekan2. Tapi kadang hampir tak ada satu pun. Sementara setiap minggu (dan kemudian setiap dua minggu) mading harus diupdate seluruhnya. Jadi untuk mengisinya, aku harus banyak menulis juga. Dan daripada banyak nama “CrVaçtu” di sana, aku pakai nama2 lain: Cruiser, Neko Niichisan, Nukov, dll. Tapi entah kenapa pimred kami, Handy, menganggap nama Nukov itu lucu. Jadi suatu hari di sekitar 3 bulan yang lalu itu, dia meneriakiku dari lapangan basket: NUUKOOOOOV! Dan semua orang jadi memanggilku Nukov. Aku jadi merasa nama itu lucu juga, lama2 :).
Sayangnya Handy tak hadir kemarin. Seperti banyak makhluk Bhawikarsu lain, dia luar biasa. Dulu kepsek kami diganti. Penggantinya berbeda sekali dengan pendahulunya, dan membuat kami kurang nyaman. Dan tentu sindiran plus protes dilampiaskan para siswa ke mading. Waktu sekali lagi kepsek itu melakukan pungutan kurang jelas, salah satu siswa (bukan redaksi) mengirim kartun protes. Kartun :). Aku lagi sendirian hari Minggu itu. Aku pikir kartun itu selain amat lucu, juga konteksnya pas, biarpun sarkatis. Aku pasang. Trus aku pulang. Dan tentu saja di hari Senin, itu jadi masalah besar. Pimred dipanggil. Aku menawarkan diri menemani. Tapi Mr Handy Trisakti cuman bilang: «Aku penanggung jawab» trus dia masuk ruang kepsek sendirian. Aku sempat berpikir bahwa aku sedang menghadapi HB Jassin.
Percuma menggunakan nama samaran yang berbeda, kalau gaya kita menulis tak berbeda. Maka CrVaçtu menulis essai serius tapi santai, becanda tanpa melupakan EYD (di sisi grammar, bukan di sisi kosa kata). Neko Niichisan mengasuh English Corner dan Dasar Bahasa Jepang (sekarang sudah lupa semua). Cruiser artikel2 kecil, dan jokes in Indonesian and English. Nukov, apa yang tersisa? Chaos :). Permainan kosa kata ala CrVaçtu diekstrimkan. Esai dipelesetkan. Dll. Kurasa blog ini masih meneruskan gaya CrVaçtu, dengan EYD yang sudah dicemarkan dengan tata bahasa dari budaya2 lain. Buat yang sedang mempelajari Bahasa Indonesia baku, mohon jangan gunakan blog ini sebagai contoh.
Nama2 samaran juga suka jadi masalah. Nama samaran yang bukan samaran, CrVaçtu, aku tulis di buku2, LKS, lab reports, dll. Jadi kalau hilang, tidak semua rekan tahu ke mana harus mengembalikan buku itu. Seorang teman, Antin, yang menemukan lap report-ku dari Lab Kimia, hanya bisa menebak itu report-ku bukan dari nama CrVaçtu, tapi «Soalnya banyak huruf2 asing di dalamnya. Siapa lagi kalau bukan kamu.» Haha, aku masih ingat beberapa kata asing untuk kimia. Tapi sebagian lagi lupa. Dan di kelas, tumben Bu Zaenab (calculus wizard) kami nekat mengumpulkan buku untuk checking siapa yang bener2 bikin PR. Peristiwa langka. Beliau tertib sekali. Jadi buku harus rapi (hah, buku matematika bisa rapi?). Satu per satu dipanggil untuk menerima bukunya. Tapi bukuku ditahan. Tinggal satu. Aku maju mau ambil. Beliau melarang. “Itu bukan namamu. Memang namamu siapa?” Aku cari ide, dan untungnya tidak perlu lama. “Wastu, Bu.” Beliau melirik nama crVaçtu dengan font acakadut itu, terus mengembalikan tanpa komentar. Di reuni minggu lalu, Calculus Wizard ini termasuk yang bersedia hadir. Duh, jadi terharu ketemu beliau, masih dengan mata cerdas dan gaya acuhnya. Diadu kalkulus, kayaknya aku masih bakal kalah — thanks to MathCAD.
Eh, aku tadi menyebut kimia. Entah kenapa guru2 kimia kami keren2. Aku jadi terpaksa memaksa diri punya nilai tinggi di Kimia. I mean, kita perlu kecerdasan untuk bisa bagus di matematika. Tapi untuk juga bagus di kimia, selain memanfaatkan kecerdasan, kita juga harus meluangkan waktu untuk banyak menghafal. Aku jadi harus banyak baca buku gituan di balik selimut tipis pada udara malam Malang yang … brrr. Tak mengecewakan sih hasilnya. Cuman para guru itu umumnya tak terkesan. Salah satu seniorku dulu namanya Dimitri Mahayana. Dia doolooo selaaloo punya nilai yang bagusnya ajaib. Dan setelah itu tak ada lagi murid yang lebih mengesankan, haha :). Eh, one day, selimutku di rumah diganti yang lebih tebal dan lebih hangat, dan nilai kimiaku sempat turun, haha :). Salah satu guru kimia, Bu Rukmini, kemarin hadir, dan kami sempat berbincang panjang. Masih tentang kimia. Gila nggak sih?
Dan sesuai isi mimpi, harusnya kami diskusi dipimpin Wali Kelas III. Beliau namanya Bu Henny, sekaligus mengajar Fisika. Ketemu beliau, aku langsung menjabat tangannya, bertanya apa kabar, dan dengan ceria bertanya «Masih ingat saya nggak, Bu?» Beliau tersenyum manis, dan menjawab tenang «Nggak. Duh. Nggak sama sekali.» Hihihi :).
Heh, oh ya, di zaman Nukov ini juga pertama kali aku baca teks dari Derrida — «There is nothing outside the text». Waktu itu aku belum paham :). Sekarang? Heh, there is nothing outside the tweet :).
Itu adalah sebuah Selasa di akhir musim panas. Tapi musim panas itu menghabiskan panasnya di pertengahan tahun saja. Udara September 2001 di kota Coventry nan imut itu membuatku merutuki diri bahwa sekali lagi aku lupa bawa jaket. Yang kubawa di tas biruku juga tak menambah kehangatan. Waktu berlari. Tak bisa lagi banyak membaca buku sains, budaya asing, musik, filsafat yang bertumpuk bagai harta karun di perpustakaan bermenara mirip sarang burung itu. Waktu menipis. Yang kubawa hanya buku tentang broadband network, konfigurasinya untuk trafik tinggi, balancingnya untuk daerah luas berpenduduk tak merata, teknologinya yang konon mau berkonvergensi tapi selalu mismatch. Heh, kita dulu mencandai satu buku ini sebagai buku sastra Yunani. Pernah baca formula trafik paket? Hahah, deretan huruf Yunaninya pasti lebih seram dari Homer :).
Sekarang bayangkan, pasti senyap sekali bis yang membawa aku pulang ke Westwood Heath. Lebih sepi dari seharusnya. Karena suhu yang tak ramah, waktu yang kurang pas, atau karena formula pengendalian trafik itu sudah mulai terinstansiasi ke jalan-jalan Warwickshire yang terlindung pohon-pohon berdaun hijau coklat lebat itu?
Kamarku berpintu merah. Kunci kartu kuselipkan untuk membukanya. Notebook kukeluarkan dari tas. Juga buku-buku. Lalu kuhempaskan badan ke kasur kecil. Maunya. Nggak jadi. Telefon berdering. Suara mendesak di ujung sana. “Pasang TV sekarang juga. Gedung WTC ditabrak pesawat.”
Harus kuakui sekarang. Aku tak terkesan. Tapi bayangkan: itu tahun 2001. BBC setiap hari menyampaikan bagaimana negeri kita dibanjiri kekerasan. Mayat diseret di kota Malang. Pembunuhan sadis di Sampit. Krisis Poso. Jakarta. Ada yang ingat bahwa di tahun 2001 itu BBC menampilkan deretan panjang tank dan panser di Jakarta? Saat presiden menurunkan dekrit membubarkan DPR, dan memerintahkan militer membubarkan paksa DPR? Syukurlah waktu itu militer punya akal sehat dan memilih diam. Tapi juga ada Ambon. Dan Aceh yang tak kunjung selesai. Di masjid, para pemuda Palestina membacaan doa buat Indonesia selesai shalat Jumat. Ah, kalian yang kini berdoa untuk Palestina setelah shalat Jumat … kalian tak menyangka kan?
OK, kita kembali ke TV. Maka BBC menampilkan sekali dan sekali lagi dan sekali lagi adegan yang kini menjadi memori kita semua. Satu pesawat menghujam tubuh satu dari dua gedung kembar WTC. Lalu satu lagi menghujam gedung lainnya. Lalu runtuhan implosif mengakhiri kerja jahat itu dengan menghancurkan semuanya. Diperkirakan antara 20.000 hingga 40.000 orang meninggal. (Sekitar 6000, beberapa hari kemudian disampaikan). Menatap semuanya tanpa henti, baru aku sadar: ini adalah pernyataan perang. Tanggal 11 September, angka 9/11, menjadi sejarah.
Hebohkah? Sore itu, kami memperbincangkan apa yang terjadi di New York. Dengan suasana ketidakpastian. Tidak dengan kemarahan, ketakutan, atau ketakjuban. Seorang Cina yang biasanya mencerca US (sedang terjadi krisis diplomatik saat itu antara PRC dan US) terdiam. Tapi hidup tak langsung berubah. Beberapa hari itu, kami masih ke kota. Di pusat kota orang berkumpul. Membawa bunga, menandatangani tanda duka, mengenakan pita, dan bendera. Di BBC ditampilkan sekelompok ibu-ibu Palestina yang berteriak gembira menyambut hancurnya gedung WTC. Mereka mungkin bodoh, tapi tidak jahat. Mereka dari kampung yang temboknya tidak ada yang utuh. Keluarga mereka, bahkan hingga anak kecil, setiap saat terkena bom dan peluru Israel. Yang mereka tahu adalah bahwa Israel kuat karena dukungan AS. Jadi ledakan di AS adalah kegembiraan. Aku tak berminat membenarkan mereka. Tapi mohon jangan juga menyalahkan mereka. Mereka cuma korban perang.
Di akhir minggu, di tengah publikasi hasil penyelidikan kasus 911 di AS (plus segala macam wacana simpang siur tentang konspirasi dan hal2 menyebalkan semacamnya), aku ke Nottingham. Di sana, aku ikut antri menandatangani tanda duka. Tak mengenakan pita tapi. Juga tak memasang bendera. Lalu menghadiri pengajian Kibar. Mas Zulkiflimansyah dari Scotland masih jadi ketua pengajian (atau baru jadi mantan ketua pengajian, aku lupa). Tapi kami tak membahas tentang terorisme. Kami membahas ekonomi Islam: sesuatu yang berbasiskan rasionalitas dan akuntabilitas. Lalu prihatin bahwa Islam yang mulai dikenal rasional dan ramah itu kini kembali diidentikkan dengan kejahatan.
Beberapa pihak mulai menampakkan tanda permusuhan. Termasuk Baroness Thatcher. Masjid di kampus Coventry dikawal polisi untuk mencegah ada yang melakukan kekerasan terhadap umat muslim. Tetapi di kota lain, kekerasan tak dapat dicegah. Di Scotland, sebuah masjid mengalami ledakan ringan (tak lama setelah provokasi Thatcher). Dan tesisku mulai tertunda.
Tesisku akhirnya selesai di bulan Ramadhan. US, UK, dan pasukan sekutu sudah mengirim pasukan ke Afganistan, mengejar teroris Al-Qaidah. Ujian berakhir. Pulang. Perang terhadap teroris mulai overdosis. Bendahara pengajian di UK, Perancis, dll, dibawa ke kantor polisi, diinterogasi tentang aliran dana zakat dan infaq kami. Kegiatan kami mengirimkan dana kemanusiaan ke tanah air terpaksa dihentikan saat itu. Di tahun 2002, ISNET bahkan sempat terhenti. Majelis Syuro-nya non aktif.
Pembersihan Al-Qaidah menjadi kerjasama internasional. Tapi jadi problematik di Indonesia, yang saat itu baru mulai menata kembali masyarakatnya yang mulai mau merekatkan diri, biarpun hati mereka masih berat. Banyak hal yang jadi tabu dibicarakan, diselesaikan. Semuanya melalui gerakan lambat dan toleransi. Salah satu efeknya adalah bahwa Al-Qaidah yang tadinya berkembang di Malaysia, dan kemudian menyempir gerakknya karena terjadi pembersihan, akhirnya bermigrasi ke Indonesia, termasuk duet bomber Azhari – Noordin Top. Satu sudah jadi bangkai, tapi satu masih buron. Dan sampai sekarang kita masih menuai bom di pusat Jakarta.
Palestina masih tertindas. Sebagian oleh kekejian abadi kaum zionist. Sebagain oleh perpecahan terus menerus antara para pejuang Palestina sendiri — perpecahan tanpa toleransi tanpa kasih persaudaraan.
11 September 2001 belum lama berlalu. Apa yang terpikirkan oleh kita saat mengenang peristiwa itu, dan peristiwa-peristiwa sesudahnya?
Oom Eris itu unik nian — selalu terfokus pada pekerjaan. Jadi, waktu aku menelefon minta izin nggak masuk kantor (dengan surat izin dokter), tanpa pikir panjang beliau memutuskan untuk pindah kantor ke rumahku. Bandung sudah menggelap-malam waktu beliau dan rombongan datang. Tapi begitu masuk rumah, yang dilihat malah rak buku kecilku. Kalau yang dilihat rak yang lebih besar, yang banyak buku2 anehnya sih masih bisa dipahami. Tapi rak buku kecil itu umumnya berisi buku “dan lain-lain” yang ditampung karena rak besar tak mampu lagi menyimpan. Agak lama, aku baru sadar bahwa yang dilihat Si Oom bukan buku, tapi tiga miniatur telefon antik. Haha. Masih Telkom nih :).
Aku sendiri bukan kolektor miniatur telefon antik. Syulit carinya syie. Itu miniatur telefon masuk rak juga cuman gara2 berencana mensuasanai rak buku bagian tengah, yang berisi buku2 telekomunikasi, dengan suasana sejarah telekomunikasi. Selain miniatur telefon, ada beberapa perangko dan kartu pos bertema telekomunikasi. Tapi rencana itu pun tak diteruskan. Keburu pindah ke Jakarta.
Aku cukup beruntung sempat kenal telefon sejak kecil. Zaman dulu, telefon itu langka. Hitam putih pula (eh, itu sih TV). Tapi Papap dibekali telefon rumah. Rumah yang di Malang (Kasatriyan) bertelefon hitam agak besar. Nomornya 5131 pesawat 26. Kadang2 tante-tante dari Perumtel datang melakukan “service telefon” :). Yang gawat tuh Mess di Jember. Telefonnya masih pakai engkel diputar. Wrrrrr. Listrik terkirim, dan operator (manusia) menjawab untuk menyambungkan. Waktu itu yang kadang aku telefon adalah Oom No’ yang kerja di Perumtel Bandung, nomornya 022-51507; atau rumah Embah di Cimahi, nomornya 0229-4762. Cimahi pernah 0229 loh. Dan sebelumnya pernah harus dengan komunikasi khusus karena tidak punya kode area tersendiri.
Trus telefon tak menarik lagi. Mata kuliah Telefoni di Teknik Elektro juga cuman kulintasi, tak kuperdalam. Dih, hari gini, masih urusan telefon; pikirku. Mana nih ISDN — yang aku baca2 di majalah Time waktu SMA dulu? Padahal saat itu telefon tengah berevolusi ke arah informasi digital. Semua voice hanya dibawa sampai ke sentral, kemudian dibawa sebagai informasi digital 64 kb/s per kanal. Satu-satu sentral didigitalkan. Di kampus aku malah bermain dengan control & computing. Dan memutuskan untuk … Eh, tapi nggak punya bekal buat skripsi dink. Err, kebetulan Telkom menawari beasiswa ikatan dinas. Masuk nggak? Haha, untuk mendaftar masuk ke Telkom, kami harus ‘rapat’ dulu. Aku dan Ziggyt memutuskan bahwa Telkom layak dimasuki, karena urusannya nantinya bukan cuma telefon, tetapi transportasi informasi kecepatan tinggi.
Sejarah memang menyuruh aku dan Ziggyt akhirnya ikut mengawal Telkom. Cuman untuk urusan informasi kecepatan tinggi, kelihatannya kami harus menunggu lagi dan belajar lagi sekian tahun. ISDN ternyata tak aplikatif. ATM ditinggalkan sebelum implementasi. Hanya di core network saja, semuanya disiapkan. Dan mobile telecommunications melejit secara eksplosif, mengubah bisnis telekomunikasi selama2nya. Sekarang aku menikmati cita2 masa kuliah. Apa pun zaman dulu namanya, sekarang namanya adalah Mobile Internet 2.0. Informasi multimedia berlarian, menemani dan membantu kita di manapun kita berada. Tak hanya dengan akurat, tetapi juga dengan elegan, indah, dan manusiawi. Sambil …
“Sombong nih Si Koen sekarang,” kata Ziggyt — sekarang bermain bisnis Internet di Bogor. “Nggak pernah diangkat telefonnya.” Dasar Ziggyt pelupa. Memang kapan sih aku pernah betah berkomunikasi dengan telefon? Hari gini masih urusan telefon? (Déjà vu –red). Twitter atau Blog aku balas kok, Git :).
BTW, cita2 masih jauh dari usai. Salah satunya, yang selalu aku sebut2 (sampai bikin bosan temen2 di sekitarku), adalah menggantikan kebutuhan transportasi dengan telekomunikasi. Aku mencita2kan kota2 tanpa mobil berasap. Kendaraan listrik berjumlah kecil menghantar manusia bersilaturrahim dan melakukan hal2 menarik. Sekolah, kerja, administrasi, ekonomi, dan hal2 menyebalkan lainnya tak lagi akan menyesakkan dan mencampuri bumi. Semuanya akan kita pindahkan ke Internet (3.0, 4.0, sampai berapa pun). Let’s do it.
Ini tentang Blaise Pascal: filsuf, ilmuwan, matematikawan, yang tidak menemukan Segitiga Pascal (yang sudah dimainkan Umar Khayam dll jauh sebelumnya) maupun Bahasa Pascal (yang ini ulah Niklaus Wirth jauh sesudahnya). Tokoh ini kebetulan lahir pada 19 Juni, di tahun 1623.
Blaise kecil sudah menggemari matematika. Tapi ayahnya justru sempat menjauhkannya dari matematika, agar ia sempat mempelajari hal2 lain juga (tipe ayah langka). Usaha itu gagal :), jadi Blaise akhirnya malah diberi kesempatan ikut menonton perbincangan rutin antar matematikawan kelas berat, termasuk Rene Descartes. Kemudian Blaise sempat merumuskan Teorema Pascal. Pada usia 18, Blaise juga merancang mesin hitung analog, yang kadang dinamai sebagai Pascaline. Bekerja sama dengan Fermat, ia menurunkan berbagai formulasi probabilitas. Beralih ke fisika, ia mempopulerkan tentang ruang hampa — hal yang ditentang oleh mayoritas masyarakat saat itu. Namun ia berhasil meyakinkan masyarakat bahwa ruang hampa itu ada, dan bahwa barometer bekerja dengan cara itu. Karena hal ini, kelak SI menggunakan nama pascal (Pa) sebagai satuan tekanan. Blaise juga menulis beberapa buku. Salah satunya yang dicuri dijadikan judul entry blog ini.
Tahun 1654, Blaise mendapatkan visi bahwa Tuhan telah menemuinya. “Tuhan dari Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub,” tulisnya (dalam teks kecil yang baru bisa dibaca orang lain sekian bulan setelah ia meninggal). Ia kembali menseriusi soal ketuhanan dan agama. Untuk menjelaskan soal Tuhan kepada mereka yang belum memiliki keyakinan (dan jelas bukan untuk argumentasi bagi dirinya sendiri yang telah kembali memiliki keimanan), ia merumuskan apa yang kemudian disebut dengan Taruhan Pascal. Pada budaya Islam, pola berpikir semacam ini pernah juga diulas oleh Haramayn al-Juwayni, dengan beberapa perbedaan.
Asumsinya, Tuhan memiliki sifat yang berbeda dengan makhluk, dengan apa pun yang ada di dunia. Dengan demikian, Tuhan tak harus teramati, tak harus (dan tak dapat) terbuktikan oleh sains. Masih banyaknya kaum ilmuwan yang memiliki keimanan di masa kini (biarpun kaum ilmuwan atheist terus menerus menunjukkan bahwa Tuhan tidak terbuktikan) antara lain didorong pandangan para ilmuwan bahwa memang jika Tuhan bisa terbuktikan oleh sains, maka Ia bisa disebut tampak secara inderawi, dan bukan lagi Tuhan. Mereka bisa sibuk dengan teori string, medan kuantum, teori evolusi, dll; sambil menikmati hubungan yang manis dengan agama dan keimanannya. Fakta bahwa ide dan ketaatan atas Tuhan (dan agama) itu hanya soal budaya, soal evolusi psikologi, genetik, dan sosial, dst, dst, disikapi dengan pandangan: Begitulah Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang itu membuat diri kita mampu mengenal-Nya. Ia menyukai proses, seperti saat ia menciptakan bumi bulat dan memutarnya dekat sebuah bintang hanya untuk memberi kita siang dan malam dan siklus hidup.
Kembali ke Blaise. Karena Tuhan tak terbuktikan secara ilmiah; maka kita dihadapkan pada probabilitas bahwa 50% Tuhan ada dan 50% Tuhan tidak ada. Lalu kita punya pilihan: hidup dengan (A) cara seolah Tuhan ada atau dengan (B) cara seolah Tuhan tidak ada. Tapi kita harus menghadapi konsekuensinya: (Aa) kita bisa beriman kepada Tuhan yang ada, (Ba) kita bisa tertipu mengira Tuhan ada, (Ab) kita bisa ingkar kepada Tuhan yang ada, atau (Bb) kita bisa bebas dari Tuhan yang tidak ada. Lalu Blaise meminta kita menimbang. Pada Aa, saat kita mati kita mendapat ganjaran surga, dengan benefit tak terhingga. Pada Ab, tergantung sifat Tuhan, kita bisa disiksa selamanya atau diampuni. Pada Ba, kita bagaimanapun sudah berbuat baik, selebihnya biar saja agak mubazir. Pada Bb, kita tidak rugi menghabiskan hidup hanya untuk hura-hura. Namun lalu Blaise menunjukkan hasil timbangannya, bahwa bagaimanapun — bagi kaum yang masih ragu — akan lebih tepat untuk menjalani hidup dengan menganggap Tuhan ada.
Cukup banyak kritikan atas Taruhan Pascal ini, baik dari umat beragama maupun para atheist. Anda sendiri — hai :) — pasti punya kritikan keras. Dan percayalah, Blaise juga tahu itu. Pertama, itu hanya berlaku untuk mereka yang betul2 ragu, tidak untuk orang yang sudah memperoleh hidayah iman keimanan lalu iseng menimbang lagi, juga untuk atheist yang yakin bahwa probabilitas adanya Tuhan itu 0%. Bagaimanapun kita hidup dan memiliki konsekuensi atas pilihan kita masing2. Kedua, timbangannya adil jika agama benar2 diarahkan untuk membawa manusia menjadi khalifah di atas bumi; bukan untuk jadi perusak yang membawa2 nama agama dan kelompok sebagai pembenar. Ketiga, agama selaras dengan nurani dan membuat kita merasakan ketenangan di dalamnya, bukan misalnya agama yang misalnya mengharuskan anak kecil disembelih di altar dan jantungnya dipersembahkan ke Mimikeki (duh, kayak pernah dengar nama ini). Keempat, diasumsikan agama2, karena memiliki tujuan yang baik, tidak saling merusak :). Duh, berat kan ternyata? Kelima, keenam, dst, dst; karena itu Taruhan Pascal memang jadi tidak populer.
Aku nggak akan pakai hitungan semacam ini untuk meyakinkan orang :). Dan seperti aku bilang tadi, Blaise sendiri pun tidak menggunakan Taruhan ini. Seperti yang pernah disampaikan Kanjeng Nabi: Ihsan itu menjalani hidup seolah sambil melihat Allah; atau setidaknya sambil merasa dilihat Allah. Lalu apa kata nuranimu mengenai itu?
Blaise meninggal pada usia 39. Tapi sebelum itu pun kesehatannya selalu buruk. Selalu sakit kepala, katanya.
Salah satu yang aku presentasikan di ITT bulan lalu adalah berbagai platform pengembangan aplikasi mobile saat ini. Perangkat mobile sudah melekat di manusia, bahkan di usia dini (duh, dini lagi). Dan, mengikuti trend, ke depannya ini akan lebih parah :). Saat kita menyebut three-screen, sekarang kita menomorsatukan mobile, baru diikuti komputer dan televisi. Share atas platform smartphone aku ulas bulan lalu di koen.blog.plasa.com. Untuk sales, Symbian (Nokia cs) memimpin dengan share 47%. Namun untuk Internet usage, Apple memimpin dengan share 65%. Kesannya, user iPhone kecil tetapi Internet-savvy; sementara user Nokia banyak tetapi masih sibuk di telefon dan SMS.
Tapi Nokia berminat membalik anggapan itu. Bersamaan dengan HUT Wagner (26 Mei), Nokia meluncurkan kembali Ovi Store; bersanding dan bersaing dengan Apple Store. Beralamat di store.ovi.com, Ovi Store memulai apa yang jadi salah satu titik kuat iPhone: content & aplikasi dari developer bebas, yang ditransaksikan lebih leluasa. Ovi Store dapat diakses dari komputer, memungkinkan kita melakukan download aplikasi dan sinkronisasi ke smartphone. Tapi yang menarik tentu download langsung dari smart phone, baik melalui browser ataupun client Ovi Store yang disediakan khusus.
Smartphone masa kini umumnya telah menyediakan akses WiFi, selain 3G-mobile standard. Dipadukan dengan makin banyaknya titik hotspot yang disediakan di tempat umum (dari rumah, kos, kantor, mall, dan crowd-centre lainnya), ini meleluasakan kita menjelajah mencari aplikasi yang menarik, menginstalasi di tempat sesuai keperluan, dan langsung menjalankan. Aplikasi pertama yang aku instal (setelah client Ovi Store-nya sendiri), adalah Facebook :). Duh. Sekarang masih cari client untuk WordPress-blogging dan Twitter. Aplikasi informasi juga tampak menarik untuk dicobai. Games juga, wow banyak. Install aja banyak2. Mumpung space di Nokia 5800 masih luas. Dan aplikasi masih seluruhnya gratis dari Indonesia sini (nantinya nggak gratis lagi sih).
Untuk para developer, tentu ini jadi peluang satu lagi untuk mengkomersialkan aplikasinya. Satu frame terbuka, dengan cara pemasaran yang lebih mudah (biarpun sementara ini di Indonesia masih gratis), untuk platform dengan jumlah user yang besar; baik di Indonesia maupun di dunia — dan dengan tingkat penetrasi aplikasi yang masih rendah. Keliling di ITB, ITS, dan terakhir di ITT itu, aku sempat melihat banyak aplikasi dan content luar biasa yang bisa mulai dikembangkan secara komersial. Sayang kalau dibiarkan jadi hobby saja; sementara ini bisa dipakai untuk menarik dollar dari luar sana. Bisa dimulai di publish.ovi.com.
BTW, kita bunuh SMS yuk. Ada yang mau bikin aplikasi penggantinya?