Keluar Art Centre, ketawa sendiri. Pantesan aja rambutku mulai beruban. Bukan banyak mikir, dan bukan keturunan, tapi gara-gara Wagner ternyata. Tuh, penonton lain pada ubanan. Ternyata Wagner memang idola angkatan PD II. Mungkin waktu itu Inggris siap-siap menyerah ke Hitler, jadi mereka sibuk belajar menikmati Wagner.
Brrr, udara dingin. Tapi kayaknya badan perlu disiksa dikit. Jadi deh jalan malam melintas Westwood Heath. Jalanan penuh daun-daun yang terus berguguran.
Abis rehat, ruangan diisi dengan suasana baru. Carl Nielsen. Baru denger namanya. Simfoni kelima. Katanya resensi, waktu pergelaran perdana simfoni ini, para penonton keluar dengan marah dan bingung. Tapi itu tahun 1924. Di tahun 2001 ini, penontonnya pada enjoy aja. Dih, subyektif. Bagian pertama bersuasana Ravel. Cuman perkusinya lebih monoton dan berisik (dalam arti bagus — percayalah: monoton dan berisik pun bisa indah). Klarinet memainkan nada yang itu-itu aja. Di bagian puncak, kayak Ravel juga, semua instrumen dibentuk jadi paduan yang indah menggelegar, dengan drum yang masih sama nadanya, dan klarinet yang konsisten dengan nada itu-itu lagi. Tapi jadi kesannya lucu. Nielsen nih sinting apa kreatif yah.
Bagian kedua simfoni ini biarpun awalnya dinamis, tapi jadi kurang variatif. Beberapa pemain malah tiduran :). Penonton juga. Aku menikmati musik aja, nggak perhatian lagi sama pemain. Bukan jenuh. Laper.
Tapi Elsa’s dream mengisi ruangan. Dan aku baru sadar sama satu kesalahanku. Pembukaan bagian ini aku pikir tadinya bagian dari Parsifal. Ternyata bagian dari Lohengrin.
Wah, blogger awal musim semi dulu harus diganti nih. Bagian instrument dimainkan lebih cepat (atau sebaliknya, kaset yang aku dengar awal musim semi itu udah seret), dan suasananya lebih jernih dan lebih berwarna. Rasanya kayak bisa terbang.
Dan puncak malam ini, pastilah prelude dan epilogue dari Tristan und Isolde, yang … keseringan dibahas ah. Pokoknya mode visual, beda aja :).
Tahun 1969, Alf Wight menonton pertandingan liga utama (hehe) antara Manchester United dan Birmingham City. Nama penjaga gawang Birmingham itu James Herriot. Jadi nama itu diculik buat nama samaran Alf.
James sendiri belum pernah baca buku Alf. Tapi dia suka lihat versi TV-nya. Dan dia merasa kebetulan punya nama yang sama dengan si tokoh. Baru tahun 1988 dia diundang Alf untuk memberitahukan bahwa memang nama karakter itu diambil dari nama dia.
Di tengah peta North Yorkshire ada sebuah bintik. Thirsk. Kenilworth yang cuman selintasan jalan aja tampak jadi raksasa dibandingkan bintik itu. Padahal barangkali bintik kecil ini turut mengarahkan hidupku.
Thirsk. Nama yang asing. 23 Kirkgate. Dulu tempat ini jadi tempat praktek Donald V Sinclair, veterinary surgeon yang mengesankan hampir semua orang yang mengenalnya. Tapi barangkali yang membuat lebih banyak orang lagi terkesan adalah waktu dia mengangkat asisten (kemudian jadi partner) seorang anak muda bersahaja lulusan Glasgow, yang suka dipanggil Alf. James Alfred Wight.
Sekian puluh tahun kemudian, Alf yang sudah cukup senior punya ide cemerlang. Keajaiban di Thirsk, dari praktek Sinclair dan dirinya, dicatat dalam semacam biografi yang menarik. Semua nama disamarkan habis-habisan. Kota Thirsk jadi Darrowby, Kirkgate jadi Skeldale, Don dan Brian Sinclair jadi Siegfied dan Tristan Farnon.
Sepuluh tahun kemudian, si West yang baru mulai doyan baca buku, ikutan baca buku kakaknya yang berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara. Tapi itu nasib malang buat si buku, soalnya buku itu jadi dibawa ke mana-mana sampai kertasnya berubah warna, dan kertasnya harus ditambal-tambal.
Dan nggak tau kenapa, si West jadi doyan nulis juga. Dan biarpun suka nggak nyambung dengan realitas, tapi yang ditulis selalu tentang optimisme. Tentang hal-hal kecil.
Talk tentang idealisme sendiri. Menurut Anda, apakah nilai-nilai kehidupan universal itu cukup berharga untuk diperjuangkan ?
Begini. Allah menurunkan kita ke dunia tentu dengan skenario tertentu. Barangkali memang agar kita merenungi kebesaran Allah. Barangkali agar kita dapat menjaga diri agar tetap lurus. Tapi barangkali juga agar kita mau melawan kestatisan diri untuk memperjuangkan nilai-nilai yang telah diajarkan Allah kepada kita.
Saya setuju bahwa ‘Isa as [Yeshua/Jesus, doa kami atasnya] tidak mengajarkan kekerasan. Tetapi faktanya adalah kekerasan itu selalu terjadi. Apakah kita akan tetap bergeming melihat kekerasan demi kekerasan dilakukan, dan hanya menolaknya dengan doa dan harapan ?
Mungkin iya. Tapi jelas, kita diciptakan sebagai manusia, bukan sebagai malaikat. Malaikat boleh menghadapi kejahatan hanya dengan doa. Tapi apakah manusia berhak melihat kekejian, dan kemudian hanya menarik diri ke sudut sepi dan menghantarkan doa ?
Saya sendiri tidak sedang menganjurkan melawan kekerasan dengan kekerasan, tentu. Tapi ada titik kesetimbangan tertentu yang harus kita capai dalam perjuangan hidup kita. Tidak dengan keras, tetapi tidak pula hanya dengan harapan-harapan.
Alter ego yang ini lucu juga, si West Faust, yang sudah hilang tahun 1999 lalu :).
Email dari West Faust 23/06/99 di is-lam@ :
Dr Faust, yang terus menatapi jalan-jalan kesesatan demi ambisi untuk
menemukan jalan kebenaran yang sempurna, walau dengan bantuan syaythan, kali ini terdiam.
Bagaimana aku bisa menatap dan memilah kesesatan, kalau aku masih boleh meragukan kebenaran di dalam diri ini, katanya. Sedang, yakin sepenuhnya pada keyakinan di dalam diri, barangkali, justru merupakan pencelaan yang menggerogoti kemutlakan kebenaran itu sendiri.
Bagaimana pun, hanya kasih Allah yang akan menolong.
Seorang sahabat saya pernah menyinggung nama Jalaluddin Rumi. Saya membalas dengan mencuplik salah satu kisah yang dibawakan Rumi :
“Seorang petani hendak membawa sekarung gandum dengan keledainya. Tetapi karung itu selalu meleset jatuh. Si petani merasa mendapatkan akal bagus. Diambilnya karung lain, dan diisinya dengan pasir, lalu diikatnya pada karung gandum, baru ditumpangkan pada keledainya. Karena seimbang,karungnya tidak jatuh lagi. Berangkatlah si petani dengan penuh bangga membawa keledainya.
Di jalan ia bertemu seorang darwis yang compang camping. “Apa yang kau bawa?”, tanya si darwis. Dengan bangga sang petani menceritakan apa yang dibawanya. Tapi kata sang darwis, “Itu ide yang bagus. Tetapi akan lebih bagus kalau kau membagi dua gandum itu, dan mengisinya ke dua karung. Dengan demikian, keledai itu tidak kelebihan beban, sementara karungnya tetap seimbang.”
Ah betul juga. Maka petani itu pun membuang pasirnya dan memindahkan gandumnya. Sambil bekerja, ia bertanya, “Kau sendiri, apa yang kau lakukan ?” Kata darwis: “Aku sedang memikirkan alam semesta ini.”
Petani itu menjadi merah marah. “Kau, dengan kepandaianmu, hanya kau gunaan untuk merenung. Tapi aku dengan kebodohanku, masih bisa bekerja mencari kehidupan untukku dan keluargaku. Pergilah kau, agar tidak menulariku dengan kehampaan hidupmu.”
Sungguh kita sering salah memandang apa yang seharusnya baik atau buruk buat kita. Kita memandang harta sebagai kebahagiaan. Ilmu sebagai ketinggian. Iman sebagai kemuliaan. Padahal iman, ilmu, dan harta, adalah rahmat dari Allah. Rahmat dari Allah buat bekal kita sebagai khalifah di atas muka bumi. Iman, ilmu, dan harta, lebih tepat kita pandang sebagai tanggung jawab, sebagai beban, alih-alih sebagai simbol kecemerlangan diri kita.
Pohon-pohon di luar perpustakaan Westwood itu lebih tepat waktu daripada manusia kayak aku. Di hari pertama musim gugur, mereka sudah mulai mengubah warna daunnya. Aku masih melalaikan banyak hal yang harus aku kerjakan. Terpaksa berpacu dengan waktu.
Padahal secara alami kita nggak disuruh berpacu dengan waktu. Aku seharusnya hidup seiring dengan aliran waktu. Hmmm.
Nggak mau kalah sama kucing Schrödinger, seorang ilmuwan cerita tentang tikus Schrödinger :).
Ceritanya sama sih, cuman jadi lucu aja bacanya. Menurut Newton, katanya, ada tikus yang enak dan ada yang nggak enak. Tapi menurut teori kuantum, setiap tikus berada dalam superposisi yang mengandung karakteristik enak dan nggak enak. Kalau seekor kucing menerkam dan memakannya, baru karakteristik tikus itu jatuh pada salah satu keadaan enak atau tidak. Tapi tidak betul juga. Sebenernya justru kucing itu berada dalam superposisi juga. Tergantung rasa tikus, si kucing akan menggeram senang atau marah. Tapi sebenarnya dia dalam superposisi antara menggeram senang dan marah. Untuk menjatuhkan posisi kucing pada satu state, kita harus mengamati kucing. Begitu kita pegang kucing itu, kondisi kucing jatuh pada satu state yang teramati. Kalau kucing itu mendengkur manja, pada saat yang sama si tikus jatuh pada state enak. Kalau si kucing mencakar, berarti dia jatuh pada state marah, berarti tikus jatuh pada state nggak enak. Tapi nggak betul juga. Kita juga sebenernya masuk dalam superposisi. Kalau orang lain mengamati kita cari perban, berarti state kita, kucing, dan tikus jatuh pada saat yang bersamaan. Sebelum diamati, tikus dan kucing tidak memiliki karakteristik. Mereka ada dalam superposisi. Cerita yang sama dengan kucing Schrödinger sebenernya. Cuman di sini yang mati tikusnya.
Kita ketawa, tapi eksperimen penembakan elektron pada celah ganda menunjukkan bahwa semesta memang bersifat seperti itu. Waktu tidak kita amati, sebuah elektron boleh berada di a, di b, di c, di mana saja, sehingga rentetan tembakan elektron tunggal bisa membentuk pola interaksi (elektron A pada probabilitas posisi 1 berinteraksi dengan elektron A pada probabilitas posisi 2, dan seterusnya). Nggak mungkin, kata kita.
Yeah, sama nggak mungkinnya sama kenyataan bahwa setiap materi terdiri dari atom yang terdiri dari elektron mengelilingi inti atom, sebenernya. Atau bahkan sama nggak mungkinnya dengan kenyataan bahwa dua massa diam bisa tarik-menarik, tanpa tali. Ajaib.