Cerita tentang Ziggyt kurang lengkap kalau nggak nyebut soal kiri kanan. Kita suka berkelana bermotor, aku pegang setir, dan Ziggyt jadi navigator, soalnya dia feelingnya bagus.
Waktu itu kita ke daerah selatan Malang. Melayat ortunya teman, di kota kecil di selatan Malang (Turen? Kepanjen? Ada lagi deh, lupa nama tempatnya). Cuaca sangat buruk, sampai truk beberapa meter di depan nggak keliatan. Basahnya nggak usah diceritain. Motor sempat masuk got setinggi lutut. Abis itu baik gas maupun rem jadi dysfunctional.
Aku harus konsentrasi ke jalan licin, mata yang basah kena air hujan, dan rem yang nggak nurut. Jadi navigasi sepenuhnya nurut Ziggyt. Di daerah Gondanglegi, Ziggyt teriak: Ke kiri! Aku belok kiri. Ziggyt teriak lagi, Bukan kiri yang ini, kiri yang satunya. Itu sih namanya kanan, bukan kiri satunya.
Soal kiri kanan ini berkepanjangan. Kalau ngebahas layout program, kita suka rame gara-gara soal kiri kanan. Ziggyt selalu menutup dengan cerdik, Kirinya kita apa kirinya monitor?
Abis kita lulus, dan jadi tentara, Ziggyt masih juga bikin ulah. Hari pertama, kita belajar baris. Dan abis aba-aba Tiga langkah ke kanan Ziggyt menimpali dengan cuek sekali, Ke kanannya siapa?
Proyek buat skripsi dilaksanakan di LEN Bandung. Tapi nulis skripsinya di Malang. Dengan notebook putih dan imut bermerk Tandon, 486DX-50. Yani suka mau ikutan dipangku, ikutan ngetik skripsi. Mungkin maunya bikin hasil karya berdua. Tapi aku simpan teks dari Yani di file terpisah. Abisan isinya semacam “Kemarin Yani ke Gramedia”. Nggak nyambung donk sama radio-telephone network.
Waktu rasanya segala tantangan itu sudah lebih besar dari kemampuan diri, Yani memamerkan majalahnya. Apa ya. “Aku Anak Saleh” kali ya :). Yang ada Cici dan Koko itu lho. Dan di halaman sampul dalam ada QS Ad-Dhuha.
Demi pagi yang cerah. Dan demi malam yang kelam. Rabb-mu tidak pernah meninggalkanmu. Tidak pernah pula membencimu. Akhir niscaya lebih baik daripada awal. Dan Rabb-mu mengaruniaimu sehingga kamu ridha.
Dan seterusnya.
Kayaknya Yani memang selalu bisa bikin dunia ini lebih indah. Hehe, udah gede anaknya sekarang. Udah berani ngisi guestbook websiteku, sambil ngece-ngece pula. Awass kalo aku pulang. Harus siap-siap dijewer.
Ternyata kelelahan di badan tidak cukup terdeteksi oleh kesadaran. Cuman rasanya komunikasi jadi penuh distorsi. Dan waktu akhirnya badan berhasil diistirahatkan, istirahatnya jadi cukup lama. Dan pagi ini bisa lagi merasakan cuaca Coventry yang masih hangat (compared to that nice city). Sofyan malah udah ngantor lagi. Eudora menarik mail dari 5 mailbox. Ratusan mail masuk. Hmmm. Kayaknya aku harus unsub dulu dari beberapa milis. Nggak sempat baca juga. Mendingan bekerja lebih cepat untuk thesis.
Tahun-tahun sebelum LEN, kita jadi asisten Pak Bambang di Lab Elektronika. Dan masih hobby saling ngerjain juga. Aku juga lupa, kita lagi test apa sih di lab. Trus Ziggyt minta nilai v diubah. Aku naikin amplitudonya. Trus kata Ziggyt, bukan f tapi v. Aku jadi bingung, v bukannya tegangan ?
Ziggyt bilang lagi: bukan v yang itu, tapi v yang fase. Oh my. Itu mah p, bukan f dan v. Persinyalan real cuman punya tiga besaran: v (voltage), f (frequency), dan p (phase). Dan kalau ngikutin stylenya Ziggyt, tiga-tiganya bisa dinamai v. Mestinya namanya diganti jadi v, v satunya, dan v yang satunya lagi. Memang, kerja tanpa Ziggyt jadi nggak seru …
Tahun 1993, LEN. Aku dan Ziggyt lagi testing jaringan telepon radio kami. Biasanya kita simulasi perangkat masing-masing, tapi hari itu kita coba koneksikan perangkat kami. Mas Didit jadi pengamat. Kayaknya sih semuanya lancar. Agak. Ada trouble dikit di perangkat sentral.
Aku baca lagi kode assembly di mikrokontrolernya. Nggak ada algoritma yang salah. Kayaknya beberapa variabel di timing bisa dicoba diubah. Aku ganti-ganti aja angkanya, dengan catatan. Dicoba lagi, jalan.
Mas Didit nanya, “Apa tadi yang diganti?”. “Angkanya aja, Mas.” “Koen, mikrokontroler itu isinya angka semua. Jadi angka mana yang tadi diganti?” Dih, kena deh :).
Tapi Ziggyt kurang puas dengan kualitas suaranya. Jadi dia ambil obeng, terus unit pelanggan diutak-atik. Dicoba lagi, sekarang semuanya sempurna.
Mas Didit nanya lagi, “Apa tadi yang diputar?”
Dan Ziggyt menjawab dengan valid sekali “VR-nya aja kok, Mas.”
Kali ini Mas Didit kehilangan kesabarannya. “Saya juga tahu, yang diputar itu VR. Mana ada IC diputar ? Jadi VR yang mana yang diputar ?”
David Bohm lebih jauh menjajaki teori de Broglie. Gelombang pilot itu, katanya, bergabungan satu dengan yang lain. Dengan kata lain, bukan hanya sepasang foton dan sepasang elektron-positron yang memiliki hubungan, tapi seluruh partikel dan energi di semesta. Tapi Bohm tidak berhenti di sana. Semesta, lanjutnya kemudian, berisi hanya gelombang-gelombang yang bertumpukan. Semuanya membentuk satu kesatuan. Riak-riak itu tampak seperti partikel dan energi lokal, tapi sebenarnya mereka (kita) semua adalah satu kesatuan dalam arti fisik. Setiap partikel mengerti posisi dan kondisi semua partikel lain di dalam semesta.
Jika suatu partikel diamati (dengan partikel lain, misalnya foton), maka ada usikan pada gelombang pilot, dan usikan ini mempengaruhi kondisi partikel-partikel lain bahkan dalam jarak berapa pun. Tidak perlu ada yang kolaps. Hanya satu perubahan mengubah banyak hal lain. Dan (ini dia), biarpun partikel dan lain-lain bersifat lokal (artinya mengikuti kaidah Einstein), si gelombang pilot tidak harus bersifat lokal.
Bohm kemudian membandingkan semesta dengan holografi. Setiap sel sebenarnya memiliki sebagian info dari setiap titik lain di dalam semesta, biarpun tidak lengkap.
BTW, ini soal fisika loh. Nggak ada hubungannya dengan alam ghaib. Juga
nggak ada hubungannya dengan yang “ada di sini tapi juga ada di mana-mana”.
Memang kemudian Bohm juga membahas soal itu juga. Tapi dia bilang, ini
memerlukan sebuah hidden variable lagi di bawah hidden variable itu :).
Biarpun kesannya Eliot berbasa basi, tapi aku pikir ada bedanya catatan Eliot ini dengan cerita kucing Schrödinger yang asli. Misalnya si setelah sekian detik ada kamera di dalam kotak yang memotret si kucing, dan mencetaknya dua kali, serta memasukkannya ke dalam dua amplop terpisah. Kedua amplop dikeluarkan dari kotak dalam keadaan tertutup. Kotak tidak pernah dibuka lagi. Kedua amplop dikirim ke dua ujung semesta yag berbeda. Kalau perlu ke semesta yang berbeda :). Setelah sekian tahun, kedua amplop dibuka.
Kalau mengikuti Eliot, kedua gambar menunjukkan gambar yang sama, yaitu kucing hidup atau mati. Tapi kisah asli Schrödinger mestinya memungkinkan bahwa satu amplop berisi gambar kucing hidup dan satu lagi bergambar kucing mati, karena kondisi kucing baru kolaps saat amplop dibuka. Tapi apapun hasilnya, kita harus mengasumsikan bahwa kedua gambar menunjukkan gambar yang sama. Kita tidak bisa membuktikan sebaliknya. Kalau ada cara untuk membuktikan, maka waktu satu amplop dibuka, isi amplop kedua (yang entah di mana itu) juga kolaps.
TS Eliot sebenernya agak sirik dengan kisah kucing Schrödinger. “Si kucing itu juga pengamat,” katanya. Tapi lebih lanjut dia meneruskan bahwa maksudnya bukannya si kucing itu dimanusiakan. Pada saat sesuatu punya potensi untuk diamati (di masa depan sekalipun), pada saat itu fungsi gelombangnya kolaps membentuk “realitas”. Jadi bahkan tanpa kucingpun, sebenarnya fungsi gelombang sudah dikolapskan oleh detektor elektron.
Sejarah York adalah sejarah Inggris, gitu katanya. Kota ini bahkan sudah dikenal sejak tentara Romawi menjajah bangsa Celtic di sekitar sini, dengan nama Erbocum. Maskot kota adalah serdadu Viking dengan jenggot putih dan muka lucu. Orang Viking menamai kota ini Jorvik, yang kemudian jadi York. Benteng-benteng menandakan pergantian kekuasaan yang terus menerus. Sebuah benteng yang tampak ditata megah, sekarang hanya tersisa sebelah tembok saja. Di sebelah luarnya, taman yang luas, dengan burung merpati dan tupai-tupai jinak.
Kayaknya tupai-tupai itu lebih menarik daripada benteng :) :). Sayangnya aku nggak bawa makanan. Jadi si tupai pada bingung ngejar-ngejar tanganku, mencium-cium cari kacang, terus kabur lagi. Lompat ke atas pagar, lompat ke atas pohon. Terus melompat.