Category: Life (Page 18 of 30)

Mr Trouble

Tumben si koki ketawa aja ngeliat aku. Ada apa sih? Dia nggak bilang. Cuman terus mencetus sepatah kata, “Trouble.” Hey! Satu lagi?

Kisah ini harus berawal dari si Alan — pelan-pelan saja bacanya, jangan buru-buru. Si Alan ini driver yang dialek Inggrisnya bikin belajar di British Council terasa sia-sia. Waktu bulan-bulan awal, aku nggak pernah bisa paham ucapan dia, jadi aku pelesetin semua obrolannya dia. Waktu akhirnya dia tak bisa menahan diri lagi, dia akhirnya mengancam, “Someday, you’ll get a trouble.” Dan aku dengan muka dibikin tercengang cuma membalas, “How come? I’m the trouble!” Terus kita ketawa bareng-bareng.

Aku memang ditakdirkan untuk tidak bisa formal dan tidak pernah tahan menahan diri dari sifat usil. Latihan tinju sama security. Melanggar jam malam. Minta kunci perpustakaan jam 5 pagi. Pasang orkestra tengah malam. Pasti security diam-diam suka rasan-rasan juga. Tak lama lama mereka ikut panggil aku “trouble”. Termasuk salah satu security yang tek pernah tampak bisa becanda.

Aku lebih heran lagi waktu Mr Burns, kepala rumah tangga college ini, ikutan senyum-senyum liat aku lagi makan. Waduh, reputasi aku menyebar cepat sekali. Ntar bisa kalah ngetop nih Mr Bean. Dan waktu koki jadi ikutan pakai nama aneh itu, aku jadi percaya ada konspirasi.

Ada sih yang sampai kini belum pernah ikut menyebut nama ajaib itu. Namanya Jim, security dari Skotlandia. Jim itu periang, suka aja ngobrol di perpustakaan sampai nyaris tengah malam. Dan menghabiskan waktu untuk melafalkan nama aku dengan benar. Kalaupun pernah ngasih julukan, dia ngasih sebutan “the most cheerful”, bukan “trouble” :).

Tapi waktu cuaca makin dingin, Jim juga mulai kehilangan keriangan. Ada apa sih?
“How’s you project?” dia balik nanya.
Yeah — bagaimanapun ada waktunya untuk berhenti.
“And you’ll go home soon,” katanya sedih.

Duh, selain bikin kacau, ternyata aku bisa bikin sedih juga.

Midlands FCO4+ Conference Day

Satu per satu delegasi FCO4/Chev-2001 mendatangi dapur Claycroft 1 Flat 1 di Warwick University, kediaman Surya Tjandra dan Wina. Plus dua dari FCO2. Edwin dan Bibip dari Warwick. Koen dan Kamto dari Coventry. Ari dari Canterbury. Bahan perbincangan utama meliputi lamb soup, bayam rebus, ayam panggang, bakwan jagung, dan benda-benda serius lainnya. Plus hal-hal kecil semacam dekonstruksi Derrida, proliferasi nuklir, dan ah lupa … semuanya kalah asik sama hal-hal serius tadi sih. Udah agak lama nggak ‘berbincang ‘ se-‘serius’ itu :). Cable&Wireless nggak pernah menyajikan diskusi yang bermutu. Nasinya aja selalu kering, beda sama nasi segar yang dipaparkan oleh Wina. Fajar dari Birmingham University datang terlambat, tetapi membawakan argumentasinya dengan cukup berhasil: cokelat buat dessert.

Pepatah lama mengatakan bahwa satu-satunya yang lebih baik dari seorang sahabat terbaik adalah sahabat terbaik yang membawa cokelat.

Tapi seminar yang meriah ini berlangsung singkat. Abis itu kita harus antar Ari ke Pool Meadow (seminar berikut di Leeds), dan antar Fajar meninjau museum transportasi di Coventry. Tapi hari ini terlalu cepat gelap, dan kelelahan tiba-tiba menggigit.

Walküre (obat tidur manjur) mengisi kamar yang digelapkan. Dua jam secara efektif memulihkan badan. Mandi, shalat gabungan Maghrib-Isya, dan duduk dengan segar tapi masih agak lelah di depan komputer. Dan baru sadar bahwa aku udah kangen sekali suasana Indonesia. Tod und Verklärung mengisi ruang, diiringi raungan mesin pesawat terbang di luar jendela.

Lohengrin Act 1

Pasang Act 1 dari Lohengrin, pas bener dengan garis-garis awan hitam di luar jendela, dan deretan awan putih perak gemerlapan di ujung langit, dengan angin yang mulai kencang bertiup merontokkan daun-daun kuning kecoklatan.

Satu daun jatuh, satu hari berlalu, satu hari makin dekat dengan tanah air. Memang sih, secara teori nggak ada bedanya melakukan sesuatu di sini atau di tanah air. Cuman rasanya beda aja berbuat sesuatu untuk tanah air dengan berbuat sesuatu untuk … entah untuk apa.

Tambahan: Kenapa ya Act 3 nggak kompatibel sama Act 1. Kalau pembukaan Act 1 terasa pas, pasti pembukaan Act 3 terasa kampungan sekali.

Tali Ban

Lama juga nggak nulis tentang Afghanistan. Di milis, terakhir aku ngebahas tulisan seorang dokter dari Jepang tentang pemerintahan Taliban. Lucu juga, kesannya aku jadi pro Taliban. Padahal belum. Mereka menganut asas tunggal sih.

Pro rakyat Afghanistan sih selalu; anti politisi Amerika emang udah dari dulu; tapi pro Taliban juga belum. Justru abis peledakan WTC (yang konon perbuatan CIA sendiri), dan Taliban terus-terusan difitnah, lama-lama aku jadi mulai bersimpati sama Taliban.

Humor Lokal

Humor lokal. Apa ya istilahnya yang pas. Ini jenis humor yang cuma ditertawai oleh segelintir orang, tapi buat
sebagian besar isi dunia, nggak keliatan lucunya di mana. Dilbert suka bikin candaan macam gini. Tentang si boss
yang harus cari token ring sampai ke kolong meja, misalnya.

Yang inget sih, waktu aku ke ruang sentral 5ESS sama temen. Terus liat rekan kerja aku lagi cemberut. “Ada apa sih?”
tanya aku. “Salah command,” kata dia, “Udah lama-lama nungguin fmt-trfmd, abis selesai mau
dicpy-fsfle, eh malah kepejet clr-fsfle.” Mau nggak mau aku ketawa
dengan sadisnya, ngebayangin makro yang dibuat untuk mempermudah itu malah membunuh. Biarin aja temen aku yang baru dateng itu kebingungan sama rentetan huruf tanpa arti itu :).

Atau waktu lagi suntuk, hampir 10 tahun yang lalu. Ada temen yang bener-bener suka makan temen, dan bangga lagi, senyum lebar. Aku kesel juga, “smiling faeces”. Terus sekelompok temen dari jurusan perikanan ketawa abis sama istilah itu. Si TMT (temen makan temen) sih ikutan ketawa. He thought that we laughed with him. Duh, sadisnya aku.

Diskursus

Tanggal 9 Juni 1997, dengan alamat email masih di west@scientist.com, aku mencoba menjelaskan tentang diskursus. Berikut terjemahannya:

Ingat zaman JH dulu. Gara-gara JH berkeras atas istilah informasi dan propaganda, saya terpaksa sedikit mengarang ensiklopedi. Ditambah disclaimer: barangkali kita perlu mendefinisikan dulu kata definisi.

Kira-kira begitulah bingungnya menceritakan definisi diskursus. Diskursus pasti lebih rumit dari definisi, karena definisi itu
tergantung pada diskursus. Saya coba contek definisi diskursus menurut Michael Foucault [plus tambahan dari saya]:

[Diskursus adalah] seperangkat aturan-aturan yang anonim [yaitu tidak ada orang tertentu yang membuat] dan historis [yaitu terbentuk oleh peristiwa], selalu ditentukan oleh ruang dan waktu yang membatasi sebuah zaman, dan menjadi kondisi berlangsungnya fungsi pernyataan tertentu.

Kalau itu terasa asing, sekali lagi, itu karena ikan tidak merasa hidup di air. Wajar kalau kita dalam menyusun fungsi pernyataan juga tidak merasakan adanya diskursus.

Saya pernah menulis ke *snip* bahwa rumusan tidak akan sama dengan konsep. Kita mengindra fakta, membentuk realitas, menyusun konsep, mengkomunikasikan pesan. Nah, fakta, realitas, konsep, dan pesan, adalah besaran yang berbeda. Mereka dibentuk dengan proses. Aturan-aturan yang digunakan dalam proses itu lah yang disebut diskursus. Jadi, kalau saya boleh contek istilah komputer lagi, diskursus seolah berlaku sebagai sistem operasi yang menentukan bentuk masukan, interpretasi data, penyimpanan data, dan pemilihan proses sesuai kebutuhan.

Diskursus yang kita pakai bergantung pada tempat dan zaman kita, serta latar belakang peristiwa saat suatu proses berlangsung. Yang penting dalam hal ini, menurut saya, adalah menyadari bahwa terdapat berbagai ragam diskursus di sekitar kita. Atau lebih tepat, kita perlu kesadaran bahwa kita bisa memakai diskursus alternatif dalam melakukan pengkajian dan pernyataan. Ini penting dan sangat berguna, tanpa kadang disadari oleh manusia.

Yang mencurigakan, di akhir mail itu, dia menulis frasa share a smile to the universe.

Sastrawi

Suasana LEN kadang kebawa waktu aku udah kerja di Telkom. Aku sedang bertelepon dengan Mbak Dosen, dan cerita tentang kampus dsb. Tahu-tahu dia menyebut soal lain.

“You know,” katanya, “I would never forget somebody like you.”
“Oh sure. I will never forget you too.”

Emang sih biasanya beliau rada sastrawi bahasanya. Cuman tumben pakai acara rada muji segala.

“Sekali-sekali pingin nonton juga lho. Temenin yuk.”
“Tapi malem ya, soalnya saya siang harus kerja.”
“Iya, saya juga. Jadi malam minggu aja yuk.”

Trus kita menentukan tempat dan filmnya. Dan akhirnya …

“Koen, Mas Didit diajak juga deh. Pasti suka juga nonton film itu.”

Akhirnya :) teka-tekinya agak terjawab.

Yeah, abis itu aku nelepon Mas Didit. Mas Didit, di luar dugaan mau diajak nonton. Dan jadilah malam Minggu itu aku jemput si Mbak, terus jemput si Mas, terus jadi nyamuk yang baik.

Mereka akhirnya jadian beneran kok (ini ulah Ziggyt juga yang nggak sengaja memperkenalkan mereka). Duh, kalau mereka pada baca catatan ini, pada ketawa apa jadi pada musuhin ya. Yang jelas, aku udah memegang janji. Aku nggak akan melupakan peristiwa bersejarah ini.

Mengeset

Cerita dari zaman LEN lagi. Seorang senior, tahu bahwa aku suka nulis artikel, datang sambil membawa draft laporan.

“Koen, Bahasa yang baku itu mengeset atau menset?”
“Gimana kalau diubah jadi menyetel aja, Pak?”
“Oh, iya ya.”

Trus beliau berlalu. Nggak lama beliau balik lagi.

“Satu lagi, yang enak itu mengetest atau mentest?”
“Enaknya menguji aja deh Pak ?”
“Oh iya ya.”

Beliau berlalu lagi. Kalau nantinya beliau balik lagi nanya mengecek atau mencek, aku udah siap bilang memeriksa.

Kanan, Kiri, Ziggyt

Cerita tentang Ziggyt kurang lengkap kalau nggak nyebut soal kiri kanan. Kita suka berkelana bermotor, aku pegang setir, dan Ziggyt jadi navigator, soalnya dia feelingnya bagus.

Waktu itu kita ke daerah selatan Malang. Melayat ortunya teman, di kota kecil di selatan Malang (Turen? Kepanjen? Ada lagi deh, lupa nama tempatnya). Cuaca sangat buruk, sampai truk beberapa meter di depan nggak keliatan. Basahnya nggak usah diceritain. Motor sempat masuk got setinggi lutut. Abis itu baik gas maupun rem jadi dysfunctional.

Aku harus konsentrasi ke jalan licin, mata yang basah kena air hujan, dan rem yang nggak nurut. Jadi navigasi sepenuhnya nurut Ziggyt. Di daerah Gondanglegi, Ziggyt teriak: Ke kiri! Aku belok kiri. Ziggyt teriak lagi, Bukan kiri yang ini, kiri yang satunya. Itu sih namanya kanan, bukan kiri satunya.

Soal kiri kanan ini berkepanjangan. Kalau ngebahas layout program, kita suka rame gara-gara soal kiri kanan. Ziggyt selalu menutup dengan cerdik, Kirinya kita apa kirinya monitor?

Abis kita lulus, dan jadi tentara, Ziggyt masih juga bikin ulah. Hari pertama, kita belajar baris. Dan abis aba-aba Tiga langkah ke kanan Ziggyt menimpali dengan cuek sekali, Ke kanannya siapa?

Yani

Proyek buat skripsi dilaksanakan di LEN Bandung. Tapi nulis skripsinya di Malang. Dengan notebook putih dan imut bermerk Tandon, 486DX-50. Yani suka mau ikutan dipangku, ikutan ngetik skripsi. Mungkin maunya bikin hasil karya berdua. Tapi aku simpan teks dari Yani di file terpisah. Abisan isinya semacam “Kemarin Yani ke Gramedia”. Nggak nyambung donk sama radio-telephone network.

Waktu rasanya segala tantangan itu sudah lebih besar dari kemampuan diri, Yani memamerkan majalahnya. Apa ya. “Aku Anak Saleh” kali ya :). Yang ada Cici dan Koko itu lho. Dan di halaman sampul dalam ada QS Ad-Dhuha.

Demi pagi yang cerah. Dan demi malam yang kelam. Rabb-mu tidak pernah meninggalkanmu. Tidak pernah pula membencimu. Akhir niscaya lebih baik daripada awal. Dan Rabb-mu mengaruniaimu sehingga kamu ridha.

Dan seterusnya.

Kayaknya Yani memang selalu bisa bikin dunia ini lebih indah. Hehe, udah gede anaknya sekarang. Udah berani ngisi guestbook websiteku, sambil ngece-ngece pula. Awass kalo aku pulang. Harus siap-siap dijewer.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑