Category: Life (Page 17 of 30)

Waterstone’s

Barangkali aku kurang banyak cerita tentang Waterstone’s. Waktu pertama masuk Waterstone’s di Coventry, aku kagum bener dengan penataan interior toko buku satu ini. Mirip taman bacaan untuk pecinta buku, lengkap dengan sofa dan rak-rak dan penunjuk posisi buku. Tapi Waterstone’s di Leamington lebih bagus lagi. Trus jadi ketagihan membandingkan Waterstone’s di setiap kota. Yang terbagus sampai sekarang masih yang di Nottingham, dengan koleksi buku yang bikin Waterstone’s lain terkesan miskin :). Plus sofa yang tertata dengan konsisten, jadi gampang dicari, plus café dan kamar kecil yang bersih sekali. Yang juga unik adalah resensi buku dari pemilik toko, dengan tulisan tangan cakar ayam khas Inggris, di depan beberapa buku. Waterstone’s Picadilly London yang sering dibanggakan pun nggak sebagus ini.

Tapi hari ini aku ketemu Waterstone’s lain lagi di Birmingham. Ada dua sebenernya. Satu terkesan kecil, tapi di dalamnya luasss sekali. Agak berantakan, tapi koleksinya barangkali selengkap Nottingham. Satu lagi tepat di depan pintu New Street Station, tinggi menjulang. Cara penataan bukunya sama sekali tidak mempermudah pencarian buku. Tapi banyak hal khas di dalamnya. Ada beberapa ruang tematis, kayak satu ruang khusus untuk The Ring dari Tolkien, lengkap dengan pensuasanaan ruang. Di sebelahnya, ada gallery khusus musik klasik. Hey, kenapa aku baru ke tempat ini di minggu terakhir di negara ini? Banyak koleksi prima ditawarkan dengan harga relatif murah. Lengkap sekali. Wagner aja menempati beberapa deret rak. Untung aja aku nggak kemaruk, jadi cuman ambil 3 CD, dan bukan Wagner.

Memang nggak semua Waterstone’s jadi istimewa sih. Yang di Edinburgh misalnya, ditatanya sama jeleknya dengan toko buku Gramedia di Matraman. Yang punya bukan pecinta buku kali. Atau kotanya terlalu bagus, jadi orang lupa menata toko buku.

Mhula

Luis Filippe de Lucas bergegas naik bis di depan Skydome. Agak kaget ngeliat aku duduk di kursi agak ke belakang.

Aku menyambut, “Surprising, huh?”

“I thought you went to Birmingham,” katanya, masih dengan nada heran.

“Indeed. But it’s frozen outside. It’s better to spend 1 hour on the bus than 20 minutes walking.”

“Exactly, my friend. And you can accompany me too. Listen, I just saw the examination board. You have passed with merit.”

“Really? It’s surprising too, isn’t it?”

Bis 460

Segala nuansa warna beige namun agak gelap dan kaku dari gedung-gedung mulai menyambut bis nomor 460.

Barangkali ini perjumpaan terakhir dengan London. “Marble Arch,” teriak si copilot bis, mirip kondektur bis ke alun-alun Bandung. Kita lompat turun, jalan cepat bersama angin dingin ke Grosvenor. Melintasi gedung kedutaan AS yang dikarantina dengan pagar logam tinggi karena menularkan penyakit berbahaya.

Sampai kita di flat berbendera merah putih. Di sini hari ini acaranya mengurusi surat pulang dan surat selesai studi, plus daftar barang bawaan. Daftarnya cuma berisi tiga barang, ditambah dua halaman daftar buku dan CD.

Sambil nunggu surat selesai, kita jalan kaki lagi. Oxford Street jadi lautan manusia. Mirip Kepatihan di Bandung menjelang Idul Fitri gini. Lengkap dengan pedagang kaki lima.

Stuff of the River

Tapi barangkali masih seperti itu juga kondisi kita sekarang. Umat
dihancurkan. Persatuan dan persaudaraan diceraiberaikan. Saudara-
saudara kita dibunuhi setiap hari tanpa henti. Tapi kita masih bisa
nyenyak tidur. Dan masih sibuk bertikai dan mencaci.

Barangkali (stuff of the river), di Afghanistan, AS akan mengulangi
strategi mereka di Iraq. Di Iraq, Saddam Hussein tidak dijatuhkan,
walapun barangkali bisa. Kalau Saddam dijatuhkan, lalu penggantinya
bisa membuat Iraq yang lebih baik dan berkembang pesat, maka Israel
akan terancam. Kondisi di sana memang harus dibikin labil.

Maka Saddam tidak dijatuhkan. Si perampok itu dibuat tetap dapat
menekan rakyatnya, sehingga nyaris tidak mungkin terbentuk pemberontakan
yang kuat; tetapi Saddam juga ditekan agar tidak bisa kuat. Jadi di
sana hanya ada segerombolan masyarakat lemah.

(Di tahun 1991, Tariq Azis mengatakan bahwa pendudukan Kuwait oleh Iraq
sudah dikonfirmasikan ke AS, dan AS tidak menanggapi negatif, yang
ditafsirkan Iraq sebagai restu. Ini strategi AS untuk bisa membuat
pangkalan permanen di kawasan teluk).

Di Afghanistan, barangkali Taliban tidak akan dikalahkan total, agar
terjadi ketidakstabilan permanen di negara itu. Barangkali juga
Taliban dihabisi, karena toh kekuatan sekutu utara juga sudah
potensial sebagai biang perpecahan, seperti semasa Taliban belum
berusaha menegakkan hukum di sana.

Di mail buat Prof Yoder, aku menulis bahwa bukan berarti semua orang
Amerika jahat. Cuma memang politisinya sungguh-sungguh kriminal. Bukan
juga karena mereka orang Amerika. Pendahulu mereka pun sudah suka
mengabaikan urusan-urusan moral dan etika demi kepentingan hegemoni
negara.

Tapi yang jadi soal sebenarnya: mengapa kita mudah sekali
dipecah belah ? Mengapa perbedaan pandangan saja harus diperuncing
jadi permusuhan ? Kenapa kita lebih suka bersekutu dengan kriminal
daripada dengan sesama ?

Kemas-Kemas

Sebenernya kurang kerjaan kali. Acara tulis menulis pun akhirnya membosankan juga. Notebook lebih banyak berfungsi jadi CD player, menemani acara baca-baca bacaan ringan. Yang terakhir: Effective C++ dari Scott Meyers (recommended). Plus sambil melayani dering telepon dan ketukan pintu yang nyaris 24 jam.

Sore tadi ngenganggu Alan si Mr Postman lagi, dan berhasil pulang dengan kardus Fedex yang bagus bener. Jadi ada kerjaan baru mulai malam ini. Mengemasi buku-buku buat dikirim pulang.

Sabtu kemaren, masih ketemu Harry dan Dani di Birmingham. Besok udah Sabtu lagi, ke Birmingham lagi ketemu Fajar. Dan dua Sabtu berikutnya, udah di Birmingham Airport, terbang pulang !

Harry & Dani

Sepanjang jalan menuju New Street, berderet stasiun-stasiun kecil, tapi nggak ada yang mirip Tile Hill. Semuanya memiliki wajah yang berbeda-beda, keunikan yang berbeda-beda.

“Birmingham New Street, This is Birmingham New Street”. Di New Street, ribuan orang bergerak, mirip gerak Brown. Segala warna manusia, berbagai bahasa, berjuta ekspresi, bergerak acak. Baru sehari sebelumnya aku di sini juga, tapi kayaknya ekspresi orang-orang itu sudah beda-beda pula.

Seseorang memegang pundakku. Senyum ramah, sambil terus bicara di handphone, terus menarik aku ke mobil. Pertama kali ketemu Mas Dani, boss PPI Birmingham, anak muda yang selalu sibuk (soalnya belum berani nyuruh-nyuruh anak buahnya –haha).

Di atas mobil baru dia menyapa, sambil melarikan mobil ke Aston. Lucu
sekaligus dinamik sekali.

Di Aston, ketemu lagi dengan Mas Harry, si da’i merangkap hacker dan junker. Trus mobil dipacu lagi ke University of Birmingham, buat ikut acara buka puasa bersama PPI Birmingham.

Argh, ini baru buka puasa yang hangat. Congrats deh buat anak-anak muda di Birmingham. Eh, ada Fajar juga. Di luar langit bersih, bulan purnama tampak terang sekali, dikelilingi halo yang melingkar nyaris sempurna. Udara membekukan badan. Brrrrrrrrr.

Tile Hill

Perjalanan kemarin diawali dari Tile Hill, stasiun kecil mungil dan sepi. Bis 81E berhenti di stasiun waktu kereta berangkat, jadi aku harus nunggu setengah jam lagi. Pintu stasiun otomatis terbuka, dan si penjaga loket yang berkumis tebal menatap. Aku jadi masuk, tapi bukan ke loket, malah lihat-lihat suasana. Si penjaga loket meninggalkan loket, terus mengambil sapu, dan mulai menyapu stasiun, dan memunguti sampah.

Aku ke luar, ditemani dua anak sekolah yang belajar merokok dengan tanggung. Sambil terus menyapu, si penjaga loket meminta anak-anak itu menunjukkan tiket. Mereka menolak menunjukkan. Trus si penjaga mengancam memanggil polisi dalam 5 menit. Sambil memaki-maki, kedua anak itu pergi.

Beberapa orang berlalu di sekeliling stasiun, dan kedua pintu masuk bergeser membuka menutup tanpa henti. Sepasang anak kecil jadi mempermainkan si pintu, dengan melompat sepanjang garis batas, dan membuat pintu membuka menutup tanpa henti. Kereta berlalu, dan seluruh calon penumpang
di seberang rel menghilang ke atas kereta.

Ini Tile Hill. Di luar, pohon berdaun cokelat seluruhnya, dikelilingi pohon-pohon lain yang sudah tak berdaun. Aku duduk sendiri di luar. Gerimis mulai datang.

Kereta-kereta cepat antar kota berlalu, melintasi stasiun tanpa permisi, mendorong angin dingin menembus jaket. Aku masuk lagi. Sebuah pigura menampilkan sekelompok pegawai stasiun membawa pigura berisi penghargaan.

Si penjaga loket berkumis nampak paling riang di foto itu. Beberapa gambar kereta yang didesain dengan CAD menghias dinding, dengan nama perancangnya, dan ucapan terima kasih di bawahnya. Hiasan natal di ujung ruangan bukan berhias rusa, tapi bebek berkepala hijau.

Aku jadi tahu kenapa aku harus nunggu setengah jam di sini.

Tapi setengah jam akhirnya berlalu juga. Kereta Centro ke arah Birmingham tiba tepat waktu. Waktu naik kereta, rasanya aku bukan meninggalkan stasiun, tapi meninggalkan rumah seorang manusia, yang hidup dan mengisi hidupnya.

Tolong, Sialan, Analisis

Apa yang dilakukan orang waktu dalam kesulitan? Tentu saja minta tolong. Kan kita bermasyarakat. Ada beberapa cara untuk minta tolong. Yang paling mudah, tentu, dengan bilang “tolong”. Tapi ada cara lain, misalnya dengan kata “sialan!” — yang kadang cukup efektif.

Ada kata lain yang juga sering dipakai, ialah kata “analisis”. Itu yang jadi terpikir waktu baca tulisan berjudul analisis mendalam tentang agama, tuhan, dan negara. Judulnya pakai analisis mendalam nih — jadi terharu. Isinya tentang something-something yang berujung pada pendapat penulis bahwa religiositas tertentu akan lebih hakiki daripada agama-agama formal. Jadi lebih terharu juga nih dengan model penghakikian pendapat sendiri seperti itu.

Sekilas tulisan itu berkesan menyerang orang-orang yang menggunakan kaidah-kaidah agama formal dalam kehidupan bermasyarakat. Kesannya terluka sekali hati penulis itu dengan perilaku masyarakat beragama di Indonesia.

Sebenernya tak penting benar membahan mengapa orang memilih kata “analisis” atau bahkan “sialan” dan bukan kata “tolong”, waktu mereka sedang terluka. Yang penting adalah: bagaimana agar kita peka bahwa orang yang berteriak di sana itu sebenernya sedang dalam kesusahan dan perlu bantuan. Sayangnya, umumnya kita malah ikutan menambah luka dengan menyerang balik secara frontal. Reaksi yang konon wajar, soalnya barangkali kita juga bisa luka.

Tapi orang beragama seharusnya lebih tahan pada luka, karena hidupnya diabdikan untuk sesuatu yang lebih dari kefanaan perasaan. Dalam kelukaan pun, kita seharusnya menyembuhkan luka, bukannya ikut menjerit. Agama juga mendidik untuk bertindak arif, bukan mengikuti reaksi sekejap yang seringkali bersifat transien. Kearifan ditunjukkan dengan mencoba memahami apa yang disampaikan orang lain, apa yang sebenarnya benar-benar ingin disampaikan di baliknya, apa sebabnya, dan akhirnya … langkah strategis apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah secara tepat, dan bukan sepotong-sepotong.

Justru karena tradisi seperti inilah agama-agama formal bisa bertahan jauh lebih kuat daripada ideologi manusia yang umumnya berusia seumur jagung saja.

Mendidik

Konon, ilmu memang menggelincirkan orang jadi terasing dengan lingkungannya. Semacam Zarathustra yang jadi mengasingkan diri ke puncak gunung, lalu akhirnya mau turun kembali untuk mendidik masyarakat. Untuk mendidik masyarakat? Selalukah ilmu mendorong orang jadi lebih tinggi hati? Kapankah masyarakat bisa dibentuk dengan pendidikan yang semacam itu?

Barangkali memang ada yang akan mendengarkan para penceramah masyarakat. Tapi orang-orang itu juga akan mendengarkan dan mempercayai apa saja yang sekilas masuk akal mereka, pun termasuk segala ulasan politik, interpretasi agama, dan bahkan tipuan arisan berantai. Sama-sama terdengar masuk akal, sekilas, dan sama-sama bohong. Para pengikut kiai atau ketua partai, dan pemuda yang berteriak di jalan-jalan, dan orang-orang yang sibuk jual beli saham dengan uang haramnya, dan pegawai penganggur yang ikut arisan berantai, barangkali semuanya mengikuti alur paradigma yang sama. Mendengarkan dan mempercayai. Apa masyarakat semacam ini yang mau dibentuk?

Kalau Allâh berkehendak, semua orang akan hidup di jalan yang lurus. Tapi memang hidup fana ini tidak dibuat untuk sekedar hal-hal lurus semacam itu. Kasih sayang tidak dibentuk dengan indoktrinasi, pun dengan jalan yang halus. Kasih sayang adalah sesuatu yang dialirkan dari hati ke hati, satu demi satu. Bukan oleh kiai sejuta umat, tetapi dari guru seorang murid, dari suami ke istri, dari orang tua ke anak, dari sahabat ke sahabat, dari kawan ke kawan, melalui interaksi yang terus menerus dalam kegiatan hidup yang mengalir setiap hari, yang kemudian kita sederhanakan dengan kata masyarakat.

Masyarakat tidak bisa dibentuk. Kita membentuk diri sendiri. Turun, terjun, pegang tanah, kotori pakaian, bekerja dengan ikhlas, dan saling menyayangi dengan orang-orang yang bisa kita sentuh, bisa kita sayangi. Masyarakat berubah dengan cara itu. Bukan dengan cara Zarathustra yang berteriak di tengah pasar “Tuhan sudah mati”, tetapi dengan berbisik ke seorang kawan “ceritakanlah padaku tentang yang maha penyayang”, atau setidaknya dalam bentuk lain “apa khabar?”

Lalu saling mendengarkan, bukan dengan maksud agar orang-orang senang karena didengarkan, tetapi dengan maksud menerima dan memperbaiki diri sendiri. Semakin tinggi ilmu, semakin haus orang akan ilmu, sehingga ia terus mencarinya ke relung hati yang mana pun. Kemudian ketinggian ilmu akan tampak hanya dengan kerendahan hati. Selalu rendah hati. Barangkali orang yang berilmu justru akhirnya tidak pernah mengklaim kebenaran. Sekedar bekerja dengan ikhlas untuk masyarakat, sambil berdoa, bersyukur, dan mohon ampun setiap saat kepada Tuhannya.

Submit Thesis

Submit thesis ke kampus. Pikiran masih ketinggalan entah di ketinggian berapa, belum membumi.

Kota Coventry sendiri memaksakan diri untuk ceria. Udara berkabut tipis, dan suhu di bawah 10ºC. Tapi orang bertaburan di daerah pejalan kaki, orang-orang tua antri panjang di kasir Marks & Spencer buat menemaniku  yang lagi cari bekal sahur, pedagang kaki lima menjual barang-barang imut sambil berteriak-teriak (mirip di buku Herriot), anak-anak sekolah bercakap riuh di perhentian bis, kayak belum rela melepas kenangan kehangatan musim panas. Tapi waktu tak mau dilawan. Gelap cepat sekali datang.

Di bis no 81 (yang cuma ada di siang hari), aku berbuka dengan sebungkus cokelat Skot (memang, buat jaga-jaga, selalu ada cokelat di tas). Di daerah Tile Hill ada yang asing. Aku baru sekali ini lihat rumah-rumah di sana dengan lampu menyala. Jam masih menunjukkan 16.50, tapi langit gelap mirip tengah malam di musim panas.

Di Faraday 125, pertahanan berakhir.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑