Category: Life (Page 17 of 30)

Kemas-Kemas

Sebenernya kurang kerjaan kali. Acara tulis menulis pun akhirnya membosankan juga. Notebook lebih banyak berfungsi jadi CD player, menemani acara baca-baca bacaan ringan. Yang terakhir: Effective C++ dari Scott Meyers (recommended). Plus sambil melayani dering telepon dan ketukan pintu yang nyaris 24 jam.

Sore tadi ngenganggu Alan si Mr Postman lagi, dan berhasil pulang dengan kardus Fedex yang bagus bener. Jadi ada kerjaan baru mulai malam ini. Mengemasi buku-buku buat dikirim pulang.

Sabtu kemaren, masih ketemu Harry dan Dani di Birmingham. Besok udah Sabtu lagi, ke Birmingham lagi ketemu Fajar. Dan dua Sabtu berikutnya, udah di Birmingham Airport, terbang pulang !

Harry & Dani

Sepanjang jalan menuju New Street, berderet stasiun-stasiun kecil, tapi nggak ada yang mirip Tile Hill. Semuanya memiliki wajah yang berbeda-beda, keunikan yang berbeda-beda.

“Birmingham New Street, This is Birmingham New Street”. Di New Street, ribuan orang bergerak, mirip gerak Brown. Segala warna manusia, berbagai bahasa, berjuta ekspresi, bergerak acak. Baru sehari sebelumnya aku di sini juga, tapi kayaknya ekspresi orang-orang itu sudah beda-beda pula.

Seseorang memegang pundakku. Senyum ramah, sambil terus bicara di handphone, terus menarik aku ke mobil. Pertama kali ketemu Mas Dani, boss PPI Birmingham, anak muda yang selalu sibuk (soalnya belum berani nyuruh-nyuruh anak buahnya –haha).

Di atas mobil baru dia menyapa, sambil melarikan mobil ke Aston. Lucu
sekaligus dinamik sekali.

Di Aston, ketemu lagi dengan Mas Harry, si da’i merangkap hacker dan junker. Trus mobil dipacu lagi ke University of Birmingham, buat ikut acara buka puasa bersama PPI Birmingham.

Argh, ini baru buka puasa yang hangat. Congrats deh buat anak-anak muda di Birmingham. Eh, ada Fajar juga. Di luar langit bersih, bulan purnama tampak terang sekali, dikelilingi halo yang melingkar nyaris sempurna. Udara membekukan badan. Brrrrrrrrr.

Tile Hill

Perjalanan kemarin diawali dari Tile Hill, stasiun kecil mungil dan sepi. Bis 81E berhenti di stasiun waktu kereta berangkat, jadi aku harus nunggu setengah jam lagi. Pintu stasiun otomatis terbuka, dan si penjaga loket yang berkumis tebal menatap. Aku jadi masuk, tapi bukan ke loket, malah lihat-lihat suasana. Si penjaga loket meninggalkan loket, terus mengambil sapu, dan mulai menyapu stasiun, dan memunguti sampah.

Aku ke luar, ditemani dua anak sekolah yang belajar merokok dengan tanggung. Sambil terus menyapu, si penjaga loket meminta anak-anak itu menunjukkan tiket. Mereka menolak menunjukkan. Trus si penjaga mengancam memanggil polisi dalam 5 menit. Sambil memaki-maki, kedua anak itu pergi.

Beberapa orang berlalu di sekeliling stasiun, dan kedua pintu masuk bergeser membuka menutup tanpa henti. Sepasang anak kecil jadi mempermainkan si pintu, dengan melompat sepanjang garis batas, dan membuat pintu membuka menutup tanpa henti. Kereta berlalu, dan seluruh calon penumpang
di seberang rel menghilang ke atas kereta.

Ini Tile Hill. Di luar, pohon berdaun cokelat seluruhnya, dikelilingi pohon-pohon lain yang sudah tak berdaun. Aku duduk sendiri di luar. Gerimis mulai datang.

Kereta-kereta cepat antar kota berlalu, melintasi stasiun tanpa permisi, mendorong angin dingin menembus jaket. Aku masuk lagi. Sebuah pigura menampilkan sekelompok pegawai stasiun membawa pigura berisi penghargaan.

Si penjaga loket berkumis nampak paling riang di foto itu. Beberapa gambar kereta yang didesain dengan CAD menghias dinding, dengan nama perancangnya, dan ucapan terima kasih di bawahnya. Hiasan natal di ujung ruangan bukan berhias rusa, tapi bebek berkepala hijau.

Aku jadi tahu kenapa aku harus nunggu setengah jam di sini.

Tapi setengah jam akhirnya berlalu juga. Kereta Centro ke arah Birmingham tiba tepat waktu. Waktu naik kereta, rasanya aku bukan meninggalkan stasiun, tapi meninggalkan rumah seorang manusia, yang hidup dan mengisi hidupnya.

Tolong, Sialan, Analisis

Apa yang dilakukan orang waktu dalam kesulitan? Tentu saja minta tolong. Kan kita bermasyarakat. Ada beberapa cara untuk minta tolong. Yang paling mudah, tentu, dengan bilang “tolong”. Tapi ada cara lain, misalnya dengan kata “sialan!” — yang kadang cukup efektif.

Ada kata lain yang juga sering dipakai, ialah kata “analisis”. Itu yang jadi terpikir waktu baca tulisan berjudul analisis mendalam tentang agama, tuhan, dan negara. Judulnya pakai analisis mendalam nih — jadi terharu. Isinya tentang something-something yang berujung pada pendapat penulis bahwa religiositas tertentu akan lebih hakiki daripada agama-agama formal. Jadi lebih terharu juga nih dengan model penghakikian pendapat sendiri seperti itu.

Sekilas tulisan itu berkesan menyerang orang-orang yang menggunakan kaidah-kaidah agama formal dalam kehidupan bermasyarakat. Kesannya terluka sekali hati penulis itu dengan perilaku masyarakat beragama di Indonesia.

Sebenernya tak penting benar membahan mengapa orang memilih kata “analisis” atau bahkan “sialan” dan bukan kata “tolong”, waktu mereka sedang terluka. Yang penting adalah: bagaimana agar kita peka bahwa orang yang berteriak di sana itu sebenernya sedang dalam kesusahan dan perlu bantuan. Sayangnya, umumnya kita malah ikutan menambah luka dengan menyerang balik secara frontal. Reaksi yang konon wajar, soalnya barangkali kita juga bisa luka.

Tapi orang beragama seharusnya lebih tahan pada luka, karena hidupnya diabdikan untuk sesuatu yang lebih dari kefanaan perasaan. Dalam kelukaan pun, kita seharusnya menyembuhkan luka, bukannya ikut menjerit. Agama juga mendidik untuk bertindak arif, bukan mengikuti reaksi sekejap yang seringkali bersifat transien. Kearifan ditunjukkan dengan mencoba memahami apa yang disampaikan orang lain, apa yang sebenarnya benar-benar ingin disampaikan di baliknya, apa sebabnya, dan akhirnya … langkah strategis apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah secara tepat, dan bukan sepotong-sepotong.

Justru karena tradisi seperti inilah agama-agama formal bisa bertahan jauh lebih kuat daripada ideologi manusia yang umumnya berusia seumur jagung saja.

Mendidik

Konon, ilmu memang menggelincirkan orang jadi terasing dengan lingkungannya. Semacam Zarathustra yang jadi mengasingkan diri ke puncak gunung, lalu akhirnya mau turun kembali untuk mendidik masyarakat. Untuk mendidik masyarakat? Selalukah ilmu mendorong orang jadi lebih tinggi hati? Kapankah masyarakat bisa dibentuk dengan pendidikan yang semacam itu?

Barangkali memang ada yang akan mendengarkan para penceramah masyarakat. Tapi orang-orang itu juga akan mendengarkan dan mempercayai apa saja yang sekilas masuk akal mereka, pun termasuk segala ulasan politik, interpretasi agama, dan bahkan tipuan arisan berantai. Sama-sama terdengar masuk akal, sekilas, dan sama-sama bohong. Para pengikut kiai atau ketua partai, dan pemuda yang berteriak di jalan-jalan, dan orang-orang yang sibuk jual beli saham dengan uang haramnya, dan pegawai penganggur yang ikut arisan berantai, barangkali semuanya mengikuti alur paradigma yang sama. Mendengarkan dan mempercayai. Apa masyarakat semacam ini yang mau dibentuk?

Kalau Allâh berkehendak, semua orang akan hidup di jalan yang lurus. Tapi memang hidup fana ini tidak dibuat untuk sekedar hal-hal lurus semacam itu. Kasih sayang tidak dibentuk dengan indoktrinasi, pun dengan jalan yang halus. Kasih sayang adalah sesuatu yang dialirkan dari hati ke hati, satu demi satu. Bukan oleh kiai sejuta umat, tetapi dari guru seorang murid, dari suami ke istri, dari orang tua ke anak, dari sahabat ke sahabat, dari kawan ke kawan, melalui interaksi yang terus menerus dalam kegiatan hidup yang mengalir setiap hari, yang kemudian kita sederhanakan dengan kata masyarakat.

Masyarakat tidak bisa dibentuk. Kita membentuk diri sendiri. Turun, terjun, pegang tanah, kotori pakaian, bekerja dengan ikhlas, dan saling menyayangi dengan orang-orang yang bisa kita sentuh, bisa kita sayangi. Masyarakat berubah dengan cara itu. Bukan dengan cara Zarathustra yang berteriak di tengah pasar “Tuhan sudah mati”, tetapi dengan berbisik ke seorang kawan “ceritakanlah padaku tentang yang maha penyayang”, atau setidaknya dalam bentuk lain “apa khabar?”

Lalu saling mendengarkan, bukan dengan maksud agar orang-orang senang karena didengarkan, tetapi dengan maksud menerima dan memperbaiki diri sendiri. Semakin tinggi ilmu, semakin haus orang akan ilmu, sehingga ia terus mencarinya ke relung hati yang mana pun. Kemudian ketinggian ilmu akan tampak hanya dengan kerendahan hati. Selalu rendah hati. Barangkali orang yang berilmu justru akhirnya tidak pernah mengklaim kebenaran. Sekedar bekerja dengan ikhlas untuk masyarakat, sambil berdoa, bersyukur, dan mohon ampun setiap saat kepada Tuhannya.

Submit Thesis

Submit thesis ke kampus. Pikiran masih ketinggalan entah di ketinggian berapa, belum membumi.

Kota Coventry sendiri memaksakan diri untuk ceria. Udara berkabut tipis, dan suhu di bawah 10ºC. Tapi orang bertaburan di daerah pejalan kaki, orang-orang tua antri panjang di kasir Marks & Spencer buat menemaniku  yang lagi cari bekal sahur, pedagang kaki lima menjual barang-barang imut sambil berteriak-teriak (mirip di buku Herriot), anak-anak sekolah bercakap riuh di perhentian bis, kayak belum rela melepas kenangan kehangatan musim panas. Tapi waktu tak mau dilawan. Gelap cepat sekali datang.

Di bis no 81 (yang cuma ada di siang hari), aku berbuka dengan sebungkus cokelat Skot (memang, buat jaga-jaga, selalu ada cokelat di tas). Di daerah Tile Hill ada yang asing. Aku baru sekali ini lihat rumah-rumah di sana dengan lampu menyala. Jam masih menunjukkan 16.50, tapi langit gelap mirip tengah malam di musim panas.

Di Faraday 125, pertahanan berakhir.

Mr Trouble

Tumben si koki ketawa aja ngeliat aku. Ada apa sih? Dia nggak bilang. Cuman terus mencetus sepatah kata, “Trouble.” Hey! Satu lagi?

Kisah ini harus berawal dari si Alan — pelan-pelan saja bacanya, jangan buru-buru. Si Alan ini driver yang dialek Inggrisnya bikin belajar di British Council terasa sia-sia. Waktu bulan-bulan awal, aku nggak pernah bisa paham ucapan dia, jadi aku pelesetin semua obrolannya dia. Waktu akhirnya dia tak bisa menahan diri lagi, dia akhirnya mengancam, “Someday, you’ll get a trouble.” Dan aku dengan muka dibikin tercengang cuma membalas, “How come? I’m the trouble!” Terus kita ketawa bareng-bareng.

Aku memang ditakdirkan untuk tidak bisa formal dan tidak pernah tahan menahan diri dari sifat usil. Latihan tinju sama security. Melanggar jam malam. Minta kunci perpustakaan jam 5 pagi. Pasang orkestra tengah malam. Pasti security diam-diam suka rasan-rasan juga. Tak lama lama mereka ikut panggil aku “trouble”. Termasuk salah satu security yang tek pernah tampak bisa becanda.

Aku lebih heran lagi waktu Mr Burns, kepala rumah tangga college ini, ikutan senyum-senyum liat aku lagi makan. Waduh, reputasi aku menyebar cepat sekali. Ntar bisa kalah ngetop nih Mr Bean. Dan waktu koki jadi ikutan pakai nama aneh itu, aku jadi percaya ada konspirasi.

Ada sih yang sampai kini belum pernah ikut menyebut nama ajaib itu. Namanya Jim, security dari Skotlandia. Jim itu periang, suka aja ngobrol di perpustakaan sampai nyaris tengah malam. Dan menghabiskan waktu untuk melafalkan nama aku dengan benar. Kalaupun pernah ngasih julukan, dia ngasih sebutan “the most cheerful”, bukan “trouble” :).

Tapi waktu cuaca makin dingin, Jim juga mulai kehilangan keriangan. Ada apa sih?
“How’s you project?” dia balik nanya.
Yeah — bagaimanapun ada waktunya untuk berhenti.
“And you’ll go home soon,” katanya sedih.

Duh, selain bikin kacau, ternyata aku bisa bikin sedih juga.

Midlands FCO4+ Conference Day

Satu per satu delegasi FCO4/Chev-2001 mendatangi dapur Claycroft 1 Flat 1 di Warwick University, kediaman Surya Tjandra dan Wina. Plus dua dari FCO2. Edwin dan Bibip dari Warwick. Koen dan Kamto dari Coventry. Ari dari Canterbury. Bahan perbincangan utama meliputi lamb soup, bayam rebus, ayam panggang, bakwan jagung, dan benda-benda serius lainnya. Plus hal-hal kecil semacam dekonstruksi Derrida, proliferasi nuklir, dan ah lupa … semuanya kalah asik sama hal-hal serius tadi sih. Udah agak lama nggak ‘berbincang ‘ se-‘serius’ itu :). Cable&Wireless nggak pernah menyajikan diskusi yang bermutu. Nasinya aja selalu kering, beda sama nasi segar yang dipaparkan oleh Wina. Fajar dari Birmingham University datang terlambat, tetapi membawakan argumentasinya dengan cukup berhasil: cokelat buat dessert.

Pepatah lama mengatakan bahwa satu-satunya yang lebih baik dari seorang sahabat terbaik adalah sahabat terbaik yang membawa cokelat.

Tapi seminar yang meriah ini berlangsung singkat. Abis itu kita harus antar Ari ke Pool Meadow (seminar berikut di Leeds), dan antar Fajar meninjau museum transportasi di Coventry. Tapi hari ini terlalu cepat gelap, dan kelelahan tiba-tiba menggigit.

Walküre (obat tidur manjur) mengisi kamar yang digelapkan. Dua jam secara efektif memulihkan badan. Mandi, shalat gabungan Maghrib-Isya, dan duduk dengan segar tapi masih agak lelah di depan komputer. Dan baru sadar bahwa aku udah kangen sekali suasana Indonesia. Tod und Verklärung mengisi ruang, diiringi raungan mesin pesawat terbang di luar jendela.

Lohengrin Act 1

Pasang Act 1 dari Lohengrin, pas bener dengan garis-garis awan hitam di luar jendela, dan deretan awan putih perak gemerlapan di ujung langit, dengan angin yang mulai kencang bertiup merontokkan daun-daun kuning kecoklatan.

Satu daun jatuh, satu hari berlalu, satu hari makin dekat dengan tanah air. Memang sih, secara teori nggak ada bedanya melakukan sesuatu di sini atau di tanah air. Cuman rasanya beda aja berbuat sesuatu untuk tanah air dengan berbuat sesuatu untuk … entah untuk apa.

Tambahan: Kenapa ya Act 3 nggak kompatibel sama Act 1. Kalau pembukaan Act 1 terasa pas, pasti pembukaan Act 3 terasa kampungan sekali.

Tali Ban

Lama juga nggak nulis tentang Afghanistan. Di milis, terakhir aku ngebahas tulisan seorang dokter dari Jepang tentang pemerintahan Taliban. Lucu juga, kesannya aku jadi pro Taliban. Padahal belum. Mereka menganut asas tunggal sih.

Pro rakyat Afghanistan sih selalu; anti politisi Amerika emang udah dari dulu; tapi pro Taliban juga belum. Justru abis peledakan WTC (yang konon perbuatan CIA sendiri), dan Taliban terus-terusan difitnah, lama-lama aku jadi mulai bersimpati sama Taliban.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑