Category: Life (Page 14 of 30)

A Dilbertian World

Yang ini (a) kisah nyata atau (b) kisah Dilbert:

  1. Seorang insinyur dibatalkan promosinya. Waktu ia menanyakan alasannya, bossnya menjawab, “Anda bukan team player.” Lalu si boss menunjuk ke foto perusahaan sambil berkata, “Dalam foto itu Anda tidak tersenyum.”
  2. Seorang boss dan bawahannya bepergian dengan pesawat. Di sebuah lapangan terbang, si bawahan pergi ke telepon umum untuk memeriksa voice mail. Dengan takjub, si boss bertanya, “Jadi voice mail itu bisa didengarkan dari jalan?”
  3. Seorang konsultan menghadapi pendengar dari kalangan manajer dan pekerja. Ia berkata, “Sebuah proses kerja yang baik akan dapat mengatasi ketidakmampuan individual di lingkungan kerja.” Lalu ia meneruskan, “Tapi mula-mula, mari bersenang-senang dulu.”

Jawaban: 1a2a3b. Memang kisah Dilbert terlalu sulit dipisahkan dari kisah nyata.

Charles de Gaulle

Barangkali lucu kalau kita juga cerita tentang seorang politisi Perancis. Jendral Charles de Gaulle, perwira Perancis yang nggak jago-jago amat, mengekor tentara sekutu membebaskan Perancis, dan memimpin pasukan yang membebaskan Paris, trus jadi presiden.

Konon dia bukan presiden yang cakap. Tapi dia berkilah, “Tidak mudah memimpin negara yang memiliki 246 macam keju.” Dan waktu disemprot bahwa ia adalah prajurit yang baik tapi politisi yang buruk, ia mengakui bahwa ia bukan politisi. “Politik itu terlalu serius untuk diserahkan kepada para politisi,” katanya. Perancis masuk blok barat, tapi keluar dari NATO. Dia bilang, “Pakta-pakta itu mirip gadis-gadis dan bunga mawar — yang berlalu begitu saja.”

Dengan gaya semacam itu, Perancis jadi surga kaum sosialis, dan bahkan kaum anarkis kelas dunia. Manusia semacam Pol Pot juga “lahir” dari sana, belajar dari guru-guru anarkis macam Sartre.

Namun, waktu diminta menangkap Sartre, si bekas jendral cuma bilang, “Kita tidak mau memasukkan Voltaire ke Bastille.”

Mon Secret

Voici mon secret. Il est très simple: on ne voit bien qu’avec le coeur. L’essentiel est invisible pour les yeux.


Ini rahasiaku. Sederhana saja. Kita melihat lebih baik dengan hati. Hal-hal yang penting tak dapat terlihat oleh mata.

Le Petit Prince #xxi

Dilbert Terus

Trus kenapa Dilbert terus mewarnai catatan ini ?

Lucu sih :).

Bukan cuman itu. Dengan Dilbert, aku mau memaksa untuk mengakui bahwa ruang hidup kita itu brengsek. Brengsek. Bos brengsek, rekan brengsek, departemen brengsek, perusahaan brengsek, negara brengsek. Kemana pun kita lari, kita tidak bisa menghindar. Dan ada baiknya kita menerima semuanya dengan senyum riang.

Jangan pernah menyalahkan diri sendiri. Lakukan saja apa yang terbaik di dunia yang macam gini. Dengan senyum riang. Dan trus kita bisa melihat bahwa dunia itu indah.

Kaum sufi bilang, cobaan Allah adalah tanda perhatian Allah. Makin besar cobaan pada kita, artinya makin besar kita sedang diperhatikan Allah. Dalam kondisi seperti itu, cobaan dan anugerah tidak ada lagi bedanya — yang penting adalah perhatian itu :).

Lebak

Dua belas jam dilewatkan di jalan panjang pulang pergi ke Lebak.
Dimulai waktu gerimis Bandung membelai muka yang menggigil jam 2 pagi.
Melesat menembus kabut tebal Sindanglaya menjelang fajar.
Menjumpai cerah matahari di atas kerasnya tol Jagorawi.
Menembus jalan dikelilingi padang rumput ke arah Serang.
Menatap penduduk Banten yang mulai mengisi hari di Pandeglang.
Dan kembali menemui keramahan orang-orang Rangkasbitung.
Selebihnya adalah kerja lagi.
Dan menyusuri jalan yang sama lagi balik ke Bandung.
Deras hujan jadi gerbang kota Bandung.
Masih juga gelap dan dingin, seperti tak tersentuh cahaya selamanya.
Aku belum tidur.

Pleumeur-Bodou

Pleumeur-Bodou katanya terpilih dalam proyek Telstar akibat letaknya yang dekat pantai Atlantik dan lingkungannya yang tenang, mendukung kejernihan transmisi yang waktu itu sangat peka gangguan.

Sberapa tahun lalu aku sama beberapa cs berkelana di sekitar pantai Armorik sekitaran kampungnya Asterix, buat mencapai Pleumeur-Bodou. Sopirnya gantian, dan kayak biasa aku jadi navigator. Jalanan dikelilingi tebing berwarna coklat cantik. Dan bahkan sampai titik terdekat, kosmopolis bulat raksasa itu nggak pernah kelihatan. Baru di atas jam 1700 kubah raksasa itu tampak. Kayak bulan purnama yang terbit terlalu dekat. Planetariumnya tutup di musim itu. Tapi museumnya bisa dilihat.

Meneruskan pengelanaan jalan kaki, ternyata kampungnya Asterix juga hanya beberapa puluh meter dari situ, ditata sesuai aslinya, dengan atap jerami. Nggak ada patung Asterix, soalnya ini bukan taman ria. Sayangnya nggak ada menhir Obelix juga. Konon dibawa ke Roma semua buat menghancurkan mata uang Romawi dan bikin Caesar jadi senewen.

Faust dan Stagnansi

Faust. Di versi awal, yang aku tulis berulang-ulang dari tahun 1997, Faust melambangkan orang yang tidak menemui jalan lain selain stagnansi, kejumudan. Dan buat Faust, stagnansi adalah dosa manusia terbesar. Maka ia mengambil satu-satunya jalan yang mungkin diambilnya untuk keluar dari stagnansi, yaitu berkelana dengan Mephistopeles. Potensi dosa yang niscaya akan terjadi kalau seseorang berjalan dengan sang setan, buat Faust, adalah resiko yang mungkin terjadi, dan tetap lebih baik daripada dosa akibat menerima stagnansi.

Tapi yang kemudian berhenti aku tulis adalah saat manusia lepas dari stagnansi. Segalanya berkembang sesuai fitrah kemanusiaannya. Atau setidaknya begitulah tampaknya. Pada saat itu, sadarkah Faust bahwa ia masih berjalan bersama Mephisto?

Di awal langkah kita, memang barangkali tidak ada faktor Mephisto. Atau kita kira demikian, soalnya Mephisto tidak menemui kita seperti dia menemui Faust. Dia barangkali muncul bukan sebagai persona, tetapi sebagai idea. Tapi seharusnya, kita tetap menghindari kesalahan yang sama dengan Faust, yang asyik dengan dengan kemanusiaannya yang indah dan mulai lupa menilai kembali titik awal yang dia ambil.

Al Khalil

Kota Al Khalil a.k.a. Hebron di Palestina dikepung dan terus dibomi tentara penjajah. Terus-menerus bencana dipuja-puja manusia. Hebron, kota tempat tinggal si Khaldoun.

Seorang politisi (errr) dengan sinis berujar bahwa orang Indonesia terlalu emosional soal Palestina, seolah-olah Palestina itu negara kita sendiri.

Dia benar. Palestina memang bangsa kita, negara kita. Setiap bangsa, di mana kemanusiaan masih dihinakan, dan ketamakan bertopeng masih berkuasa, adalah bangsa kita, tempat kita meletakkan hati kita.

Kita — adalah bangsa Palestina.

78091461

Cerita di tahun 1995, diawali dengan sebuah notebook.

“Notebooknya bagus bener, Pak,” kata aku yang lagi bosan di workshop.

“Bagus donk,” kata yang punya.

“Boleh donk kita tukeran.”

Dia melirik sekilas. “Jangan kata notebook. Kamu mau mobil juga saya kasih.”

“Hehe. Saya nggak perlu mobil kok.”

“Saya serius lho. Saya tahu kamu kok. Kamu namanya Kuncoro kan?”

“Kok?”

“Iya. Dulu kan saya di bagian rekruitasi. Saya yang memasukkan kamu di Telkom.”

“Kok? Kok Bapak masih ingat?”

“Ha-ha. Saya sih selalu ingat. Gini, saya perlu orang dengan performansi
bagus buat ngisi IT di Divre I. Kalau kamu mau pindah ke Medan, kamu
langsung dapat jabatan sama mobil dinas sama training di Perancis”

“….”

“Kamu tunggu ya … Saya bilang Adek dulu.”

 

Trus Mr Mysterious bener-bener chat dengan Pak Adek. Aku balik ke mejaku,
trus mau nanya ke boss, itu siapa sih. Tapi si boss udah nanya duluan:

“Diajak ngobrol apa sama Pak Agus?”

“Pak Agus itu siapa Pak?”

“Itu Pak Agus Utoyo, Kadivre I di Medan. Masa nggak kenal?”

Well, denger-denger Pak Adek (Kadivre III waktu itu) menolak aku pindah
tapinya. Kalau Pak Adek setuju, beda deh jalan ceritanya :).

Udah lama sih cerita itu terlupakan. Tapi sore ini ada secarik SMS masuk. Dari Dina. “Udah tau susunan direksi baru kan? …. DirSDM: Agus Utoyo.” Dan jadi inget aja.

Wigner dan π

Eugene Paul Wigner Quotes - 15 Science Quotes - Dictionary of Science  Quotations and Scientist Quotes

Matematikawan Eugene Wigner berkisah tentang dua sahabat yang bertemu
sekian lama setelah lulus sekolah. Salah satu jadi ahli statistik.

“Trus apa yang kamu kerjakan saat ini?” tanya temannya.

“Menganalisis data kependudukan,” jawab temannya.

Lalu ia menunjukkan hasil analisisnya. Khas lah, pakai distribusi Gauss
segala. Si temannya penasaran, pingin tahu itu serius atau candaan. Jadi
dia mencoba bertanya.

“Satu-satu donk. Pertama, itu tanda apaan?” katanya sambil menunjuk lambang π.

“Itu pi,” kata si statistikawan.

“Apa itu pi?,” tanya kawannya.

“Pi itu … pi itu perbandingan keliling lingkaran terhadap garis tengahnya.”

“Kamu memang keterlaluan becandanya. Mana mungkin pola kependudukan ada
hubungannya dengan keliling lingkaran,” kata temannya.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑