Category: Life (Page 14 of 29)

Faust dan Stagnansi

Faust. Di versi awal, yang aku tulis berulang-ulang dari tahun 1997, Faust melambangkan orang yang tidak menemui jalan lain selain stagnansi, kejumudan. Dan buat Faust, stagnansi adalah dosa manusia terbesar. Maka ia mengambil satu-satunya jalan yang mungkin diambilnya untuk keluar dari stagnansi, yaitu berkelana dengan Mephistopeles. Potensi dosa yang niscaya akan terjadi kalau seseorang berjalan dengan sang setan, buat Faust, adalah resiko yang mungkin terjadi, dan tetap lebih baik daripada dosa akibat menerima stagnansi.

Tapi yang kemudian berhenti aku tulis adalah saat manusia lepas dari stagnansi. Segalanya berkembang sesuai fitrah kemanusiaannya. Atau setidaknya begitulah tampaknya. Pada saat itu, sadarkah Faust bahwa ia masih berjalan bersama Mephisto?

Di awal langkah kita, memang barangkali tidak ada faktor Mephisto. Atau kita kira demikian, soalnya Mephisto tidak menemui kita seperti dia menemui Faust. Dia barangkali muncul bukan sebagai persona, tetapi sebagai idea. Tapi seharusnya, kita tetap menghindari kesalahan yang sama dengan Faust, yang asyik dengan dengan kemanusiaannya yang indah dan mulai lupa menilai kembali titik awal yang dia ambil.

Al Khalil

Kota Al Khalil a.k.a. Hebron di Palestina dikepung dan terus dibomi tentara penjajah. Terus-menerus bencana dipuja-puja manusia. Hebron, kota tempat tinggal si Khaldoun.

Seorang politisi (errr) dengan sinis berujar bahwa orang Indonesia terlalu emosional soal Palestina, seolah-olah Palestina itu negara kita sendiri.

Dia benar. Palestina memang bangsa kita, negara kita. Setiap bangsa, di mana kemanusiaan masih dihinakan, dan ketamakan bertopeng masih berkuasa, adalah bangsa kita, tempat kita meletakkan hati kita.

Kita — adalah bangsa Palestina.

Wigner dan π

Eugene Paul Wigner Quotes - 15 Science Quotes - Dictionary of Science  Quotations and Scientist Quotes

Matematikawan Eugene Wigner berkisah tentang dua sahabat yang bertemu
sekian lama setelah lulus sekolah. Salah satu jadi ahli statistik.

“Trus apa yang kamu kerjakan saat ini?” tanya temannya.

“Menganalisis data kependudukan,” jawab temannya.

Lalu ia menunjukkan hasil analisisnya. Khas lah, pakai distribusi Gauss
segala. Si temannya penasaran, pingin tahu itu serius atau candaan. Jadi
dia mencoba bertanya.

“Satu-satu donk. Pertama, itu tanda apaan?” katanya sambil menunjuk lambang π.

“Itu pi,” kata si statistikawan.

“Apa itu pi?,” tanya kawannya.

“Pi itu … pi itu perbandingan keliling lingkaran terhadap garis tengahnya.”

“Kamu memang keterlaluan becandanya. Mana mungkin pola kependudukan ada
hubungannya dengan keliling lingkaran,” kata temannya.

Serang

Serang!

Biar namanya rada provokatif gitu, kota ini berkesan tenang.

Ada beda yang nyata antara kota Serang dengan Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Cianjur, dan kota-kota crowded di Jawa Barat, terutama Bandung. Sekilas, malah mirip kota-kota di Jawa Timur, dengan jalan utama yang lebar dan tenang, dan jalan kecil yang konsisten dengan kebersihannya. Kalau kita cari soto kudus bertiga, plus minum, dan boleh bayar kurang dari 20 ribu rups, kita lebih yakin bahwa memang kita bukan di provinsi Jawa Barat.

Wajar kalau akhirnya bener-bener orang Banten minta berpisah dengan Jawa Barat.

Faust by Chirikov

Faust, by Chirikov. Hah, orang Russia nulis tentang Faust? Hmm, apa sih yang nggak ditulis orang Russia :) :).

Ivan Mikhailovich yang hidup dengan kerutinan tak terpemanai, serta biasa acuh pada keluarganya; dan istrinya, Xenia Pavlovna, yang mulai terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya. Xenia ingin sesekali ke teater, tapi Ivan selalu mengingatkan bahwa 9 tahun sebelumnya mereka sudah pernah ke teater. Tapi waktu Faust dimainkan di kota itu, Ivan membeli dua tiket, dengan jengkel.

Kejengkelan juga mewarnai perjalanan mereka ke teater. Bahkan sampai jeda pertama, keduanya saling tidak puas atas kehadiran pasangannya ;). Bagian berikutnnya membuat mereka merasa terjebak dalam hidup. Tapi siapa yang menjebak. Barangkali seperti Faust juga yang terjebak dalam impian yang menjauh dari realita tapi ke arah kesuraman. Bentuk impian yang salah, sungguh aneh.

Tapi selalu bisa diperbaiki.

Di akhir pertunjukan mereka minum orange juice, tanpa rasa permusuhan lagi. Dan dengan kebanggaan yang terus berkembang pada pasangannya.

Dan begitulah, mereka jadi saling menyayangi lagi. Dan hidup mereka berubah sama sekali.

Diin Progresif

Toh sejak paruh akhir abad 20, para psikolog sudah memandang sifat dasar
manusia yang positif, progresif, dan sosial. Manusia punya kecenderungan dasar untuk mencari kebenaran, untuk menegakkan visi, untuk terus berkembang.

Dan sebenarnya: untuk merengkuh Rabbnya dan Ilahnya. Untuk hidup sesuai dengan diin-nya.

Tiap individu dibekali dengan cara yang berbeda, hidup yang berbeda, dan fungsi yang berbeda, untuk akhirnya bersama-sama menjalani diin-nya, tanpa harus membentuk penyeragaman nilai-nilai. Justru sambil terus menerus memperbaharui nilai-nilai kita.

Duh, yang terakhir kok jadi mirip Nietzsche yah.

Diin Konservatif & Liberal

Sebuah diin tidak diciptakan untuk manusia. Tapi, diin dan manusia dan
semesta diciptakan dari suatu kesatuan. Jadi memang akan selalu harmonik.

Kaum agamawan konservatif dan liberal sama-sama mengira bahwa kemanusiaan tidak sesuai dengan diin. Kaum konservatif jadi percaya bahwa manusia harus dipaksa, didorong, dikejar-kejar untuk melaksanakan nilai-nilai agama; dan sebaliknya kaum liberal jadi percaya bahwa nilai-nilai agama harud didefinisikan ulang agar nyaman bagi manusia dan pola hidup kontemporernya.

Dua-duanya terjebak ke dalam jebakan yang sama yang menimpa kaum psikolog awal abad 20 yang dipimpin Freud.

Diskursus Diin

Memang gampang sekali cari musuh dengan menyebut soal keanekaragaman diskursus dalam diin. Orang lebih suka membayangkan sebuah diin sebagai satu cara, satu pola, satu hukum. Itu muskil. Manusia dan masyarakat memang diciptakan berbeda. Barangkali, dalam perkembangan diin, kita terlalu banyak menyerap ide-ide dari agama-agama kuno dengan sistem kependetaannya, juga dari konsep nasionalis dan ideologi-ideologi, lengkap dengan struktur-struktur kesatuan ide-nya. Jadi diin dipaksakan untuk dipetakan ke dalam sistem agama atau sistem ideologi lain, bukan sebagai sebuah cara hidup yang manusiawi.

On Absurdity

Calvin memulai, “Isn’t it strange that evolution would give us a sense of humor?”

Terus, “When you think about it, it’s weird that we have a physiological response to absurdity. We laugh at nonsense. We like it. We think it’s funny.”

Abis itu dia berpaling ke Hobbes, “Don’t you think it’s odd that we appreciate absurdity? Why would we develop that way? How does it benefit us?”

“I suppose if we couldn’t laugh at things that don’t make sense, we couldn’t react to a lot of life,” kata Hobbes.

Calvin berhenti.

“I can’t tell if that’s funny or really scary,” katanya, akhirnya.

Offline Blog

Di komputer ini (Tristan & Isolde) aku ketemu lagi catatan-catatan dari tahun 1980-an yang sudah diketikkan di komputer awal 1990-an dulu. Apa sih yang dulu aku pikirin, waktu masih teenager? Curious sendiri kadang-kadang. Tapi lucunya ada beberapa hal yang tak berubah. Salah satunya gaya bahasa. Yang lain adalah soal pergeseran diskursus (yang dulu istilahnya lucu-lucu bener).

Kali-kali kita perlu keliling juga ke blog teenager Indonesia masa kini.
Banyak yang bener-bener smart loh.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑