Category: Book (Page 6 of 10)

Pesta Buku

Acara berjudul Pesta Buku 2006 itu sebenernya pameran buku biasa. Rutin dengan acara yang itu-itu juga. Tapi buku memang bikin kecanduan. Kita tahu nggak ada yang istimewa dengan buku (dan kopi, dan dengan C++, serta Wagner), tapi kita merasa lebih nyaman untuk terus bersentuhan dan meningkatkan intensitas kita dengannya. Maka jadilah aku terjebak dalam kerumunan para pecinta buku di Landmark Bandung.

Buku mana yang pertama menggoda? Buku yang pertama kali kelihatan. Dan itu adalah buku pelajaran buat anak, dengan memakai tokoh Garfield :).

Buku mana yang pertama diambil? Judulnya Pemberontakan Mahasiswa, tentang peristiwa Mei 1968, yang tentu merupakan pemberontakan setengah hati. Tapi kita juga lagi hidup setengah hati. Kenapa nggak?

Buku apa yang dibaca lama tapi nggak diambil? Banyak :). Zahir dari Coelho, misalnya. Bagus, tapi entah kenapa nama Coelho lagi sering memedihkan. Barangkali lain hari aja. Juga beberapa buku tentang Ahmad Aidit (lebih terkenal sebagai DN Aidit). Berlama2 juga di Mizan — baca buku2 berhikmah di sana.

Buku apa yang nggak disentuh? Banyak juga :). Kayak biasa: buku yang sesat, yang menuduh sesat, yang saling menyesatkan, dan yang sesat2 :) :). Buku2 komputer juga nggak disentuh — barangkali udah masuk golongan menyesatkan.

Buku apa yang dicari tapi nggak ditemukan? Nah, sayangnya ini banyak juga. Karena itu aku menyebutnya pameran buku biasa, bukan pesta buku.

Ketemu siapa? Beberapa makhluk. Salah satunya M Arif Bijaksana, Isnetter yang terakhir kali tampak di Tutugan tahun 2000, dan kemaren sempat dicari2 waktu pengajian di Jakarta.

Pulang jam berapa? Sampai rumah udah di atas jam 22.

(Baca juga catatan dari Yulian dan Yuti)

1740

Aku jarang doyan baca Drama. Ada blok mental untuk membacai tulisan dalam bentuk percakapan. Jadi sebenernya (pengakuan), aku juga nggak suka2 amat baca Godot. Atau Faust sekalipun :). Tapi Remy Sylado adalah salah satu perkecualian. Dia mempermainkan bahasa dengan menarik. Nuansa2 suasana yang dialirkan dengan kata2nya membuat bentuk membosankan drama itu jadi mengalir mirip prosa biasa.

Baca apa sih? Haha :). Bukan drama panjang. Judulnya “9 Oktober 1740.” Ini drama sejarah yang diilhami peristiwa pembantaian sepuluh ribuan orang Cina di Jakarta oleh Pemerintah Pendudukan Belanda pada Oktober 1740.

Aku nggak tertarik sama romannya, tapi sama suasana2 yang melatari kekejaman resmi itu. Ada tokoh Pakubuwono II yang sungguh peragu dan seharusnya bikin malu bangsa Jawa karena pernah punya pimpinan semacam itu. Ada desis kewaswasan yang membuat keajegan fikiran manusia, hingga para pemimpin, menjadi kacau. Ada hubungan manusia-manusia yang sungguh manusiawi, sampai tak terasa lagi kedalamannya :).

Jangan2, aku bakal mulai baca drama. Hmmmmmh …

The Tristan Chord

When Wagner started to be a composer, there were three different models of contemporary opera. Wagner had tried to adopt those types with Die Feen (German, rich-orchestrated style), Das Liebesverbot (Italian, lyrical style), and Rienzi (French style, with its luxuries). He then decided that Italian and French models had been decadent: they had passed their peaks in developments; therefore Wagner went back to explore more in German style, manifested in Die Fliegende Holländer, Tannhäuser, and Lohengrin.

Being ideologically attached with Bakunin the anarchist, Wagner got involved with Dresden putsch. Bakunin got caught and jailed, and Wagner fled to Switzerland. He faced the prospect of seemingly endless exile, with debt, hopeless marriage, and bad health. On this condition, he started composing Der Ring. Also he started reading Schopenhauer.

His reading gave him the idea for a wholly new way of opera composing. In a letter to Liszt, he referred the philosopher as a man who has come like a gift from heaven. He then composed Tristan und Isolde, called it the simplest but most full-blooded music conception. He stopped Siegfried on Act 3, and devoted himself to Tristan. But after several months, it was only music as yet.

Schopenhauer maintained that we are, in the most literal sense, embodiment of the metaphysical will, so that willing, wanting, longing, craving, yearning, are not just things we do: they are what we are. Music is also a manifestation of the metaphysical will. It directly corresponds to what we are in our innermost thing.

For years, Tristan remained ‘only music.’ But even now, its chord remains the most famous single chord in the history of music. It contains not one but two dissonances, thus creating a double desire, agonizing in its intensity, for resolution. The chord then moves, resolving one but not the other, thus providing resolution-yet-not resolution. In every chord-shift, something is resolved but not everything. When a satisfaction is created, so is a new frustration. Until the end. The silence. In Wagner’s words: “Here I sank myself into the depths of the soul’s inner workings. Here life and deaths and the very existence and significance of the external world appear only as manifestations of the inner workings of the soul.”

On another fine day, Wagner performed a nice symphony for his wife’s birthday. Siegfried Idyll. It was performed at home, with a very small number of guests attending. One of them was young Nietzsche, starting his long and historical friendship with Wagner. Indeed, Wagner was the greatest influence on the young man, who would in turn became one of the greatest figures in the entire history of western philosophy. But it is another story.

What Philosophers Think

Buku ini, judulnya memang “What Philosophers Think”, bukan “What Philosophers Write”. Kalangan profesional, khususnya akademis, suka atau tak suka selalu melakukan kontrol atas apa yang mereka terbitkan sebagai tulisan. Dan sering, tulisan yang terbit sudah mencakup umpan balik dari rekan-rekan kerja. Buku ini merupakan kumpulan wawancara lisan dengan para filsuf, sehingga kurang terfilter, dan barangkali jadi lebih alami. Beberapa filsuf yang mengkritisi eksistensi Tuhan dalam logika pun sering jadi menampilkan sisi keimanan mereka dalam wawancara. Eh, Tuhan memang tidak harus masuk frame logika manusia yang terbatas ini, kan? ;). Kalau suatu hari bisa masuk ya … barangkali memang wawasan manusia sudah luas dan benar2 tercerahkan, atau barangkali framenya salah lagi :).

Istilah filsuf sendiri tidak harus dimonopoli filsuf profesional atau akademis. Beberapa bidang ilmu bisa melahirkan kaum pemikir yang bisa disebut sebagai filsuf. Termasuk di dalamnya adalah bidang2 sains, teologi, sosiologi, barangkali juga matematika dan logika. Jangan lupa bahwa Wittgenstein yang dianggap filsuf terbesar di dunia berbahasa Inggris itu pun beranjak dari matematika. Di luar itu pun masih ada yang disebut sebagai filsuf amatir. Tapi sebenernya, filsafat itu apa sih? Apa cuman transaksi ide? Trus apa bedanya dengan sains yang juga transaksi ide? Bedanya, kata buku ini, adalah pada cara transaksinya. Ide dalam filsafat dialirkan dengan argumentasi rasional. Tapi yang namanya argumen rasional itu sebuah soalan filsafat sendiri. Beberapa cirinya adalah kombinasi pembuktian logis, alur pikiran, dan sifat self-evident. Untuk hal2 ini, pembuktian secara sains juga amat sangat sering digunakan. Barangkali Feynman suka bilang bahwa filsafat itu useless, tapi jangan percaya Feynman 100%. Teori string juga memakai pendekatan falsafi atas sains :) :), dan itu sebabnya baru pada tahun terakhir hidupnya Feynman benar2 menaruh minat pada teori string.

OK, balik ke filsafat. Apa yang disampaikan para filsuf (secara profesional), bukanlah ide. Ide gampang dicari. Dan dari sekumpulan ide, kita tidak bisa memilih mana yang benar dan mana yang salah (ok, lain kali aja dibahas apa itu benar dan salah). Yang disampaikan adalah runutan argumentasi pembuktiannya. Ulangi: bukan apa yang dipikirkan, tapi apa yang bisa dipakai sebagai landasan untuk mempercayai sesuatu. Dan itulah sebabnya karya falsafi jadi berharga. Dan itulah sebabnya banyak filsuf amatir, dengan “ide” yang cemerlang, terheran2 bahwa tulisannya tidak mendapatkan tanggapan yang berarti. Dan itu barangkali juga jadi sebab, kenapa untuk memutuskan apakah Derrida pantas mendapat gelar doktor kehormatan di Cambridge, diperlukan voting dengan selisih yang tipis.

Ujung2nya diharapkan adalah pemahaman yang lebih baik atas diri kita sendiri, lingkungan kita, pengetahuan kita, kebebasan kita (free will), dan berbagai aspek hidup kita.

Buku ini dipilah jadi 6 bagian besar: Darwin’s Legacy, Science, Religion, Philosophy and Society, Metaphysics, dan Language. Epistemology memang nggak masuk, tapi selalu dibahas tanpa standard di banyak interview. Wawancaranya sendiri melibatkan 22 filsuf, masing2 dalam 1 bab, dilakukan antara tahun 1998-2002. Ini mereka: Simon Blackburn, Helena Cronin, Don Cupitt, Richard Dawkins, Michael Dummett, Stuart Hampshire, John Harris, Ted Honderich, Mary Midgley, Ray Monk, Hilary Putnam, Jonathan R?e, Janet Radcliffe Richards, Roger Scruton, John Searle, Peter Singer, Alan Sokal, Russell Stannard, Richard Swinburne, Peter Vardy, Edward O Wilson, dan Mary Warnock.

QB Bandung

Ketemu juga aku sama satu lagi titik lemahku. Udah tahu bulan kemaren ini beli buku kebanyakan, bulan ini masih nggak bisa menahan diri juga. Kalau judulnya bookaholic sih, kali2 nggak pa-pa, bisa ngaku2 intelek. Tapi kalau judulnya cuman book shopaholic? Malu2in aja :). Salah satu pelarian dari tekanan yang nggak/belum bisa dilepas kali yach.

Dan buat pertahanan diri, kayak yang aku tulis di halaman buku: buku masih punya masa depan! Memang tahun2 terakhir ini, keluar lagi pendapat para pakar (tadinya sih bukan pakar, tapi “pakar”, tapi terima kasih untuk media massa Indonesia, sekarang pakar artinya “pakar”, sedang yang tadinya kita namai pakar jadi malu disamakan dengan pakar) bahwa masa2 akhir buku telah dekat. E-Book sudah terstandardisasi, siap untuk komersialisasi. Huh, keahlian para pakar itu memang hanya mengulang kesalahan orang. Matinya buku udah aku baca waktu zaman Internet masih baru di Indonesia, tahun 1995, dan malah sampai tahun 1980-an, waktu buku2 dijual dalam bentuk disket. Dan aku yakin prediksi kayak gitu udah ada juga di tahun 1970-an dan 1960-an, dan sayangnya akan terus ada sampai beberapa dekade ke depan.

Buku, terlalu nyaman, praktis, dan elegan, untuk dimusnahkan. Lebih dari itu, buku bukanlah sekedar media informasi (atau kita lebih suka menyebutnya information beam). Buku sudah melewati fungsi standarnya, dan dengan demikian udah bisa jadi salah satu artefak perayaan kehidupan, ha-ha :).

Huh, kalau nggak, kenapa aku justru beli buku Kernighan dan Ritchie justru abis aku memutuskan nggak jadi programer C (klasik) lagi, bareng dengan beli buku Milan Kundera. Dan di pihak lain, aku juga menganggap Kernighan dan Kundera dalam domain yang sama: pencipta buku. Aku pernah dimarahin temen, gara2 aku ngaku bookaholic, padahal waktu itu buku yang aku baca adalah buku Alexandrescu (Modern C++ Design). Temen aku itu tipe yang suka bikin kategori, barangkali. Buat aku sih, Alexandrescu sebenernya sebanding dengan Wittgenstein (penulis Tractatus Logico-Philosophicus), waktu dia bisa memaksakan diri bermain di template programming, dan dengan demikian melompat dari object-oriented programming ke aspect-oriented programming. Juga aku suka berpikir bahwa Larry Wall (penulis buku Programming Perl) perlu dipertimbangkan untuk memperoleh Nobel Sastra. Tukang kategori pasti menolak tanpa pernah mencoba baca buku Larry Wall.

Dan dengan demikian aku memproklamirkan diri sebagai pakar buku, yang dalam definisi media massa Indonesia, berarti aku belum pernah menerbitkan satu buku pun.

Pameran Buku JCC

Kalau di pameran sebelumnya aku bisa keluar tanpa buku secuil pun, di session ini aku keluar dengan 10 buku. Dan itu pun udah dengan menahan diri setengah mati, sambil membuat pikiran sadar bahwa bulan ini udah berisi kunjungan ke Gramedia, GA, Elvira, Intervarsity, QB, sampai Amazon — dan semuanya sambil merampok buku. Memang mood-nya lagi mau mengejar ketertinggalan kali, abis membekukan otak selama beberapa bulan kemarin.

Milan Kundera

OK, apa yang udah kita rampok dari bulan kemarin? Ada buku Cacuk Sudariyanto dan Fritjof Capra dari Gramedia, ada buku tentang Wittgenstein dan kemudian tentang Derrida dari QB. Ada buku2 network dari Elvira. Ada Da Vinci code dari Gunung Agung Bandung. Ada Menagerie dan kartun Seno Gumira dari Gunung Agung Jakarta. Ada Kundera dan Mitnick dari Amazon (di Elvira udah abis). Yang di Intervarsity buat lab. Dan dari pameran ini, ada beberapa MAW Brouwer, beberapa Jalaluddin Rahmat, Danarto, Tintin, serta buku2 lain.

Meanwhile, rumahku masih jadi rumah mungil. Rak buku masih cuman yang itu. Ke mana lagi buku harus disimpan biar tetap terawat rapi?

Ada ide? Selain puasa ke toko buku maksudnya …

life.after.theory

Nicholas Royle: The first question that I would like to ask is, I suppose, a question in three parts and it’s about the acolyte and anacoluthon. The acolyte is the follower and thus is the apparent opposite of anacoluthon. Anacoluthon is what fails to follow; it’s what’s non-sequential or literally ‘without following’. So I thought with this question about the acolyte and anacoluthon I could take anacoluthon first, seeing as it’s second, and ask whether we could read ‘life.after.theory’ as an anacoluthon. I think I’ll just leave that as the first part of the question…

Jacques Derrida:I would say — in the most formalized form — of the logic which was at work in my lecture, in fact in your questions too, that there is no simple opposition between the acolyte, or the ‘acoluthon’ and the ‘anacoluthon’. That is a problem, because to accompany, or to follow in the most demanding and authentic way, implies the ‘anacol’, the ‘not-following’, the break in the following, in the company so to speak. So, if we agree on this, a number of consequences will follow: you cannot simply oppose the acolyte and the anacoluthon — logically they are opposed; but in fact, what appears as a necessity is that, in order to follow in a consistent way, to be true to what you follow, you have to interrupt the following. So let me leave this statement in its abstract form and then

Tentu, sejarah menunjukkan bahwa aku nggak bisa jadi saksi perbincangan menarik ini. Di tahun 2001 itu, orang-orang Loughborough meng-email-ku, bilang bahwa tempat sudah penuh, dan bahwa cek yang aku kirim sudah dimusnahkan. Dan baru tahun 2004 aku bisa dapat dokumen, dalam bentuk buku “life.after.theory”, yang memang bukan berisi lecture-nya, tapi risalah conference-nya.

Bisakah aku memohon secarik waktu untuk sekedar menitipkan mataku pada halaman-halaman buku ini, duhai rezim ebitda, agar kembalilah sedikit kehidupan pada tubuh yang sedang bergerak lincah namun tanpa jiwa ini?

Wittgenstein’s Poker

Wittgenstein, nama yang pertama kali tercerna waktu seorang sohib yang unik mengirimi satu set Tractatus Logico Philosophicus dalam format HTML, waktu masih zaman Netscape 3.0. Dibaca berhari2, sambil terus mengasyiki traffic analysis programming, aku putuskan bahwa Wittgenstein masuk kategori “interesting but not essential” — keputusan yang pasti bertolak belakang dengan banyak filsuf asli yang lebih suka menempatkan Wittgenstein sebagai “one of the most essential philosopher”. Tak urung, Tractatus aku beli lagi sebagai buku — lupa di mana, buat nemenin masa2 bikin tesis. Kayaknya ini juga keputusan yang salah. Di waktu yang salah, maksudnya, waktu otak lagi penuh NHFLE, RSVPTE, BPG-VPN, dan lain2. Bukan berarti network engineering nggak kompatibel sama filsafat, tapi barangkali jadi lucu kalau MPLS jadi disamain dengan MephistoPeLeS. Tuh kan, gini deh kalau orang udah jarang nulis weblog. Tersesat kesana kemari kalimatnya.

OK, di akhir masa tesis, di Waterstones Piccadilly, ketemu aku sama nama itu lagi. David Edmonds & John Eidinow baru menerbitkan buku berjudul Wittgenstein’s Poker. Mengingat reputasi Wittgenstein sebagai fisikawan-matematikawan, aku langsung menduga buku ini mengkali soal filsafat matematika. Tapi ternyata bukan. Poker nggak ada hubungannya dengan permainan kartu yang suka dijadikan teori matematika itu. Itu poker yang berarti alat yang dipakai untuk mengatur kayu bakar menyala di perapian. Yow, aku nggak mau terlalu banyak shipping buku, jadi aku kembalikan buku itu ke raknya. Dan baru dibeli beneran tahun 2004 ini.

Di Cambridge, ada klub filsuf serius, yang dinamai Moral Science Club (MSC). Tiap Kamis malam, mereka melakukan diskusi di ruang H3 di King’s College. Tahun 1946 itu, ketua klub tak lain adalah Ludwig Wittgenstein, dengan sekretaris orang Palestina bernama Wasfi Hijab. Di bulan Oktober, Hijab mengundang salah satu filsuf tenar, yang saat itu berposisi di London (LSE): Karl Popper. Popper dan Wittgenstein sama2 berasal dari Austria, dan berkeliaran akibat perang. Cuman selama PD II, Popper berada di tempat aman di Selandia Baru. Popper (KP) dan Wittgenstein (LW) juga sama2 sedang menanjak sebagai filsuf paling populer dan kontroversial masa itu. Dan dengan cara yang berbeda, memiliki hubungan yang pernah dekat dengan Bertrand Russel (BR), filsuf kenamaan Cambridge itu. KP nggak bisa datang Kamis malam, jadi Hijab mereschedule pertemuan jadi Jumat malam, 25 Oktober 1946. OK, jadi hadir malam itu: LW si ketua, KP si dosen tamu, dan BR si tokoh besar, dan sekian belas peserta, dari profesor hingga mahasiswa.

Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Tapi saksi2 hidup memiliki kisah yang berbeda atas apa yang terjadi di sana. Yang mereka sepakati adalah bahwa Wittgenstein, eh LW, berbicara sambil mengacungkan poker, dan bahwa LW kemudian keluar ruangan tanpa menutup pertemuan.

KP menyampaikan paper berjudul “Are There Philosophical Problems?” serta menunjukkan bahwa memang ada soalan2 sekitar filsafat yang membuat filsafat tetap exist. Di lain pihak, LW mengabaikan adanya hal2 yang disebut soalan filsafat. Yang tertinggal, demikian konon LW, adalah soalan matematika dan sosiologi belaka. Kemudian di satu titik, LW mengambil poker dan mengangkatnya. Beberapa saksi menyatakan bahwa LW mengangkat poker sebagai contoh objek filosofis. Yang lain bilang bahwa LW menggunakan poker untuk melakukan penekanan kata2, kayak konduktor gitu lah. Nah, yang lain bilang bahwa LW mengacungkan poker dengan marah ke muka KP.

Kapan poker itu diletakkan kembali? Menurut KP, LW mengajukan pertanyaan semacam “Coba Anda sebutkan sebuah masalah dalam etika?” Dan KP menjawab: “Misalnya, jangan mengancam dosen tamu dengan poker.” LW marah, melempar pokernya, lalu keluar ruangan sambil membanting pintu. Tapi menurut versi lain, BR-lah yang meminta LW meletakkan kembali poker itu, dan terjadi adu mulut antara LW yang menuduh BR tak pernah memahaminya, serta BR yang menuduh LW selalu mencampuradukkan segalanya, dan diakhiri dengan LW yang marah dan melempar poker lalu membanting pintu. Versi lain menyebutkan bahwa BR tak terlibat pertengkaran itu. Versi lain menyebutkan bahwa LW keluar tanpa membanting pintu. Dan versi lain menyatakan bahwa Popper melucu soal “mengancam dosen tamu” justru setelah LW keluar. Nampaknya soal itu sedemikian menguras pikiran, sampai urutan peristiwa itu tak terekam dengan baik oleh para filsuf itu.

Apakah LW melarikan diri karena merasa tak mampu lagi menghadapi argumen KP? Atau justru ia menganggap KP sedemikian kacaunya sehingga tak perlu dilayani lagi? Atau sebal karena soal serius itu dijadikan bahan candaan? Atau ada soal lain dengan BR? Yang pasti menarik dibahas buku ini adalah latar belakang pendapat LW maupun KP, yang masih2 memiliki pengaruh kuat, dan diakui sebagai filsuf2 yang original.

Aksara

Secara subyektif temporer, ternyata judulnya antiklimaks.

Toko buku ini udah aku incer untuk dikunjungi, mulai zaman aku masih jadi pengunjung setia Waterstone’s. Waktu itu beredar kabar menarik: di Jakarta ada toko buku baru, dimiliki usahawan yang kutu buku, dan konon nggak kalah sama Waterstone’s.

Sampai Jakarta, ternyata aku malah lebih sering ke QB, dan biarpun sempat beberapa kali ke Kemang, belum juga berhasil ke took buku inceran ini. Tapi biar deh. QB juga nggak kalah fantastis sebagai toko buku di Indonesia. Mudah2an lebih banyak yang kayak gini di masa2 mendatang.

Kemaren akhirnya ketemu juga aku sama toko buku Aksara, sebuah bangunan box yang ditata sangat apik di tengah alam Kemang yang nggak ramah. Barangkali Ari atau sastrawan lain bakal lebih suka masuk sini daripada disuruh masuk surga. Tapi kemaren aku abis dikasih Intunal di sebuah klinik di Kemang, dan realitas bergeser 15 derajat (frasa ini dicuplik secara tidak sah dari seorang budayawan yang unik). Dan aku Cuma lihat buku2 di sana nggak beda dengan bagian tertentu dari Kinokuniya, atau lebih sial lagi nggak beda dengan bagian tertentu dari Gramedia yang diinggriskan. Percayalah, persepsiku bakal lain kalau darah nggak dipenuhi Intunal. Tapi untuk hari itu, judulnya akhirnya antiklimaks.

Dan aku cuman menghabiskan waktu baca buku tentang Koba.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑