Author: Kuncoro Wastuwibowo (Page 82 of 88)

Winter, Inside

Hari pertama musim dingin. Waktu yang pas untuk mencampuradukkan perasaan (eh, masih punya yah). Kelegaan menyelesaikan proses yang panjang, keriangan bakal ketemu orang-orang tersayang di Indonesia, tapi juga ada kesedihan meninggalkan negara ajaib ini, plus orang-orang antik dari berbagai negara yang sama-sama terdampar di sini. Juga ada semacam keasingan menerima perasaan yang campur aduk. Gimana sih rasanya berbincang dengan manusia, saling memegang, dan sadar bahwa besok semuanya hanya tinggal bayangan.

Chahidi

Aku menatap matanya, trus … “Don’t worry, my friend. Please just tell me your problems. I’ll pretend to concern, and I’ll try very hard.”
Dan Chahidi jadi tertawa keras.

Sebenernya aku lagi serius apa lagi becanda sih?
Kayak ada bedanya aja, buat aku :).

Rasanya aku lagi banyak bersalah sama orang-orang di sini. Hari-hari terakhir tesis, plus assesment, plus acara packing yang rumit bener, bikin aku jadi agak acuh. Masih care untuk ngebantuin temen-temen yang kebeneran belum kapok minta bantuan, tapi nggak sepenuh hati. Solve the problem, leave it, forget it. On ne peut pas bon en tout, n’est pas?.

Waterstone’s

Barangkali aku kurang banyak cerita tentang Waterstone’s. Waktu pertama masuk Waterstone’s di Coventry, aku kagum bener dengan penataan interior toko buku satu ini. Mirip taman bacaan untuk pecinta buku, lengkap dengan sofa dan rak-rak dan penunjuk posisi buku. Tapi Waterstone’s di Leamington lebih bagus lagi. Trus jadi ketagihan membandingkan Waterstone’s di setiap kota. Yang terbagus sampai sekarang masih yang di Nottingham, dengan koleksi buku yang bikin Waterstone’s lain terkesan miskin :). Plus sofa yang tertata dengan konsisten, jadi gampang dicari, plus café dan kamar kecil yang bersih sekali. Yang juga unik adalah resensi buku dari pemilik toko, dengan tulisan tangan cakar ayam khas Inggris, di depan beberapa buku. Waterstone’s Picadilly London yang sering dibanggakan pun nggak sebagus ini.

Tapi hari ini aku ketemu Waterstone’s lain lagi di Birmingham. Ada dua sebenernya. Satu terkesan kecil, tapi di dalamnya luasss sekali. Agak berantakan, tapi koleksinya barangkali selengkap Nottingham. Satu lagi tepat di depan pintu New Street Station, tinggi menjulang. Cara penataan bukunya sama sekali tidak mempermudah pencarian buku. Tapi banyak hal khas di dalamnya. Ada beberapa ruang tematis, kayak satu ruang khusus untuk The Ring dari Tolkien, lengkap dengan pensuasanaan ruang. Di sebelahnya, ada gallery khusus musik klasik. Hey, kenapa aku baru ke tempat ini di minggu terakhir di negara ini? Banyak koleksi prima ditawarkan dengan harga relatif murah. Lengkap sekali. Wagner aja menempati beberapa deret rak. Untung aja aku nggak kemaruk, jadi cuman ambil 3 CD, dan bukan Wagner.

Memang nggak semua Waterstone’s jadi istimewa sih. Yang di Edinburgh misalnya, ditatanya sama jeleknya dengan toko buku Gramedia di Matraman. Yang punya bukan pecinta buku kali. Atau kotanya terlalu bagus, jadi orang lupa menata toko buku.

Mhula

Luis Filippe de Lucas bergegas naik bis di depan Skydome. Agak kaget ngeliat aku duduk di kursi agak ke belakang.

Aku menyambut, “Surprising, huh?”

“I thought you went to Birmingham,” katanya, masih dengan nada heran.

“Indeed. But it’s frozen outside. It’s better to spend 1 hour on the bus than 20 minutes walking.”

“Exactly, my friend. And you can accompany me too. Listen, I just saw the examination board. You have passed with merit.”

“Really? It’s surprising too, isn’t it?”

London: Last Visit

Hari ini tiket daytripper tak terlalu banyak dipakai. Banyak jalan kaki saja sampai sore.

Berbuka puasa di Leicester Square (langganan amat sih). Mengelilingi semua sudut di putaran Picadilly. Dan baru akhirnya naik bis ke Trafalgar (nonton choir di tengah lapangan), dan naik Tube ke Victoria, jalan setengah berlari ke terminal Leuwipanjang, dan menghempaskan badan yang kelelahan di bis nomor 422.

Si sopir bermuka serius. Dia menerima tiket dengan kaku. Kesannya kayak lagi main teater. Tadi di dalam bis, aku berubah pikiran. Mungkin saja dia mantan DJ. Announcementnya aneh-aneh, dengan gaya setengah rap.

Aku paksa mata untuk terpejam. Tapi kelelahan menghalangi. Jadi diam aja menikmati kegelapan motorway ke arah Midlands. Waktu mata akhirnya mulai terpejam, si sopir teriak lagi “Ladies and gentlemen, we’re now in Coventry. WAKE UP! What’s the matter with you?” Duh, DJ asli.

Tolong, Sialan, Analisis

Apa yang dilakukan orang waktu dalam kesulitan? Tentu saja minta tolong. Kan kita bermasyarakat. Ada beberapa cara untuk minta tolong. Yang paling mudah, tentu, dengan bilang “tolong”. Tapi ada cara lain, misalnya dengan kata “sialan!” — yang kadang cukup efektif.

Ada kata lain yang juga sering dipakai, ialah kata “analisis”. Itu yang jadi terpikir waktu baca tulisan berjudul analisis mendalam tentang agama, tuhan, dan negara. Judulnya pakai analisis mendalam nih — jadi terharu. Isinya tentang something-something yang berujung pada pendapat penulis bahwa religiositas tertentu akan lebih hakiki daripada agama-agama formal. Jadi lebih terharu juga nih dengan model penghakikian pendapat sendiri seperti itu.

Sekilas tulisan itu berkesan menyerang orang-orang yang menggunakan kaidah-kaidah agama formal dalam kehidupan bermasyarakat. Kesannya terluka sekali hati penulis itu dengan perilaku masyarakat beragama di Indonesia.

Sebenernya tak penting benar membahan mengapa orang memilih kata “analisis” atau bahkan “sialan” dan bukan kata “tolong”, waktu mereka sedang terluka. Yang penting adalah: bagaimana agar kita peka bahwa orang yang berteriak di sana itu sebenernya sedang dalam kesusahan dan perlu bantuan. Sayangnya, umumnya kita malah ikutan menambah luka dengan menyerang balik secara frontal. Reaksi yang konon wajar, soalnya barangkali kita juga bisa luka.

Tapi orang beragama seharusnya lebih tahan pada luka, karena hidupnya diabdikan untuk sesuatu yang lebih dari kefanaan perasaan. Dalam kelukaan pun, kita seharusnya menyembuhkan luka, bukannya ikut menjerit. Agama juga mendidik untuk bertindak arif, bukan mengikuti reaksi sekejap yang seringkali bersifat transien. Kearifan ditunjukkan dengan mencoba memahami apa yang disampaikan orang lain, apa yang sebenarnya benar-benar ingin disampaikan di baliknya, apa sebabnya, dan akhirnya … langkah strategis apa yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah secara tepat, dan bukan sepotong-sepotong.

Justru karena tradisi seperti inilah agama-agama formal bisa bertahan jauh lebih kuat daripada ideologi manusia yang umumnya berusia seumur jagung saja.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑