Author: Kuncoro Wastuwibowo (Page 52 of 88)

Virus: Musical Baton

Emang Musical Baton itu beneran soal musik? Soal personality? Soal persahabatan dan saling pengertian? Bukan! Ini “virus” yang sama dengan mail hoax, dan semacamnya. Cuman melanda weblog dan yang semacamnya (untuk tidak mengacaukan definisi yang tidak definit atas blog).

So, Andika melempar batonnya ke aku, setelah dapat lemparan dari Priyadi, yang dilontar oleh Eko, yang diterjang oleh Boy, yang dirajam oleh Echa, yang diruyak oleh AGentX, yang disawat oleh Lancerlord , yang dibalang oleh Cowboy , yang dihujam oleh Jim, dst.

Dan benarlah yang bilang bahwa para weblogger umumnya narsis. Doyan banget memamerkan diri, membanggakan personal weirdness, dengan berkedok keterpaksaan. Maka virus kayak gini jadi laku keras.

Sorry yach, aku mah nggak narsis. Megaloman sih, iya (warning: pengalihan istilah). Tapi daripada nggak enak hati sama Andika (warning: pura-pura terpaksa), OK deh, aku isi juga.

Total volume of music files on my computer: 1.29 GB on this notebook, excl all external devices

Last CDs I bought:

  • Symphony no 10 (unfinished) — Gustav Mahler
  • Oktett D803 — Frans Schubert
  • A tribute to Ian Antono

Song playing right now: No song, just music — Richard Strauss’ «Tod und Verklarung».

Five song (define song) I listen to a lot, or means a lot to me:

  • Liebestod — Richard Wagner (part of Tristan und Isolde Opera)
  • Elsa’s Dream — Richard Wagner (part of Lohengrin Opera)
  • Innuendo — Queen
  • Bohemian Rhapsody — Queen
  • If

Pass this baton to:
Whoever read this message.

Revenge of the Sith

«Fear is the path to the Dark Side. Fear leads to anger. Anger leads to hate. Hate leads to suffering.» — Master Yoda to Anakin Skywalker

Yang paling ditunggu dari episode ketiga dari epik “Star Wars” tentulah bagaimana Anakin si pahlawan kemanusiaan itu bisa ditarik ke sisi gelap dan berubah menjadi penjahat yang tak punya nurani. Rentetan plot dari bagian pertama dan kedua sudah membuat kita bisa menggambarkan. Jadi yang menarik dari bagian ketiga ini tentu bukan ceritanya, tapi nuansa-nuansa pertentangan di dalamnya, yang diharapkan menyampaikan hal yang luar biasa.

George Lucas tidak mengecewakan kita.

Dengan latar plot yang beritme lambat (sebenarnya tidak perlu selambat itu, tapi mungkin Lucas menyediakan ruang untuk mereka yang belum lihat bagian 1, 2, dan 4); plot diruncingkan. Tidak diklimakskan, karena pertentangan yang utama justru terjadi di dalam batin Anakin sendiri. Penggambarannya sungguh luar biasa. Angkasa Coruscan memerah, indah, kental, gamang, dengan lalu lintas galaktika terus mengalir di depannya. Anakin terus menatap ke angkasa. Nyaris tanpa ketegangan yang tampak. Tapi gemuruhnya hari terasa. Langit merah bersemu oranye hingga violet. Anakin menunduk, meneteskan air mata. Dan demikianlah segalanya telah ditentukan.

Tentu ada bagian lain yang juga ditunggu. Anakin beralih jadi Darth Vader, dan semua Jedi dimusnahkan (hampir). Trus apakah episode 3 ini jadi cerita kemenangan kejahatan? Kalau tidak, ada prinsip paritas yang dilanggar ;). Pada bagian 1 dan 2, Anakin jadi pahlawan, dan kebaikan boleh menang. Pada bagian 4, 5, 6, Darth Vader jadi manusia kelam, tapi kebaikan tetap menang. Titik balik di bagian 3 ini harusnya kebaikan tetap menang. Tapi kalau Anakin jahat, dan dia tokoh aktif, dan dia survive hingga bagian 6, maka di bagian 3 ini dia harus menang. Maka bagian 3 ini adalah bagian di mana kejahatan boleh menang? Masa? Nggak.

Obi-wan, guru dan sahabat Anakin dalam cerita ini akhirnya mampu mengalahkan Anakin, dalam duel Jedi terseru dan terlama. Dan khusus adegan ini, latihan dilakukan hingga 2 bulan terus menerus. Anakin bukan cuma boleh kalah, dia harus mati, hancur, baru film ini berharga. Dan itulah yang terjadi, dia hancur. Tapi Sith Master mengambil jasadnya yang dalam keadaan hancur dan sekarat. Memasang sistem kehidupan padanya, yang menyelamatkannya, tapi membuatnya jauh dari bentuk manusia. Dan itulah yang kita kenal sebagai Darth Vader di bagian 4 hingga 6.

Adegan ala Faust terjadi beberapa saat sebelum Padme meninggal. Dalam kekancuran hati akibat kehilangan Anakin (kehilangan karena menjadi jahat, bukan karena mati), dia masih bilang bahwa di dalam hati Anakin masih tersimpan kebaikan hati yang tidak bisa dihilangkan. Faust sekali kan? Musik latarnya a-la Requiem, bikin aku agak susah menahan air mata.

Yup, Anda nggak salah baca. Kalau kena keindahan yang samar, aku bisa cengeng mendadak :). Mungkin gara2 musiknya, atau mungkin gara2 pola Faust, di mana manusia yang sesat akibat keputusannya sendiri pun dipercaya akan kembali kepada sinar kemanusiaannya yang mulia.

Seperti Faust, seperti Anakin, seperti juga aku.

If Light Were Dark

Soal puisi Perl, Mr BR jagonya. Jago koleksi maksudnya. I wonder if he ever composed his own poetry (in Perl or any other languages). This one is from him, dikirim ke mail list teknologia:

if ((light eq dark) && (dark eq light)
&& ($blaze_of_night{moon} == black_hole)
&& ($ravens_wing{bright} == $tin{bright})){
my $love = $you = $sin{darkness} + 1;
};

… which was derived from these lyrics, by Jim Steinman’s song The Invocation:

If light were dark and dark were light
The moon a black hole in the blaze of night
A raven’s wing as bright as tin
Then you, my love, would be darker than sin.

Sabar dan Nerimo

Aku baru kemarin cerita ke seorang sahabat tentang QS Al Ashr, tentang pentingnya saling mengingatkan dalam kebaikan dan dalam kesabaran, dan bahwa kesabaran dalam hal ini lebih tepat dipetakan sebagai persistence, bukan patience. Persistence itu kesabaran juga. Sabar, kokoh, istiqomah, dalam menjaga atau mewujudkan nilai-nilai, dan kuat hati melawan segala macam bentuk tekanan. Pantang menyerah dalam berjuang.

Sore ini Frans Magnis Suseno memberikan lecture tentang etika. Salah satu yang beliau sebut adalah tentang konsep “nerimo” dalam budaya Jawa. Konsep nerimo, kata Romo Magnis, bukanlah konsep menyerah menerima keadaan. Konsep ini justru merupakan penguat untuk tidak mau patah menerima tekanan dan tindasan.

Thanks, Romo. Ini makin menguatkan hati.

Dan minggu depan, lecture akan dibawakan oleh Putu Wijaya.

Wolfgang Pauli

“This paper isn’t right. It isn’t even wrong.” Ini kalimat yang cukup terkenal dari fisikawan kuantum, Wolfgang Pauli. Mungkin pernah juga aku buat tulisan tentang Pauli. Tapi biar deh, dobel juga. Pauli bilang, yang nggak boleh dobel itu lepton dalam empat bilangan kuantum yang sama. Dia tak ada sebut apa-apa tentang dua tema kembar dalam sebuah weblog.

OK. Konon, orang boleh bertanya apa pun pada Pauli tanpa khawatir dianggap bodoh; karena bagi Pauli semua pertanyaan itu memang bodoh. Ini terjadi bahkan sejak Pauli jadi mahasiswa. Setelah sebuah kuliah oleh Einstein, Pauli memulai diskusi dengan ucapan, “You know, what Einstein said is not too stupid.” Yup, cuman yang sekelas Einstein yang tidak terlalu bodoh.

Einstein dan Pauli

Aku pernah menulis kesan Feynman tentang Pauli. Dia memberikan ulasan mengapa teori Wheeler-Feynman yang dipaparkan Feynman itu salah, tapi sama sekali tanpa dipahami Feynman sendiri. Pauli sendiri pernah menanggapi seorang fisikawan muda lainnya: “So young and already so unknown.”

Waktu Eugene Gugh — seorang fisikawan lainnya — mencoba mendebat salah satu paparan Pauli, Pauli mendengarkan sebentar, lalu memotong: “Gugh, whatever you know, I know.”

Juga Lev Landau, ilmuwan Soviet yang terkenal keras dan arogan. Landau memaparkan papernya kepada Pauli. Melihat wajah Pauli yang ragu, Landau marah. “Kau pikir ini nonsense kan?” katanya menyerang Pauli. Dan Pauli cuma bisa menjawab, “Nggak. Nggak sama sekali. Idenya terlalu kabur, jadi saya belum tahu ini nonsense atau tidak.”

Setelah PD-2, Pauli sempat bertemu lagi dengan Heisenberg, salah satu tokoh besar teori kuantum lainnya. Sama-sama menyatakan sudah menurunkan semua masalah yang belum terpecahkan dalam teori partikel elementer, mereka berkerja bersama, dan akhirnya menyederhanakan hasilnya dalam satu formula. Hasilnya dipaparkan Pauli di Columbia University, di hadapan tokoh-tokoh fisika, termasuk Niels Bohr (f.y.i., anaknya Bohr ini juga namanya Bohr, juga jadi fisikawan, dan juga memenangkan hadiah nobel, dan berultah pada 19 Juni — tapi ini cerita lain). Setelah Pauli berpaparan, Bohr diminta berkomentar. Jeremy Bernstein menyatakan bahwa diskusi ini adalah diskusi paling tidak umum selama dia jadi fisikawan. Mula-mula Bohr menyatakan bahwa teori Heisenberg-Pauli ini gila, tapi tidak cukup gila. Relativitas dan teori kuantum itu gila, melawan akal sehat yang berlaku. Di lain pihak, teori yang dipaparkan Pauli ini memang ajaib, menarik, tapi tidak cukup gila. Pauli membalas menyatakan bahwa teorinya itu cukup gila. Mereka bicara bergantian. Bohr berkeras bahwa teori Pauli tidak cukup gila, sementara Pauli berkeras bahwa teorinya sangat gila. Ada non fisikawan di sana, seperti Dyson. Tapi dia tidak mau berkomentar menanggapi cara fisikawan papan atas ini berdebat.

Tak lama setelah itu, Pauli sakit dan meninggal. Sebelum meninggal, salah satu yang diucapkannya adalah “Ich weiss viel. Ich weiss zu viel. Ich bin ein Quantengreis.” Dia meninggal di RS, kamar 137 — angka keramat bagi para fisikawan mekanika gelombang.

Born to be Hanged

Tahun 1927, fisikawan Max Born menghadiri kongres fisika internasional di Como. Pada salah satu sesi, ia merasa bosan. Jadi, pada saat ruang digelapkan untuk memasang proyektor, ia memanfaatkan peluang untuk kabur melalui sebuah pintu. Di koridor, ia menengok kiri-kanan, khawatir ketahuan, dan menatap Rutherford di pintu yang lain, sedang menengok kiri-kanan juga. Rutherford tertawa, lalu berkata, “Kabur juga ya? Ke danau aja yuk!” Dan ke sana lah akhirnya mereka menghabiskan waktu berbincang tentang berbagai hal, dan mengawali persahabatan mereka.

Tahun 1933, di tengah gemuruh kebangkitan Nazi, Born didepak dari kursi keprofesorannya di Göttingen. Rutherford menyelamatkannya dengan mengirim undangan ke Cambridge. Born sendiri tidak pernah lupa bahwa keberuntungannya diawali sebuah kebetulan akibat kebadungan di Como. Maka berangkatlah Born ke Cambridge. Namun begitu mendarat, kaget ia bukan kepalang. Di stasiun terpampang poster “Born to be Hanged”. Ia baru tenang waktu ia baca lebih lanjut bahwa poster itu hanya iklan sandiwara di teater lokal.

Di Cambridge, ia menyempatkan diri bertemu JJ Thomson yang sudah tua. Jauh sebelumnya, di tahun 1906, Born pernah ke Cambridge bekerja untuk Thomson. Putra Thomson, juga fisikawan, membawanya ke ayahnya, dan berkata “Pak, ini mahasiswa yang duluuuu pernah belajar di sini.” Thomson tua menyambut dengan: “Apakabar? Lihat nih. Ini adalah spektrum dari …” dan perbincangan langsung ke arah riset, melupakan tahun-tahun yang berlalu dengan perang-demi-perang.

Namun akhirnya Born pindah lagi ke Edinburgh, dan menjadi profesor fisika di sana.

The Laughing Stars

Mais toutes ces étoiles-là se taisent. Toi, tu auras des étoiles comme personne n’en a… Quand tu regarderas le ciel, la nuit, puisque j’habiterai dans l’une d’elles, puisque je rirai dans l’une d’elles, alors ce sera pour toi comme si riaient toutes les étoiles. Tu auras, toi, des étoiles qui savent rire!

No dla vsekh etikh lyudei zvyozdy nemiye. A u tebya budut sovsem osobenniye zvyozdy. Ty posmotrishy nochyu na nyebo — a vedy tam budyet takaya zvezda, gde ya zhivu, gde ya smeyusy — i ty uslyshishy, chto vsye zvyozdy smeyutsya. I tebya budut zvyozdy, kotorye umeyut smeyatysya.

Hae autem omnes silent. Tu contra stellas babebis quales nemo habet…
Cum caelum nocte intueberis, quoniam in aliqua habitabo, quiniam in aliqua ridebo, propterea tibi omnes stellae ridere videbuntur. Tu stellas habebis risu praeditas!

Për shumicën gjithë yjet atje lart janë të heshtur. Kurse ti, vetëm ti, do të kesh yje që nuk i ka asnjë tjetër…
Në një prej atyre yjeve do të jetoj unë. Në një prej tyre unë do të qesh. Dhe kështu kur të soditësh qiellin natën, ty do të duket sikur gjithë yjet qeshin. Ti do të kesh yje që qeshin.

Aber alle diese Sterne schweiden. Du, du wirst Sterne haben, wie sie niemand hat… Wenn du bei Nacht den Himmel anschaust, wird es dir sein, als lachten alle Sterne, weil ich auf einem von ihnen wohne, weil ich auf einem von ihnen lache. Du allein wirst Sterne haben, die lachen können!

But for everyone the stars are silent. Except from now on just for you.
When you look up at the sky at night, since I shall be living on one of them and laughing on one of them, for you it will be as if all the stars were laughing. You and only you will have stars that can laugh.

Pero todas esas estrellas no hablan. Tú tendrás estrellas como nadie las ha tenido. Cuando mires al cielo, por la noche, como yo habitaré en una de ellas, como yo reiré en una de ellas, será para ti como si rieran todas las estrellas. ¡Tú tendrás estrellas que saben réir!

Exupéry: Pangeran Ketjil

The Stars Would All Go Out

If a picture paints a thousand words, Then why can’t I paint you?
The words will never show, The you I’ve come to know.
If a face could launch a thousand ships, Then where am I to go?
There’s no one home but you, You’re all that’s left me to.
And when my love for life is running dry,
You’ll come and pour yourself on me.
If a man could be two places at one time I’d be with you,
Tomorrow and today, Beside you all the way.
If the world should stop revolving, Spinning slowly down to die,
I’d spend the end with you, And when the world was through,
Then one by one, The stars would all go out,
Then you and I, Would simply fly away

Keracunan Obat

It was midnight. You tried to sleep. Badan mulai menggigil, tapi di sekitar tulang belakang terasa hangat. Ada yang terasa terus menerus ditarik dan dikontaksikan secara mikro. Dan kewaspadaan meningkat. Pikiran berputar ke segala penjuru dengan kelincahan luar biasa. If you think it is better to get up and do some creative things, think it again. Badan nggak bisa diangkat. Tekanan darah langsung drop. Dan nyaris nggak ada energi untuk benar-benar menegakkan badan. Ini semua efek sekumpulan obat yang dimaksudkan untuk melawan radang ringan. Mirip bom napalm yang dijatuhkan pemerintah AS untuk melawan para petani Vietnam.

Trus matahari terbit. Aku bangun masih tanpa energi. Dan betul-betul baru bisa berdiri lebih dari 5 menit jam 15.00. Dan aku kehilangan emosiku. Datar. Tanpa kekhawatiran, keceriaan, keinginan. Aku jadi Cyborg. Hidup hanya dengan pikiran.

Tapi apa sih jadinya kalau manusia hidup hanya dengan pikiran? Apa terus jadi mesin ekonomi? Nggak juga sebenernya. Yang sering bisa dipikirkan adalah life improvement dengan breakthrough yang realistik, dengan motivasi pribadi yang lebih bisa ditekan. Dan yang paling menarik adalah, kita menikmati jadi jujur tanpa khawatir. Jeleknya, kita kadang tampak temperamental tanpa bener-bener temperamental.

OK, dan suatu hari si emosi terbit lagi. Dengan otak yang masih mendendam sama mesin ekonomi raksasa, berupa realitas sosial yang dipaksakan, yang kadang bernama negara, hukum, atau agama.

Kenapa, misalnya, kita harus mengalirkan uang. Apa yang terjadi kalau Wagner harus bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 7 malam mencacahi pemasaran minyak bakar? Maksudku apa yang terjadi dengan dunia? Bukankah kita semua akan kehilangan salah satu mahakarya musikal terindah, dan terpaksa hidup dengan musik kampungan kayak Peter Pan? Dan apa Wagner harus disalahkan bahwa untuk menyusun mahakarya semacam itu dia harus terus menumpuk hutang untuk membiayai hidup?

Jadi biarlah semua uang di dunia diambil para pengagum uang (sekutu Anne Ahira masih terus membanjiri web ini dengan spam — persetan dengan mereka). Dan biarlah kita sisanya menertawai ketamakan mereka, lalu mengambil hal2 indah yang tersebar di dunia dan di antara hati-hati kita. Anda, para sahabatku, adalah sahabat, bukan prospek, bukan konsumen. Good businessman menjadikan konsumen menjadi sahabat. Evil businessman menjadikan sahabat jadi prospek dan konsumen. Hell to them. Hell juga untuk para rentenir yang mengejari Wagner dan Cosima, dan membuat kemanusiaan agung mereka jadi tercemari sifat antisemit. (Aku nggak punya keantian pada bangsa Yahudi, tapi entah kalau aku jadi Wagner yang tiap hari keluarganya dimaki-maki, dikejar-kejar, dan diteror rentenir yang di masa itu 90%-nya adalah orang Yahudi).

Hey, lucu kan apa yang dipikirkan dari sebuah melankoli yang masih merupakan efek obat yang masih tersisa. Nggak, obatnya nggak aku minum lagi. Mudah2an tulisan macam gini nggak akan kelihatan lagi di web ini.

φ, si Bilangan Emas

Bilangan Fibonacci diambil dari deret 1, 1, 2, 3, 5, 8, 11, dst, di mana suku ke n merupakan jumlah dari n-1 dan n-2. Konon zaman dahulu orang mau mencoba menyusun formula deretnya, yaitu untuk menentukan suku ke n, tanpa harus menghitung ulang dari 1 sampai n. Sampai sekarang konon formulanya belum ditemukan.

Yang menarik dari bilangan Fibonacci adalah bahwa rasio antara bilangan n dan n-1 dapat dihitung. Biarpun bentuknya tidak asimtotik (alih-alih lebih mirip gelombang teredam), dia memiliki nilai akhir yang terus didekati. Dan nilai finalnya tentu adalah sebuah bilangan x, di mana selisihnya dengan 1/x adalah tepat 1. Dengan kata lain, x-1=1/x. Atau x²-x-1=0. Dan dengan x=-b±√ (b²-4ac)/2a, kita peroleh x=½(√ 5+1). Atau 1,6180339887. Ini disebut sebagai bilangan emas, dinotasikan sebagai φ

Tapi kalau aku yang jadi penemunya, aku lebih suka menamai φ sebagai 1/x itu, yaitu 0,6180339887. Jadi angka 61803399 bisa dijual jadi nomor cantik.

φ sering nampak sebagai fenomena yang seolah-olah luar biasa (sebenarnya memang semesta itu luar biasa, tetapi jadi relatif biasa saja kalau dibandingkan dengan apa pun yang ada di dalam semesta sendiri). Banyak bagian dari semesta yang bertumbuh (ataupun meluruh) dengan deret Fibonacci: berkembang dari yang telah ada. Maka dalam jumlah sel yang besar (baik sel hidup maupun ‘sel’ tidak hidup), banyak rasio-rasio di dalamnya yang merupakan rasio dua bilangan Fibonacci serial tinggi, yaitu φ itu. Cangkang kerang bisa dijadikan permulaan. Kemudian telur. Dan bagian-bagian tubuh manusia sendiri.

Di salah satu serial ilmiah BBC, berjudul Face (lagi didiscount gede-gedean di swalayan terdekat), Leonardo Da Vinci palsu memanggil Lisa. “Hai Lisa, kemarilah, biar kulihat wajahmu.” Lalu dia sibuk mengukur lebar mata, hidung, mulut, pipi, dan lain-lain, dan melakukan perhitungan rasio-rasio di selembar papan tulis kecil; dan akhirnya dengan penuh kekaguman ia berseru, “Lisa, ternyata kamu cantik sekali!” sambil terus melihat hasil hitungnya di papan: φ. Lalu jadilah lukisan Mona Lisa.

Dokter bedah wajah (bukan palsu) yang jadi narasumber di situ yakin bahwa kecantikan kuantitatif memang bisa diukur dengan rasio-rasio Da Vinci itu. Dan sifatnya universal. Jadi kalau mau menguji apakah wajah Anda cantik, sila beli CD itu. Tapi perhatikan bahwa yang diukur adalah kecantikan kuantitatif.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑