Gunung kapur yang aku nggak tau namanya ini terletak di Citatah, antara Padalarang dan Rajamandala. Aku mengamati deretan gunung kapur ini mulai kecil, dalam serangkaian perjalanan Bandung-Jakarta, sejak Jagorawi belum ada, dan dalam kesempatan jalan-jalan ke Situ Ciburuy. Percayalah, bahwa Jagorawi pernah belum ada, atau bahwa Situ Ciburuy pernah enak buat jalan-jalan. Dan tentu saja gunung kapur itu bentuknya nggak seperti sekarang. Mereka terus tergerus untuk kebutuhan cucu Adam :).
Yang di atas ini pernah dalam hati aku namai Gunung Kingkong. Pernah mirip Kingkong sih, cuman wajahnya putih kapur. Sekarang udah nggak mirip, tentu. Gunung ini punya daya hipnosis ke aku. Selama masih di IT, setiap jalan ke luar kota, aku selalu tertidur waktu lewat gunung ini. Sekarang udah nggak. Tapi kadang masih iya sih. Pernah juga aku jadiin bahan diskusi panjang dengan Mas Sasongko, sepanjang perjalanan ke Puncak: apakah batu kapur itu senyawa karbon, atau setidaknya terikat melibatkan ikatan karbon. Juga dengan teman-teman dari Sentral: apakah benar daerah ini merupakan titik awal naiknya Pulau Jawa ke atas muka laut. Juga dengan Mas Khamdan: apakah fenomena penampakan hantu itu hanya halusinasi, yang dapat menular, dan dapat terbudayakan. Banyak diskusi lain mengalir dari tampilan2 di sekitar wilayah ini, yang lebih menarik daripada mendiskusikan urusan kantor :).
Nun dari sebelah utara sana, deretan gunung kapur ini juga tampak dari rel kereta ke Jakarta. Tapi ini bakal jadi cerita lain lagi. Bersambung ah :).
Author: Koen (Page 42 of 87)
Daripada beli sekian buku biografi (apalagi autobiografi — idih, narciscist), mendingan baca Time, special issue, 8 Mei ini. 100 tokoh yang mempengaruhi dunia (khususnya AS, tentu saja), diulas oleh 100 tokoh. Bias? ah, kita udah biasa :). Hmm, Junichiro Koizumi ternyata penggemar Richard Wagner juga, hehe. Di halaman scientist & thinker, tokoh pertama adalah Jimmy Wales, pencipta Wikipedia.
Aku sedang berhenti di halaman di mana Murray Gell-Mann membahas Geoffrey West. Tokoh yang terakhir ini presiden Santa Fe Institute (yang a.l. didirikan Gell-Mann juga), yang sedang bermain dengan ilmu kompleksitas. Sains bukanlah dunia yang diskrit. Fisika, geologi, ekonomi, psikologi, hingga seni, bermain dalam metasistem di mana prinsip pada sebuah ilmu menyentuh ilmu lainnya.
Geoffrey West, bekerja dengan Jim Brown, tengah menyidik kaitan antara rerata berat spesies dengan tekanan darah dan kecepatan metabolismenya. Formulanya akurat sekali. Trus apa artinya? Spesies bisa berupa seekor ikan paus, misalnya. Atau sebuah perusahaan. Atau kota. Atau negara. Dengan mengkaji tata hidup sosial hewan, kita bisa mengkaji kerja kelompok bersenjata, baik tentara maupun teroris. Mengetahui cara kerja otak membantu kita merancang komputer yang lebih baik. Mempelajari perilaku sekelompok ikan dapat membantu memahami perilaku investor, dan mencegah bencana saham.
Yuk, kita simak lebih jauh.
Keramaian biasanya nggak terlalu ternikmati. Biarpun judulnya “Grand Launching” sebuah produk Speedy. Pertama, perkalongan untuk persiapan pun cukup memutus rantai recovery kesehatan. (Cerita malam-1 ada di weblog satunya). Ditambah sambil harus mempersiapkan pindahan kantor di sela-sela waktu yang tak tersisa (Foto samping: bebenah di kantor lama). Mudah2an nggak error ngurusin soal pindahan. Entertainment pada Hari H tak cukup memulihkan, bahkan melipatkan kelelahan, biarpun aku bisa tertawa lepas lihat gaya si Aming, dan lega mendengar lantunan Andre Hehanusa.
Pagi ini, aku udah menempati kantor baru. Di kawasan Dago. Mejaku rapi, tapi/soalnya beberapa box di samping meja belum dibongkar. Belum sempat beberes. Pekerjaan langsung cukup banyak.
Sekarang aku lebih banyak bermain kembali di urusan teknologi. Dan engineering. Dan “engineering” … :). Bedanya apa sih engineering sama “engineering” … gitu kali yach? Yang kedua lebih banyak berada di luar kotak, I guess. Mudah2an :).
Sore ini langit merah merona jingga dan kemudian ungu. Apa pun itu, aku siap melangkah.
Masih April, jadi rada tematis untuk cerita tentang seorang cewek keren. Namanya Sofya Vasilyevna Kovalevskaya (Софья Васильевна Ковалевская). Di textbook, nama ini mencuat dalam teorema persamaan diferensial Cauchy-Kovalevsky. Lahir pada 1850 di Moskva, dan diracuni salah seorang pamannya dengan matematika sejak usia dini, termasuk konsep ‘mengkotaki lingkaran’ dan asimptot.
Saat keluarganya pindah ke Kaluga, seluruh rumah dilapisi wallpaper yang dipesan dari Petersburg. Tapi kurang satu gulung. Dan malas pesan lagi cuma segulung. Maka kamar Sofya kecil dilapisi dengan gulungan kertas tua dari gudang, yang ternyata adalah catatan kuliah kalkulus diferensial dan integral dari Akademi Ostrogradsky, punya sang ayah. Sofya jadi membiasakan diri memelototi formula2 ajaib di tembok kamarnya. Beberapa di antaranya mengingatkannya akan ‘kuliah’ oleh pamannya. Sisanya, entah :). Tapi ia suka membaca2nya dan mencoba memengertinya. Banyak yang benar2 masuk ke memorinya.
Ayah Sofya tidak terlalu suka pendidikan pada wanita, jadi Sofya tidak sekolah, dan belajar aljabar sendiri di rumah. Keberuntungan terjadi waktu tetangganya, Profesor Tyrtov, membawa ke rumahnya makalah fisika dasar. Sofya mencoba ikut membacanya, tapi macet di trigonometri, yang belum pernah ia pelajari. Tapi ia mencoba memahami dengan melakukan eksperimen hitungan. Ia berhasil. Tapi waktu ia menceritakan kembali apa yang ia pahami ke Tyrtov (dengan tata istilah yang tidak standar), profesor itu langsung mendatangi ayahnya, dan berargumentasi bahwa Sofya harus dididik lebih serius.

Maka Sofya dikirim belajar ke Profesor Strannolyubsky di Petersburg. Di sana, ia ternyata cepat paham dan berhasil memecahkan soal matematika dengan sangat cepat. Seolah2 otaknya sudah terbiasa. Sementara itu, ia dan saudarinya jadi berminat pada pemikiran sosialis, nihilis, dan sastra. Sofya sempat menjadi teman Dostoyevsky. Tokoh Aglia dan Alexandra dalam novel Idiot dari Dostoyevksy konon diilhami oleh kepribadian Sofya dan saudarinya.
Masa itu di banyak negara Eropa, perempuan belum boleh kuliah. Agar bisa meneruskan kuliah, Sofya melakukan pernikahan pura-pura dengan Vladimir Kovalevskij, seorang paleontolog muda dan radikal, yang pertama menerjemahkan dan menerbitkan karya Darwin di Rusia. Pasangan ini berpindah dari Rusia ke Austria (Wien), lalu ke Jerman (Heidelberg), dan sempat ke Inggris (London), agar dapat meneruskan studi.
Kembali ke Jerman (Berlin), Sofya belajar pada matematikawan Karl Weierstrass (duh, langsung ingat huruf keriting). Weierstrass menolak halus dengan memberikan soal sulit untuk mengenyahkan Sofya. Tapi Sofya (oh ya, namanya kemudian dikenal sebagai Sophie) bisa memecahkannya dan Weierstrass langsung paham bahwa ia menghadapi bakat matematika yang hebat. Ia pun menjadi tutor, konselor, dan teman Sophie. Dengan dukungannya, Sophie berhasil menyelesaikan tesis doktoral di Universitas Gottingen dengan tiga paper: dua matematika murni dan satu astronomi teoretis. Sophie pulang kembali bersama suaminya di Russia. Tujuh tahun ia meninggalkan matematika.

Di Russia, kehidupan keluarga Kovalevsky kurang baik. Mereka jadi suami istri beneran, dan punya anak. Radikalisme Kovalevsky menyulitkannya mencari pekerjaan. Vladimir Kovalevsky akhirnya bunuh diri. Sementara itu, Sophie diundang ke Stockholm oleh matematikawan Swedia Gosta Mittag-Leffler, yang disuruh Weierstrass mencari Sophie ke Russia. Sophie membangkitkan kembali minat matematikanya, dan naik jenjang terus menerus hingga mencapai posisi Profesor Matematika. Ia wanita pertama yang memegang kursi keprofesoran di Eropa — Marie Curie menyusul 17 tahun kemudian. Sophie (yang di Swedia dinamai kembali sebagai Sonya) terus memberikan sumbangan penting bagi matematika. Salah satu paper mekanikanya memberoleh penghargaan dari Académie Française des Sciences, yang digandakan karena memiliki arti khusus juga bagi fisika teoretis.
Kemudian? Dia menjadi penulis. Novel, drama, dan artikel sastra. Sophie meninggal akibat wabah flu terkomplikasi pneumonia pada tahun 1891 pada usia 41 tahun.
Aku tak dapat mengakui kuasa kegelapan.
Kuhadapi dia.
Tak dengan pedang.
Tak dengan setetes kuasa apa pun.
Hanya dengan hati.
Pun bukan hati yang suci.
Hati biasa, yang compang-camping penuh dosa.
Tapi biar dia kuhadapi.
Beberapa hari hujan lebat menghajar Bandung dan beberapa kota lain di Jawa. Sore ini aku terjebak, turun dari bis di Pasirkoja, naik angkot, dan mulai disambut hujan yang langsung bermetamorfosis (duh) jadi badai badai. Muter2, akhirnya memutuskan rehat di BEC, daripada muter2 tanpa tujuan :). Buat yang bukan penduduk Bandung, BEC ist Bandung Electronic Centre.
Pre-dinner sendiri di Lt-2, bikin keisengan bangkit. Nggak, aku nggak cukup usil untuk mengisengi orang lain. Aku buka notebook aja. Bukan buka Word atau apalagi Excel. Dokter udah menyatakan bahwa aku alergi MS Office, dan harus menghindarinya sebanyak mungkin. Terutama Excel. So, iseng cari2 hotspot WiFi. Dulu ada Telkom Hotspot atau Telkomsel Surfzone kayaknya di sini. Radnet juga. Tapi aku nggak pernah periksa. Belum pernah sih sebelumnya buka notebook di BEC.
Dapat? Dapat sih, beberapa. Yang lagi aku pakai ini adalah pilihan pertama. Namanya “Hotspot BEC” — dan langsung bisa dipakai tanpa harus tanya userid dan password.
Save dulu ah. Belum tau nih, reliable apa nggak. Bersambung.
OK, ternyata masih cukup reliable. Wow, bakal panjang keisengan kayak gini. Di Starbucks BIP juga ada tanda Telkom Hotspot. Barangkali lain hari aku bolos aja ke sana, bukan buat ngopi, tapi buat cobain kehotspotan Telkom. Barrista di sana baik hati semua, tanpa kecuali. Mau menghafal nama customer malahan (surprise nggak sih, selalu dipanggil dengan nama kita setiap masuk ke sana). Mudah2an mereka nggak keberatan membiarkan aku memanfaatkan tempat mereka buat bolos sambil internetan.
Trus ngapain di Internet? Hmmm, nggak ada rencana sih, selain nunggu hujan reda. Ada ide? Sila tanggapi aja posting ini. Kali2 aja aku belum pulang. Baterainya bilang masih 1 jam 6 menit.
Wolfgang Pauli, salah satu raksasa Fisika Kuantum, kita kenal dari SMA dengan Prinsip Pauli-nya: Tidak ada satu lepton (mis. elektron) pun yang bisa memiliki bilangan kuantum yang sama. Mungkin kita juga perlu mengenal Prinsip Pauli kedua yang diamati banyak orang di sekitarnya: setiap pendekatan oleh Pauli akan mengakibatkan kerusakan pada perangkat di sekitarnya. Bahkan konon ledakan yang menghancurkan Departemen Fisika Universitas Bern terjadi waktu kereta yang dinaiki Pauli ke rumahnya di Zurich melewati Bern.
Fisikawan Casimir bercerita tentang sebuah paparan fisika oleh fisikawan Heitler tentang ikatan homopolar. Pauli tampak menahan kesabaran waktu mendengarkannya. Waktu boleh memberi komentar, Pauli langsung maju. Heitler duduk di sebuah kursi di ujung Podium. Pauli mulai menyerang, “Pada jarak jauh, teori ini salah akibat adanya daya tarik Waals. Pada jarak dekat, kita tahu, jelas2 salah juga.” Lalu ia berjalan sambil terus mendekati Heitler. “Namun ada yang memberi pernyataan bahwa sesuatu yang salah baik pada jarak jauh maupun pada jarak dekat, mungkin bisa secara kuantitatif benar pada jarak menengah.” Sekarang ia sudah dekat pada Heitler. Heitler memundurkan kursinya, yang tiba-tiba saja punggungnya patah dan membuat Heitler terjatuh.
George Gamow yang juga hadir langsung berteriak, “Efek Pauli!”
Oh ya, Pauli juga pernah beberapa kali dibahas di sini. Klik saja kategori Science.
“I have offended God and mankind because my work didn’t reach the quality it should have.”
Pencurian content mah, sekali dilakukan, gampang jadi kebiasaan. So, kita teruskan acara pembahasan kopi. Nggak dink, ini sebenernya pembahasan inovasi.
Sekaligus menjawab ke seorang rekan di kantor yang suka nanya: kenapa kopi di Starbucks mahal, tapi tetap laku. Pun kopi di Starbucks sebenernya bukanlah yang terenak. (Yang jelas, Starbucks masih terenak dibandingkan kopi instan yang mana pun. Dan coba deh, kuli2 macam aku gini kapan sempat cari kopi enak beneran, haha.)
Baca buku The Blue Ocean Strategy yang lagi ngetrend itu. Dan sebenernya ringkasannya cukup satu kata aja: inovasi. Inovasilah yang menggeser soal jual beli kopi ini dari sekedar urusan komoditi menjadi urusan pengalaman. Dan pengalaman tentulah sifatnya priceless. Dihargai berapa pun, customer akan tetap merasa beruntung. Soalnya, tentu, adalah pengelolaan inovasi secara serius. Ini yang sebenarnya tidak mudah. Buku Blue Ocean Strategy pun hanya main2 di tepian. Lihat contoh kasus seperti Google barangkali lebih berguna. Atau industri-industri perbankan.
Doyan kopi, tapi mau menghemat jantung? Decaf saja! Masa? Weblog ini pernah menyangkal soal itu. Nah, majalah Science&Vie bulan Januari lalu mengulang hal yang sama. Kopi decaf tidak membantu menghemat jantung buat para pecandu narkopi.
Jadi, buat yang sayang jantung, sementara ini kopi memang harus dihindari. Pelihara aja umur, sampai suatu hari kita bisa meramu kopi yang ramah jantung, perut, dan kantong. Eh.
Tapi memang sih, buat sebagian orang … buat apa umur panjang, kalau nggak boleh ngopi? Sebagai pecinta (tapi bukan pecandu) kopi, komentar aku sih ini aja: DUH!