Teka-teki Usia Sultan ternyata sempat bikin keki. Yang menjebak dalam teka-teki itu bukan bahwa kita sedang mencari nilai x dimana x=x1+x2+x3 dan x1*x2*x3=y tidak memiliki solusi tunggal. Tetapi bahwa … sebentar. Gara2 solusi tidak tunggal, aku jadi mendadak pingin nulis soal Ramanujan.
Srinivasa Aayengar Ramanujan (bukan tokoh fiktif) adalah matematikawan cemerlang dari negeri India. Ia dibawa ke Cambridge oleh G.H. Hardy untuk meneruskan pendidikan di sana. Ramanujan tetap bergaya pertapa Brahmin: memperbanyak merenung, mengasyiki hobi, mengurangi makan dan tidur – di negeri dengan cuaca yang tak ramah. Maka ia jatuh sakit, dan harus dirawat.
Suatu hari Hardy mengunjunginya. Hardy pun tak kalah eksentriknya: ia menganggap topik yang menarik hanyalah matematika. Maka ia pun tak mudah menemukan topic pembicaraan dengan orang sakit. Alih-alih, ia mulai bicara lagi tentang angka. “Aku naik taksi tadi. Nomor mobilnya 1729. Bukan angka asyik ya”
Sebaliknya, Ramanujan justru tertarik. “Sama sekali tidak, Hardy. 1729 adalah angka terkecil yang bisa merupakan jumlah dari dua bilangan kubik dari dua kombinasi bilangan kubik yang berbeda!” OK, buat kita yang bukan matematikawan, 1729 adalah 1000 + 729 sekaligus 1728 + 1.
Jadi misalkan Abdul Azis membawa tiga kotak ke Sultan Mas’ud, dan berkata bahwa usia tiap kotak kurang dari 2000 tahun, serta usia dua kotak itu, jika masing-masing dipangkattigakan lalu dijumlahkan, sama dengan usia kotak ketiga, dan Sultan Mas’ud mengaku tidak bisa memecahkan, kita bisa menduga bahwa usia kotak ketiga adalah 1729 tahun.
Teka-teki semacam Usia Sultan sering disebut sebagai metapuzzle. Yang menjebak dalam teka-teki itu, seperti yang ditulis di atas, bukan bahwa nilai x dimana x=x1+x2+x3 dan x1*x2*x3=y tidak memiliki solusi tunggal. Yang menjebak adalah bahwa teka-teki itu hanya bisa dipecahkan kalau kita melihat fakta “Sultan yang hobby matematika itu tidak bisa memecahkan” sebagai clue, bukan hanya sebagai bunga cerita. Aku berikan contoh lain, dari negeri Rajsinghe.
Penduduk negeri Rajsinghe memeluk satu dari dua agama. Dewa Posithe dipuja sebagian rakyat, yang karena aturan agamanya — yang menjunjung kejujuran — hanya boleh mengatakan hal yang benar semata. Dewa Negathe dipuja rakyat lainnya, yang karena aturan agamanya — yang menafikkan kata-kata – hanya boleh menggunakan kata-kata untuk hal yang salah semata. Tapi penganut kedua agama itu toleran dan saling bersahabat, serta memiliki kebiasaan serupa: bicara setengah berbisik.
Suatu hari, Inspektur Vijay, seorang penganut Posithe, diperintahkan untuk menyidik sepasang sahabat, yakni Meneketehe dan Meregehese. Agama kedua orang ini tak diketahui. Maka datanglah Vijay ke tempat dua sahabat itu.
Setelah bertemu, Inspektur Vijay memulai interogasi.
“Meregehese, apakah dari kalian ada yang menyembah Posithe?”
Meregehese membisikkan satu kata. Tak tertangkap mesih perekam kita. Tapi Vijay jelas mendengarnya. Memilin kumis tebalnya sebentar, lalu ia bertanya lagi:
“Meneketehe, apa benar yang dikatakan Meregehese?”
Meneketehe membisikkan satu kata juga. Juga tak tertangkap mesin perekam kita. Vijay memilin kumis lagi sebentar, ia lalu berkata: “Sekarang aku tahu.”
Pertanyaan: Apa agama si Meneketehe dan Meregehese?
Setelah mencoba menjawab, klik pada Komentar untuk membaca jawabannya.