Author: Koen (Page 34 of 87)

Metapuzzle

Teka-teki Usia Sultan ternyata sempat bikin keki. Yang menjebak dalam teka-teki itu bukan bahwa kita sedang mencari nilai x dimana x=x1+x2+x3 dan x1*x2*x3=y tidak memiliki solusi tunggal. Tetapi bahwa … sebentar. Gara2 solusi tidak tunggal, aku jadi mendadak pingin nulis soal Ramanujan.

metapuzzle.jpgSrinivasa Aayengar Ramanujan (bukan tokoh fiktif) adalah matematikawan cemerlang dari negeri India. Ia dibawa ke Cambridge oleh G.H. Hardy untuk meneruskan pendidikan di sana. Ramanujan tetap bergaya pertapa Brahmin: memperbanyak merenung, mengasyiki hobi, mengurangi makan dan tidur – di negeri dengan cuaca yang tak ramah. Maka ia jatuh sakit, dan harus dirawat.

Suatu hari Hardy mengunjunginya. Hardy pun tak kalah eksentriknya: ia menganggap topik yang menarik hanyalah matematika. Maka ia pun tak mudah menemukan topic pembicaraan dengan orang sakit. Alih-alih, ia mulai bicara lagi tentang angka. “Aku naik taksi tadi. Nomor mobilnya 1729. Bukan angka asyik ya”

Sebaliknya, Ramanujan justru tertarik. “Sama sekali tidak, Hardy. 1729 adalah angka terkecil yang bisa merupakan jumlah dari dua bilangan kubik dari dua kombinasi bilangan kubik yang berbeda!” OK, buat kita yang bukan matematikawan, 1729 adalah 1000 + 729 sekaligus 1728 + 1.

Jadi misalkan Abdul Azis membawa tiga kotak ke Sultan Mas’ud, dan berkata bahwa usia tiap kotak kurang dari 2000 tahun, serta usia dua kotak itu, jika masing-masing dipangkattigakan lalu dijumlahkan, sama dengan usia kotak ketiga, dan Sultan Mas’ud mengaku tidak bisa memecahkan, kita bisa menduga bahwa usia kotak ketiga adalah 1729 tahun.

Teka-teki semacam Usia Sultan sering disebut sebagai metapuzzle. Yang menjebak dalam teka-teki itu, seperti yang ditulis di atas, bukan bahwa nilai x dimana x=x1+x2+x3 dan x1*x2*x3=y tidak memiliki solusi tunggal. Yang menjebak adalah bahwa teka-teki itu hanya bisa dipecahkan kalau kita melihat fakta “Sultan yang hobby matematika itu tidak bisa memecahkan” sebagai clue, bukan hanya sebagai bunga cerita. Aku berikan contoh lain, dari negeri Rajsinghe.

Penduduk negeri Rajsinghe memeluk satu dari dua agama. Dewa Posithe dipuja sebagian rakyat, yang karena aturan agamanya — yang menjunjung kejujuran — hanya boleh mengatakan hal yang benar semata. Dewa Negathe dipuja rakyat lainnya, yang karena aturan agamanya — yang menafikkan kata-kata – hanya boleh menggunakan kata-kata untuk hal yang salah semata. Tapi penganut kedua agama itu toleran dan saling bersahabat, serta memiliki kebiasaan serupa: bicara setengah berbisik.

Suatu hari, Inspektur Vijay, seorang penganut Posithe, diperintahkan untuk menyidik sepasang sahabat, yakni Meneketehe dan Meregehese. Agama kedua orang ini tak diketahui. Maka datanglah Vijay ke tempat dua sahabat itu.

Setelah bertemu, Inspektur Vijay memulai interogasi.
“Meregehese, apakah dari kalian ada yang menyembah Posithe?”
Meregehese membisikkan satu kata. Tak tertangkap mesih perekam kita. Tapi Vijay jelas mendengarnya. Memilin kumis tebalnya sebentar, lalu ia bertanya lagi:
“Meneketehe, apa benar yang dikatakan Meregehese?”
Meneketehe membisikkan satu kata juga. Juga tak tertangkap mesin perekam kita. Vijay memilin kumis lagi sebentar, ia lalu berkata: “Sekarang aku tahu.”

Pertanyaan: Apa agama si Meneketehe dan Meregehese?

Setelah mencoba menjawab, klik pada Komentar untuk membaca jawabannya.

Overcaf’d

Seorang sekutu, juga blogger fanatik, ternyata penggemar kopi. Entah siapa mulai, hampir setiap bercicip kopi, kami selalu saling berkirim SMS. Tidak pernah panjang. “Macchiato w/ double espresso. Sbux Ciwalk.” Cukup seperti itu. Atau kalau abdomen kurang ceria: “Latte decaf. Ibid.”

Tapi hari2 ini, travelling berjadwal padat: nyaris tak memungkinkan menikmati suasana kopi. Maka teks SMS mulai kacau. Kemarin: “Frapuccino botolan. Bandara Hang Nadim.” Mending bahwa malam2 pun ada Circle K yang mau jual Sbux botolan buat bekal. Pagi ini: “Nescafe hitam beracun. Ruang rapat Hotel Panotama.” Atau beberapa hari yang lalu: “Gemadro tanpa gula. Rumah.”

Sayangnya dua minggu lalu, si beliau lagi kelelahan, jadi berkelit dari kewajiban ngopi bareng di Dakken, Bandung.

Seorang rekan lain (yang nggak bakal doyan blogging) mengaku suka kopi. Kapal Api, katanya, adalah yang terenak di dunia. Itu tentu hak beliau. Tapi kadang doi bergaya sinis kalau diajak ke Sbux misalnya. “Apanya yang enak? Pahit!!!” Wakaka, cari kopi apa cari gula? Memang sih, beliau agak susah melihat sesuatu di luar jendela. Jalan2 ke luar negeri pun harus bawa beras sendiri dari tanah air, plus kompor mini. Bukan saja harus makan nasi, tapi harus nasi yang sama dengan nasi di rumah. Sementara, aku kalau ke luar malah bercita2 nggak makan nasi.

Balik ke Dakken lagi. Si Mas Budi Putra of Tempo ternyata punya hobbi lain yang afaik belum pernah ditulis di sederetan blog beliau: teh hijau. Dan teh hijau di sini tak mencakup satu pun teh celup, biarpun dijuduli high quality. Beliau juga menspesialisasikan kesukaan ke Teh Jepang. Ah, pantas saja.

Dengan teman2 aneh kayak gini, jangan2 aku bisa ketularan. Koleksi kopi di rumah bakal harus ditambahi dengan koleksi teh juga. Duh, gimana milihnya? Sementara itu, koleksi kopi sudah makin menipis. Hunting time. Atau begging time? Wakakaka :).

espressos1.jpg

Gambar di atas: Foto2 Espresso dari Kafe Pisa, Le Petit Paris, Hotel Tugu, dan satu lagi lupa …

Batam 5.0

Ini adalah kunjungan kelima di Batam. Dan kira2 10 tahun setelah kunjungan pertama. Entah kenapa, Nadim masih juga digantung.

Kunjungan pertama dulu adalah efek dari ‘open source’ – dalam tanda petik. Tahun 1995 itu, aku bikin software analisis trafik (in C) untuk sentral Lucent 5ESS. Dan berbeda dengan programmer Telkom masa itu (peninggalan zaman Perumtel -red) yang menganggap software adalah harta berharga yang wajib dipendam, aku membagikan software itu ke siapa pun yang berminat punya. Juga source-nya, untuk siapa pun yang pingin ikut memodifikasi. Orang2 Surabaya (Divre V) memang melakukan tak lebih dari sekedar mengganti nama pemrogram, lalu mengkompilasi ulang. Orang2 Medan dan Batam (Divre I) mau lebih serius. Tapi mereka ragu di tengah jalan. Jadi programmer asli diundang ke Batam (dan beberapa waktu kemudian ke Medan juga). Surprise buat aku adalah bahwa Sentral 5ESS di Batam sudah menggunakan versi 6, sementara Bandung masih menggunakan versi 5. Jadi memang perlu waktu untuk memodifikasi program. Ya, happy end sih, lengkap dengan acara mancing dll.

Kunjungan hari ini untuk bekerja dalam Workshop Produk Telkom 2007. Temanya cukup komplit: seluruh produk wireline, seluruh produk wireless, serta content & applications. Semua menarik buat aku. Sayangnya kita pasti ditempatkan di satu work group, nggak mungkin lompat-lompat. Cakupan meliputi branding, feature baru atas produk yang ada, paket2 dan kemasan2 baru, serta seluruh aspeknya: infrastruktur, performansi, komunikasi, charging, semuanya.

Workshop masih berlangsung sampai tanggal 15. Jadi kalau ada usulan, sila kontak2 di sini. Seandainyapun WiFi sulit diakses, Flexi selalu ada buat in touch dengan web ini. Tapi, kalau jadwal terlalu padat, dan usulan tak sempat terbaca dan tersampaikan, jangan buru2 mengganti tulisan Hang Nadim dengan Hang Koen. Improvement akan selalu dimungkinkan, pun setelah workshop berakhir.

rikep1.jpg

Usia Sultan

Yang ini simpel banget. Tapi aku suka caranya yang non aljabar :).

Alkisah waktu Sultan Mas’ud masih belajar matematika, ia bertanya kepada gurunya, Abdul Azis. “Guru, apakah engkau punya anak?”
“Oh ya, Tuan Muda. Aku punya tiga anak.”
“Berapa usianya?
Abdul Azis berpikir sejenak. Lalu menjawab: “Jumlah usia mereka sama dengan usia Tuan Muda. Sedangkan hasil kali usia mereka adalah usiaku, yaitu 36.”
Giliran Sultan Mas’ud yang berpikir. Lalu ia berkata: “Aku tidak dapat memecahkannya.”

Pertanyaan: Berapa usia Sultan Mas’ud?

[jawab]Dengan asumsi bahwa usia selalu disebut sebagai bilangan bulat, dan dengan asumsi bahwa Sultan Mas’ud tahu usianya sendiri, kita misalkan tiga usia ix, iy, dan iz bilangan bulat, dengan ix*iy*ix=36. Karena 36 = 2*2*3*3, maka kemungkinan kombinasi untuk ix, iy, dan iz, beserta jumlahnya, adalah: 1+1+36=38, 1+2+18=21, 1+3+12=16, 1+4+9=14, 1+6+6=13, 2+2+9=13, 2+3+6=11, 3+3+4=10. Jika misalnya usia Sultan Mas’ud adalah 16, ia tahu bahwa kombinasi yang benar adalah 1+3+12. Karena Sultan Mas’ud tidak bisa memecahkan, maka patut diduga bahwa ia berusia 13 tahun, dan ia tidak tahu solusinya 1+6+6 ataukah 2+2+9.
[/jawab]

Gemadro

gemadro.jpgUndangan kali ini datang melalui telepon. Jadi Senin malam itu (beberapa minggu yang lalu) aku menculik Jeffrey untuk melupakan kantor dan datang ke Starbucks BIP. Ada dua lagi yang coba aku culik sih, tapi kelihatannya mereka nggak bisa melupakan kantor :). Acaranya perkenalan produk untuk holiday session peiode ini. Tapi kayaknya bukan sekedar perkenalan, kalau kita lihat bahwa malam itu meja kecil kami jadi penuh berisi belasan gelas kecil dan dua gelas besar yang semuanya bisa dikosongkan tepat waktu :). Dan tentu tidak setetespun yang dekaf :). Suasananya serba merah, kecuali Kartu Undangannya yang berbentuk pohon dan berwarna hijau (kartu diambil di tempat).

Minggu berikutnya, bearista (sebelum pada jadi beruang, namanya barrista) kita bertelepon lagi. Kali ini bercerita tentang Black Apron terbaru. Barangkali dia ingat bahwa aku selalu memuji Black Apron edisi sebelumnya: Kopi Kampung dari Sapan dan Minanga di Sulawesi itu. Jadi dia nggak pingin aku ketinggalan rilis yang ini: Ethiopia Gemadro Estate. Aku culik Yani untuk menemani mengambil benda ajaib ini (cuman disuap secangkir latte sahaja). Sekalian Yani bernostalgia tentang Starbucks di Changi tempat dia sering ketiduran waktu belajar malam2, sampai pagi.

Nice try, Starbucks. Tapi Gemadro belum bisa mengalahkan Kopi Kampung. Memang sih, rasanya masih mengesankan. Beda dengan edisi Ethiopian Sidamo. Lebih mirip edisi Rift Valley. Pas untuk mulai mengisi pagi2 di Bandung yang nyaris mulai selalu kelabu ini dengan sedikit nuansa cerah dan optimisme.

Aku nggak pernah bercita2 jadi evangelist kopi sih :). Tapi memang kadang terlalu semangat kalau sedang berkisah tentang kopi. Itu kali sebabnya para bearista betah punya tamu kayak aku. Tapi, seperti yang Mas Budi Putra bilang, kopi aku nikmati bukan cuma dari rasanya, tetapi dari suasananya: pemandangan di sekitarnya, kehangatan persahabatan, dan kisah2 menarik yang terakumulasi sebagai latar belakang semuanya.

Dan tulisan ini disusun sambil ditemani segelas … teh oolong. Tanpa gula, tentu.

BFD Hari-2

Aku nggak datang tepat waktu di Blog Fun Day hari kedua. Ada kewajiban menggerakkan badan untuk menurunkan angka kolesterol. Huh, nggak heran aku nggak pernah suka sama angka.

Peserta hari kedua tak sebanyak hari pertama. Tapi akibatnya, perbincangan dan tanya jawab malah terasa lebih intensif. Biarpun isu2nya aku termasuk narasumber, tapi sebenernya dalam workshop ini aku lebih banyak bertanya. Dan tentu lebih banyak memotret. Sama lebih banyak … jail :).

Trus ada pekerjaan tambahan lain. Ada beberapa pengunjung yang datang untuk bertanya2 tentang Speedy. Memang kita mewarnai acara ini juga dengan suasana Speedy; karena jaringan yang lancar bin ngebut yang kita pakai di acara ini adalah jaringan Speedy (Makasih, rekan2 di Data&VAS Kandatel Bandung). Plus komputernya hasil ngembat dari Telkom juga (Makasih, rekan2 ISC RO Divre III). Tapi kita nggak sempat bikin, misalnya, pojok Speedy, atau tempat pendaftaran Speedy. Akhirnya, aku merangkap juga sebagai tenaga Sales Speedy. Cuman, begitu para penanya mau bener2 daftar, aku persilakan datang ke Pameran Speedy di BEC, Landmark, atau BSM. Mumpung di sana lagi diskon aktivasi 100%. Maaf ya, Telkom — sementara baru bisa segitu :). Oh ya, makasih juga buat rekan2 Marsal Divre III, yang merelakan proyektor dan WiFi-nya dipinjam dua hari ini. Mudah2an lagi nggak pada rapat kayak weekend2 lainnya.

Aa Budi Putra dan Aa Ikhlasul Amal kelihatannya berminat melanjutkan acara dengan merancang sebuah blogjam session. Yummie! Kita trus mulai merancang tempat, content, dan tentu … sponsor. Pasti asik kalau Telkom ditarik lagi. Plus beberapa perusahaan IT. Nokia? Hmmm :). Salah satu alternatif tempat adalah Cihampelas Walk. Halaman luas melingkar berpanggung itu kelihatannya pas sekali. Bayangkan kalau di depan ada musik menarik, dan di samping berderet para blogger yang asik mengisi blog, saling berkomentar, dan saling berinteraksi. Sehari penuh. Atau sehari semalam?

Jadi, trus kita mengakhiri hari dengan meninjau Ciwalk :). Dan menikmati sinar matahari meredup di lembah Cikapundung. Dan membayangkan ratusan atau ribuan blogger berblogjam di halaman di bawah kami. Aku pasti ada di … bawah patung kenari dengan tupai-tupai itu.

Blog Fun Day

Jam 00.30, di tengah deras hujan mendadak, rumah mungil kehijauan itu akhirnya tampak juga. Waktu untuk istirahat :).

Beberapa jam sebelumnya, kami menghabiskan waktu di Dakken, sebuah café bergaya konservatif yang nyaman, memperbincangkan berbagai aspek jurnalisme amatir berbasis web, a.k.a. blogging. Tempat itu dipilih Mas Budi Rahardjo, yang kemudian karena kelelahan tidak dapat bergabung. Pembincang utama adalah Mas Budi Putra, ditemani Ikhlasul Amal, aku, Rendy Maulana, dll. Topik utama malam ini adalah menjajagi roadmap penularan blogging. Dan aku pikir, buat pengunjung site kayak gini, alasanya sudah tak perlu dipaparkan lagi. Blogging mengisi Internet dengan budaya yang lebih sehat dan cerdas. Blogging mendidik orang untuk terbiasa menuangkan dan menyimpan ide dengan lebih baik. Blogging mendorong berkembangnya pergaulan atas dasar ide, bukan hal2 yang lebih remeh. Blogging membuat dunia gagasan dan wacana masyarakat bergerak tanpa campur tangan terlalu banyak dari kapitalis media. Perbincangan semacam ini membuat 4 jam berlalu nyaris tanpa terasa :).

Padahal perbincangan dari jam 20.00 itu dilatarbelakangi oleh sebuah workshop sehari penuh, hanya mengenai blogging. Judulnya Blog Fun Day. Blog Fun Day sendiri bukan kegiatan yang terlalu besar. Memang tampak besar, karena kegiatan ini memakan waktu weekend yang seharusnya dipakai istirahat (dalam praktek, agak lama juga kita tidak menemui weekend yang bisa dipakai istirahat, haha). Judulnya workshop, tetapi formatnya lesehan, dan isinya dari belajar weblog, tanya jawab, hingga seminar mini tentang dunia blogging. Kontributor dari yang serius kayak Ikhlasul Amal dan Budi Putra, yang rada serius kayak Yulian Firdaus (akhirnya ketemu, Jay!) dan Rendy Maulana, sampai yang nggak bisa serius kayak aku.

Nggak bisa serius? Ah ini cuma web. Nggak ada yang serius di dunia web :).

Jam Pasir

Teka teki: Alkisah, kita diberi dua buah jam pasir. Jam merah punya periode pasir 4 menit, dan jam biru 7 menit. Sekarang, kita ditugasi merebus telur selama, misalnya, 9 menit (don’t do it at home). Bagaimana memanfaatkan kedua jam pasir ini untuk menghitung waktu 9 menit?

[jawab]Mulai penghitungan dengan jam merah dan biru secara bersamaan saat telur mulai direbus. Setelah pasir di jam merah habis (=4 menit), balikkan jam merah. Setelah pasir di jam biru habis (=7 menit), balikkan jam biru. Setelah pasir di jam merah habis lagi (=8 menit), balikkan jam biru. Ingat, pada saat ini, pasir di sisi bawah jam biru menampung pasir berusia 1 menit saja. Setelah pasir di jam biru habis (=9 menit), angkat telurnya.
[/jawab]

One Pollutant is Not Even Wrong

one-pollutant.jpg

“Merlion Park Please.”
“OK. It’s one pollutant, Right?”
“Pardon?”
“The Merlion Park. It is around one pollutant.”
Cek ke Peta. Yeah, memang di Fullerton. Dan nggak heran, taksi memang akhirnya berhenti di depan premise bertuliskan “One Fullerton.”

Memang kupingku aja yang belum kompatibel sama singlish.

Yang bikin senyum adalah di Borders. Di sini orang2 berbahasa english, bukan singlish.

“Can you help me to find a book. “Not Even Wrong” by Peter Woit.”
Dia mengetik sambil bergumam “Woit, Peter Woit,” … lalu …
“The title is not even wrong, right?”
Kami jadi senyum bareng.

Buku Akhir November

borders.jpgBeberapa buku buat mengisi kepala, akhir bulan ini:

Semuanya hasil kunjungan ke Borders.

Yang pertama dibaca adalah buku Randall. Buku ini pernah diulas di Scientific American tahun lalu, waktu aku masih langganan (sekarang berhenti). Lisa bukanlah sekedar penulis buku sains. Ia adalah salah satu fisikawan yang berada pada cutting-edge fisika elementer. Riset2nya pada teori string termasuk yang paling disegani saat ini. Tapi buku Lisa tidak seperti buku Wolfgang Pauli atau Max Born yang menakutkan orang2 yang bukan ilmuwan atau matematikawan. Dia juga tidak mengulang cerita lama, kecuali di bab2 awal. Itu pun dengan pendekatan yang berbeda. Lisa bercerita lancar, seperti penulis kawakan. Ia juga menyisipkan cerita2 ringan di awal setiap babnya. Tapi tak seperti Hawking yang takut memasang persamaan di dalam buku pertamanya, Lisa tak merasa berdosa menghiasi bukunya dengan persamaan2 yang relevan. Buku yang menarik untuk menandai akhir tahun 2006, dan bisa jadi buku klasik untuk Fisika String bagi orang awam. Ini jelas subyektif, tapi aku jelas jauh lebih suka buku Lisa ini daripada buku2 Brian Greene.

Dan tentu, Yani protes, bahwa toko buku kesayangannya akhirnya berhasil kujajah.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑