Author: Koen (Page 34 of 86)

Usia Sultan

Yang ini simpel banget. Tapi aku suka caranya yang non aljabar :).

Alkisah waktu Sultan Mas’ud masih belajar matematika, ia bertanya kepada gurunya, Abdul Azis. “Guru, apakah engkau punya anak?”
“Oh ya, Tuan Muda. Aku punya tiga anak.”
“Berapa usianya?
Abdul Azis berpikir sejenak. Lalu menjawab: “Jumlah usia mereka sama dengan usia Tuan Muda. Sedangkan hasil kali usia mereka adalah usiaku, yaitu 36.”
Giliran Sultan Mas’ud yang berpikir. Lalu ia berkata: “Aku tidak dapat memecahkannya.”

Pertanyaan: Berapa usia Sultan Mas’ud?

[jawab]Dengan asumsi bahwa usia selalu disebut sebagai bilangan bulat, dan dengan asumsi bahwa Sultan Mas’ud tahu usianya sendiri, kita misalkan tiga usia ix, iy, dan iz bilangan bulat, dengan ix*iy*ix=36. Karena 36 = 2*2*3*3, maka kemungkinan kombinasi untuk ix, iy, dan iz, beserta jumlahnya, adalah: 1+1+36=38, 1+2+18=21, 1+3+12=16, 1+4+9=14, 1+6+6=13, 2+2+9=13, 2+3+6=11, 3+3+4=10. Jika misalnya usia Sultan Mas’ud adalah 16, ia tahu bahwa kombinasi yang benar adalah 1+3+12. Karena Sultan Mas’ud tidak bisa memecahkan, maka patut diduga bahwa ia berusia 13 tahun, dan ia tidak tahu solusinya 1+6+6 ataukah 2+2+9.
[/jawab]

Gemadro

gemadro.jpgUndangan kali ini datang melalui telepon. Jadi Senin malam itu (beberapa minggu yang lalu) aku menculik Jeffrey untuk melupakan kantor dan datang ke Starbucks BIP. Ada dua lagi yang coba aku culik sih, tapi kelihatannya mereka nggak bisa melupakan kantor :). Acaranya perkenalan produk untuk holiday session peiode ini. Tapi kayaknya bukan sekedar perkenalan, kalau kita lihat bahwa malam itu meja kecil kami jadi penuh berisi belasan gelas kecil dan dua gelas besar yang semuanya bisa dikosongkan tepat waktu :). Dan tentu tidak setetespun yang dekaf :). Suasananya serba merah, kecuali Kartu Undangannya yang berbentuk pohon dan berwarna hijau (kartu diambil di tempat).

Minggu berikutnya, bearista (sebelum pada jadi beruang, namanya barrista) kita bertelepon lagi. Kali ini bercerita tentang Black Apron terbaru. Barangkali dia ingat bahwa aku selalu memuji Black Apron edisi sebelumnya: Kopi Kampung dari Sapan dan Minanga di Sulawesi itu. Jadi dia nggak pingin aku ketinggalan rilis yang ini: Ethiopia Gemadro Estate. Aku culik Yani untuk menemani mengambil benda ajaib ini (cuman disuap secangkir latte sahaja). Sekalian Yani bernostalgia tentang Starbucks di Changi tempat dia sering ketiduran waktu belajar malam2, sampai pagi.

Nice try, Starbucks. Tapi Gemadro belum bisa mengalahkan Kopi Kampung. Memang sih, rasanya masih mengesankan. Beda dengan edisi Ethiopian Sidamo. Lebih mirip edisi Rift Valley. Pas untuk mulai mengisi pagi2 di Bandung yang nyaris mulai selalu kelabu ini dengan sedikit nuansa cerah dan optimisme.

Aku nggak pernah bercita2 jadi evangelist kopi sih :). Tapi memang kadang terlalu semangat kalau sedang berkisah tentang kopi. Itu kali sebabnya para bearista betah punya tamu kayak aku. Tapi, seperti yang Mas Budi Putra bilang, kopi aku nikmati bukan cuma dari rasanya, tetapi dari suasananya: pemandangan di sekitarnya, kehangatan persahabatan, dan kisah2 menarik yang terakumulasi sebagai latar belakang semuanya.

Dan tulisan ini disusun sambil ditemani segelas … teh oolong. Tanpa gula, tentu.

BFD Hari-2

Aku nggak datang tepat waktu di Blog Fun Day hari kedua. Ada kewajiban menggerakkan badan untuk menurunkan angka kolesterol. Huh, nggak heran aku nggak pernah suka sama angka.

Peserta hari kedua tak sebanyak hari pertama. Tapi akibatnya, perbincangan dan tanya jawab malah terasa lebih intensif. Biarpun isu2nya aku termasuk narasumber, tapi sebenernya dalam workshop ini aku lebih banyak bertanya. Dan tentu lebih banyak memotret. Sama lebih banyak … jail :).

Trus ada pekerjaan tambahan lain. Ada beberapa pengunjung yang datang untuk bertanya2 tentang Speedy. Memang kita mewarnai acara ini juga dengan suasana Speedy; karena jaringan yang lancar bin ngebut yang kita pakai di acara ini adalah jaringan Speedy (Makasih, rekan2 di Data&VAS Kandatel Bandung). Plus komputernya hasil ngembat dari Telkom juga (Makasih, rekan2 ISC RO Divre III). Tapi kita nggak sempat bikin, misalnya, pojok Speedy, atau tempat pendaftaran Speedy. Akhirnya, aku merangkap juga sebagai tenaga Sales Speedy. Cuman, begitu para penanya mau bener2 daftar, aku persilakan datang ke Pameran Speedy di BEC, Landmark, atau BSM. Mumpung di sana lagi diskon aktivasi 100%. Maaf ya, Telkom — sementara baru bisa segitu :). Oh ya, makasih juga buat rekan2 Marsal Divre III, yang merelakan proyektor dan WiFi-nya dipinjam dua hari ini. Mudah2an lagi nggak pada rapat kayak weekend2 lainnya.

Aa Budi Putra dan Aa Ikhlasul Amal kelihatannya berminat melanjutkan acara dengan merancang sebuah blogjam session. Yummie! Kita trus mulai merancang tempat, content, dan tentu … sponsor. Pasti asik kalau Telkom ditarik lagi. Plus beberapa perusahaan IT. Nokia? Hmmm :). Salah satu alternatif tempat adalah Cihampelas Walk. Halaman luas melingkar berpanggung itu kelihatannya pas sekali. Bayangkan kalau di depan ada musik menarik, dan di samping berderet para blogger yang asik mengisi blog, saling berkomentar, dan saling berinteraksi. Sehari penuh. Atau sehari semalam?

Jadi, trus kita mengakhiri hari dengan meninjau Ciwalk :). Dan menikmati sinar matahari meredup di lembah Cikapundung. Dan membayangkan ratusan atau ribuan blogger berblogjam di halaman di bawah kami. Aku pasti ada di … bawah patung kenari dengan tupai-tupai itu.

Blog Fun Day

Jam 00.30, di tengah deras hujan mendadak, rumah mungil kehijauan itu akhirnya tampak juga. Waktu untuk istirahat :).

Beberapa jam sebelumnya, kami menghabiskan waktu di Dakken, sebuah café bergaya konservatif yang nyaman, memperbincangkan berbagai aspek jurnalisme amatir berbasis web, a.k.a. blogging. Tempat itu dipilih Mas Budi Rahardjo, yang kemudian karena kelelahan tidak dapat bergabung. Pembincang utama adalah Mas Budi Putra, ditemani Ikhlasul Amal, aku, Rendy Maulana, dll. Topik utama malam ini adalah menjajagi roadmap penularan blogging. Dan aku pikir, buat pengunjung site kayak gini, alasanya sudah tak perlu dipaparkan lagi. Blogging mengisi Internet dengan budaya yang lebih sehat dan cerdas. Blogging mendidik orang untuk terbiasa menuangkan dan menyimpan ide dengan lebih baik. Blogging mendorong berkembangnya pergaulan atas dasar ide, bukan hal2 yang lebih remeh. Blogging membuat dunia gagasan dan wacana masyarakat bergerak tanpa campur tangan terlalu banyak dari kapitalis media. Perbincangan semacam ini membuat 4 jam berlalu nyaris tanpa terasa :).

Padahal perbincangan dari jam 20.00 itu dilatarbelakangi oleh sebuah workshop sehari penuh, hanya mengenai blogging. Judulnya Blog Fun Day. Blog Fun Day sendiri bukan kegiatan yang terlalu besar. Memang tampak besar, karena kegiatan ini memakan waktu weekend yang seharusnya dipakai istirahat (dalam praktek, agak lama juga kita tidak menemui weekend yang bisa dipakai istirahat, haha). Judulnya workshop, tetapi formatnya lesehan, dan isinya dari belajar weblog, tanya jawab, hingga seminar mini tentang dunia blogging. Kontributor dari yang serius kayak Ikhlasul Amal dan Budi Putra, yang rada serius kayak Yulian Firdaus (akhirnya ketemu, Jay!) dan Rendy Maulana, sampai yang nggak bisa serius kayak aku.

Nggak bisa serius? Ah ini cuma web. Nggak ada yang serius di dunia web :).

Jam Pasir

Teka teki: Alkisah, kita diberi dua buah jam pasir. Jam merah punya periode pasir 4 menit, dan jam biru 7 menit. Sekarang, kita ditugasi merebus telur selama, misalnya, 9 menit (don’t do it at home). Bagaimana memanfaatkan kedua jam pasir ini untuk menghitung waktu 9 menit?

[jawab]Mulai penghitungan dengan jam merah dan biru secara bersamaan saat telur mulai direbus. Setelah pasir di jam merah habis (=4 menit), balikkan jam merah. Setelah pasir di jam biru habis (=7 menit), balikkan jam biru. Setelah pasir di jam merah habis lagi (=8 menit), balikkan jam biru. Ingat, pada saat ini, pasir di sisi bawah jam biru menampung pasir berusia 1 menit saja. Setelah pasir di jam biru habis (=9 menit), angkat telurnya.
[/jawab]

One Pollutant is Not Even Wrong

one-pollutant.jpg

“Merlion Park Please.”
“OK. It’s one pollutant, Right?”
“Pardon?”
“The Merlion Park. It is around one pollutant.”
Cek ke Peta. Yeah, memang di Fullerton. Dan nggak heran, taksi memang akhirnya berhenti di depan premise bertuliskan “One Fullerton.”

Memang kupingku aja yang belum kompatibel sama singlish.

Yang bikin senyum adalah di Borders. Di sini orang2 berbahasa english, bukan singlish.

“Can you help me to find a book. “Not Even Wrong” by Peter Woit.”
Dia mengetik sambil bergumam “Woit, Peter Woit,” … lalu …
“The title is not even wrong, right?”
Kami jadi senyum bareng.

Buku Akhir November

borders.jpgBeberapa buku buat mengisi kepala, akhir bulan ini:

Semuanya hasil kunjungan ke Borders.

Yang pertama dibaca adalah buku Randall. Buku ini pernah diulas di Scientific American tahun lalu, waktu aku masih langganan (sekarang berhenti). Lisa bukanlah sekedar penulis buku sains. Ia adalah salah satu fisikawan yang berada pada cutting-edge fisika elementer. Riset2nya pada teori string termasuk yang paling disegani saat ini. Tapi buku Lisa tidak seperti buku Wolfgang Pauli atau Max Born yang menakutkan orang2 yang bukan ilmuwan atau matematikawan. Dia juga tidak mengulang cerita lama, kecuali di bab2 awal. Itu pun dengan pendekatan yang berbeda. Lisa bercerita lancar, seperti penulis kawakan. Ia juga menyisipkan cerita2 ringan di awal setiap babnya. Tapi tak seperti Hawking yang takut memasang persamaan di dalam buku pertamanya, Lisa tak merasa berdosa menghiasi bukunya dengan persamaan2 yang relevan. Buku yang menarik untuk menandai akhir tahun 2006, dan bisa jadi buku klasik untuk Fisika String bagi orang awam. Ini jelas subyektif, tapi aku jelas jauh lebih suka buku Lisa ini daripada buku2 Brian Greene.

Dan tentu, Yani protes, bahwa toko buku kesayangannya akhirnya berhasil kujajah.

Lomba Karya Jurnalistik

Tahun ini, Telkom memperluas Lomba Karya Jurnalistik-nya, dengan ditambahi lomba tingkat daerah. Untuk Jawa Barat, penyelenggaranya tentu Divre III. Dan karena semua orang Telkom (selain aku) itu terlalu sibuk, maka aku kebagian tugas sebagai salah satu juri. Dewan Juri terdiri dari tiga orang, yaitu dari kalangan akademis, kalangan pers, dan dari Telkom. Tulisan para peserta harus dimuat di media daerah antara September hingga awal November tahun ini. Dan pada pertengahan November, amplop besar berisi kumpulan artikel itu sampai di mejaku. Aku rada serius dengan tugas ini. Artikel2 itu aku bawa ke mana2, termasuk ke rapat di Puncak segala. Dibaca, direview, baca lagi, dan akhirnya diberi skor berdasarkan empat kriteria. Laporan ditulis di suatu pagi ditemani Kopi Toraja tanpa gula (hidup itu pahit, kawan — tapi wangi).

Sidang Dewan Juri dilangsungkan tanggal 17 November. Anggota Dewan yang lain adalah Sahala Tua Saragih dari Fikom Unpad, dan M Ridlo Eisy dari Kelompok Pikiran Rakyat. Berbincang tentang kriteria, kemudian menyetarakan skor, dan akhirnya menyusun skor akhir. Artikel yang aku pilih sebagai Rank 1 harus dicoret, karena sudah telanjur menag di lomba yang tingkat nasional (whew, aku memang nggak salah pilih). Dan akhirnya, tugas selesai. Berita acara dibuat. Kopi (Indocafe) dihabiskan. Dan hari ditutup dengan jalan ke Toko Buku Togamas di Supratman.

Hasil penjurian? Baca deh di media2 daerah di Jawa Barat hari2 ini. Berbincang dengan juri yang lain, kita juga sepakat untuk menyelenggarakan Editor Gathering secara rutin.

n² & n•log(n)

Sebuah opini di majalah Spectrum, Metcalfe’s Law is wrong, menggugat statement yang kemudian dinamai sebagai Hk Metcalfe, bahwa nilai sebuah network akan berlipat sebanding dengan kuadrat jumlah pemakainya. Konon hukum itu bukan cuma salah, tetapi juga berbahaya. Jika dibayangkan bahwa biaya pembangunan network itu linear, maka tak lama nilai network akan jauh melampaui biaya pembangunan dan operasi network itu. Kesalahan Metcalfe, kata para penulis, diawali pada asumsi bahwa setiap hubungan pada network memiliki nilai yang sama. Sebagai alternatif para penulis menyarankan a.l. bahwa nilai network sebanding bukan dengan n², melainkan lebih dekat pada n•log(n), dengan n jumlah pemakai network itu.

Dari mana nilai n•log(n)? Ini diambil dari pendekatan Zipf. Zipf mengisahkan bahwa secara umum, jika pada sebuah populasi, hal yang paling populer memiliki tingkat kepopuleran k, maka yang menempati ranking kedua memiliki tingkat k/2, dan yang ketika memiliki tingkat k/3. Jumlah deret ini hingga suku ke n kemudian bisa didekati dengan log(n). Plus konstanta. Dan jumlah n user dalam network menjadikannya n kali log(n).

Robert Metcalfe sendiri kemudian menjawab (dan ini menariknya) melalui sebuah entry weblog. Sayangnya dia cuman nitip di web temannya: VC Mike. Dalam sanggahannya, Metcalfe mengingatkan bahwa ‘sebanding’ itu berarti V=An², tetapi belum ada yang mau mengukur nilai A, dan bahkan belum ada yang benar2 membandingkannya dengan network yang sesungguhnya. Maka ia menantang untuk membuktikan pada sebuah network real, bahwa dapat terjadi V=A•n•log(n). Jawaban yang cukup fair, tentu.

A, dalam hal ini, disebut afinitas network, yaitu nilai setiap koneksi dalam sebuah network. Menjawab kritik mengenai nilai kritis sebuah network, Metcalfe menulis bahwa nilai kritis dapat dihitung dengan Cn=An², dengan C biaya setiap koneksi dan A nilai setiap koneksi dalam network. Pada titik kritis itu, n=C/A. Jika nilai network tinggi, titik kritis makin cepat tercapai. Sebaliknya, jika biaya network tinggi, titik kritis makin sulit tercapai. Titik kritis ini adalah titik saat nilai network sudah melampaui biayanya.

Klik alamat weblog di atas untuk melihat rincian jawaban Metcalfe. Blogwalking bukan melulu bergossip kok :).

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑