Richard Oh membahas tentang Think dan Blink. Ini bukan tentang toko buku QB, gudang kecendekiaan yang mendadak melenyap satu demi satu dari bumi Indonesia. Tulisan di edisi perdana majalah Esquire Indonesia ini membahas perbandingan observasi dan pengambilan keputusan model buku Blink! karangan Malcom Gladwell vs Th!nk karangan Michael LeGault.
Para pedoyan buku akan paham bahwa buku Blink memotivasi kita untuk mengasah kembali kepekaan nalar halus kita. Ada yang menggerakkan nalar halus kita itu untuk mengambil pilihan paling baik dan paling tepat, dan ini terlihat dari gejala fisik. Tangan kita berpeluh lebih saat kita mengambil keputusan yang salah, kata Blink, sebelum daya analisis kita akhirnya (jika belum terlambat) memahami bahwa keputusan yang diambil itu salah. Think berpikir sebaliknya. Sempitnya waktu dan derasnya beban membuat kapasitas manusia berpikir kritis makin melemah. Manusia mengambil keputusan2 instan hanya berdasar pikiran spontan, sementara jika kita mau meluangkan waktu untuk menganalisis lebih teliti, kita akan dapat menemukan faktor-faktor kritis yang membantu kita mengambil keputusan.
Kedua konsep itu, kata Oh, menawarkan hal yang sebenarnya sama: dalam hidup yang berdesakan kita perlu mengambil waktu secukupnya untuk berpikir kritis sehingga daya rasio kita selalu tajam dan siaga untuk menghadapi persoalan yang mendesak. Oh memberi contoh menarik dengan menculik Milan Kundera dan Don Quixote dalam bagian ini. Don Quixote memberi contoh bagaimana manusia kadang perlu beringsut ke alam imajinasi untuk menghadapi realitas brutal.
Seandainya weblog ini berusia beberapa tahun lebih tua, katakan awal tahun 1990an, tentu aku sudah menulis di sini (alih2 di buku kecil yang entah sekarang ada di mana) tentang intuisi versi aku sendiri. Intuisi dalam hal ini bukanlah kilasan batin. Ia dibentuk dari rasio; dari knowledge; dari kumpulan pengetahuan yang terolah membentuk kearifan yang kemudian tersimpan secara rapi di layer yang tidak bersifat verbal lagi. Repeat: ia tadinya dibentuk dari rasio, tetapi tidak lagi bekerja secara verbal. Maka intuisi tetap dibentuk melalui pendidikan, pengasahan kearifan, perenungan, pengalaman, kecerdikan, dan segalanya itu. Intuisi kemudian membimbing kita dari dasar pikiran, di level yang berbeda, dengan cara seolah ia ilham yang datang dari langit. Berlalunya tahun barangkali membuat aku tak lagi sepenuhnya sependapat dengan pikiranku lebih dari 10 tahun lalu :) – setidaknya barangkali aku tak lagi menamainya intuisi :). Tetapi membaca perbandingan Blink dan Think, mau tak mau aku jadi terpaksa ingat catatan purba ini.
Bagaimanapun, seperti Oh tulis, memang akhirnya perlu keseimbangan. Persoalannya bukanlah memilih nalar halus atau pikiran kritis. Ada waktu yang perlu diluangkan untuk merenung dan menganalisis, tapi juga ada waktu untuk mengosongkan pikiran dan mempertajam kepekaan batin; untuk akhirnya mengambil keputusan dengan cara yang sistematis dan accountable. Batin dan rasio akan selaras membantu kita memilih langkah yang paling bijak. Dan kapan memilih tools yang mana? Ada porsi yang tepat untuk setiap masalah.
Tapi sialnya, justru waktu aku kemudian berpikir seperti itu, Oh justru mencuplik Yamamoto Tsunemoto: perlakukan masalah besar bagai masalah kecil; perlakukan masalah kecil bagai masalah besar. Trus? :). Ambillah keputusan :).
Dari Ljubljana, Alenka Zupancic berceloteh: komedi adalah bentuk drama yang lebih realis daripada tragedi. Dan itu menjelaskan kenapa tadinya aku beli Esquire Indonesia. Dari namanya aku membayangkan kemiripan dengan squirrel, ésqurial, atau écureuil. Tupai. Cit cit cit. Hush. OK, kemudian ada IEEE Network yang membahas Evolusi 4G Wireless (huh dari tahun 2001 terus membahas 4G), dan IEEE Wireless yang membahas Protocol Engineering for 802.16. Hmm, yang mana dulu ya?