Author: Koen (Page 32 of 87)

Th!nk Blink!

Richard Oh membahas tentang Think dan Blink. Ini bukan tentang toko buku QB, gudang kecendekiaan yang mendadak melenyap satu demi satu dari bumi Indonesia. Tulisan di edisi perdana majalah Esquire Indonesia ini membahas perbandingan observasi dan pengambilan keputusan model buku Blink! karangan Malcom Gladwell vs Th!nk karangan Michael LeGault.
esquire-indonesia.jpgPara pedoyan buku akan paham bahwa buku Blink memotivasi kita untuk mengasah kembali kepekaan nalar halus kita. Ada yang menggerakkan nalar halus kita itu untuk mengambil pilihan paling baik dan paling tepat, dan ini terlihat dari gejala fisik. Tangan kita berpeluh lebih saat kita mengambil keputusan yang salah, kata Blink, sebelum daya analisis kita akhirnya (jika belum terlambat) memahami bahwa keputusan yang diambil itu salah. Think berpikir sebaliknya. Sempitnya waktu dan derasnya beban membuat kapasitas manusia berpikir kritis makin melemah. Manusia mengambil keputusan2 instan hanya berdasar pikiran spontan, sementara jika kita mau meluangkan waktu untuk menganalisis lebih teliti, kita akan dapat menemukan faktor-faktor kritis yang membantu kita mengambil keputusan.

Kedua konsep itu, kata Oh, menawarkan hal yang sebenarnya sama: dalam hidup yang berdesakan kita perlu mengambil waktu secukupnya untuk berpikir kritis sehingga daya rasio kita selalu tajam dan siaga untuk menghadapi persoalan yang mendesak. Oh memberi contoh menarik dengan menculik Milan Kundera dan Don Quixote dalam bagian ini. Don Quixote memberi contoh bagaimana manusia kadang perlu beringsut ke alam imajinasi untuk menghadapi realitas brutal.

Seandainya weblog ini berusia beberapa tahun lebih tua, katakan awal tahun 1990an, tentu aku sudah menulis di sini (alih2 di buku kecil yang entah sekarang ada di mana) tentang intuisi versi aku sendiri. Intuisi dalam hal ini bukanlah kilasan batin. Ia dibentuk dari rasio; dari knowledge; dari kumpulan pengetahuan yang terolah membentuk kearifan yang kemudian tersimpan secara rapi di layer yang tidak bersifat verbal lagi. Repeat: ia tadinya dibentuk dari rasio, tetapi tidak lagi bekerja secara verbal. Maka intuisi tetap dibentuk melalui pendidikan, pengasahan kearifan, perenungan, pengalaman, kecerdikan, dan segalanya itu. Intuisi kemudian membimbing kita dari dasar pikiran, di level yang berbeda, dengan cara seolah ia ilham yang datang dari langit. Berlalunya tahun barangkali membuat aku tak lagi sepenuhnya sependapat dengan pikiranku lebih dari 10 tahun lalu :) – setidaknya barangkali aku tak lagi menamainya intuisi :). Tetapi membaca perbandingan Blink dan Think, mau tak mau aku jadi terpaksa ingat catatan purba ini.

Bagaimanapun, seperti Oh tulis, memang akhirnya perlu keseimbangan. Persoalannya bukanlah memilih nalar halus atau pikiran kritis. Ada waktu yang perlu diluangkan untuk merenung dan menganalisis, tapi juga ada waktu untuk mengosongkan pikiran dan mempertajam kepekaan batin; untuk akhirnya mengambil keputusan dengan cara yang sistematis dan accountable. Batin dan rasio akan selaras membantu kita memilih langkah yang paling bijak. Dan kapan memilih tools yang mana? Ada porsi yang tepat untuk setiap masalah.

Tapi sialnya, justru waktu aku kemudian berpikir seperti itu, Oh justru mencuplik Yamamoto Tsunemoto: perlakukan masalah besar bagai masalah kecil; perlakukan masalah kecil bagai masalah besar. Trus? :). Ambillah keputusan :).

Dari Ljubljana, Alenka Zupancic berceloteh: komedi adalah bentuk drama yang lebih realis daripada tragedi. Dan itu menjelaskan kenapa tadinya aku beli Esquire Indonesia. Dari namanya aku membayangkan kemiripan dengan squirrel, ésqurial, atau écureuil. Tupai. Cit cit cit. Hush. OK, kemudian ada IEEE Network yang membahas Evolusi 4G Wireless (huh dari tahun 2001 terus membahas 4G), dan IEEE Wireless yang membahas Protocol Engineering for 802.16. Hmm, yang mana dulu ya?

Blogger Profesional Pertama

1 Maret seharusnya jadi hari bersejarah buat blogger Indonesia. Mas Budi Putra, akhirnya betul2 menyatakan diri keluar dari struktur Majalah Tempo, dan berprofesi sebagai blogger. Dengan demikian, afaik, Mas Budi menjadi blogger profesional pertama di Indonesia.

Blogger profesional? Ya, sementara kami2 yang lain menjadikan kegiatan weblog sebagai hobi, pengisi waktu luang, penyalur kegilaan menulis, atau maksimal jadi sumber penghasilan tambahan; Mas Budi benar2 menjadikan blogging sebagai profesi utama. Bisakah? Kebetulan kami bakal cukup beruntung untuk bisa “mewawancarai” jurnalis ini pada hari2 pertama beliau keluar dari Tempo, karena beliau mengisi hari2 pertama sebagai blogger profesional justru di Bandung. Bandung gitu loh. Jadi soal ini pasti akan kami perbincangkan juga.

Tapi, gilakah meninggalkan Tempo? Maksudku, Tempo gitu lho. “Secara gue aja” dulu pernah bercita2 suatu hari bisa bekerja di Tempo (sebelum akhirnya Temponya dipingsankan Adminitrasi Indonesia tahun 1994). Mas Budi sendiri, memberikan pernyataan di sela-sela acara mereservasi hotel (duh, bahasaku Detikcom banget deh): belum sepenuhnya meninggalkan Tempo. Di Tempo, beliau akan tetap meluangkan waktu untuk membina … Blog Tempo Interaktif, yang memang beliau dirikan. Duh, blog lagi blog lagi.

So, kalau ada yang berminat bergabung dalam acara siang ini; kami di Cihampelas Walk, dari jam 11.00 sampai beberapa jam kemudian. Sila bergabung.

SMS kemarin:
Budi: Reservasinya atas nama siapa? Budi Putra?
Koen: Tentu donk.
Budi: Oh, mana tahu atas nama Toekang IT atau The Gadget Net.
Koen: Atas nama Budiputra sih. Tapi waktu ditanya nama lengkapnya, saya bilang Budiputra dot com.

Tumblelog

Mengikuti titah Enda di id-Blog, aku coba tumblelog. Apa itu? Menurut Kottke, seperti yang dipost di Wikipedia, “A tumblelog is a quick and dirty stream of consciousness, a bit like a remaindered links style linklog but with more than just links. They remind me of an older style of blogging, back when people did sites by hand, before Movable Type made post titles all but mandatory, blog entries turned into short magazine articles, and posts belonged to a conversation distributed throughout the entire blogosphere. Robot Wisdom and Bifurcated Rivets are two older style weblogs that feel very much like these tumblelogs with minimal commentary, little cross-blog chatter, the barest whiff of a finished published work, almost pure editing…really just a way to quickly publish the ‘stuff’ that you run across every day on the web“.

Untuk percobaan, aku set di KUnCOro.CO.UK. Tapi isinya baru tulisan dan gambar buat testing.

A Smile For God

Meow :). Oh ya, aku kan bershio kucing. Kayak yang pernah aku singgung, makhluk pemalas nan bandel ini tidak dianugerahi nama tahun oleh Buddha, karena waktu para hewan dipanggil, sang kucing tak hendak turut datang. Sebagaimana semua hewan, ia tentu pecinta Tuhan. Tapi ia tak merasa lebih damai saat harus menghadap Tuhan, atau siapa pun yang merasa mewakili-Nya. Mendingan bobo, gitu kata si kucing ndut.

Tapi bukan berarti ia tak mengenali Tuhannya. Pun Richard Dawkins, nabi kaum atheist masa kini, pernah bersabda, “Orang-orang yang tiada berTuhan sebelum Darwin adalah orang yang tak pandai menyimak.” Dan sebagai orang yang menikmati segala karya Dawkins (kecuali kenyinyirannya kepada umat beragama), aku hanya bisa berkata, “Orang-orang yang masih mengenali Tuhannya setelah mendalami Dawkins, Hawking, Game Theory, Superstring, dll adalah orang yang memiliki daya simak sungguh luar biasa.”

Kedengerannya megaloman. Tapi begitulah kucing. Dan biarlah orang beragama memaki kaum ilmuwan yang membuang semua peran tuhan sebagai motivator dunia. Biarlah para ilmuwan memakin kaum agamawan yang tidak mau membuka wawasan lebih dari kitab masing2. Kaum kucing bisa tetap tiduran di atas atap, mendengkur, tak terganggu.

Tuhan tidak perlu masuk sains, kata si kucing. Ia penggerak, pencitra nurani akal batin itu sendiri. Tapi, Tuhan tidak perlu masuk analisis. Tuhan tak perlu memanggil kita menghadap, face-to-face, memberi tunjuk tentang apa yang harus kita perbuat. Saat akal diciptakan dalam kerumitan kimiawi makhluk hidup, Tuhan sudah menyisipkan diri sebagai ide yang tak terpisahkan di dalamnya. Evolusi yang akhirnya memasukkan akal ke dalam raga, secara tak sengaja (karena para ilmuwan tak mengakui peran Tuhan dalam evolusi) sekaligus memperkenalkan konsep jiwa dan Tuhan kepada manusia. Maka manusia mengenali-Nya. Kaum yang tak percaya Tuhan pun akhirnya terpaksa menciptakan tuhan masing2 di dalam pikirannya. Mereka tak bisa lari. Mereka terbaptis sebelum lahir, membaca syahadat (kesaksian) saat jiwa terciptakan, apa pun arti jiwa itu bagimu. Bahkan para ilmuwan juga terpaksa mengakui: bayi tak terdidik agama pun mengenal konsep jiwa.

Oh ya, tentu rada jahat kalau kita menyamaratakan semua ilmuwan. Sebenarnya, yang mengaku atheist itu cuma beberapa ilmuwan kelas atas. Ilmuwan yang merangkap jadi politisi, begitulah. Di AS, 96% orang percaya Tuhan. Bukan sebagai konsep saja. Mereka betul2 berdoa dan percaya ada hidup sesudah mati. Kalau kita bilang AS memang dogmatis, kita coba tengok Eropa. Di negara yang konon paling ogah agama, misalnya Islandia, di mana gereja hanya dikunjungi 2% penduduk, 80% dari total orang dewasa masih berdoa dan percaya adanya hidup sesudah mati. Saat para ilmuwan disurvei, mayoritas mengaku percaya Tuhan. Waktu para ilmuwan itu ditanyai tidak tentang Tuhan dalam arti “totalitas yang mengatur” atau “yang maha indah dan tak terpahami,” tetapi betul2 ditanyai tentang Tuhan yang mewahyukan kitab suci, di mana kita dapat berdoa memohon, dan dapat betul-betul menerima petunjuk dari-Nya, masih 40% yang mengaku beriman. Hanya pada saat melihat ilmuwan kelas elit, baru wabah atheisme ditemukan.

Trus apa penjelasan mereka? Evolusi membentuk gene dan meme yang demi kelangsungan hidup dan strukturnya memang membentuk keyakinan pada yang adikodrati dan mengikat dalam bentuk relasi sosial yang beraturan (so called agama). Yah, apa lah yang dikau2 bilang :). Kaum kucing hanya bisa senyum. Bukan menertawai, tetapi menyampaikan salam kepada Tuhan, yang tidak harus tampak teranalisis, tidak harus turun ke sini, tidak harus memanggil.

:)

Tresche

Beberapa pin mawar putih itu masih ada di koleksiku. Itu hasil perjalanan dari Yorkshire beberapa tahun yang lalu. York is a beautiful city :). Tapi ini dulu pernah aku tulis di sini. Aku cuman mau cerita bahwa dulu sebenernya aku berharap bisa dengan satu cara menyusup ke Thirsk, yang udah nggak terlalu jauh lagi dari York. District Hambleton bersebelahan dengan kota York. Tapi sayangnya di musim itu, transportasi ke Thirsk tak terlalu leluasa. Jadi aku belum berhasil. Hmm, biarpun usia manusia tak panjang, mudah2an kapan2 sempat juga aku singgah ke sana.

Thirsk. Kalau orang Viking dulu menamai York sebagai Jorvik, maka Thirsk dulu bernama Tresche, yang juga berasal dari kata Viking “þresk” yang artinya … apa ya.

Buku If Only They Could Talk, yang diterbitkan tahun 1970, dan diterbitkan versi Indonesianya tahun 1976 sebagai Seandainya Mereka Bisa Bicara, ditulis dan banyak bercerita tentang kota ini, biarpun disamarkan dengan nama Darrowby. Oh ya, buku ini juga beberapa kali bercerita tentang Harrogate, yang disamarkan sebagai Brawton. Buku ini, dan deretan sekuelnya, menduniakan nama Yorkshire, dan akhirnya nama kota Thirsk juga. Sang penulis, Alf Wight (James Herriot), selain mendapatkan penghargaan Ordre of British Empire karena prestasinya sebagai penulis, serta diangkat sebagai FRCVS (Fellow of RCVS) dan anggota kehormatan BVA, juga mendapatkan penghargaan karena mengangkat (atau bahkan disebut menciptakan) industri pariwisata di North Yorkshire.

Tetapi, selain faktor Herriot, sebenarnya banyak hal menarik lain dari kota Thirsk. Kota ini masih kecil. Pasarnya tak banyak berubah sifat dari zaman Herriot: dibuka setiap Senin dan Sabtu. Juga desa2 disekitarnya, yang nama2nya masih berbau Viking juga: Thirlby, Boltby, Borrowby. Akhiran -by berarti desa, katanya. Barangkali nama Borrowby yang diculik Wight untuk memberi nama Darrowby. Fakta bahwa Herriot betah di kota renik ini selama puluhan tahun (selain setiap Kamis kabur setengah hari ke Harrogate), serta banyak bercerita tentang bukit dan lembah di sekitarnya dengan cara yang selalu berbeda tapi tetap menakjubkan, menunjukkan bahwa kota ini memang layak dikunjungi.

Ummm … kapan ya …

Hermann Weyl

Paul Dirac, adalah ilmuwan top zaman mekanika kuantum yang sungguh ogah bicara. Saat berkunjung ke Wisconsin, ia ditanya seorang wartawan. Pertanyaan wartawannya diterjemahkan dan sangat diringkas, tapi jawabannya ditulis dalam versi asli.

“Tapi kami ingin tahu, adakah orang yang tidak bisa Anda pahami?”
“Yes.”
“Menarik sekali. Siapa dia?”
“Weyl.”

Selain bikin lieur tokoh sekaliber Dirac, Weyl juga bikin pusing Werner Heisenberg. “I don’t know whether I’m just too stupid to understand the mathematics,” begitu tulis Heisenberg ke Pauli. Dan kalau ini masih kurang, tak kurang dari Albert Einstein dan Wolfgang Pauli sendiri pernah terkecoh oleh kepakaran matematika Weyl. Pauli pernah mengkritisi Weyl, tetapi kemudian terpaksa mengkoreksinya. “In contrast to the nasty things I said … here I admit your ability in physics. Your earlier theory with g’mn = L(x)gmn was pure mathematics and unphysical. Einstein was justified in criticising and scolding. Now your hour of revenge has arrived,” begitu tulis Pauli.

Hermann Weyl

Weyl yang ini adalah Hermann Weyl, seorang matematikawan dari Göttingen yang kemudian berkarir di Zurich. Dia menulis idenya dalam buku Gruppentheorie und Quantenmechanik, yang Chen Ning Yang (salah satu pelopor Standard Model) bilang: buku yang paling terkenal, tersimpan di rak buku semua fisikawan teoretis, tetapi hanya sedikit yang mampu membaca dan memahaminya — terlalu abstrak untuk sebagian besar fisikawan. Wikipedia sendiri menyimpan senarai khusus atas topik yang berkaitan dengan Weyl.

invariance.jpgSinggungan Weyl atas fisika dimulai di tahun 1910an. Waktu itu ada dua gaya yang dikenal: elektromagnetik, yang sudah diformulasikan Maxwell, dan gravitasi, yang baru saja direformulasi Einstein. Weyl melihat bahwa persamaan Maxwell dapat diperluas ke prinsip simetri kovariansi umum, dengan prinsip simetri baru yang dinamainya invariansi gauge, yang memungkinkan pengunaan skala jarak (atau gauge) pada titik2 yang berbeda, selama sebuah entitas matematika yang dinamai ‘koneksi’ dapat menghubungkan titik2 itu. Gagasan Weyl adalah bahwa koneksi ini dapat juga diidentifikasikan dengan medan elektromagnetika. Namun notasi matematika atas koneksi juga muncul dalam relativitas, yaitu saat si koneksi menunjukkan cara melakukan “transportasi paralel” atas grid referensi dari satu titik ke titik lain. Dan seterusnya, dan seterusnya. Namun kemudian Einstein menolak prinsip gauge Weyl ini, karena implikasinya adalah bahwa sebuah jam akan berubah skala waktunya saat melintasi medan elektromagnetik — hal yang tak pernah ditemukan dalam eksperimen. Paper Weyl diterbitkan di tahun 1918, lengkap dengan catatan Einstein yang halus dan santun, bahwa hipotesis yang harus dikagumi kedalaman dan ketajamannya itu tidak mungkin benar. Weyl pun berhenti dengan ide itu.

Erwin Schrödinger kemudian datang ke Zurich. Kalau Weyl adalah profesor matematika di sana, maka Schrödinger adalah profesor fisika teoretisnya. Mereka kemudian banyak bekerja sama. Dan bermain bersama juga — tapi ini cerita lain. Schrödinger mempelajari buku Weyl: Raum-Zeit-Materie. Tak lama, Schrödinger mendalami teori gauge Weyl, dan dikaitkan dengan teori kuantum yang waktu itu masih ad hoc dengan formula2 Bohr dkk. Schrödinger menemukan bahwa kondisi kuantisasi akan dapat dipahami jika kita mereinterpretasi prinsip gauge Weyl bukan hanya pada ukuran, tetapi pada fase. Dari situ, Schrödinger menurunkan mekanika gelombang, sebagai faktor yang sangat penting untuk membentuk teori kuantum yang lengkap.

Weyl sendiri kemudian jadi berani meneruskan ide simetri gauge. Tahun 1929 ia menulis Electron & Gravitation, dimana ia menyatakan bahwa teori elektromagnetika dapat diturunkan dariprinsip simetri gauge. Dalam paper ini juga, Weyl memaparkan cara memasangkan persamaan Dirac dengan medan gravitasi, dengan menunjukkan cara mendefinisikan yang disebut medan spinor berlatarbelakang lengkungan ruang-waktu yang merupakan solusi atas persamaan Dirac. Dan ia juga mengenalkan formalisme matematis untuk mendeskripsikan medan spinor ini.

Tanpa pernah diproklamasikan, kelihatannya Weyl-lah yang menyusun dasar atas berbagai teori penyatuan medan. Soal penyatuan, Weyl cuma berujar, “Pekerjaan saya mencoba menyatukan kebenaran dengan keindahan. Tetapi kalau hanya boleh memilih satu, saya memilih keindahan.”

God exists since mathematics is consistent, and the Devil exists since its consistency cannot be proved.

Waterstone’s Online

Setelah dulu menghilang akibat dilarutkan ke Amazon.co.uk, kini Waterstone’s Online tampil mandiri. Waterstone’s sendiri kini bergabung ke dalam HMV.

new-waterstones.jpg
Alamat: http://www.waterstones.co.uk.

Aku belum pernah beli buku online di sana. Dulu cuman aku manfaatkan sebagai jendela, sebelum datang ke salah satu toko Waterstone’s beneran (yang cukup sering: Waterstone’s Coventry, Waterstone’s Coventry University, dan Waterstone’s Leamington Spa; plus kadang2 di Birmingham New Street, Nottingham, Piccadilly London). Sekarang juga kayaknya belum akan belanja online di sana. Biarpun Waterstone’s menyatakan siap mengirim ke luar negeri Inggris, tetapi negara2 biang carder semacam Russia, Romania, Ukraina, dan — ehm — Indonesia, tampaknya dikeluarkan dari daftar yang boleh dikirimi buku dari sana.

Ah, harus ke Amazon lagi Amazon lagi.

Петрушка

Berhari2 dalam dehuman, dan mendadak ada nada masuk dari angkasa. Stravinsky. Petrushka. Ya, nada yang itu, yang kita ingat kalau kita menyebut Petrushka. Disonansi, kombinasi dari C major dan F# mayor. Dibanding hingar bingar musik masa kini, disonansi ala Igor Fyodorovich Stravinsky tak lagi terasa heboh. Justru, lucunya, menenangkan. Mengheningkan. Mengingatkan akan keunikan klasik. Kesinisan yang tak peduli apa.

Petrushka. Bagi Rusia. Setara Pierro bagi Perancis, Punch untuk Inggris, dan tentu Pinokio bagi Italia yang kemudian mendunia. Makhluk tak terlalu nyata. Namun dengan tragedi nyata. Disonansi dari Stravinsky itu adalah ejekan ala Petrushka. Pertama terdengar membuka Bagian 2 dari komposisi Petrushka ini. Ejekan atas apa yang kita bilang lurus, apa yang kita yakini harus, apa yang kita pikir bagus, apa yang kita paksakan sebagai kebakuan dan kebiasaan dan keniscayaan. Namun sayup ia masih terus berulang sepanjang para penari dan bauran orang2 terus meriuhkan suasana pasar malam.

Ejekan dari Petrushka bahkan terdengar di saat akhir komposisi ini. Seolah meyakinkan kita bahwa hantu Petrushka masih terus ada untuk mengejek kita. Mengejek kekerasan kita memuja undak-undak kekosongan.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑