Author: Koen (Page 27 of 86)

West

Menjalani sebuah tengah malam di Baros, setengah gagap terhuyung direntas lelah, menyanding memori masa kecil dengan gelap pasar malam ini. Mosaik samar berkejaran, tak runut waktu dan asa, menukik dan menyambar seperti burung malam yang gesit dalam hening.

Hening, tanpa Wagner, Stravinsky, Nietzsche, Goethe, Derrida, Said, Rumi. Pun tanpa kata. Kata hanya khianati makna, hujam salah satu West di mosaik itu (ia berambut tebal dan mengantongi Quibron). Huruf direntakkan dari kata. Terlontar ia menjadi persamaan Maxwell dan entropi Bekenstein-Hawking di kertas West yang lain, jadi include ‘stdlib.h’, jadi penghias ujung kurva pada Smith Chart.

visual-smith-chart.gif

Dan gagasan dilarikan melalui sederetan kurva panjang, dan balok2 tersambung garis2 kelabu tersambung ke sana kemari, dalam tumpukan ayer2. Dan si West si tukang insinyur yang baru lulus itu tanpa rambut menahan sesaknya, berlari dengan sepatu bot dan celana hijau bercampur lumpur, tanpa penutup dada melintasi gerimis ujung jalan ini. Melirik ia pada West berkemeja bertutup rapat (menahan angin), yang ditemani mbah kakungnya melihat2 rel dan menatap Gunung Bohong. Berputar mereka berjalan melintasi tepi makam, tempat sekian tahun kemudian West yang berbaju kelabu tangan panjang menyaksikan pemakaman Papapnya dengan iringan salvo dan terompet yang sederhana namun membakar hati. Aku lihat lagi Pusdikart, hanya beberapa langkah dariku. Di dalam sana ia masih menunggu kami. Satu titik air menetes dari langit malam. Mendung. Tapi tak seseram waktu kami mengungsi dari Pasopati ke sini, waktu Galunggung meletus lagi, dan kota ini menyatu kelabu dengan langitnya dalam aroma yang menyesakkan.

Aku masih West yang dulu juga. Menahan sesak nafas di jalan yang ini juga. Selalu gagal untuk menyerah.

Menengok lagi ke ujung jalan, ada West kecil yang kabur sendirian naik becak dari rumah ortunya ke rumah embahnya. Sendirian. Dan bikin panik ortunya. Huh. Dasar dari dulu nggak bisa diatur.

Mac Macan

Ketidaktahuan memang anugerah :). Ada sense yang menarik waktu kita mempelajari sesuatu yang baru, misal waktu belajar komputer. Aku bahkan masih bisa membayangkan detik2 menarik waktu aku pertama kali mengetik dengan Chiwriter, dan menyaksikan huruf2 bergulir ke baris baru tanpa aku harus menekan Enter (seperti di mesin ketik), sementara kata2 di baris lama mensejajarkan diri dalam baris yang rapi. Juga waktu pertama kali mengetik puts(“Hello world”); dan melakukan kompilasi dengan Turbo C. Dan ternyata yang macam gitu belum sepenuhnya hilang. Dia kembali waktu tahun 2006 aku mengupgrade komputer rumah bukan dengan PC lagi, tetapi dengan Mac.

Menikmati jadi novice, aku coba belajar dari buku (dan juga dari tanya2 — thanks to Eko and Jay). Belajar dari buku juga punya sense lain dibandingkan dari howto, dari ebook, dari i-documents — tak kalah yahudnya dibanding belajar sistem baru itu sendiri. macosxtigerbook.jpgDan buku yang dipilih adalah Running Mac OS X Tiger. Nah lo, kok baru beli sekarang — 1 tahun kemudian? Tadinya sih sekalian menunggu peluncuran Mac OS X Leopard yang dijadwalkan pertengahan tahun ini. Tapi ianya tak kunjung melandas jua. Akhirnya aku beli juga buku ini. (Hm, khabarnya akhirnya Leopard akan diluncurkan bulan Oktober ini juga — tapi biar deh, updatenya dipelajari via e-documents sahaja).

Buku ini bukan untuk novice sebenernya (hey, aku udah jadi user 1 tahun, masa novice melulu); tapi juga bukan untuk geek. Dia untuk power user. Mulai mendalami hal di balik GUI. Syukurlah aku nggak terlalu asing sama Unix. Tapi tentu Mac OS X bukan hanya Unix + GUI Aqua. Banyak serentetan hal menarik yang dihasilkan dari evolusi + revolusi + optimasi panjang dunia Mac; termasuk keputusan untuk menggeser dari Mac Classic ke Mac bergaya NeXT, lalu ke Unix BSD-based Darwin sebagai core. Banyak alternatif dimana kita bisa memainkan optimasi dan development. Toolsnya pun menarik untuk dicobai. Dan itu sebabnya buku ini jadi mengasyikkan.

Dan entah kenapa mimpiku jadi berisi tiger, panther, cheetah, puma, leopard, sekalian juga ocelot. Kecanduan Mac Macan kayaknya. Jadi lebih pintar? Not necessarily. Tapi hidup jadi lebih menarik.

The IET

Pulang dari Jakarta, sebuah amplop tebal menyambut. Dari IET. Berisi Kartu Anggota dan beberapa jurnal. Berbeda dengan IEEE yang mencetak kartu anggotanya sekenanya, IET lumayan menghargai anggotanya dengan memberikan kartu yang lumayan keren (huh, penggemar kartu).

myietcard.jpg

Tahun 2001 aku pernah menyebut keanggotaan ganda IEE dan IEEE, lengkap dengan lagunya (iee, ieee, oh she doesn’t know what she’s missing). Nah si IEE sudah bermerger dengan IIE, asosiasi engineer sebangsanya, membentuk IET. Proses ini berlangsung sejak 2003 dan mencapai final pada Maret 2006; dan dalam masa itu aku memutuskan tak terlibat dulu dengan organisasi2 ajaib itu. Tahun 2007 ini aku memutuskan bergabung lagi. Ternyata tak mudah. Sejarah keanggotaan lama di IEE tidak lagi diakui, dan harus dimulai dari awal. Korespondensi panjang terjadi, memecah potensi dispute. Tapi akhirnya segalanya terselesaikan.

Walau IET merupakan gabungan dari IEE (berfokus pada rekayasa elektroteknika) dan IIE (menyebar pada rekayasa lainnya), namun warna IET masih cukup kental pada berbagai cabang elektroteknika yang khas IEE, termasuk telekomunikasi. Warna IIE tampak pada transportasi dan manufacturing. Organisasi dioperasikan di Gedung Faraday, Stevenage, yang dulu dipakai mengoperasikan IIE. Kegiatan populer yang diwarisi dari IEE adalah Kuliah Faraday, yang memberikan pengajaran engineering secara populer ke khalayak di seluruh negeri, setiap tahunnya.

Jumlah anggota IET lebih dari 150 ribu (termasuk …, heh heh heh) dari 147 negara (angka yang digemari Telkom). IET juga menyumbangkan £433 ribu setiap tahun untuk beasiswa. Informasi lain ada di web IET di www.theiet.org.

Sebuah Taman Virtual

Tepat pada Hari (Bakti Pos dan) Telekomunikasi, kita meluncurkan Telkom.TV. Hah, Telkom negara renik Tuvalu? Bukan, TV yang ini kita culik untuk kerangka yang lebih imut lagi: Taman Virtual. Tapi kenapa taman? Kerangka yang ini dimaksudkan untuk berada di luar kantor, untuk menjauh dari sekat-sekat korporasi, untuk menikmati kehangatan dan keakraban di sebuah taman. Ini adalah tempat bermain bagi komunitas maya. Memang sih, sementara baru terbatas di Jawa Barat & Banten dulu.

Kegiatan awal di Telkom.TV ini adalah — kejutan — Kompetisi Blogging! Ya, kita memang blogger bangedts, merasa harus mengawali dengan blogging, dan mengerangkai lainnya dari blogging :). “Tiada realita di luar blogging.” Kompetisi ini difokuskan untuk kalangan muda, yaitu pelajar, mahasiswa, santri, dengan usia di bawah 25 tahun. Tentu blognya tidak harus dipasang di Telkom.TV. Hey, ini taman, bukan bakery :). Blog boleh di WordPress, di Blogger, di domain sendiri, di mana lah. Waktu kompetisi 3 bulan, dihitung dari hari ini. Penilaian lebih pada content, bukan pada visual (biarpun, tentu saja, harmoni antara visualisasi dengan content harus diperhatikan). Hadiah yang diarisankan adalah sebuah notebook, dan beberapa handphone Flexi dari yang middle-up sampai middle-low. Lebih lanjut, boleh lihat langsung ke Telkom.TV.

Kegiatan yang lain adalah Lomba Desain Webcard. Yang ini untuk memperingati sederetan hari raya di penghujung 2007, dari Idul Fitri sampai Tahun Baru. Syarat dan ketentuan juga ada di Telkom.TV. Hadiahnya juga beberapa handphone Flexi, tapi tanpa notebook. Tenang aja. Namanya juga masih baru.

Tapi, tanpa skrinsyut adalah basbang. Jadi beberapa hari terakhir ini kami mempersiapkan acara launching sederhana. Tempatnya nggak perlu formal: di food court BEC yang diatmosferi Telkom Hotspot, biar aroma Internetnya kental. Peserta dari beberapa SMA di Bandung yang dicurigai banyak bloggernya; dan diwarnai oleh beberapa selebriti blog Bandung (hehe): Budi Rahardjo, Ikhlasul Amal, Rendy Maulana. Sambil bersiap berbuka, Afianto menekan tombol (virtual) merah menyala itu untuk membuka web Telkom.TV. Lalu empat siswa dan mahasiswa jadi pendaftar perdana. Kok cuman empat? Keburu adzan Maghrib sih :). Dan setelah berbuka agak bergegas, aku bertugas memanggungkan Kaisar Blog/Pakar IT Beneran/Rocker Kawakan/Akademisi Badung Budi Rahardjo untuk bertalkshow di atas panggung. Eh, ternyata ini jadi moment paling ramai. Banyak pertanyaan dan tanggapan. Pun sampai Mas Budi turun panggung. Jangan2 sampai rumah pun masih diuber2. Acara puncak, seperti yang ditulis di awal paragraf, adalah: bikin skrinsyut. Jadi seluruh peserta mejeng di depan panggung, kamerawan Denny beraksi menembaki kami, dan jadilah skrinsyut.

Selanjutnya … acara di taman pun dimulai. Sila. Sambil … hehe … masih dipugar.

Kisah lain kegiatan ini bisa dilirik di blog Rendy dan blog BR. Untuk internal Telkom, Nining berjanji menuliskan laporannya. Foto-foto lain a.l. ada di flickr Ikhlas dan flickrku. Sayang sekali Priyadi, Jay, Andika, dan MacNoto nggak sempat hadir. Sekarang, aku mau menikmati Kopi Siborong-Borong hitam pekat dulu.

Geek 95%

geek-95.jpgApa artinya Geek 95%? Artinya bukan bahwa kita misalnya lebih memilih ultimate number ala Douglas Adam daripada ? (pi) atau ? (phi), tetapi bahwa kita memanfaatkan waktu break kita masih juga untuk main-main kuis di Internet, sementara di luar jendela banyak hal2 yang lebih menarik *canda*.

Memang banyak yang masih mengartikan bahwa kaum geek, nerd, hacker, adalah orang yang harus lekat pada komputer dan buku2, serta menghindari manusia dan lingkungan. Padahal, obviously, istilah2 itu hanyalah kata sifat untuk kelakuan yang menyukai pola pikir engineering (termasuk reverse-engineering), serta level keasyikan yang mendalam terhadapnya. Aku nggak mau masuk ke kancah pendetailan nuansa kata2 sifat itu, karena sebagai orang yang dulu sempat tercemar poststrukturalism, istilah2 itu jadi tampak tak lebih sebagai alat bantu yang sifatnya transien saja.

Tapi jadi geek atau tidak jadi geek, yang barangkali lebih menarik adalah menikmati banyaknya alternatif frame dalam berintuisi, berlogika, dan dalam menjalani hidup.


Jadi … berapa skor Anda ?

Hmmm, sementara itu …

coffee-add.jpg

Indonesia IEEE Comsoc Chapter

Walaupun tampak masih jauh dari selesai, website Indonesia IEEE Comsoc Chapter sudah mulai menampakkan bentuknya. Beralamat di ewh.ieee.org/r10/indonesia/com (alamat official pemberian IEEE pusat), site ini memanfaatkan mesin Joomla: CMS open-source yang dikenal handal, meski kadang suka joompaleetan.

id-comsoc.png

Sekedar review, IEEE merupakan institusi internasional yang menghimpun para insinyur elektroteknika dari berbagai bidang studi, termasuk kecatudayaan, telekomunikasi, informatika, komputer, persinyalan, hingga elektronika konsumsi. Terdapat 40 society yang bernaung di dalam IEEE, ditambah lembaga standar dan beberapa lembaga lainnya. Posix, WiFi, WiMAX, Ethernet, dll merupakan ulah lembaga standar IEEE. Communications Society (Comsoc) adalah salah satu society IEEE, yang berfokus pada telekomunikasi dan network, dengan misi menciptakan communications bebas cemrosoc. Indonesia IEEE Comsoc Chapter bernaung baik di bawah IEEE Communications Society maupun di bawah IEEE Indonesia Section yang berada di bawah Region 10 dari IEEE. En passant, angka 10 dalam Region 10 itu desimal, bukan biner.

Biarpun IEEE dan seluruh lembaga di bawahnya terbuka terhadap keanggotaan baru (dengan persyaratan akademis dan teknis yang memadai), tetapi website baru ini tidak siap untuk didaftari anggota baru :). Untuk menjadi anggota IEEE, kita dapat melakukan permintaan secara online melalui website IEEE di www.ieee.org.

Bialetti Moka Express

Starbucks Ciwalk. Dua kantung kopi (biji terpanggang) aku bawa ke dalam. Satu dari Jawa, satu dari Sulawesi. “Tolong digiling ya,” pintaku, “Dan jangan terlalu halus.” Senyuman riang menyambut pinta. “Bulan depan yang Sumatra datang,” kata Aa’ Barrista. Ya, akhirnya, si Siborong-borong akan datang :).

moka.jpgApa yang dilakukan dengan kopi tak terlalu halus di rumah? Kan untuk membuat kopi rumahan ala Jawa, yang diperlukan adalah kopi halus? Memang. Kopi tubruk (caffè collizione *kidding*) perlu kopi halus. Tapi kopi rumahan GCC-51 menggunakan stove Bialetti Mokka. Cara membuatnya tetap sesederhana kopi tubruk, dan perlu kurang dari 5 menit (termasuk mencuci stove). Pemanasan tetap dari kompor yang itu juga. Stove ini sudah memiliki filter di dalamnya. Jadi diharapkan kopi yang masuk tidak terlalu halus. Jika terlalu halus, espresso yang dihasilkan kadang terlalu kental (sedap sih), tetapi kadang serbuk kopi masuk ke tempat yang tak diharapkan dan membuat efek audio yang tak menarik.

So, sore ini … Java espresso … sambil membayangkan Kopi Malang Sidomulyo, Pasar Klojen, Rampal, Bunul. Hey, sudah sempat lihat weblog-ku yang khusus membahas kopi? Alamatnya di nusantara.coffee. Kalau ada cerita dan apa pun tentang kopi, kirim cerita deh.

Simfoni Ketujuh

Chai. Minuman ajaib ini diperkenalkan Yani sebagai minuman favoritnya di masa lalu, waktu dia masih hobby bobo di Starbucks Changi. Sebagai mantan saudara kembar Yani, aku langsung terpengaruh; dan chai wajib selalu ada. Membantu lagi waktu asthma menyerang tanpa ampun seperti hari2 ini. Chai, sebenarnya merupakan bahasa Asia asli atas teh. Kita di Indonesia menyerap kata dan budaya teh dari Eropa, jadi tak merasakan nada yang sama. Chá, tsai, chai, jay, çay, dll. Chai sendiri merupakan bahasa India selatan. Nah, di sana orang konon suka membuat minuman teh dengan campuran berbagai rempah segar. Chai masálá, dll. Resepnya tak baku, dan berbeda dari setiap keluarga. Biasanya si teh hitam ditambahi jahe, kayu manis, lada hitam, cengkeh, cardamom, dan star anise (udah lihat bahasa Indonesianya di MTC, tapi lupa euy). Hasilnya, sebuah minuman yang memang layak difavoriti makhluk pintar semacam Yani. Nah, kalau orang asing (non India) menyebut nama chai, yang dimaksud adalah teh berempah macam ini, bukan chai lainnya. Aku sih memang menyukai nuansa keragaman budaya (dan sialnya juga keragaman diskursus). Jadi nggak keberatan kalau chai harus selalu ada di tengah koleksi kopi hitam non-instan.

Mmm, sedap. Sementara Simfoni Ketujuh Beethoven ada di latar belakang, berusaha menanamkan semangat musim semi ke hati yang sedang buram. Paduan yang inspiring.

Inspiring :). Benda bernama inspirasi memang sering datang saat kita megelak dari kotak-kotak standar kita. Saat pikiran kita mencoba keluar batas dari bingkai kita. Bingkai kita, seperti yang sering aku tulis di milis2 zaman sebelum blog :), tidak harus tunggal, dan kita harus punya fleksibilitas untuk beralih antar bingkai. Tetapi untuk membangkitkan inspirasi, kita kadang harus mengambil sebuah bingkai yang kita belum pernah miliki yang belum kita akui (bukan kita definisikan, karena definisi justru mengikuti si bingkai). Juga kadang kita memerlukan kelincahan yang berbeda untuk bergerak antara 2 bingkai, atau lebih. Ini tak sederhana, karena pikiran kita ada di dalam bingkai itu. Kalau kita merasa bisa melihat bingkai dari luar, maka kita salah mendefinisikan bingkai – dia harus membingkai pikiran kita, karena kalau tidak maka pikiran kita tak akan mau ikut pindah bersama pemindahan bingkai yang kita inginkan. Dan saat ingin betualang cepat antar bingkai, setiap bingkai yang kita singgahi harus sama cepatnya memindah kita ke bingkai berikutnya, sambil sempat beradaptasi dan melakukan transvaluasi citra yang sedang kita bawa.

Konon (ini artinya aku belum coba), beberapa ilmuwan dan seniman mencoba mengaburkan bingkai (dan dengan demikian memancing hal-hal yang inspiring), dengan mencoba mengail di antara kondisi alfa dan beta dari otak. Dali, Einstein, Wagner, Goethe, merupakan beberapa contoh. Dan karya2 mereka memang bersifat multiframe, Einstein yang secara formal meredefinisi frame fisika. Dali menolak batas realisme dan fantasi. Wagner menggunakan simbol klasik untuk menceritakan ide kebangkitan akal manusia. Goethe mencipta adibudayanya dengan mencerminkan berbagai budaya manusia. Konon, begini caranya bermain di level yang bernama hypnagogia itu.

  • Berbaring di atas punggung atau duduk di kursi yang nyaman. Dalam gelap pun tak apa.
  • Letakkan siku tangan pada kursi atau kasur, dan tegakkan lengan ke atas. Tapi buat sesantai mungkin.
  • Fokuskan pikiran pada masalah yang ingin dipecahkan, atau ide yang ingin dicapai.
  • Biarkan badan untuk mulai tertidur. Fokuskan saja pikiran.
  • Saat kita jatuh ke tidur yang lebih dalam, tangan akan jatuh, dan membangunkan kita. Catat apa pun yang terbayangkan saat itu.
  • Ulangi.

Kalau aku, belum perlu mencoba kali ya. Aku udah terlalu sering tidur dalam sadar dan sadar dalam tidur. Mencobai cara ini, jangan2 yang terjadi adalah tidur dalam tidur, trus pulas-s-s-z-z-z.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑