Menjalani sebuah tengah malam di Baros, setengah gagap terhuyung direntas lelah, menyanding memori masa kecil dengan gelap pasar malam ini. Mosaik samar berkejaran, tak runut waktu dan asa, menukik dan menyambar seperti burung malam yang gesit dalam hening.
Hening, tanpa Wagner, Stravinsky, Nietzsche, Goethe, Derrida, Said, Rumi. Pun tanpa kata. Kata hanya khianati makna, hujam salah satu West di mosaik itu (ia berambut tebal dan mengantongi Quibron). Huruf direntakkan dari kata. Terlontar ia menjadi persamaan Maxwell dan entropi Bekenstein-Hawking di kertas West yang lain, jadi include ‘stdlib.h’, jadi penghias ujung kurva pada Smith Chart.
Dan gagasan dilarikan melalui sederetan kurva panjang, dan balok2 tersambung garis2 kelabu tersambung ke sana kemari, dalam tumpukan ayer2. Dan si West si tukang insinyur yang baru lulus itu tanpa rambut menahan sesaknya, berlari dengan sepatu bot dan celana hijau bercampur lumpur, tanpa penutup dada melintasi gerimis ujung jalan ini. Melirik ia pada West berkemeja bertutup rapat (menahan angin), yang ditemani mbah kakungnya melihat2 rel dan menatap Gunung Bohong. Berputar mereka berjalan melintasi tepi makam, tempat sekian tahun kemudian West yang berbaju kelabu tangan panjang menyaksikan pemakaman Papapnya dengan iringan salvo dan terompet yang sederhana namun membakar hati. Aku lihat lagi Pusdikart, hanya beberapa langkah dariku. Di dalam sana ia masih menunggu kami. Satu titik air menetes dari langit malam. Mendung. Tapi tak seseram waktu kami mengungsi dari Pasopati ke sini, waktu Galunggung meletus lagi, dan kota ini menyatu kelabu dengan langitnya dalam aroma yang menyesakkan.
Aku masih West yang dulu juga. Menahan sesak nafas di jalan yang ini juga. Selalu gagal untuk menyerah.
Menengok lagi ke ujung jalan, ada West kecil yang kabur sendirian naik becak dari rumah ortunya ke rumah embahnya. Sendirian. Dan bikin panik ortunya. Huh. Dasar dari dulu nggak bisa diatur.