Author: Koen (Page 20 of 86)

IEEE ASEAN Sections Meeting

Bersamaan dengan ICTEL yang diselenggarakan oleh ITT di Hotel Preanger (Bandung), dikonduksikan juga IEEE ASEAN Sections Meeting. Aku hadir — selain karena harus — juga karena harus di Bandung untuk mengurus administrasi kepindahan. Hadir para pimpinan sections dan chapters dari Malaysia, Filipina, dan tentu Indonesia. Kita berbagi pengalaman mengelola organisasi profesional yang tumbuh di masyarakat yang kurang lebih serupa ini (biarpun salah satu keserupaannya adalah heterogenitas yang luar biasa). Skema2 kerjasama juga dirumuskan. Tak terlalu lengkap aku menghadirinya. Masih banyak kegiatan yang harus diselesaikan dalam waktu singkat selama di Bandung. Termasuk ke dokter.

Foto sebentar:

Saat ini IEEE diposisikan sebagai organisasi serius, technology-oriented, high value. Tapi coba kita bayangkan, misalnya IEEE direposisi jadi komunitas funky engineers (jangan berpikir tentang Dilbert), dan diskusi teknis dikemas dengan warna kopdar. Gimana, bakal lebih OK nggak?

Meeting berikutnya dilakukan tahun depan di … Cebu ?

Pasar Kreasi (beta)

PasarKreasi, satu lagi portal komunitas di Indonesia. Yang satu ini ditargetkan untuk para pecinta seni: para creator dan appeciator. Di situs itu, karya seni bisa diunggah, dipamerkan, dan nantinya bisa ditransaksikan juga (setelah launching resmi). Forum, berita, dan perbincangan dengan para expert juga tersedia.

Kategori yang digelar meliputi game, edutainment, musik, animasi, desain grafis, dan fotografi. Lainnya menyusul. Judulnya masih beta :). Tapi fungsi-fungsi teknis sudah bekerja, dan siap diuji coba beramai2. Yuk, kita coba. Saran besar kecil, sila di comment blog ini saja.

Tea Addict

Melalui agregator pribadi ra.me-ra.me, blog seorang Irfan Setiaputra memang rutin aku baca. Dan buat kita, tidak aneh seorang Country Manager sebuah perusahaan multinasional menulis blog. Memang sih, sebagai orang tenar, blognya jadi cuman setengah personal (dan setengah humas — haha). Tapi undangan di blognya luput aku baca. Hari2 setelah kepindahan ke Jakarta ini memang belum … belum serasa menjejak bumi lagi :). Hanya setelah ada undangan langsung, aku menyanggupi untuk datang menemui salah satu tokoh IT nasional ini. Dan hadirlah aku di Tea Addict, sebuah café di sekitar Sudirman.

Pak Irfan tampil kontras denganku. Beliau dengan warna putih, dan aku dengan hitam-hitam. Peserta bincang sore itu hanya belasan orang saja. Yang aku baru saja lihat a.l. Ivan Lanin. Sekaligus membuktikan kebenaran tesis Indra Pramana bahwa Ivan Lanin dan Kuncoro memang dua orang yang berbeda. Aku duduk bersebelahan Harry Sufehmi, dan Pak Irfan bersebelahan Mas Pepih Nugraha di depanku. Perbincangan lebih banyak ke soal aktual Cisco, organisasinya, arah bisnisnya, plus cerita2 menarik. Nggak usah ditulis di sini lah. Biar beliau menulis di blognya sendiri.

Di sesi diskusi, karena peserta masih sungkan, aku mengawali diskusi dengan strategi penetrasi budaya ke korporasi; misalnya Internet 2.0 ini. Kita tahu, level direksi dan level officer sangat2 paham tentang hal2 berkenaan dengan new marketing strategies ini. Tetapi level antara keduanya ini kadang jadi penghalang yang rigid, dan ini umum terjadi di mana pun. Pak Irfan menjawab cukup panjang, dengan berbagai formulasi strategi; termasuk skala perusahaan, hingga … ummm … pembersihan. Kemudian ganti kita diskusi tentang kondisi aktual bisnis infokom di Indonesia. Wise juga beliau ternyata (hehe). Tak hendak melakukan diskusi berdua saja, aku kemudian set silent; dan syukurnya rekan2 lain mulai ramai berdiskusi juga. Perbincangan panjang dan menarik itu diakhiri dengan sesi makan malam. Tentu dengan diskusi juga :).

Foto2 … haha, kebetulan aku lagi tak terlalu lincah menembaki orang2 hari2 ini. Ini diculik dari blog Pak Irfan:

Oh, terima kasih Pak Irfan atas sharing wawasannya yang OK nian. Terima kasih Cisco untuk kesempatannya.

Sambikerep – Tritik

Kampusku (d.h.i yang Brawijaya, bukan Coventry) memang rada ndeso: akrab bener sama urusan pedesaan :). Waktu kampus lain sibuk urusan pemloncoan (dengan berbagai nama dan tujuan yang keren2, tapi bohong); fakultas teknik di kampusku malah bikin KKM. Aku lupa kepanjangan aslinya — yang teringat cuman Kamp Konsentrasi Mahasiswa. Lebih seram dari pemloncoan, kami benar2 dikirim ke desa terpencil untuk membangun jalan makadam dan saluran air, dengan hanya dibekali kaos oblong sepotong, dan tentu sambil dimaki2 dan disiksa2 juga. Pulang pada tewas, tapi entah kenapa tetap bahagia: tenaga dan waktu yang kami buang tidak sia2, dan memberikan hasil nyata buat warga dusun2 terpencil di pelosok Jabung.

Sebagai bagian dari kurikulum, ada Praktek Kerja I (umumnya di lab, tapi boleh di luar) dan Praktek Kerja II (umumnya di perusahaan2 — aku sendiri ambil di LEN, Bandung). Tapi juga ada KKN (Kuliah Kerja Nyata, sebelum diberi kepanjangan lain menjelang reformasi), dimana mahasiswa wajib turun ke desa terpencil (lagi) selama 2-3 bulan buat membaktikan ilmu. Barangkali waktu itu aku masih sosialis (belum anarkis), jadi malah amat sangat suka sama acara kerja bakti paksaan kayak gitu. Membuang kota & egoismenya jauh2, naik ke desa2 di lereng2 gunung, menemui manusia sungguhan, belajar dari mereka, dan menyerap kemanusiaan secara … surealistik, haha. Andai udah ada blog di zaman itu :p.

Aku sendiri berKKN di dua desa: Sambikerep dan Tritik, di Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Nganjuk :) — bahkan baru kali itu aku menginjakkan kaki di negeri itu. Camat Rejoso sendiri yang selalu in touch dengan kami, dan memaksa kami berposko di ibukota kecamatan: Desa Talang. Sambikerep terletak 9 km dari Talang, dan Tritik 15 km dari Talang, ke arah yang berbeda. Tidak ada angkutan umum ke kedua desa. Tritik lebih parah, karena jalannya ekstra rusak, serta melintasi hutan jati beberapa kilometer. Desa Talang sendiri dipenuhi sawah dan kebun tebu.

Desa Tritik

Tim kami terdiri atas dua kandidat insinyur elektro, dua ahli perikanan, dua akuntan, satu dokter, satu ahli hukum, satu ekonom, dan … wah agak banyak. Hmm, aku pikir kombinasi kayak gitu, plus keusilan dan fakta bahwa kebetulan aku satu tim dengan para aktivis kampus masa itu, bisa dijadikan bahan blogging 1 tahun :). Dan nyesel deh, kenapa zaman itu belum ada plurk juga ya :). Bersambung ah.

IEEE P1900: CR, DSA, Koeksistensi

Salah satu tema dalam IEEE Communications bulan ini adalah standar2 dalam networking. Kumpulan artikel diawali dengan ringkasan standar yang disponsori berbagai society di dalam IEEE. POSIX dan 802 misalnya, disponsori oleh Computer Society, sementara personal communications oleh Communications Society. Lalu update standar2 — 802.3av, 802.11n, 802.20, PLC, serta keluarganya, lalu … hmmm, standar untuk mendukung cognitive radio (CR), dynamic spectrum access (DSA), dan koeksistensi. Kelihatannya yang terakhir pas dengan yang lagi sering kita kaji.

CR sering didefinisikan sebagai software-defined radio (SDR), yaitu saat perangkat radio mampu secara cerdas menentukan kebutuhan dan memilih sumberdaya radionya sesuai konteks. Standar semacam WiFi (802.11), Zigbee (802.15.4), serta WiMAX (802.16) telah memiliki level teknologi CR tertentu. 802.22 akan menjadi standar internasional berbasis CR pertama. CR akan berkait erat dengan akses spectrum yang bersifat dinamis (DSA). Namun yang menarik tentu keterkaitan antara CR dan koeksistensi: pemilihan sumberdaya yang menentukan jenis akses radio sebuah komunikasi.

Sebuah komite, SCC41 dibentuk dengan focus pada DSA. Standar yang tengah dikerjakan adalah serial IEEE P1900. P1900.1 (target Des 2008) menyusun konsep next generation radio systems dan spectrum management. P1900.2 (target Des 2008) merekomendasikan praktek koeksistensi dan interferensi. P1900.3 (target Feb 2011) mengevaluasi sistem radio dengan DSA. P1900.4 (target Des 2007) menyusun arsitektur sistem yang memungkinkan optimasi sumberdaya radio dalam jaringan heterogen.

P1900 (lihat gambar deh) memungkinkan pengelolaan spectrum antara jaringan yang paham CR dan yang tidak.

Network reconfiguration management (NRM) berkomunikasi dengan terminal radio management (TRM) membentuk interoperabilitas antara jaringan2 radio tanpa infrastruktur. Perangkat komplian P1900.4 memungkinkan rekonfigurasi network dan terminal yang berikutnya memungkinkan pemindahan yang seharusnya tak terasa (seamless).

Direncanakan akan ada P1900.5 yang membahas bahasa policy, dan P1900.6 untuk RF sensing. Standar lain yang juga akan sudah mengadopsi soal CR, DSA, dan koeksistensi adalah 802.22 (Sep 2009), 802.19 (Sep 2008), 802.16h (Sep 2008), 802.16m (a.k.a. WiMAX II atau WiMAX next generation, Des 2009), serta 802.11y (Des 2009).

Anusapati

So, aku masih setengah minggu di Bandung setengah minggu di Jakarta. Ini kisah Jakarta suatu pagi minggu lalu. Masih agak jauh dari Wisma Antara, sudah tampak Gedung Bank Mandiri (Thamrin) berwarna perunggu. Hmm, aku malah masih ingat waktu gedung itu masih berjudul BDN, sebelum bank itu bermerger dengan Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bapindo menjadi Bank Mandiri. Aku sempat ke kantor itu awal tahun ini, buat acara Deklarasi Koperasi Isnet. Ahlul-baitnya, Mas Haryoko, waktu itu masih jadi salah seorang direktur di Bank Syariah Mandiri. Beliau baru berhenti dari jabatan itu (yang dipegang selama dua periode) bulan lalu; dan langsung mengirim SMS tanda syukur kepada para Isnetter, bahwa selama dua masa jabatan itu tidak sampai terpaksa tergelincir ke hal2 yang tak dihendaki, yang bisa terjadi di posisi itu. Teringat beliau, aku mendadak usil, kirim SMS. Ternyata beliau hari itu sedang di gedung itu. Mirip aku, beliau bekerja di beberapa lokasi minggu2 ini, tapi dua-duanya Jakarta: Plasa Mandiri Gatsu dan Gedung Bank Mandiri Thamrin itu. Saling kirim SMS jadi mirip chatting, cuman berselangan detik, terus menerus. SMS terakhir membahas soal warung mi ayam samping lapangan dekat Wisma Antara, yang didirikan sejak 1982 (zaman Brezhnev, Sabra-Shatilla, Petisi 50, Woyla, Kopkamtib, Malvinas, KAL, Babrak Kamal, dll itu). Terus aku sibuk menerima tamu2 dari content providers.

Lunch time, masih ada tamu; dan makan siang harus ditunda. Janjian dengan Mas Haryoko jadi kayaknya tertunda. Baru setelah tamu2 pulang, aku ke kantin. Dari kantin Lt 9 itu, aku coba mengintai di mana gerangan si warung mi ayam yang dikagumi Boss BSM itu, hmmm. Ada titik yang tampak mirip warung. Aku lihat terus. Terus balik kanan, dan sesosok makhluk gagah menyapaku: “Mas Kuncoro ya?”

Tentu bukan cuman aku yang punya pengalaman mirip seperti ini: disapa ramah oleh seseorang, sementara ingatan kita tak mengirimkan informasi apa pun tentang sang penyapa. Aku menyambut ramah, “Oh hai!” — yang disusul sang penyapa dengan memperkenalkan diri sebagai penulis blog Anusapati. Ah ha, kejutan :). Anusapati adalah penulis blog unik, tentang celah sejarah Indonesia, semi anekdotal, tetapi membuka mata kita tentang kemanusiawian sejarah negeri kita ini. Anusapati juga orang pertama yang berhasil menebak posisi aku bekerja di entry blog sebelumnya (Jakarta 10110). Tapi dari tanggapan aku, Mas Teguh a.k.a. Anusapati ini mengira aku pernah kenal beliau. Tentu pernah. Membacai blognya setiap ada entry baru, membuat kita serasa mengenalinya kan? Bercakap tanpa sua, tentu lebih kenal daripada sua muka tanpa komunikasi :). Malahan blog Anusapati sudah kumasukkan juga di aggregator pribadi (baru ganti domain, sekarang: ra.me-ra.me). Tapi Mas Teguh heran bahwa aku tahu beliau seorang jurnalis. Hmmm, kalau kita baca2 blog beliau, tentu segera tampak bahwa beliau seorang jurnalis. Dari Detik :). Tidak perlu jadi profiler handal untuk memahaminya :). Oh ya, Mas Teguh ternyata ditemani seorang rekan, Mas Iwan. Tapi aku belum dapat alamat blog Mas Iwan.

Perbincangan dengan Mas Teguh asyik juga. Dari soal sejarah negara ke sejarah pribadi, haha :). Sayangnya kurang lama. Beliaunya harus segera turun untuk meneruskan bisnis :), dan aku juga harus balik ke mejaku untuk bersiap menghadapi …. rekan bisnis (huh, sama).

Kusesap kopi hitamku sampai habis, trus kami meninggalkan kantin Lt 9 yang sedang bermusik dengan solo keyboard itu. Mudah2an nggak perlu nunggu lama untuk bisa sua lagi.

Blogging 8.0

Tentu Internet 2.0 memang sudah terjadi (atau Internet 3.0 — tidak ada bedanya). Tentu wikinomics, prosumerity, etc, memang sudah terbukti. Namun bukan berarti blogging jadi harus jadi pusat perhatian. Blogging memang kegiatan Internet 2.0 yang paling mudah. Hanya dalam beberapa menit, seseorang yang baru mengenal Internet sudah dapat menjadi penerbit kelas dunia. Blogging dapat dimanfaatkan buat jadi pintu pertama buat mengenal Internet transaksional, sebelum orang awam mengenal keunikan-keunikan Internet lainnya. Namun blogging juga mirip SMS: cuman jadi alat bantu komunikasi. Blogging, Internet, komputer, tidak membuat hal baik jadi jelek atau hal jelek jadi baik: menulis kebodohan di Internet tidak membuatnya jadi benar atau keren.

Tapi kenapa menulis blog sampai 8 tahun (dan entah berapa macam blog)? Mengapa kemudian sibuk mempromosikan blog, menjahit kegiatan antar komunitas, meroadshowkan blog? Bukan karena blog itu istimewa; tetapi karena melihat potensi bahwa blog bisa jadi ruang belajar yang ampuh untuk transformasi budaya, penularan ilmu, dan pembudayaan infokom secara intens. Dan kalau “blogger” jadi label, jadi terekspose secara eksklusif, jadi dibikin terlalu bergaya dan centil, itu efek yang sebenarnya tak diharapkan (tapi bisa dijadikan ruang tersendiri untuk mereka yang memang centil dan suka bergaya). Dipikir2, ajaib juga kalau blogger pingin diekspos TV dan media konvensional lain :) — mirip kaum republiken yang meminta pengakuan dari maharaja :). Sejauh ini sih, yang terjadi adalah bahwa media konvensionallah yang bekepentingan mengekspos kegiatan blogging dan semacamnya, untuk membuat diri mereka sendiri updated.

Aku akan terus ngeblog, terus meneruskan kampanye blogging, dan terus mendukung kegiatan2 yang membuat dunia blog ramai; terutama membantu kegiatan blogging & komunitas blogging agar mulai memberdayakan masyarakat yang lebih luas.

Foto di sini adalah foto aku di Yogya kemarin: menyampaikan laporan & ide2 content dari Jawa Barat. Aku memulai dengan menyebutkan bahwa content & communities tak mungkin terpisahkan. Dengan Internet 2.0, content, feature, dan bahkan produk, akan dibentuk dan didefinisikan oleh communities. Yaw, mungkin ini presentasi terakhir dimana aku mewakili Jawa Barat. Tapi mudah2an bukan presentasi terakhir dimana aku mewakili kaum blogger.

Jakarta 10110

Atas SMS Order dari Oom Widi Nugroho, dua hari ini aku mencobai calon tempat kerja baruku, di Lantai 9 of sebuah kotak besar di Jakarta 10110. Aku datang cuman bawa sebuah MacBook, nyaris tanpa asesori (ketinggalan: MiniDVI-to-VGA converter, Flash modem, flash drive, etc — padahal kayaknya udah diberesin agak rapi), dan jaket (duh, dasar orang Bandung). Syukurlah WiFi di sini gampang akrab dengan Airport si McPollux; beda dengan di Dago yang entah kenapa nggak nyambung2 (kecuali pakai Odyssey for Windows).

Biarpun belum resmi pindah, aku udah mulai harus baca beberapa proposal. Hey, bukan kerjaan yang membosankan. Ini proposal berbagai content & aplikasi Internet (web dan non web). Biasanya kerjaan macam gini adalah hobby di luar kantor :). Jadi memang kayaknya aku disuruh bersenang2 di sini. Sayangnya, baca2nya belum selesai.

Aku bahkan kelihatannya nggak perlu banyak berkenalan sama rekan2 di sini. Sebagian udah sering sua di berbagai meeting sebelumnya, terutama di Forum Content di Yogyakarta kemarin. Oh ya, di Forum Content itu, sebenernya Mr Elvizar (D-EGM Divre III) sudah secara lisan menyerahkanku ke Corporate via Mr Indra Utoyo (CIO). Cuman masih ada beberapa mainan yang harus diberesin di Bandung, jadi aku baru akan resmi pindah bulan Agustus.

Aku nggak bawa card reader, jadi nggak bisa pasang foto baru. Tapi ini foto yang pernah aku ambil dari arah Gambir beberapa waktu lalu. Coba tebak di mana aku … :)

Blogger Academy

Cerita tanggal 11 Juli.

Ini untuk pertama kalinya aku ke Yogya tanpa menyempatkan diri masuk ke kraton. Cuman sampai halaman depan. Dan sempat pamit ke Sultan (dalam bayangan): “Boss, kali ini abdi nggak sowan ya. Rada sibuk neh.”  Detik2 terakhir di Yogya dipakai buat berkeliling kampus UGM, dan langsung meluncur ke Bandara Adisucipto. Check in tanpa antri, aku dipersilahkan menunggu di Garuda lounge. Kelihatannya aku bukan blogger 100%: yang aku cari bukan akses Internet duluan, tapi kopi panas. Kopi diramu sendiri, dibawa ke sofa, kubanting badan, kusesap kopi … segar. Seorang Bapak masuk. Kutatap, rasa2 agak kenal, dan beliau menatap balik. Kuanggukkan kepala memberi salam, dan beliau membalas, sebelum akhirnya aku ingat: Ini Sri Sultan Hamengku Buwono X. Duh, yang punya negeri. Tapi tak lama aku di situ, dan memutuskan membuang waktu di Periplus. Belum 1 menit, sudah 3 buku kugenggam. Hicks, serakah itu tak baik. Jadi hanya 1 kubawa ke kasir: Wikinomics. Amex-ku ditolak. Hmm, memang tak keren Amex ini sejak dikelola Bank Danamon. Jadi pakai HSBC – diskon 10% :).

Di angkasa, buku itu tak terbaca juga. Penerbangannya singkat. Aku duduk dekat jendela kiri, jadi tak bisa melihat Merapi dari atas. Yang kelihatan malah keraton lagi, diapit alun2 utara dan alun2 selatan. Tapi tak lama, tampak sebuah gunung lagi. Nanti kita cari namanya deh :). Trus pantai utara. Trus Jakarta. Bergegas turun, nyaris balapan lagi sama … Sultan, hush. Istirahat di luar, dan membiarkan seorang bocah kecil yang gagah meluangkan waktunya untuk menyemir sepatuku. Damri mengantarku ke kawasan Slipi. Dan aku mulai sleepy. Turun dari bis, ojek mengangkatku menyelip di kawasan Palmerah yang padat, dan aku turun di kantor Kompas Gramedia.

Di kantin Sasana Budaya, Mas Pepih menyambut. Ada Mas Budi Putra dan Mas Adam Infokomputer juga. Es kapucino digelontorkan ke darah buat melawan kantuk. Dan waktu2 berikutnya, bergabung juga rekan2 blogger dari Asiablogging. Menjelang matahari tenggelam, semuanya beranjak, ke Ancol.

Di Ancol, kami melandas di Segarra. Pak Taufik Mihardja (Direktur Executive Kompas.com) dan Pak Budi Karya (Direktur Utama Jaya Ancol) sudah menanti, dikelilingi tim yang cukup lengkap. Tapi acaranya tak formal. Berbincang2 segitiga antara Ancol, Kompas, dan para blogger ABN. Materi perbincangan ditulis lain hari deh :). Intinya adalah ketertarikan pihak Jaya Ancol untuk memahami dan memainkan komunikasi melalui media online, baik media online maupun blogging (para blogger sendiri diundang oleh Kompas). Rincian menyusul. Capuccino kedua menyegarkan pikiran. Tapi perbincangan dihentikan untuk melihat atraksi Police Academy – aksi stuntmen dari Italia yang dikemas mengikuti film Police Academy. Rame sih, asal sebentar melupakan soal global warming dan makin langkanya BBM. Makan malam menyusul, dengan Mbak Mety (manager promosi Ancol) kita daulat sebagai pemberi rekomendasi. Yang beliau rekomendasikan a.l. crab, dan – yang aku ambil – lamb tongseng. Rame sih, asal sebentar melupakan soal kolesterol. Perbincangan informal diteruskan, sampai kemudian Fauzi Bowo, Gubernur DKI, mendadak bergabung. Tapi beliau didaulat bergabung berfoto saja :), bukan didaulat blogging :). Di situ diskusi ditutup dan diakhiri.

Diskusi2 tentang blogging memang selalu menarik, dan masih akan menarik. Benda satu ini membuat seorang user menjadi publisher, dengan cara yang mudah dan murah, dan langsung bisa saling mengait dengan jalinan informasi internasional. Salah satu misi kita memang mendorong agar demokrasi dan sosialisme informasi (sekaligus kapitalisasi Web 2.0) ini jalan. Jadi tidak pernah ada keinginan untuk mengeksklusifkan para blogger, atau memberi kemanjaan kepada para blogger. Sebaliknya, para blogger (dan user lain yang diajak menjadi blogger) diharap jadi punya power lebih untuk lebih dapat membantu masyarakat sekitarnya menikmati taraf hidup (ekonomi, pendidikan, dll) yang lebih baik. Siap, para blogger?

Valuetainment

Tadinya aku tak diagendakan untuk ke kota ini. Tapi memang semua tahu, aku harus dibawa ke sini, tak terelakkan. Maka dengan persiapan singkat, aku sudah di KA Lodaya Bandung-Solo dan melandas di Yogya sebelum adzan subuh digaungkan. Mengikuti alur Malioboro, aku melangkah sendiri, dan menghentikan langkah di alun2 utara, lalu menemani hidup yang mulai bangkit saat langit gelap berubah menjadi merah, dan puncak Merapi berabu tebal tampak jernih kemerahan di utara. Aku sengaja membuang lebih dari 1 jam untuk kemewahan semacam ini: waktu luang tanpa memikirkan apa pun selain menatap puncak berabu, memancing nuansa inspirasi yang tidak verbal.

Aku ke Yogya dengan judul Forum Content Nasional. Di forum ini, kami berbagi kisah2 pengembangan content, yang memang harus berbeda per wilayah, segmentasi customer, dan komunitas2. Forum dibuka Ketua Gugus Konten Widi Nugroho. Suasananya Internet 2.0 sekali, dengan keyakinan akan konsep prosumer, dan partisipasi komunitas yang makin besar untuk membentuk produk. CIO Indra Utoyo melontarkan istilah valuetainment, yang memiliki aspek spiritualitas, kreativitas, dan  knowledge. Lalu setiap DEGM menceritakan pengembangan content di divisi masing2. Aku didelegasii bercerita tentang Divre 3, Jabar Cyberland.

Hari ini forum dibagi dalam tiga kelompok. Aku bergabung di forum content development. Tapi di tengah2, aku malah sharing cerita pengembangan komunitas dengan Bu Ani. Ini my smart ex-boss yang sekarang jadi GM di Semarang. Trus balik ke forum.

Hasil forum ini dipaparkan di http://mmmm, nggak jadi ah :). Sementara itu, web kun.co.ro malah tewas. Sang hoster membunuhnya dengan alasan (seperti yang mereka bilang) bahwa site ini memakan resource prosesor hingga 300% (ajaib, bisa lebih dari 100%), dan membuat seluruh account terkena beban lebih. Kayaknya aku memang salah pilih hoster. Siap-siap migrasi lagi :).

Besok forum akan ditutup. Trus aku terbang ke Jakarta untuk jadi tamu di acara komunitas yang lain lagi :). Kayaknya memang sibuk, tapi asik juga sih. Valuetainment in real world.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑