Author: Koen (Page 20 of 87)

Blog Si Jack

Agak umum kalau majalah atau jurnal yang berkait profesi atau komunitas memasang halaman umpan balik di halaman2 belakang. Sebuah majalah Mac memasang berbagai cara memanfaatkan produk Apple (selain untuk komputasi). Majalah2 lain kadang memasang halaman humor yang menohok profesi. IEEE Spectrum dan IEEE Computer juga, biarpun dalam bentuk agak serius :). Jurnal E&T dari IET memiliki pendekatan menarik. Beberapa bulan terakhir, setiap dua edisi sekali, ia menampilkan blog seorang abege bernama Jack.

Si Jack ini konon berusia 16 tahun, memiliki beberapa saudara, dan terutama memiliki ortu insinyur. Dan untuk menggambarkan penderitaan si Jack, kita ingatkan: kedua ortunya adalah insinyur. Simpati kami atasnya :). Tentu, sebagai fanatikus engineering, kedua ortu Jack agak berharap Jack juga terjerumus ke dunia engineering — hal yang cukup menakutkan Jack. Dan dengan kaitan ajaib semacam ini, jadilah blog si Jack umpan balik bagi pola pikir kaum engineer (yang seringkali merasa lebih pintar dan lebih benar dari spesies manusia lainnya).

Edisi pertama blog si Jack menggambarkan kekecewaan ortu Jack tentang profesi yang diminati Jack: matematika (uh, keren), biologi (ya, sains juga lah), musik (hmm, ok, untuk mengasah intelektualitas), dan ekonomi (haaaaaah!!!!!). Eh, yang di dalam kurung itu tanggapan ortu Jack. Begitulah, ortu Jack memang belum secendekia misalnya Prof MO Tjia — sedikit dari fisikawan Indonesia yang memiliki otoritas untuk bicara tentang mekanika kuantum, tapi justru yang mengakui bahwa ilmu semacam kimia, biologi, dan sejarah justru memiliki kompleksitas lebih dari fisika fundamental. Ketinggian budi yang … wow.

Edisi terakhir blog si Jack ini bikin aku terpaksa baca dua kali dan ketawa dua kali. Seperti abege 16 tahun lain, si Jack dalam masa pemberontakan untuk lepas dari pengaruh ortu. Dan amat kesal memahami bahwa dirinya belum bisa berlibur sendirian. Maka berliburlah ia ke sebuah jembatan di Perancis. Huh, kenapa jembatan? Ya, itu pilihan ortunya: mencari tempat yang dekat Futuroscope dan Millau, sambil bisa berbincang dengan sesama turis Inggris tentang kurangnya visi pemerintah pada bidang engineering. Sang ayah doyan bawa kawat ke mana2, bisa buat benerin flip-flop yang terbakar, bisa buat mengetatkan kabel akselerator (sampai mereka menemukan bengkel tempat bunga merah tumbuh di genangan oli, dan sang ayah selalu menjadikan pekerja bengkel sebagai teman bertengkar yang akhirnya jadi sahabat sebahasa).

Satu2nya hal yang menyenangkan si Jack adalah waktu ia berjumpa abege cewek di kolam renang. Dengan gaya berenang yang mengkhawatirkan, ia berhasil menarik perhatian Katie, dan mengajak mengobrol sambil minum orangina. Sayangnya Katie harus segera pergi bersama ortunya. Sambil si Jack bingung bagaimana cara mengajak Katie ketemu lagi, Katie berteriak bahwa mobil ortunya terkunci dari dalam. Jack punya kesempatan untuk mulai menyusun kata2. Tapi justru ayah si Jack memutuskan mengambil kawat kesayangannya dan dengan cepat membukakan kunci mobil keluarga Katie. Tindak kepahlawanan? Tidak bagi keluarga Katie yang justru menatap ngeri pada … ugh … tukang bongkar mobil atau rumah orang? Mereka segera pergi, dan Jack kehilangan Katie.

Bagaimana ortu Jack dulu ketemu? “Engineering convention,” kata si ibu: “Waktu itu OHP rusak …” Cerita terputus karena Alice pingin tahu apa itu OHP, dan langsung membawa kedua ortu ke nostalgia barang2 kuno: Dymo printer dll, yang semuanya bisa diperbaiki si ayah. So, liburan usai, Jack masih jomblo. Hasil ujian keluar sesuai harapan: ekonomi, matematika, musik, biologi. Mudah2an mendatangkan penghasilan yang cukup untuk membayar orang untuk memperbaiki proyektor.

‘Gak sabar menunggu entry blog Jack berikutnya.

Medan 3.0

Ini kunjungan ketigaku ke Medan. Di kunjungan pertama, aku masih seru2nya pakai C/C++, dan markas PDI Megawati baru diserbu gangster orba. Cari duren, gagal — maag menyerang duluan. Berakhir di klinik. Kunjungan kedua, lupa kapan, tapi gagal lagi cari duren. Kunjungan ketiga … jangan sampai lolos! Duren!

Duren Ucok

OK, jadi kunjungan kali ini bertujuan untuk sharing tentang Web 2.0 dan social networks ke rekan2 se-Sumatra Raya, pulau digital Indonesia. Acara cukup sukses, dan rekan2 aktif bersama2 cari metode2 yang lebih adiktif dan menular untuk menyebarluaskan ideologi digitalism ke seluruh Sumatra. Cuman jadi agak keracunan Facebook dan terutama Plurk mereka. My fault, my sin, I have to confess. Tadinya cuman mau menunjukkan mengapa dan bagaimana aplikasi Internet bisa menular dan membuat kecanduan; tapi ternyata mereka jadi korban duluan. Tak apalah. Penularan berjalan terus. Ya, ini bisa dibahas panjang lebar lain hari. Kali ini yang penting adalah: duren! (^_^)V.

Wagner dan Blogger

Tentu Wagner bukan cuma Siegfried dan Tristan. Ada rentetan panjang simfoni, mars, dan opera sepanjang hidup Richard Wagner. Tapi aku yang nggak pernah paham bahasa Jerman, dan baru akhir2 ini menyelidik rincian kisah2 opera dan simfoni Wagner, memang hanya bisa menikmati sebagian diantaranya: sebagian yang sungguh2 pas. Bagian yang lain, entah kenapa tak terasa akrab. Bahkan di catatan tentang Wagner yang dibuat tahun 2000 itu, opera yang cerlang ceria seperti Das Liebesverbot dan Rienzi nyaris tak disebut. Dan baru beberapa hari lalu aku baca pengakuan Wagner. Pernah ada masa saat ia menulis opera dengan berfokus pada reaksi publik: apa yang kira2 akan menarik publik, apa yang akan memukau penonton, apa yang bakal menimbulkan reaksi masyarakat. Dan contoh yang ia sebut adalah Die Feen dan dua opera di atas. Reaksi publik? Memang luar biasa. Dan nama Wagner mulai terangkat di Paris. Wagner menyebut opera2nya masa itu dengan opera berbasis pikiran. Aku sendiri akan menyebutnya opera marketing. Marketing yang sukses, btw.

Sejak Faust, lalu Fliegende Hollander, Wagner melakukan apa yang disebutnya opera berbasis intuisi. Pun sebelum ia mengakrabi filsafat Schopenhauer. Ia hanya mengikuti kata hatinya, yang tentu sudah dimatangkan oleh profesionalisme dan sekaligus nurani. Lalu Tannhauser. Ya, mulai masuk komposisi2 favoritku (vaforitku). Termasuk masterpiecenya: Der Ring Des Nibelungen. Dan tak harus Wagner. Beethoven misalnya. Simfoni kelima yang tertata rapi dengan motif, empat nada empat nada, kenapa justru bikin air mata menitik. Simfoni ketiga dan ketujuh, kenapa bikin kita kadang harus menarik nafas kagum.

Tentu, sebagai INTP, aku menjunjung rasionalitas. Tapi, seperti yang pasti rekan2 di milis2 zaman dulu pada bozan, aku akan selalu menyebutkan bahwa rasionalitas itu multilayer. Taktik singkat, taktik rada panjang (bukan strategi sebenernya, tapi kadang dikira demikian), hingga rasionalitas yang terasah dan tak harus verbal tetapi bisa menjadi guide secara intuitif. Dan dalam tahap ini, rasionalitas tak harus lagi berwujud kausalitas dangkal (idiom ini, entah kenapa, mengingatkan sama gaya tulisanku di SMA dulu); tapi bisa berupa intuisi — dan terkomunikasikan bukan secara verbal, tetapi menyeberang antar hati.

Musik Indonesia belum kacau balau. Kalau kita sempat menjelajah ranah indie, kita sering menemui pernik-pernih cerlang. Tapi tentu musik yang didentamkan dan dilengkingkan di media lebih sering musik berbau marketing juga. Dan tak terbatas di dunia seni, ini terbawa ke dunia kita juga: blogging. Haha, dunia blogging.

Ribuan blog Indonesia, dengan tumpukan intan, mutiara, permata, tapi di sisi lain juga tumpukan sampah marketing. Dan kitsch juga. Blog dengan title atau summary menggelitik yang membuat orang terpaksa berkunjung. Isi blog yang dipaksakan provokatif atau mengharukan, yang memaksa orang melink atau mengcomment. Dan tentu SEO! Yang ini bahkan ditulis bukan untuk menghamba kulit manusia, tetapi menghamba mesin (untuk tidak menyebut — karena tidak selalu — menghamba uang). Aku cukup sering jadi juri yang harus membacai banyak blog, dan harus amat sangat kesal membacai sampah yang dipurapurakan sebagai blog itu. Tapi kekesalan itu kecil, dibanding keceriaanku menemukan blog-blog beneran, yang inspiring, membuka mata, provokatif alami, mengharukan beneran. Dan bukan kata2 itu yang membedakan mana yang tulus mana yang kitsch. Ia terkomunikasikan tidak secara verbal.

Tapi apakah rasionalitas dangkal mesti dikutuk? Dibubarkan? Tentu tidak. Wagner pun pernah terjerumus ke kesalahan yang sama. Mudah2an suatu hari kita para blogger juga kembali menulis sesuai bisik nurani  — kejernihan dan kejailannya sekaligus. Dan kalau tidak, haha, dunia tetap indah dengan titik cahaya sekedarnya. Kilaunya mencerlangkan dunia.

Kita tutup malam dengan Gotterdämmerung. Der Ring itu ajaib. Secara ringkas ia menjelaskan kehancuran para penyusun semesta akibat kejahatan2 mereka sendiri. Diperlukan alih generasi yang menggantikan keserakahan dengan kasih sayang, dalam dua generasi. Tapi akhirnya kasih sayang pun harus hancur di Gotterdämmerung. Hihi. Indah ya (^_^)V

Fresh

Oh ya, selamat berkontemplasi Ramadhan :). Moga kembali ke jatidiri kita, moga lebih mampu menangkap cahaya-Nya, dan berani meneruskan hidup “absurd” ini tetap di jalan-Nya :).

Hari kerja terakhir sebelum Ramadhan, sekelompok pelaku, pecinta, dan pemerhati dotcom Indonesia berhimpun di kawasan Blok M. Tempat bernama Bakul Sekul, dengan menu khas Jawa, menjadi tuan rumah FRESH yang pertama. FRESH, konon dari kata Freedom of Sharing, atau barangkali kumpulan ide segar, memang pernah bersua dalam bentuk lain beberapa bulan lalu (Januari?). Waktu itu konon mau membentuk TED versi Indonesia. Tetapi melihat tipe2 peminatnya, akhirnya platform diskusi difokuskan ke urusan dotcom Indonesia.

Acara Jumat lalu dibuka oleh Catur Puji Waluyo, lengkap dengan sindiran dari Richter Scale tentang konsepsi Web 2.0. Pembicara tematis adalah Boy Avianto dan Andy Santoso, yang memaparkan plus minus online business (dengan nuansa yang berbeda). Kita diajak realistis dulu: membuka mata bahwa online business itu business, bukan sulapan; baru kemudian kita berbincang tentang peluang dan aspek lainnya.

Foto presentasi Avianto, oleh Satya Witoelar. Sst, ada 2 Mac di sana.

Kemudian giliran Grace Sai yang bercerita tentang proyek sosialnya: Books for Hope, yang berusaha meningkatkan literacy dan minat baca masyarakat dengan mendorong perpustakaan2 komunitas dan berbagi buku. Dan pada sesi berikutnya, Ilya Alexander Surapati (il y a Alexander sur Apati, haha) menyuruh kita untuk unplug sejenak. Beberapa suara yang turut meramaikan adalah Rahadian Agung, Armono Wibowo, dan Wicaksono a.k.a. Ndoro Kakung. Turut hadir juga Paman Tyo, Andry of Detik, Vishnu Mahmud. Dan sebagai panitia (selain yang sudah tersebut) a.l. Pitra Satvika dan Kukuh TW.

Acara selesai menjelang tengah malam. Trus aku diculik gerombolan Dagdigdug (selain Paman Tyo dan Ndoro Kakung, juga Pak Didi dan Pak Yusro) ke markasnya yang tak jauh dari situ. Sebentar saja. Kemudian acara malam ditutup dengan kunjungan singkat ke Kopdar Rutin BHI di … Bundaran HI.

Dan mengikuti titah Ilya, sekarang kita unplug.

Mobile Monday

Mobile Monday adalah forum para profesional bisnis mobile. Konon dulu mereka coba berkopdar bersama, dan menemukan bahwa waktu lowong bersama satu2nya adalah Senin malam. Maka jadilah kopdar berkala bernama Mobile Monday itu. Setiap kopdar mendiskusikan sebuah tema. Forumnya jadi menarik, dan menyebar. Forum ini masuk ke Jakarta tahun lalu. Dan tadi malam aku untuk pertama kali menghadirinya.

Tempatnya di kisaran Pasar Festival, dimulai lepas Maghrib. Tema semalam adalah iPhoneOS Applications Develeopment. Wah, rada pas dengan entry blog sebelumnya :). Apple membuat perancangan aplikasi ini mudah, dan gratis. Semua SDK dapat diunduh. Tapi aplikasinya sendiri hanya akan jalan di iPhone dan iPod Touch, dengan penetrasi pasar internasional mencapai 12 juta. Hey, ini 12 juta orang yang suka buang2 duit (memilih MacBook daripada notebook murah, memilih iPod bahkan iPod touch daripada MP3 player).

SDKnya sendiri baru dirilis pada 6 Maret 2008, namun telah terunduh seperempat juta kali, dan menghasilkan ribuan aplikasi komersial yang didistribusikan melalui iTunes AppStore. AppStore sendiri telah mengunduhkan lebih dari 60juta aplikasi sejak 10 Juli 2008. SDK ini dipresentasikan oleh Mark Hanusz dari Equinox Apps, serta Ari Budiharto Soetjitro, satu2nya Apple-Certified Trainer di Indonesia.

Tapi presentasi dan diskusi itu cuman setengah acara. Sisanya adalah networking. Jadi aku habiskan waktu dengan mencari teman2 diskusi. Baru sempat chat dengan Andry Huzain of Detik, Herdiansyah (freelance designer), Vishnu K Mahmud (sering baca namanya, di mana aja ya), Anugrah of Telkomsel, dan Budi Putra (hehe, ketemu aja); malam sudah melarut. Heh, perbincangan yang asik memang merangsek konsep waktu :). OK, perbincangan harus dilanjutkan lain hari.

Platform Smartphone Masakini

Analis pasar Canalys melaporan: Symbian masih jadi platform aplikasi terminal mobile terbesar secara internasional: nyaris dua pertiga pangsa pasar. Padahal setiap terminal dipungut royalti US$5. Tapi khusus di US, pangsanya berbeda: pasar dikuasai Microsoft (Windows Mobile), Apple (iPhone), dan RIM (Blackberry). Dan kalau kita lihat, semuanya adalah platform yang bersifat propietary. Linux punya share kurang dari 10% saja.

Platform berlinux a.l. Android, LiMo, dan Openmoko. Android merupakan ekspansi Google ke dunia mobile. Arah pengembangan bersifat open source, berbasis Linux, tetapi menggunakan virtual machine mirip Java, jadi mirip iPhone (Apple) atau Brew (Qualcomm). Semua tools bisa didownload gratis dari Google. LiMo baru mengeluarkan spesifikasi API, dan baru berencana meluncurkan SDK. Tapi dokumen selain spek API baru bisa didapat setelah kita mendaftar ke Yayasan LiMo dengan membayar US$40000.

Menariknya, beberapa platform propietary nampaknya tengah bertransisi ke arah open source. Symbian termasuk di antaranya. Platform yang juga bertransisi adalah MOAP dan Palm. Ya, palm yang pernah populer di PDA itu tengah bertransisi dari PalmOS propietary ke OS baru berbasis Linux.

Apa nih, pengaruhnya buat kita?

IEEE ASEAN Sections Meeting

Bersamaan dengan ICTEL yang diselenggarakan oleh ITT di Hotel Preanger (Bandung), dikonduksikan juga IEEE ASEAN Sections Meeting. Aku hadir — selain karena harus — juga karena harus di Bandung untuk mengurus administrasi kepindahan. Hadir para pimpinan sections dan chapters dari Malaysia, Filipina, dan tentu Indonesia. Kita berbagi pengalaman mengelola organisasi profesional yang tumbuh di masyarakat yang kurang lebih serupa ini (biarpun salah satu keserupaannya adalah heterogenitas yang luar biasa). Skema2 kerjasama juga dirumuskan. Tak terlalu lengkap aku menghadirinya. Masih banyak kegiatan yang harus diselesaikan dalam waktu singkat selama di Bandung. Termasuk ke dokter.

Foto sebentar:

Saat ini IEEE diposisikan sebagai organisasi serius, technology-oriented, high value. Tapi coba kita bayangkan, misalnya IEEE direposisi jadi komunitas funky engineers (jangan berpikir tentang Dilbert), dan diskusi teknis dikemas dengan warna kopdar. Gimana, bakal lebih OK nggak?

Meeting berikutnya dilakukan tahun depan di … Cebu ?

Pasar Kreasi (beta)

PasarKreasi, satu lagi portal komunitas di Indonesia. Yang satu ini ditargetkan untuk para pecinta seni: para creator dan appeciator. Di situs itu, karya seni bisa diunggah, dipamerkan, dan nantinya bisa ditransaksikan juga (setelah launching resmi). Forum, berita, dan perbincangan dengan para expert juga tersedia.

Kategori yang digelar meliputi game, edutainment, musik, animasi, desain grafis, dan fotografi. Lainnya menyusul. Judulnya masih beta :). Tapi fungsi-fungsi teknis sudah bekerja, dan siap diuji coba beramai2. Yuk, kita coba. Saran besar kecil, sila di comment blog ini saja.

Tea Addict

Melalui agregator pribadi ra.me-ra.me, blog seorang Irfan Setiaputra memang rutin aku baca. Dan buat kita, tidak aneh seorang Country Manager sebuah perusahaan multinasional menulis blog. Memang sih, sebagai orang tenar, blognya jadi cuman setengah personal (dan setengah humas — haha). Tapi undangan di blognya luput aku baca. Hari2 setelah kepindahan ke Jakarta ini memang belum … belum serasa menjejak bumi lagi :). Hanya setelah ada undangan langsung, aku menyanggupi untuk datang menemui salah satu tokoh IT nasional ini. Dan hadirlah aku di Tea Addict, sebuah café di sekitar Sudirman.

Pak Irfan tampil kontras denganku. Beliau dengan warna putih, dan aku dengan hitam-hitam. Peserta bincang sore itu hanya belasan orang saja. Yang aku baru saja lihat a.l. Ivan Lanin. Sekaligus membuktikan kebenaran tesis Indra Pramana bahwa Ivan Lanin dan Kuncoro memang dua orang yang berbeda. Aku duduk bersebelahan Harry Sufehmi, dan Pak Irfan bersebelahan Mas Pepih Nugraha di depanku. Perbincangan lebih banyak ke soal aktual Cisco, organisasinya, arah bisnisnya, plus cerita2 menarik. Nggak usah ditulis di sini lah. Biar beliau menulis di blognya sendiri.

Di sesi diskusi, karena peserta masih sungkan, aku mengawali diskusi dengan strategi penetrasi budaya ke korporasi; misalnya Internet 2.0 ini. Kita tahu, level direksi dan level officer sangat2 paham tentang hal2 berkenaan dengan new marketing strategies ini. Tetapi level antara keduanya ini kadang jadi penghalang yang rigid, dan ini umum terjadi di mana pun. Pak Irfan menjawab cukup panjang, dengan berbagai formulasi strategi; termasuk skala perusahaan, hingga … ummm … pembersihan. Kemudian ganti kita diskusi tentang kondisi aktual bisnis infokom di Indonesia. Wise juga beliau ternyata (hehe). Tak hendak melakukan diskusi berdua saja, aku kemudian set silent; dan syukurnya rekan2 lain mulai ramai berdiskusi juga. Perbincangan panjang dan menarik itu diakhiri dengan sesi makan malam. Tentu dengan diskusi juga :).

Foto2 … haha, kebetulan aku lagi tak terlalu lincah menembaki orang2 hari2 ini. Ini diculik dari blog Pak Irfan:

Oh, terima kasih Pak Irfan atas sharing wawasannya yang OK nian. Terima kasih Cisco untuk kesempatannya.

Sambikerep – Tritik

Kampusku (d.h.i yang Brawijaya, bukan Coventry) memang rada ndeso: akrab bener sama urusan pedesaan :). Waktu kampus lain sibuk urusan pemloncoan (dengan berbagai nama dan tujuan yang keren2, tapi bohong); fakultas teknik di kampusku malah bikin KKM. Aku lupa kepanjangan aslinya — yang teringat cuman Kamp Konsentrasi Mahasiswa. Lebih seram dari pemloncoan, kami benar2 dikirim ke desa terpencil untuk membangun jalan makadam dan saluran air, dengan hanya dibekali kaos oblong sepotong, dan tentu sambil dimaki2 dan disiksa2 juga. Pulang pada tewas, tapi entah kenapa tetap bahagia: tenaga dan waktu yang kami buang tidak sia2, dan memberikan hasil nyata buat warga dusun2 terpencil di pelosok Jabung.

Sebagai bagian dari kurikulum, ada Praktek Kerja I (umumnya di lab, tapi boleh di luar) dan Praktek Kerja II (umumnya di perusahaan2 — aku sendiri ambil di LEN, Bandung). Tapi juga ada KKN (Kuliah Kerja Nyata, sebelum diberi kepanjangan lain menjelang reformasi), dimana mahasiswa wajib turun ke desa terpencil (lagi) selama 2-3 bulan buat membaktikan ilmu. Barangkali waktu itu aku masih sosialis (belum anarkis), jadi malah amat sangat suka sama acara kerja bakti paksaan kayak gitu. Membuang kota & egoismenya jauh2, naik ke desa2 di lereng2 gunung, menemui manusia sungguhan, belajar dari mereka, dan menyerap kemanusiaan secara … surealistik, haha. Andai udah ada blog di zaman itu :p.

Aku sendiri berKKN di dua desa: Sambikerep dan Tritik, di Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk. Nganjuk :) — bahkan baru kali itu aku menginjakkan kaki di negeri itu. Camat Rejoso sendiri yang selalu in touch dengan kami, dan memaksa kami berposko di ibukota kecamatan: Desa Talang. Sambikerep terletak 9 km dari Talang, dan Tritik 15 km dari Talang, ke arah yang berbeda. Tidak ada angkutan umum ke kedua desa. Tritik lebih parah, karena jalannya ekstra rusak, serta melintasi hutan jati beberapa kilometer. Desa Talang sendiri dipenuhi sawah dan kebun tebu.

Desa Tritik

Tim kami terdiri atas dua kandidat insinyur elektro, dua ahli perikanan, dua akuntan, satu dokter, satu ahli hukum, satu ekonom, dan … wah agak banyak. Hmm, aku pikir kombinasi kayak gitu, plus keusilan dan fakta bahwa kebetulan aku satu tim dengan para aktivis kampus masa itu, bisa dijadikan bahan blogging 1 tahun :). Dan nyesel deh, kenapa zaman itu belum ada plurk juga ya :). Bersambung ah.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑