Author: Koen (Page 17 of 86)

Akuntabilitas Babi

Kami sedang berbincang tentang tempat2 menarik di Indonesia, saat seorang intern dengan ringan bertanya, “Tapi sebenernya, kenapa sih babi itu haram?” Aku lupa apakah anak ini masih mahasiswa atau baru lulus. Tapi ini pertanyaan yang sebenernya standard, yang banyak ditanyakan siapa pun dari dalam dan luar budaya Islam, dari berbagai tingkat pemahaman agama. Asal usul pelarangan benda2 ajaib ini: babi, alkohol, riba; masih terus menarik diperbincangkan. Kalau rokok diharamkan, itu lebih mudah dipahami: ia merusak kesehatan orang2 di sekitar si perokok, dan membutakan hati serta otak si perokok sehingga tak akan bisa paham hal sepele semacam ini.

Tapi kembali ke babi. Aku akhirnya cuman memberi ringkasan jawaban dengan style ahli hikmah. Peraturan2 itu dibuat cuman sebagai constraint dalam kehidupan manusia. Kenapa harus babi yang diharamkan? Bisa sih apa pun. Tapi harus ada yang jadi tag untuk masuk ke exception list. Sekarang setiap kali umat manusia mau makan, ia harus bertanya2: “Ini makanan mengandung babi tidak?” Tapi kita tidak makan hasil peternakan kita atau tetangga kita sendiri. Dan asyiknya, sejauh mana pun makanan di piring kita berasal, kita tetap harus bertanya: “Ini makanan mengandung babi tidak?” Masyarakat harus punya kemampuan melacak asal usul makanan kita: dari manapun, disimpan berapa lama pun, diolah dengan cara apa pun, oleh siapa pun, bangsa apa pun. Artinya: semua harus terdokumentasi. Artinya: harus ada accountability.

Makanan tidak boleh berbabi. Minuman tidak boleh beralkohol. Uang tak boleh bercampur hasil riba. Dengan aturan2 macam ini, segala supply bahan pendukung kehidupan manusia, dan segala proses-proses ekonomi pendukungnya jadi harus terlacak, terdokumentasi, dan transparan. Kalau ini terlaksana, maka — sungguh — Islam adalah pelopor akuntabilitas publik yang paling mapan.

Tapi … hmmm … fakta bahwa tingkat kesehatan masyarakat dengan mayoritas muslim justru di bawah rata2, dan proses kerjanya paling buruk dan tak transparan, dan wacana masyarakatnya mudah tertembus pseudoscience, dan semacamnya; terpaksa membuat kita harus mengakui: kita abai dalam menjalankan hukum-hukum yang sudah kita akui bersama. “Halal nih, katanya Pak Haji yang jual. Juga bebas kuman dan bebas virus dan bebas bahan berbahaya dan beracun.” Tidak ada sertifikasi, tidak ada transparansi dalam proses kerja dan pengkomposisian bahan2 kerja. Padahal Rasulullah memarahi orang2 yang bertansaksi keuangan tanpa melakukan pencatatan, serta orang yang bekerja tanpa melakukan perjanjian kerja terlebih dahulu.

“Halah, soal haram kan berlaku untuk anggota MUI sendiri.”
Aku nggak tahu kapan aku boleh menertawai kejujuran orang yang memamerkan kebodohannya. Sambil … tentu saja … apakah MUI juga sudah mengamalkan transparansi? Haha. Hush.

Rahib Berkepala Biru

Kisah2 ini adalah bagian2 awal dari buku Math Hysteria dari Ian Stewart. Aku sendiri cuman iseng baca2 halaman depan buku ini, belum beli. Tapi pernah beli buku Ian Stewart yang lain, The Collapse of Chaos. Beli bukunya waktu itu di Warwick University, tempat Prof Stewart ini bekerja.

Kisahnya di sebuah biara tempat para rahib ahli logika. Rahib K (K itu simbol kejailan) iseng mengecat biru kepala rahib A dan rahib B sewaktu mereka tidur. Bangun tidur, rahib A melihat kepala B jadi biru, tapi dia tidak bisa melihat kepalanya sendiri. Namun karena sopan, ia tidak mengatakan apa2. Demikian juga B. Nah, kemudian masuklah rahib Z. Ia tampak heran. Tapi ia cuma berkata: “Setidaknya satu dari kalian kepalanya bercat biru.”

Tentu baik A dan B tahu bahwa setidaknya satu dari mereka kepalanya bercat biru. Ini kedengarannya bukan info baru. Tapi ini jelas info baru. Sekarang A melihat B, dan sadar bahwa B tidak terkejut. B sudah tahu bahwa dari tadi setidaknya satu dari mereka kepalanya bercat biru. Padahal B tak bisa melihat kepalanya sendiri. Maka kini A tahu bahwa kepalanya sendiri bercat biru. Demikian juga B. Baru pada saat itu keduanya jadi terkejut. Ini mendefinisikan informasi :). Informasi bukan hanya data, tetapi juga berkait pada pihak yang menerima dan memberikan data, dan dengan demikian menjadi relasi data. Ingat, yang diucapkan Z itu data yang A dan B sudah tahu :).

Apa yang terjadi kalau si K mengecat bukan dua tetapi tiga kepala rahib? Misalnya A, B, dan C. Paginya, A melihat kepala B dan C biru, tapi tak bisa melihat kepalanya sendiri. Demikian juga B dan C. Lalu Z masuk dan mengatakan hal yang sama: “Setidaknya satu dari kalian kepalanya bercat biru.” Lebih rumit? Sedikit. A akan berpikir seperti ini: “Kepalaku biru nggak? Misalnya nggak biru. Si B akan melihat C yang berkepala biru dan heran bahwa C tidak tampak terkejut. Lalu B akan sadar bahwa kepalanya sendiri biru, karena C pasti melihat kepalanya biru. Tapi kenapa B nggak tampak terkejut? Artinya … Aaaaa … Kepalaku biru donk.” Barulah A terkejut, bersama dengan B dan C. Asumsinya, tentu, kecepatan berpikir mereka sama cepatnya. (Bukan sama lambatnya).

Ian meneruskan kisahnya sampai 100 rahib. 100 rahib yang diam2 kepalanya dicat biru dikumpulkan di aula. Lalu pimpinan biara mengumumkan: “Saya akan membunyikan lonceng. Barang siapa yang dapat memastikan bahwa kepalanya sendiri berwarna biru, silakan angkat tangan.” Sepuluh menit kemudian, ia membunyikan lonceng. Tak ada tangan terangkat. Pimpinan biara berkata, “Aduh, saya lupa bilang: setidaknya salah satu dari kalian memang bercat biru.” Lalu ia membunyikan lonceng lagi, setiap 10 detik. Pada lonceng 1-99, tak ada tangan terangkat. Tapi pada dering lonceng ke 100, semua tangan terangkat. Kini mereka tahu, bersamaan :). Untuk memahaminya, bayangkan salah satu rahib berpikir seperti ini: “Misalkan aku tidak tercat biru. Maka 99 rahib lain tahu. Maka mereka akan melakukan deduksi berantai sampai 99 hitungan, lalu mereka akan mengangkat tangan.” Nah, sampai 99 hitungan, tak ada satu pun yang mengangkat tangan. Dan rahib tadi berpikir: “Uh, asumsiku salah. Berarti aku bercat biru.” Maka ia mengangkat tangan pada hitungan ke 100, bersama 99 rahib lain yang berpikiran serupa.

Bagaimana cara deduksi 99 rahib yang dibayangkan salah satu rahib itu? Serupa dengan logika yang sama dengan deduksi 100 rahib. Jadi sifatnya rekursi hingga 1 rahib. Sekarang, andai hanya ada 1 rahib yang bercat biru; maka ia melihat 99 rekannya tidak bercat biru; maka ia tahu bahwa ia bercat biru pada hitungan pertama, kan? Nah, itu akhir loopingnya :). Maka andai ada 68 orang dari 100 rahib yang bercat biru; pada hitungan ke 68, ke-68 raib biru itu akan mengangkat tangan, dan rahib sisanya tidak akan mengangkat tangan.

Penasaran? Malam ini coba cat biru kepala teman2 serumah kamu waktu mereka sedang tidur. Dan lihat hasilnya besok pagi.

Traffic Jam

Pramugari Air Asia punya ciri khas: mirip robot. Sapaan yang disampaikan selalu hambar, seolah user (haha) tak sedang di sana. Peragaan keselamatan pun mirip basa basi yang tak perlu dilihat lagi, diiringi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris yang seperti tak dipisah koma, bagai emisi sebuah speech synthesizer saja. Aku nggak keberatan sih. Malah suka — membayangkan suatu hari mereka diganti robot beneran :). Ini cuman perjalanan2 rutin. Bahkan aku tak membiasakan diri berdoa sebelum take off.

Tapi, setelah peragaan yang bising itu selesai (uh, syukurlah), dan proses taxi selesai, pesawat diam membeku. Lima menit. Tampak sebuah pesawat Lion Air melakukan landing. Dan sebuah pesawat lagi. Wow, waktunya berdekatan. Dalam 15 menit itu, 5 pesawat melakukan landing. Baru pesawatku (ku, haha) bergerak. Take off? Belum. Ternyata ada Sriwijaya Air di depan, take off duluan. Huh? Otomatis aku intip lewat jendela ke belakang. Beberapa pesawat antri di belakang. Ada 8 pesawat di belakang. Jadi total ada 10 pesawat di antrian ini, termasuk Sriwijaya Air di depan. Traffic jam di Bandara!

Biasanya kata traffic jam sudah cukup membuat keengganan, perasaan tidak nyaman, bahkan cemas. Tetapi hidup di kota2 semacam Bandung dan Jakarta membuatku terbiasa dengan kemacetan2 ringan. Dan aku mulai menjadikan kemacetan sebagai sebuah kemewahan, tempat aku akhirnya memiliki waktu menyendiri. Di kemacetan pagi, aku memang kadang memanfaatkan waktu dengan membuka komputer dan mulai bekerja. Atau blogging, kalau bosan membacai angka2. Tapi kadang tampak vulgar juga kalau orang2 di luar mulai melihati (serius loh: ada aja yang iseng ikut melihat kalau kita bekerja dengan komputer di dalam mobil). Jadi akhirnya itu yang terjadi: menikmati waktu menyendiri. Di tengah kepungan pekerjaan, communities, dan Internet; menyendiri itu mewah loh :). Kapan lagi kita bisa meluangkan waktu membaca buku2 yang menyenangkan. Buku Bad Science itu, aku tamatkan baca di kemacetan rutin :). Dan kapan lagi kita bisa mendengarkan opera sampai 1 album penuh. Dan tanpa rasa bersalah: tidak ada hal lain yang bisa dikerjakan juga :).

Jadi, terima kasih pada trafik Jakarta :). Aku bisa baca buku di pagi hari, dan mendengarkan musik yang seru malam hari. Atau musik yang lebih meriah lagi di dalam pesawat (terutama kalau kebiasaan memotret langit dan awan mulai masuk tahap bosan).

Atau, ada ide kegiatan lain untuk mengisi waktu macet? Tweeting? Googling? Apa yang kira2 bisa dilakukan tanpa HP, iPod, dll? Menulis buku? Hmmm :)

SDP 2.0

SDP (service delivery platform) sendiri masih intens kita diskusikan menjelang masa implementasi. Tapi bulan Desember lalu, IEC melontarkan istilah SDP 2.0 dalam Annual Review of Communications Volume 61. Tergoncang? Tentu tidak :). Pertama, SDP sendiri bukan standard yang perubahan versinya harus langsung diikuti migrasi sistem. Kedua, penomoran 2.0 sendiri menunjukkan sebuah ciri khas: sesuatu yang secara semi informal digerakkan dalam bentuk perbincangan (yang boleh meliputi industri dan komunitas). Tapi ihwal penomoran 2.0 ini juga yang bikin aku pingin memperbincangkan, soalnya pas dengan gagasan2 kita untuk menyusun hub atas content & aplikasi dari komunitas.

Jadi yang dinamakan SDP 2.0 adalah gagasan dari Accenture. Ia mengambil ide dari Google, Apple, dll, yang berbisnis dalam ekosistem digital. Menurut Accenture, 60% service provider memiliki lebih dari 10 partner co-design per proyek pengembangan produk. Kolaborasi ini memicu inovasi, tetapi meningkatkan resiko; kecuali jika strukturnya dibuat lebih efektif. Sebagai tambahan juga, Internet 2.0 (web 2.0, mobile 2.0, dst) telah menciptakan lingkungan yang kaya content, service, dan inovasi. Interface content terkayakan dalam dunia tiga layar: perangkat mobile, komputer, dan TV. SDP dirancang untuk mengefektifkan dan mengefisienkan segala sumber daya dan inovasi untuk kekayaan aplikasi ini. Namun divergensi yang cepat seperti ini mendorong dianggap perlunya merumuskan SDP 2.0. Framework SDP 2.0 menekankan penyusunan lingkungan pengembangan service lintas aktivitas dan teknologi di dalam ekosistem IP.

Konvergensi tiga layar mendorong setiap aplikasi untuk secara mudah tertampilkan dengan interface yang tepat di perangkat mobile, komputer, dan TV. Penekanan adalah pada layar pertama, yang lebih banyak melekat pada user setiap saat. Ini dimungkinkan oleh penyusunan platform piranti (device platform), berisi sistem operasi dan middleware, yang memungkinkan operasi multiplatform. Diantarmukai oleh itu, tersusunlah portal multikanal, tempat tertumpah kekayaan inovasi. Produksi, sharing, dan distribusi content dilakukan terpersonalisasi, dengan akses yang bersifat swalayan. Di sini juga dapat dilakukan segmentasi, agregasi, delivery media, komunikasi, dan lain2, yang dapat dioptimalkan untuk penurunan biaya. Sekarang, profit jadi dapat ditumbuhkan dari aplikasi2 yang telah saling diperkaya/memperkaya ini.

SDP 2.0 menambahkan hal2 berikut: pengelolaan user yang terpadu, pengelolaan policy yang fleksibel, dan lingkungan penciptaan service yang bersifat terbuka. Juga telah dimasukkan hal-hal seperti location-based service (LBS), mash-up, mobile widget, application presence, network presence, dll.

Accenture kemudian memberi contoh implementasi di Turkcell. Turkcell baru mengupgrade SDP-nya untuk memfasilitasi layanan seperti download musik, layanan data, dan transfer foto. Mereka mencobai pendekatan di atas, yang memungkinkan mereka bekerja lebih baik dengan penyedia aplikasi dan content. Dalam setahun, telah diluncurkan 180 layanan penghasil revenue, dari 50 penyedia aplikasi dan 53 penyedia content. Jumlah pelanggan pemakai layanan online meningkat 3000% dalam sebulan setelah peluncuran. Semua aplikasi dan content menggunakan standard IP biasa.

Konvergensi telah menjadi sahabat mereka, bukan ancaman. Yuk, kita ke sana juga :).

[Thanks, Pak Komang, atas materinya :)]

Nokia 5800

Beberapa bulan lalu, Mobile Monday mendiskusikan touch user interface dari Nokia. Sayangnya, jadwal hidup di Jakarta terlalu ketat, sehingga hal2 baik pun terlewat. Tapi tak apa. Bulan ini Nokia meminta bantuan untuk menguji — sebagai user — perangkat Nokia 5800. Nampaknya Nokia cukup mengunggulkan produk ini, seperti yang tampak dari berbagai display, iklan di majalah dan koran, brosur dan flyer, sampai dummy skala raksasa di gerai2 Nokia. Terminalnya ditajuki XpressMusic. Hmm, aku yakin pernah melihatnya sebagai XpressMedia. Mungkin perlu kita klarifikasi ke pihak Nokia.

Spec teknis Nokia 5800 bisa dengan mudah dicari di web. Tapi benar sekali kalau benda ini dinamai XpressMedia atau XpressMusic. Musiknya melampaui nyaris semua terminal Nokia yang aku pernah dengar. Dengan headset, suaranya hanya kalah sedikit dibandingkan iPod. Tanpa headset, suara stereonya sudah cukup menyemangati untuk ruang sebesar kamar mandi. Err, ya sih, aku mandi bawa terminal ini, sambil menyemangati diri dengan musik2 perang (antara lain). File MP3 tentu jalan. Tapi aku menyalin musik sebagai file MP4 dari iTunes melalui Bluetooth.

Sebagai XpressMedia, benda ini Mobile Web 2.0 sekali. Ambil gambar dengan kamera 3.2MP-nya (dengan auto focus yang bisa macro, dan lensa Carl Zeiss). Share langsung ke Flickr dengan menu yang tersedia. Atau share video yang kita rekam ke account Ovi. Bermain web juga menyenangkan. Sebagian karena interface yang memudahkan (mode virtual keyboard qwerty, miniqwerty, DTMF-style, atau … errr  … stylo of tulis tangan). Sebagian juga karena aplikasi2 web masa kini memang sudah dibuat ramah untuk kebutuhan mobile :). Space 8GB dalam bentuk MicroSD membuat tidak khawatir sering2 mengambil foto maupun video, biarpun sekian seri opera Wagner sudah dibenamkan juga ke dalamnya. Kalau kurang, bisa upgrade sendiri ke 16GB. Space sekian cukup buat backup file2 dari komputer — pura2 flash drive :). Via Bluetooth tentu.

Satu yang mulai bikin aku adiktif adalah GPS yang dilengkapi peta. Kebiasaan lama bahwa di negeri mana pun aku cenderung jadi penunjuk jalan (termasuk di Spanyol yang aku nggak tahu sepatah pun bahasanya). Nah GPS ini membantu sekali. Bisa buat nunjukin jalan ke taxi driver Jakarta yang kadang nggak tau jalan (Ke Wetiga misalnya), bisa buat perkiraan jarak (dan waktu tempuh). Satu anomali tampil, bahwa saat peta terpampang aktif, virtual keyboard kita hilang, kalau diset di miniqwerty. Setting lain, baik2 saja. Routing, OK juga. Cuman yang ini aku jarang pakai :).

Akses internet bisa memanfaatkan WiFi, dan suite GSM (GPRS, UMTS, HSPA). Tapi kecepatan tinggi membuat kita harus berhati2 memilih paket data selular. Aku pakai Xplore tanpa paket; dan tak lama sudah overkuota pulsa, padahal aksesnya tersendat. Sekarang diisi kartu Halo. Syukurnya sudah cukup banyak akses WiFi gratis di Jakarta. Jadi bisa berfoya2 membuat gambar atau video dan langsung upload ke Flickr atau Ovi. Syukur rumah juga sudah dilengkapi WiFi tersambung Speedy keren unlimited. Ini terminal jadi hampir nggak pernah mati. Browser Nokia kali ini sudah cukup menarik, tanpa perlu Opera Mini lagi. Resolusi 640×360 membuat view yang lega. Web feed juga bisa diset otomatis, dengan option yang menarik (misalnya set baca feed setiap sekian waktu hanya kalau ada akses WiFi).

Hmm, cerita apa lagi ya. Aku udah terbiasa dengan smartphone sejak Flexi belum diluncurkan, sejak XDA dan Xphone versi awal. Dan biasanya aku akan mulai benar2 menikmati sebuah platform waktu aku udah punya kebebasan untuk mengkoleksi aplikasi yang gue banget, serta membangun aplikasi sendiri di atasnya. Tanpa itu, terminal dilabelin harga belasan juta pun jadi nggak menarik. So, ini langkah berikutnya :). Bersambung lagi ah :).

WordCamp Jakarta 2009

WordCamp itu kopdar para stakeholder WordPress: developer, designer, dan user. User bukan hanya blogger, tapi juga pihak yang berminat menggunakan engine WordPress sebagai CMS untuk berbagai aplikasi web. Lucu kali ya: dulu semuanya “over IP” — lalu jadi “over web” — dan mungkin akan jadi “over blog” :).

WordCamp Jakarta 2009 diselenggarakan oleh Valent Mustamin, dan dihadiri oleh Matt Mullenweg sendiri. Tempat di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, 17-18 Januari. Btw, dua hari ini Kuningan keren sekali. Cuaca amat cerah tapi segar tak panas, sementara trafik sungguh jinak :).

Di hari-1, konon hadir 68 orang. Matt maju sebentar membuka acara. Lalu, sebagai sponsor, Edelman Digital menyampaikan presentasi perdana. Presentasinya OK, tapi mungkin salah segmen, haha. Kita mulai membuat livetweet dengan tag #wordcamp. Berikutnya adalah sharing session pagi. Di sini disampaikan kegiatan komunitas pemakai WordPress. Blogger daerah diwakili Rara dari AngingMamiri. Vishnu Mahmud bercerita tentang video podcast. Pitra berbagi tentang forum diskusi Fresh. Dll.

Setelah lunch, Matt yang pemalu memaparkan perkembangan WordPress. Dimulai dari sejarah dan versi2 awal WordPress (yang mengingatkanku pada hal2 yang membuatku bermigrasi ke WordPress: simplicity &
hackability). Matt beralih ke alasan2 yang melandasi evolusi ke 2.7, dan ke rencana 2.8. Yang akan banyak dikembangkan adalah theme, widget, dan plugin. Sebagai penggemar foto, Matt menyampaikan bahwa WordPress sudah memungkinkan photo tagging. Belum mirip Facebook sih, tapi sudah OK lah. Seperti yang juga dipublishnya di blog pribadinya, Matt juga menyebut baru meluncurkan wordpress.tv, tempat sharing informasi mengenai WordPress. Dan yang buat aku paling menarik adalah dukungan untuk pengembangan lebih lanjut WordPress sebagai CMS. Salah satu contoh yang diberikan adalah aplikasi social network menggunakan WordPress.

Menurut data Matt, Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa ketiga pada pemakai WordPress.com, setelah bahasa Inggris dan Spanyol. Juga yang kedua tumbuh tercepat. Enam bulan terakhir saja, ada 143rb pemakai baru yang berbahasa Indonesia di WordPress.com (143.108 orang). Belum yang menggunakan WordPress.org dan WordPress MultiUser ya :). Dalam kurun waktu yang sama, 40 kota di Indonesia mengirimkan trafik 117 juta ke WordPress. Pemakai di Indonesia cukup bervariasi, dengan pemakai WordPress.com dan WordPress.org cukup berimbang. Di negara seperti RRC misalnya, pemakai WordPress.com agak kecil: ada blok dari penguasa.

Sebagai kopdar, tentu ada perbincangan di luar forum juga. Ada perbincangan2 menarik tentang bagaimana blog terus saling melengkapi dengan media non blog. Vivanews juga sempat menginterview tentang keunggulan platform WordPress. Hihi, ada bagian yang Vivanews belum paham, yaitu tentang interaktivitas blog. Tapi keunggulan WordPress sebagai open source terkomunikasikan dengan baik.

Hari kedua dimulai Mas Romi Satria Wahono dengan berbagai aspek penggunaan blog: mengeksplorasi engine dan eksplorasi kepada nilai komunikasi blog sendiri. Aku rada terlambat, menikmati weekend pagi di rumah dulu, jadi tak mengikuti 100% paparan beliau. Waktu break, aku baru lihat bahwa pasukan BBV membawa anak2 SMA, finalis mading online ke acara ini. Ide keren. Trus kopi. Trus bikin entry blog ini. Matt naik lagi ke panggung untuk talk show tentang aspek bisnis dari platform WordPress. OK, blog disambung lain hari. Lihat di Twitter aja dulu ya.

DLP Network Management

Baru seminggu masuk tahun 2009, IEEE Comsoc Indonesia Chapter telah melakukan salah satu kegiatan rutin: menyelenggarakan distinguished lecture. Lecture kali ini mengambil tema Network & Service Management, dengan lecture Prof Mehmet Ulema dari Manhattan College. Ini salah satu seleb IEEE yang tulisannya sering terbaca jauh sebelum zaman bikin tesis. Lecture dilakukan kemarin di ITT Bandung, dan hari ini di Binus Jakarta. Aku ikut yang di Binus hari ini.

Aku sendiri belum berhasil menulis paper tentang network management (di zaman aku masih doyan bikin whitepaper — paper yang materinya dan standar2nya tak tergantung dari vendor itu), karena jangkauannya terlalu luas, dan standarnya terlalu banyak :). Tapi Profesor Ulema mengoverviewkan masalah network management (NM) dengan hutan standardnya itu ringan. Pun sambil mengingatkan bahwa NM lebih merupakan suatu art daripada science. Art yang paling menarik adalah saat kita melakukan integrasi berbagai sistem. NM juga bersifat multidisiplin: dari elektro, komputer, matematika, operational research, ekonomi, dan tentu management. {Dan game theory juga :)}.

Mula2, dipaparkan berbagai dimensi NM, baik dari jenis network, fungsi, stage, dan … uh banyak. Barulah dikaji berbagai standar NM, dari ITU (TMN), IETF (berbagai versi SNMP), ISO OSI (CMIP), dan lain-lain (TMF, OMG, OSF, DMTF, dan yang included dalam standard2 IEEE, 3GPP, hingga (G)MPLS/ASON). Kemudian, tanpa ampun, diperdalamlah berbagai model standard itu; dari TMN dan arsitektur lengkapnya (logika, informasi — SMI dan MIB, fungsi, fisik), pendalaman MIB sendiri, dan MIB II, ke SNMP hingga SNMP v3 dan rencana versi SNMP berikutnya, RMON … hihi, panjang …trus ke arsitektur yang praktis, ke produk yang ada saat ini (komersial dan open source), MPLS (ini singkatan dari mephistopheles), IPv6, 3-play, NGN, dan ditutup dengan trend2 ke depan (autonomic computing etc).

Kuliah ditutup, dan kita masuk ke coffee break. Mahasiswa Bina Nusantara yang tadinya hanya diam malu2 dan ogah tanya2, mendadak melakukan serbuan, dan bertanya langsung. Hihi, kelihatannya mereka lebih suka bertanya informal, bukan tanya di forum sambil dipelototi dosen2 mereka. OK, ini foto Professor Ulema yang sedang asyik menjawab pertanyaan mahasiswa demonstran.

Next, sambil menikmati kopi hitam, gantian Prof Ulema yang mewawancarai aku tentang network development. Aku cerita sambil sesekali (sering kali) minta pendapat beliau tentang cara2 operator2 di Indonesia memanage network. Dualism IMS vs SDP misalnya (banyak SDP yang tidak dirancang untuk jadi IMS-aware). Tapi yang mengejutkan, Prof Ulema mengingatkan bahwa banyak operator internasional yang justru kecewa pada implementasi IMS. Woah, hal baru. Akhirnya kita memperdalam soal itu. Sayangnya, sebelum benar2 selesai, pihak Binus menculik Prof Ulema untuk dipulangkan dengan aman ke negaranya. Via Macau.

Kembali ke Comsoc. Rencana tahun ini adalah meneruskan kuliah2 umum tentang trend teknologi infokom ke kampus2. Tapi kita punya rencana tambahan. Di IET ada kuliah Faraday, dimana para engineer mengajar tentang engineering dengan kemasan menarik ke sekolah2. Ya, Faraday, fisikawan dan engineer yang nggak doyan kalkulus dan tak paham teori Maxwell itu (padahal teori Maxwell adalah formulasi atas garis2 gaya Faraday). Jadi semangatnya mencerahkan tanpa mengkalkulusi. Nah, Comsoc chapter Indonesia berencana melakukan upaya serupa. Nanti kita bahas lagi soal ini deh. Bantu ya.

16 Juni 2005

Berbagai aggregator blog bisa jadi saksi: banyak hal yang bisa terjadi dalam 24 jam. Tapi seorang Daniel Altman memaksa membukukan apa yang terjadi pada sebuah 16 Juni 2005 di bukunya yang terbit tahun 2007: Connected 24 Hours in the Global Economy. Bukan buku yang terkenal di antara para ekonom, aku yakin. Tapi jelas pas buat teknolog yang baru mulai belajar ekonomi kayak aku, untuk turut mengamati kaitan2 baik yang klasik maupun non-intuitif, di sisi teknologi-ekonomi-politik-budaya dari seluruh belahan dunia. Oh ya, waktu 24 jam ini dicatat di New York.

Jam 00:03 waktu New York, artinya di 06:03 waktu Stockholm, cerita dimulai dengan aliansi antara Ericsson dengan Napster. Uh, tahun 2005, setelah gelembung2 dotcom meletus, setelah global clusters roboh, masih ada upaya aliansi? Antara Ericsson yang jadi bendera megah Swedia itu, dengan Napster si bekas anak nakal pembajak musik itu? Memang. Dan Altman membekali kita dengan latar belakang berbagai aliansi, baik yang sukses dan yang tidak. Apa alasan EBay mengakuisisi Paypal (padahal ia sudah punya Billpoint) dan kemudian Skype (yang urusannya di Internet sangat beda)? Kenapa merger Morgan Stanley dan Dean Witter gagal mencapai goal? Juga Chrysler dan Daimler-Benz? Bagaimana akuisisi AOL atas Time-Warner dianggap kelicikan? Dan nantinya, di bab lain tentang Cina: Mengapa dan bagaimana Haier dipertahankan untuk tidak dibeli pihak asing? (Kebijakan yang membuat kita terpaksa mengenang kembali kebodohan Laksamana Sukardi yang menjual Indosat).

Tapi lalu Altman kembali ke Ericsson dan Napster. Operator telekomunikasi di dunia tengah berminat mengembangkan content, sebagai bagian dari pengembangan pasar mobile dan Internet. Dan hasil survei menunjukkan content yang paling diminati: musik. Ericsson sebagai vendor dan konsultan significant tentu berusaha memberikan solusi terbaik. Umumnya para operator tidak merasa perlu menggunakan brand masing2 untuk memasarkan content musik. Jadi untuk itu Ericsson mulai mengajak Napster, yang memahami liku2 jalan2 dan gang2 distribusi musik online hingga ke benak customer. Hm, bukan saja tak menggunakan brand para operator. Pakai brand Ericsson pun tidak. Tapi pasar merespons positif kecerdikan ini. Di akhir hari, baik saham Napster maupun Ericsson mencatat kenaikan.

Kemudian, jam 3:02 waktu New York, atau jam 16:02 waktu Tokyo. Cerita beralih tentang perusahaan2 besar di Jepang, dimulai dari Mitsubishi. Intinya: sejauh mana pemerintah mampu membuat pasar global lebih kompetitif. Lucu membaca bahwa seringkali pemerintah justru jadi biang yang membuat industri tidak kompetitif; padahal itu di negara2 dengan tingkat kolusi rendah. Di sini … ah, skip. Berikutnya 3:09 waktu New York atau 14:09 waktu Ho Chi Minh, kisah dibuka dengan kemauan Intel membangun Vietnam digital, dengan pertanyaan: perusahaan2 multinasional ini lebih banyak membawa progress atau problem? Jawabnya … haha :)

Oh ya, aku tadi menyinggung Haier. Ini hampir di tengah buku. 5:15 waktu New York, 17:15 waktu Qingdao. Qingdao itu kota ukuran menengah, yang dulu terkenal dengan industri bir; warisan dari pemukim Jerman di Tsingtao. Industri bir ini sudah separo diakuisisi oleh perusahaan Amrik. Jadi sekarang yang jadi kebanggaan Qingdao adalah Haier: perusahaan perangkat teknologi yang di tahun 2005 sudah sibuk memasarkan HP sekecil pena hingga kulkas yang segede apa ya … kita bisa berdiri di dalamnya. Tokohnya Wei Duan, cewek keren yang jadi brand manager Haier di usia muda, lulusan Nottingham. Haier, dan beberapa perusahaan lain, menarik Wei yang memilih pulang kembali ke RRC dengan tujuan: membuat negerinya maju lagi.

Haier tidak bercita2 untuk menjadi besar sehingga bisa mudah dibeli kapitalis asing; sebaliknya mereka bercita2 untuk lebih besar lagi untuk suatu hari bisa membeli perusahaan2 asing. Tentu, dengan bergerak di teknologi, mereka langsung menghadapi kompetitor kelas raksasa. Tapi Haier memilih niche market secara hati2 dengan memahami budaya berbagai negeri. Hasilnya, a.l., HP segede pena itu. Atau kulkas dengan laci untuk diekspor ke Amrik, dimana user bisa mengambil isi freezer tanpa harus memasukkan tangan ke freezer. Atau mesin cuci gede buat Pakistan yang terkenal dengan keluarga besarnya, sekaligus mesin cuci kecil2 buat Jepang yang penduduknya gemar bebersih sedikit2 tapi tiap hari. Ada juga HP dengan tombol besar dan font besar khusus buat orang2 tua. Partnership juga dilakukan. Dengan Sanyo di Jepang misalnya, sehingga kedua perusahaan mendapatkan kemudahan distribusi di negara seberang. Ia juga berekspansi langsung ke sarang lawan: Korea Selatan dan Amrik. Maka Haier tumbuh 68% dalam setahun. (Bukan typo, kata bukunya). Strategi lain, uh banyak. Juga masalahnya. Bisakah nantinya Cina tumbuh mengejar Amrik? Atau ikutan loyo kayak Jepang sejak 1990an?

Bab lain membahas supply uang di dunia, harga sebuah korupsi, pasar saham, stabilitas politik dan ekonomi, soal minyak, hegemoni Amrik secara ekonomi, soal hak cipta (perlukah hak cipta untuk ide?), dan masih banyak lagi. Bukan hal baru kan, buat para ekonom? Tapi buat kita yang lain, barangkali pas untuk mulai memahami ekonomi dunia.

Oh ya, buku ini dibeli di Periplus waktu discount buku 50%-70% minggu lalu. Musim maruk buku, yang pas dengan musim libur. Libur ini, siang penuh jalan2, malam penuh baca2 buku sampai hampir pagi. Buku memang sahabat yang menarik.

Bad Science

Konon memang pernah ada masanya dokter di negeri ini diluluskan dengan ujian “multiple choice” dan bikin beberapa rekan khawatir mempercayakan kesehatan kepada dokter. Sebaliknya, di negeri lain, profesi yang — menurut poll — dianggap paling terpercaya adalah dokter. Poll ini diadakan di Inggris. Di negeri itu, profesi yang paling tak dipercaya adalah — hahaha — jurnalis. Agen real estate bahkan dianggap lebih dipercaya daripada jurnalis — sialan :). Bayangkan apa kata poll itu kalau blogger dan penulis pesan di mail list dianggap sebagai profesi. Wow, aku yakin mereka lebih tak dipercaya lagi.

Tapi itu hasil poll. Dalam keseharian, orang ternyata lebih percaya issue di mail list, di blog, dan di koran/TV daripada pendapat ilmiah yang dikeluarkan ilmuwan atau dokter. Salah satu contoh yang sempat membuat para dokter marah besar adalah soal vaksinasi MMR (measles, mumps, rubella). Seorang dokter menuduh vaksinasi itu menyebabkan autisme. Segera media menggembar-gemborkan soal itu, tanpa peduli opini mayoritas kalangan ilmiah yang tak sependapat dengan seorang dokter itu. Hasilnya, terjadi lonjakan jumlah kasus akibat kurangnya vaksinasi, yang mengakibatkan kematian.

Maka seorang dokter lain, Ben Goldacre, membuat simpulan: jurnalisme berbahaya bagi kesehatan. Secara keras ia mulai menulis melawan pseudoscience yang sering dikemas sebagai “pengobatan alternatif” :). Tulisan2nya kemudian dikemas dalam buku Bad Science. Tentu bukan menohok para jurnalis. Justru ini untuk mulai mencerahkan jurnalis dan masyarakat yang masih buta sains. Tujuannya untuk membuat kalangan jurnalis mulai bisa mengemas mana hal yang ilmiah dan mana yang pseudoscience dan mana yang jual jamu berkedok pengobatan alternatif dan mana yang merupakan overhype dari pabrik obat. Buku Bad Science memberi contoh misalnya homeopathy, bracelets yang bermain di efek magnetik,  dan contoh lain. Tapi terutama ia memberikan contoh metode ilmiah yang benar yang diterapkan pada pengobatan, termasuk testing dengan efek placebo dan faktor-faktor lain yang cukup kompleks. Goldacre benar2 ingin pembacanya tervaksinasi terhadap nonsense2 berikutnya yang akan mereka hadapi di media atau di mana saja.

Namun, Goldacre juga mengingatkan kembali: sains tidak memiliki autoritas yang monolitik. Sains sendiri tetaplah proses untuk terus menerus mempertanyakan dan pengujian yang jujur dan terus menerus untuk mencari jawaban.

Kesimpulan: buku ini tak direkomendasikan. Membaca buku ini bisa membuat kita dimusuhi saudara, tetangga, blogger, agen MLM, dan kalangan terdekat kita. Lebih baik hidup damai sajalah, kata penatar P4, dan kata orang besorban penjaja SMS Premium di TV.

Kopi Vietnam

Kopi hari ini: kopi ala Vietnam. Kopi ini dijerang dengan seperangkat filter yang dibuat khusus untuk memberikan rasa kopi yang konon tiada duanya. (Kopi Malang Sidomulyo juga nggak ada duanya kok — semua kopi itu unik).

Filter Kopi Vietnam seukuran cangkir kecil, mudah disimpan. Dan pemakaiannya mudah. Tapi kita harus menggunakan bubuk kopi yang tak terlalu halus. Kopi Vietnam sendiri sudah digiling dengan kekasaran yang pas untuk alat ini. Tapi kopi ala Vietnam tak harus menggunakan kopi dari Vietnam. Kita bisa giling sendiri kopi yang agak kasar. Untuk grinder miniku, aku set waktu 10 detik untuk menghasilkan kekasaran yang pas (sebagai bandingan, aku grind 15 detik untuk Bialetti-Mokka dan French-press, dan 20 detik untuk kopi tubruk).

Pertama, kita masukkan 3 sendok kecil kopi ke badan filter. Pasang spanner di atas cangkir (atau mug atau gelas), dan badan filter di atas spanner. Pasang lagi filter penutup di atas kopi, dan putar2 untuk meratakan kopi. Tanpa tekanan.

Sementara itu, siapkan air panas. Bisa dari dispenser yang berpemanas, atau dari air mendidih yang dibiarkan dingin sebentar. Sekarang, basahi kopi dengan air panas. Tuang air panas sedikit ke filter, sampai kira2 seluruh kopi terbasahi. Lebihkan sedikit di atas filter atas. Air akan terserap cepat. Biarkan. Diamkan 20 detik.

Kemudian, masukkan air panas memenuhi badan filter. Proses brewing langsung dimulai. Tutup filternya. Tunggu sekitar 5 menit. Boleh sambil menyanyi, menari, atau membaca puisi. Setelahnya, angkat spanner; dan temukan kopi hitam kental di dalam cangkir. Kopi Vietnam, yummie.

Kalau ingin membuat es kopi, kopi susu, atau es kopi susu; es dan/atau/justru susu bisa dimasukkan ke cangkir sebelum semua proses ini dilakukan. Cara ini lebih dianjurkan daripada memasukkan es dan/atau/kecuali susu setelahnya. Setelah kopi jadi … jangan buang waktu. Langsung disesap, atau disajikan. Awas, jangan berikan kopi ke anak kecil dan atau ke pinguin. Mereka bisa hiperaktif.

Hmm, nice Sunday. Ugh … ada PR bikin paper ya? Aaaaaa ….

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑