Author: Koen (Page 10 of 86)

Beethoven Night

Aku ternyata belum kenal Jakarta. Aku bahkan belum tahu di kota ini ada Aula Simfonia Jakarta. Ini bukan hanya sebuah hall / aula, tetapi benar2 sebuah gedung, bertempat di Kemayoran, tak jauh dari Merdeka Selatan, tempatku berkantor.

Sore tadi Jakarta bercuaca cukup seram. Awan hitam melintas kencang dari arah timur ke barat. Di lapisan bawahnya, awan kelabu melintas lebih kencang dari barat ke timur. Angin dingin menembus jaket. Tapi Aula Simfonia Jakarta akan menyelenggarakan Beethoven Night. Dan nama Beethoven cukup untuk mendorong kami melintasi ancaman badai itu, dan menuju ke Kemayoran: mencari sebuah aula.

Kami belum beli tiket. Begitu sampai, ticket box pun dihampiri. Tiket termurah 200K, hanya menyisakan tempat tak strategis. Ambil tiket 300K. Tapi ticket box hanya menerima cash atau debit dari sebuah bank tak menarik. Maka dompet langsung kosong untuk membayar tiket. Hall ini masih baru: belum ada café, toko, tempat snack, atau bahkan ATM. Ah, who cares. Kami naik ke atas, dan menyempatkan diri mengamati sederetan lukisan yang seluruhnya bertema musik. Musik klasik. Musik klasik eropa. Gong dibunyikan, dan kami masuk hall.

Sesuai namanya, malam tadi Orkestra Simfonia Jakarta hanya memainkan karya Beethoven. Sebagai pembuka, Kevin Suherman memainkan dua sonata piano. Kevin masih muda, dan ia bersekolah musik hingga ke Melbourne. Yang dimainkan adalah Piano Sonata op 2. Aku jarang mendengarkan sonata piano Beethoven. Jadi ini terasa jadi pemainan baru yang asik buat aku. Menyenangkan. Sayangnya terasa tak berlangsung lama. Piano dimasukkan ke bawah panggung. Lalu Orkestra Simfonia Jakarta memasuki panggung.

Konduktor untuk bagian ini adalah Rebecca Tong. Ia masih muda juga. Menempuh pendidikan di US di bidang sejarah musik, khususnya mengenai conducting, ia konon terkenal piawai memimpin musik secara dinamis. Deretan empat karya orkestral Beethoven mengalir, dengan tempo yang bergerak dari lembut ke dinamis: Coriolanus (Serumpun Padi, haha), Fidelio, Prometheus, dan Egmont. Egmont ini pernah juga aku dengarkan di Warwick entah di tahun berapa, bersama Simfoni Ketiga. Tapi Kemayoran tak mengecewakan. Dinamikanya sunguh menyegarkan.

Rehat 15 menit. Sayangnya belum ada fasilitas rehat di sini. Panitia menjual Aqua, tapi tak banyak yang berminat. Aku menghabiskan waktu melihat2 benda2 musikal yang ditata dalam ruang kaca mirip diorama. Menarik juga tempat ini sebagai museum. Sempat mengambil sedikit foto (dilarang mengambil foto selama pertunjukan berlangsung). Lalu gong bergaung lagi.

Pada bagian ini, konduktor diambil alih Dr Stephen Tong — tokoh yang sudah sekian lama membawa musik klasik keliling Indonesia, dan lalu menjadi salah satu pelopor Orkestra Simfonia Jakarta ini. Sunyi sejenak, lalu mengalun bagian awal dari Simfoni Keenam. Dawai-dawai memulai alunan, dengan gaya tenang, teduh, dan anggun. Masuklah deretan pipa-pipa mungil yang ditiup, membawa suasana riang dan lincah. Khas Beethoven: flute yang bergantian membawa suasana ceria. Lalu … hey … ada yang menarik. Ada dimensi yang memisahkanku dari skala waktu linear. Ia membawa ke alam yang luas, berwarna keemasan, dan paralel mengisi ruangan. Beda sekali dengan versi CD. Aku baru sadar, baru sekali ini aku mendengarkan Simfoni Keenam secara live. Lalu segala instrumen menderu, membawa badai dan guruh di luar sana masuk ke aula. Mendung tebal sore itu tampak lebih menghitam dan memasuki hall. Lalu ditenangkan. Tapi tak juga terasa tenang buat aku. Sampai simfoni berakhir. Masih terasa ada hentakan keras di dalam.

Kemayoran tak lagi hujan. Masih berangin tak nyaman. Tapi Beethoven membuat angin dan gelap itu terasa memiliki aroma yang menyegarkan.

Akhir Oktober, di tempat yang sama akan ditampilkan Simfoni Kesembilan, oleh Dubrovnik Symphony Orchestra. Tag di agenda! :)

Indonesia Wireless Forum

IWF belum  menjadi forum yang resmi atau reguler. Ini hanyalah sebuah seminar, tempat rekan-rekan yang sempat menghadiri APT Wireless Forum di Seoul bulan ini melakukan sharing dan diseminasi atas update yang diperolehnya kepada pelaku industri wireless di Indonesia. Karena sifatnya yang akademis sekaligus profesional, maka Telkom RDC (Research & Development Centre) menyanggupi menjadi host. Sedangkan penyelenggara kegiatan adalah IEEE Indonesia Section dan IEEE Comsoc Indonesia Chapter. Persiapan sangat singkat, karena sedang amat banyak kegiatan lainnya yang membuat 24 jam terasa jauh dari cukup. Kegiatan dilakukan 1 hari penuh, Jumat 24 September 2010, di Gegerkalong, Bandung.

Sharing yang disampaikan meliputi update dari:

  • Spectrum Working Group
  • IMT Working Group (tentu terutama IMT-Advanced)
  • Convergence Working Group (termasuk konvergensi IMS-IPTV, spt Open-IPTV)

Menarik bahwa soal konvergensi ini sudah mengerucut ke satu pilihan, yaitu OpenIPTV. Di pertemuan teknis sebelumnya, ada beberapa pola yang diajukan sebagai pilihan konvergensi:

Nampaknya pendekatan ke OpenIPTV adalah pendekatan yang telah umum dilakukan di Korea sebagai tuan rumah APT Wireless Forum.

Untuk IMT-Advanced (4G Mobile Network), disampaikan bahwa hingga kini ada 5 usulan yang telah dimasukkan sebagai kandidat-kandidat untuk teknologi mobile IMT-Advanced. Namun secara umum, kandidat-kandidat ini tetap dapat dikelompokkan sebagai dua madzhab utama: LTE-Advanced dari 3GPP dan WiMAX 802.16m dari WiMAX Forum.

IWF ditutup SGM RDC Telkom, Mr Mustapa Wangsaatmaja; yang sekaligus mengingatkan bahwa standardisasi bukan hanya untuk diikuti secara top down, melainkan — dengan melihat contoh-contoh sepanjang sejarah — untuk dikaji secara kritis dan diajukan kembali untuk memperoleh alternatif-alternatif yang lebih baik.

IYCE 2010

Mendadak Pak Widi masuk ke salah satu ruanganku, dengan senyuman maut (yang biasanya berarti: senyum sambil memberikan tugas maut). Bukan tugas berat. Untuk kesekian kali, British Council menyelenggarakan IYCE (International Young Creative Entrepreneur — cmiiw). Di tahun2 lalu, BC mengundangku di acara puncak event2 ini. Dan sebenarnya tahun ini juga. Tapi tahun ini, ada tugas tambahan buatku. CIO Mr Indra Utoyo sedang ke RRC, dan Mr Widi Nugroho jadi juri IYCE ini. Padahal ada acara corporate visit sebagai bagian dari program IYCE ini, termasuk kunjungan ke Telkom. Para senior leaders juga sedang harus ke Senayan. Ada visit dari Presiden di Pameran BUMN. Dan karena Presiden minggu sebelumnya sudah mewanti2 agar di kegiatan semacam itu Direksi Telkom harus hadir meninggalkan pekerjaan penting mereka; maka kali ini Telkom diwakili lagi oleh karyawannya yang paling tidak sibuk: Mr Koen.

Buat aku, ini pekerjaan menyenangkan. British Council sedikit banyak sudah jadi bagian dari sejarah hidupku (haha). Juga komunitas kreatif sudah jadi bagian dari hidup sehari2. Sayangnya, karena banyak kegiatan lain, support untuk acara ini jadi tak optimal. Dengan urusan budgeting yang tak habis2, aku baru bisa menyelesaikan file presentasiku sekitar jam 2:00. Koordinasi hanya dilakukan via telefon. Syukur CDC bersedia menyiapkan ruangan dan dukungan lain di Lt 11 (of Grha Citra Caraka); dan Marcom memberikan dukungan tambahan.

Corporate visit ini diikuti sebagian finalis IYCE. Sebagian lainnya masih ikut proses penjurian di Serpong. Group dipandu Mbak Winda Wastu dari British Council, dan disambut di pintu lobby GCC. Cukup meriah dan jadi candaan menarik. Mungkin rekan2 finalis IYCE membayangkan bakal jumpa pejabat BUMN yang seram dan jaim. Eh, tahu2 cuman disambut temen dugem mereka sendiri, haha. Pitra Satvika, yang cukup sering hadir di GCC sebagai panitia Fresh atau kegiatan lain, tampak paling kecewa. Bener, pingin ketawa lihat ekspresi Pitra. Sayangnya Selina Limman dan Ryan Koesuma yang cukup sering ke GCC ini tak tampak. Wajah lain yang kukenal adalah Marlin Sugama, tokoh kreatif yang animasinya — Si Hebring — menghiasi halaman TelkomSpeedy. Dan sisanya memang belum jumpa wajah, tapi namanya cukup sering baca dan dengar: Kevin Mintaraga, Aty Soedharto, sampai Si Ikin Suroboyo. Sumpah kuagèt ndelok Si Ikin — slamet gak sampèk misuh2.

Di Lt 11, aku cerita sedikit tentang Telkom dan bisnis TIME-nya. Lalu sedikit ke platform Indigo. Disusul Mr Aep dari CDC, menyampaikan program-program community development dari Telkom Group. Para peserta yang berminat atas materi presentasi, boleh kontak aku di alamat yang tertera di business card.

Siang, aku habisi dengan tugas rutin (beresin Telkomspeedy.com, urusin hutang2 kerjaan, dan hitung2 AKI untuk Capex 2011). Dan sorenya ke IYCE Awarding Ceremony di Teraskota Serpong. Cuaca Jakarta sedang menarik. Hujan dan badai di seluruh penjuru kota. Perlu sekitar 2 jam untuk menempuh jarak dari Kebon Sirih ke BSD. Tapi worth it. Ini acara yang mengesankan: sederhana tapi padat dan elegant. Aku pikir acara2 Indigo bisa mencontoh kesederhanaan semacam ini. Hadir juga HE British Ambassador, yang juga terlambat seperti aku :).

Selesai berbincang dan foto2 (hey, ini kopdar), kami balik arah ke Jakarta. Syukur kali ini tak ditemani kemacetan seperti waktu berangkat. Sampai rumah, menjelang tengah malam. Aku cuma sempat charging si Mac Blue. Trus kehilangan kesadaran. z z z z z . Bangun jam 6 pagi … Waaa, aku harus ke Bandung, ada seminar Indonesia Wireless Forum di RDC jam 9.00! Dan IEEE Comsoc Chapter Chair harus hadir di pembukaan. Help!

Evo Morales

Sekali lagi, kita akan berhenti blogging kalau kita hanya menggunakan blog untuk menulis hal2 yang memiliki arti besar :). Alih2, kita bisa mulai memanfaatkan blog seperti twitter: sekedar bercericau tak tuntas. Dan kali ini, kita akan bercerita tentang teori evolusi. Mungkin tentang moralitas. Dan mudah2an tak melantur ke agama.

Mula2, hukum yang sama mungkin akan menampilkan tampilan yang berbeda pada skala yang berbeda. Koin yang dilempar dua kali mungkin akan menghasilkan hasil berbeda dengan koin yang dilempar 2000x. Mekanika kuantum berjalan di mana pun; tetapi efeknya tak lagi nampak pada skala manusia atau skala galaksi (kecuali disalahgunakan marketer kacangan dengan nama quantum blablabla, quantum wekwekwek, dll). Hukum yang mengatur sebuah individu pun mungkin akan tampak berbeda dengan hukum yang mengatur masyarakat.

Dan satu lagi. Evolusi makhluk hidup terjadi pada skala gene, bukan terjadi pada individu2nya sendiri. Jadi saat kita bicara tentang survavibilitas, ini adalah tentang survavibilitas si gene. (Dan konon malah bukan DNA, tetapi RNA, hush).

Kata sembarang orang, teori evolusi mengimplikasikan bahwa kita akan jadi individu yang egois. Atau kelompok yang egois: rasis, chauvisist, primordial, dll; karena menurut teori ini, individu yang bertahan dan berkembang adalah individu yang bisa mempertahankan diri sendiri, mengalahkan yang lain dalam persaingan berebut sumberdaya, dan berebut pasangan.

[Oh, tentang pasangan, kita akan punya teori sendiri. Perlukah ditulis?]

Tapi … tentu saja. Tentu saja itu betul. Hanya individu yang dengan satu atau lain caralah yang mampu memperoleh sumberdaya untuk mempertahankan kehidupannya mencapai usia cukup dewasa untuk meneruskan keturunan. Dan yang dimaksud dengan cara di sini meliputi misalnya kekuatan, kecerdikan, kelicikan, kemampuan meraih simpati, dll. Dengan kata lain, egoisme tercetak dalam gene kita, sebagai penerus mereka yang survive.

Mungkin individu akan memiliki kans bertahan lebih tinggi jika ia bisa bukan sekedar kuat, tetapi juga cerdik. Cerdik mengelola sumber daya. Cerdik melakukan kerjasama, alih-alih selalu bersaing. Cerdik mensinergikan potensi untuk memperoleh sumberdaya lebih besar, dan untuk bertahan lebih kuat melalui kerjasama. Ia menyusun strategi membagi resource, membagi tugas, dan menyusun masyarakat. Strategi dan kebersamaan menjadi efek dari evolusi.

Masyarakat akan lestari jika memiliki individu di dalamnya tak memiliki potensi merusak masyarakat; sambil tetap memiliki kemampuan dasar untuk membela diri. Seperti juga individu, masyarakat terbentuk dari imbangan individu yang kuat untuk bisa bertahan tapi tak cukup mau/mampu memanfaatkan kekuatannya untuk menghancurkan masyarakat — sedikit demi sedikit atau sekaligus. Dan masyarakat akan lestari jika individu di dalamnya memiliki kemauan, kemampuan, minat, instink, dll … untuk kalau perlu mengorbankan diri sendiri demi masyarakat.

Masa?

Saat ada benturan antar masyarakat, atau benturan di dalam masyarakat; masyarakat akan survive jika ada yang mengorbankan diri (dari sisi resource atau dari mungkin mengorbankan nyawa) untuk mempertahankan struktur masyarakat, sehingga bukan seluruh masyarakat yang terkorbankan. Contoh yang mudah mungkin jika ada perang antara dua masyarakat untuk berebut resource. Masyarakat yang memiliki patriot yang mau berkorban akan memiliki kans lebih besar untuk bertahan (dengan asumsi potensi lain yang dimiliki sama) dibandingkan masyarakat yang individu di dalamnya tak mau mengorbankan diri untuk membela masyarakatnya.

Dalam skala lebih luas, masyakarat-masyarakat yang memiliki kearifan akan memiliki kans untuk lebih lestari. Mereka bisa mencegah perang dan menggantinya dengan empati, dengan kebersamaan, dengan kearifan mengatasi perbedaan, dengan kepintaran memecahkan masalah yang makin pelik antar masyarakat. Mereka yang memiliki konsepsi abstrak akan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk lestari.

Menyebalkan. Kini moralitas cuma menjadi efek sederhana dari evolusi. Hal2 besar seperti simpati, pengorbanan diri, dan kepahlawanan pun … gilanya … cuma dianggap bisa dijelaskan melalui teori evolusi semata. Juga kecerdasan, kearifan. Padahal, di tahap ini, kita belum bermain dengan game theory segala.

Yang tentu menarik adalah bahwa potensi untuk egois (mempertahankan diri) dan gene untuk moralis (kesediaan mengorbankan diri demi nilai-nilai) itu tersimpan dalam individu2 yang sama. Manusia dengan potensi yang amat egois tak akan survive menjaga masyarakatnya (bisa memunahkan seluruh masyarakat). Tapi manusia dengan sifat yang amat moralis mungkin tak akan survive menjaga diri dan keluarganya. Dan mungkin masyarakat yang keseluruhannya memiliki sifat amat moralis tak akan lestari juga. Masyarakat memerlukan penyimpang, untuk mulai belajar menghadapi konflik kecil. Masyarakat yang terbiasa menghadapi konflik kecil, akan memiliki kans lebih kuat untuk memecahkan konflik besar yang bisa menghancurkan (misalnya peperangan yang rumit); daripada masyarakat yang tak terbiasa menghadapi konflik sama sekali.

Wow, kita memerlukan konflik! Kita memerlukan pelangggar! Kita memerlukan penyimpang! Kita memerlukan keanekaragaman! Kita memerlukan pluralisme untuk menjadikan kita lebih cerdik, pandai, dan bijak mengatur hidup kita!

[Pak ustadz tersenyum. Ujarnya: “Allah menciptakan kalian beraneka suku beraneka wangsa agar manusia saling mengarifi.”]

Evolusi juga terjadi pada budaya, pada tatacara kita mengatur masyarakat. Kita mengubah perilaku untuk menyesuaikan diri pada lingkungan, pola hidup, konflik, interaksi. Kita membentuk budaya, menginteraksikan budaya, mengevolusikan budaya. Dan genetika yang lestari adalah yang dapat menyesuaikan diri dengan alam, i.e. dengan alam yang telah direkayasa dengan budaya. Maka evolusi bisa terbentuk dari rantai gene -> budaya -> gene -> budaya -> gene.  Gene kita, selain berisi sejarah nenek moyang kita, tempat hidup mereka, penyakit yang menghinggapi mereka, juga sudah tercetak dengan adaptasi pada budaya yang telah mengatur nenek moyang kita, dengan gaya hidup mereka, interaksi dan konflik mereka, hingga tata mengatur masyarakat. Terbentuk budaya yang lengkap, dengan berbagai tatacara, adat, agama, hingga negara.

Agama? Huh, tak terlalu menarik memperbincangkan agama dilihat dari sisi evolusi. Tapi misalnya kita asumsikan bahwa kita tadinya tak mengenal Tuhan, kita akan mulai dari masyarakat yang bodoh, tak memahami semesta, tapi melihat keteraturan yang menarik di mana-mana, lalu mengilusikan adanya Sang Pencipta. Ide Sang Pencipta ini tak unik — ia masuk ke berbagai budaya, akibat melihat fenomena alam yang sama. Maka ia jadi ide universal, merasuk ke budaya, merasuk ke tatacara dan adat. Dan apalah adat yang melibatkan narasi ketuhanan, jika bukan agama. Politik membentuk agama formal dan negara. Tapi juga membentuk budaya. Dan budaya menyeleksi masyakarat. Maka tertinggallah kita: makhluk-makhluk yang memiliki Tuhan dan agama, yang hanya merasa damai jika merasakan kedekatan dengan Tuhan, dan merasa hidup memiliki arti saat menjalankan ajaran agama. Ini sudah tertanam dalam gen manusia. Berbagai teori yang dikemukakan di abad 19 – 20 – 21 bahwa hanya seluruh semesta bisa direkonstruksi dengan sains, tanpa melibatkan Tuhan, tak akan terlalu efektif mengubah manusia yang gene-nya, pikirannya, jiwanya (ya, aku menulis jiwa) telah terpola untuk hidup damai di bawah rasa sayang Tuhan-nya.

OK, itu asumsi pertama. Asumsi kedua, buat kita yang memiliki keimanan pada Tuhan. Tuhan mencintai proses. Tuhan sudah memiliki mekanisme, cuma melalui hukum2 matematika dan fisika biasa, yang memungkinkan makhluk hidup berevolusi, jadi manusia, dan masyarakat berbudaya, dan jadi makhluk yang akhirnya mengenali keberadaan-Nya.

Terserah kaulah mau mengambil posisi yang mana. Yang jelas sains tak membuktikan adanya Tuhan. Dan jika sains bisa membuktikan adanya Tuhan, maka Tuhan yang terbuktikan justru tak berharga: Tuhan yang bisa dilihat. Aku sendiri, hatiku selalu merasakan Ia hadir, menemani, mencandai, mengajarkan nilai-nilai-Nya, dan membuat hidup jadi menarik dan berharga. Kalaupun kau menganggapnya tidak real, itu sama tidak realnya dengan pikiranku, dengan persepsiku, dan dengan ikatan2 (cuma) logika yang mengikat molekul2 ini jadi aku. See, aku tak bisa, dan tak ingin berlepas.

Dan tentang judul entry ini … hahaha :)

Connected

Sebagai seorang pemula, aku memang melakukan banyak kesalahan di Twitter. Salah satunya adalah sering lupa melakukan follow-back. Sambil mengikuti kuliah bersama Goenawan Mohamad dan Roby Muhamad di Komunitas Salihara, aku coba cari account Twitter Oom/Mas/Aa Roby. Tweetnya semenarik kuliahnya. Ternyata beliau sudah follow aku, entah dari tahun berapa, dan aku belum follow back. Secara professional, ini durhaka :). Jadi buru2 aku follow account @robymuhamad.

Roby seorang fisikawan yang memperdalam studi ke sosiologi. Aku tak menyebut ini “beralih” atau “tersesat” :). Semesta memiliki kompleksitas yang berkembang. Matematika mewujud (melalui string atau bukan) ke fisika, lalu dalam jumlah besar berinteraksi dan membentuk hukum turunan yang baru (kuantum, kalor, kosmologi), hingga evolusi yang memunculkan makhluk hidup, manusia, masyarakat, budaya, dst. Tentu kita ingat kekaguman Dawkins pada replikasi meme yang serupa seplikasi gene: apa pun obyeknya, itu sekedar matematika replikasi. Itu satu hukum yang berentet saja. Nah, yang diperdalam Roby, a.l. adalah jejaring sosial. Mungkin Roby adalah amat sedikit orang Indonesia yang melakukan research secara professional dan akademis untuk memahami jejaring sosial.

Di Salihara, Roby mulai bercerita tentang bagaimana influence mengalir di masyarakat. Ia tak mengawali dengan 2.0, Twitter, dll seperti presenter hobbyist seperti kita. Ia memulai dengan kasus semacam kesurupan massal: bagaimana di Afrika sejumlah besar murid sebuah sekolah bisa tertawa bersama, tanpa bisa dihentikan, selama beberapa minggu. Kacau, sekolah dibubarkan, murid dipulangkan. Pulangnya murid2 itu menimbulkan masalah baru. Di kota2 lain tempat murid2 itu dipulangkan, terjadi penularan kembali, sehingga wabah tawa justru menyebar ke banyak kota. Meme yang menakutkan :).

Roby sempat menyebut bahwa soal2 ini diulas dalam buku berjudul Connected. Judul yang tak asing. Aku sendiri punya satu buku berjudul Connected, tulisan Daniel Altman. Connected 24 Hours in the Global Economy. Tapi pasti ini buku yang berbeda. Di rumah, aku langsung menjelajah ke Amazon.co.uk, dan menemukan buku Connected tulisan Nicholas Christakis & James Fowler. Subjudulnya menggambarkan soal jejaring sosial. Bahkan buku ini punya account Twitter tersendiri: @connected_book.

Jejaring sosial, kata buku ini, adalah kumpulan manusia; tetapi yang lebih penting adalah bahwa ia memiliki koneksi, keterhubungan, yang membuat jejaring lebih berarti daripada sekedar kumpulan individu. Jejaring jadi mampu melakukan hal-hal yang tak mampu dilakukan orang-orang itu secara tersendiri.

Berikut disebutkan beberapa hal menarik dalam jejaring:

  1. Kita membentung jejaring kita
  2. Jejaring membentuk kita
  3. Teman-teman mempengaruhi kita
  4. Teman-teman dari teman-teman dari teman-teman kita mempengaruhi kita
  5. Jejaring memiliki kehidupan tersendiri
  6. Antar setiap manusia, terdapat hanya 6 derajat pemisahan
  7. Namun antar teman, hanya terdapat 3 level pertemanan yang menimbulkan pengaruh.

Khusus soal 6 derajat pemisahan, disebutkan bahwa hal ini telah diteliti di US beberapa dekade yang lalu. Namun, menghadapi kecurigaan bahwa angka sekecil 6 hanya dimungkinkan oleh kedekatan geografis, etnik, budaya, dll; maka sekelompok ilmuwan melakukan penelitian dengan jangkauan internasional. Salah satu peneliti ini adalah Roby sendiri.

Lalu sang buku meneruskan bagaimana jejaring mempengaruhi kita dalam menentukan kebahagiaan, mencari pasangan hidup, merawat kesehatan, hingga berjuang demi demokrasi. Beberapa hal yang juga diulas dalam buku ini:

  • Emosi menyebar dari satu manusia ke manusia lain melalui ekspresi wajah. (Emosi pada A -> Ekspresi pada A -> Ekspresi pada B -> Emosi pada B)
  • Kita akan cenderung berbahagia, tercukupi, dan merasa positif, jika dikelilingi orang yang berbahagia.
  • Kesepian adalah sebab dan akibat dari keterputusan hubungan
  • Jika kawan dari kawan dari kawan kita bertambah berat badannya, kita cenderung akan menambah berat badan, walaupun kita tak mengenal orang (atau orang-orang) itu.
  • Keterhubungan bisa berpengaruh positif (menularkan kebahagiaan) atau negatif (menularkan keinginan bunuh diri)

Aku belum menyelesaikan buku ini juga. Dibaca bersamaan dengan buku2 lain, sebagai bagian dari keinginan untuk terus mempelajari fitrah manusia: bagaimana mereka diciptakan, bagaimana mereka berproses, bagaimana mereka dapat mencapai yang terbaik untuk masa depannya. Twitter terlalu keren untuk digunakan becanda tanpa tujuan.

September

Twitter memang bikin cercah-cercah ide itu terpecah dalam bentuk cericau sebelum bisa tergumpal seukuran blog. Pemecahan dengan miniblog tak terlalu berhasil. Mungkin seharusnya kita mulai menyerah, dan menulis blog dengan bentuk cericau ala twitter :).

September.

Di agendaku, ini berarti IPTV sudah mulai ditulis dengan tinta merah. Semangat, dan sekaligus tanda bahaya. Jika ada yang memiliki ide keren mengenai content IPTV, sila kontak aku. Platform, perangkat, sistem, dll, sudah bukan waktunya lagi — semua sudah didefinisikan. Yang masih diperlukan adalah content.

IEEE. Comsoc. Kegiatan Q3 tak sebanyak Q2 dan Q1. Banyak diskusi kecil untuk mendefinisikan action plan ke depan. Juga ada beberapa peluang kerjasama yang menarik. Tapi Comsoc Indonesia sedang tumbuh menarik, jadi menarik minat para scammer juga. Ah, aku sudah hafal pola kerja para scammer. Lupakan, dan fokus ke kegiatan yang real.

Comsoc Indonesia juga bulan ini ditampilkan di Global Communications Newsletter (GCN). GCN adalah bulletin aktivitas kegiatan Comsoc, yang diterbitkan bulanan. Versi cetaknya dibundel di dalam Communications Magazine, yang merupakan majalah bendera dari Comsoc; dan versi onlinenya memiliki web tersendiri di http://dl.comsoc.org/gcn. GCN bulan ini, yang memuat laporan Comsoc Indonesia, dapat diambil secara bebas pada URL http://tlk.lv/gcn1009.  Isi laporan lebih pada aktivitas yang telah dilakukan selama tahun terakhir ini, dan hanya sedikit menyinggung rencana ke depan. Kegiatan2 ini tentu sempat disinggung juga di blog ini, sejauh yang aku ikuti :).

Untuk pengingat, di bulan September ini, IEEE juga sudah memulai proses perpanjangan keanggotaan. Buat para anggota, silakan melakukan perpanjangan di http://ieee.org/renewal. Konon ada hadiah menarik tahun ini. iPad?

Di IEEE, sedang dirayakan juga dua puluh tahun IEEE 802.11. Gugus Tugas IEEE 802.11 (Wireless Local Area Network, WLAN) didirikan pada 13 September 1990 untuk mewujudkan ide-ide mutakhir dalam pengembangan teknologi WLAN dengan kecepatan data 1 Mb/s. Hasil karyanya lebih akrab dengan nama WiFi, yang telah membaur dalam dunia Internet nirkawat beberapa tahun terakhir. Dalam usia dua puluh tahun, standar terakhir yang telah diterbitkan kelompok ini adalah IEEE 802.11n dengan kecepatan 600 Mb/s, dan saat ini tengah disusun standardisasi dengan target baru sebesar 5000 Mb/s. Standard 802.11 juga terus diperkaya dengan peningkatan efisiensi spektrum, keamanan informasi, QoS pada interface, dan feature-feature lain mengikuti kebutuhan user.

Lucunya, tanggal 13 September juga diperingati sebagai ultah kesepuluh Mac OS X. Mac OS X sedikit banyak mengubah hidup juga, membuatku berani beralih ke Mac, tanpa khawatir terputus dengan rekan2 kerja yang masih bergelimang lumpur Windows (hush). Aku mencobai Mac OS X di sebuah Mac Mini, trus ke Macbook, dan sekarang ke Macbook Pro. Si Mac Mini masih hidup, tapi lebih jadi music & DVD player, si MBP menemani kerja, dan si Macbook putih baru disiksa dengan dibootcamp Windows Vista. Masih ada beberapa aplikasi yang hanya hidup di Windows, dan aku pikir itu pas untuk Macbook putih, daripada pensiun. Vista-nya sendiri aku dapat dari Priyadi, di Pesta Blogger 2007 :). Tak terasa lambat dia berjalan di Macbook 2.1 GHz dengan memori 2.5 GB dan HD dialokasikan 80 GB. Kadang masih crash sih.

September juga peralihan Ramadhan ke Syawal. Moga masih sempat melakukan refleksi diri biarpun sudah meninggalkan Ramadhan.

Slideshare

Teman2 bilang, orang Indonesia unik. Setiap selesai presentasi, selalu ada sekelompok orang yang nekat meminta bahan presentasi kita. Aku sih menganggapnya positif: ada keinginan untuk mendalami materi presentasi, yang memang aku yakin memerlukan waktu pendalaman lebih dari waktu seminar yang cuma beberapa jam saja. Biasanya materi semacam itu aku bagikan, dalam bentuk PPTX (bukan PDF). Erh, bukan berarti aku lebih suka Powerpoint daripada Keynote. Tapi … you know … pemakai Mac di Telkom itu amatlah minoritas. Entah kalau iWorks nanti menyerang melalui iPad. Oh ya, ternyata Indonesia tidak unik. Berpresentasi di negara mana pun, ternyata selalu ada yang tak malu-malu meminta materi presentasi kita. Dan bukan hanya hadirin, tetapi juga sesama presenter.

Jadi aku kembali ke Slideshare. Aku sudah sempat mendaftar ke layanan ini di tahun 2008. Tapi kepindahan ke Jakarta dll bikin aku agak lupa urusan ranah maya. Bulan ini account di Slideshare itu aku buka lagi. Ini alamatku:

http://slideshare.net/kuncoro

Lalu materi yang cukup banyak diminta, yaitu pengenalan WiMAX II (IEEE 802.16m).

Materi tentang pengenalan 4G … tak mudah memilihnya. Materi dengan judul yang sama sudah termodifikasi dalam beberapa versi: untuk kampus elektro, kampus non elektro, profesional, hingga masyarakat awam (mis di Gathering Fresh awal bulan ini). Ada versi di mana 4G ditampilkan dalam materi tersendiri, ada yang hanya merupakan pembukaan sebelum diskusi mengenai LTE Advanced dan WiMAX II. Ada yang mendiskusikan soal aplikasi, dan ada yang sama sekali berhenti di network. Dll. Ini salah satu versi itu, yang akhirnya aku upload di Slideshare

Yang sedang cuup banyak didiskusikan juga adalah New Convergence: kisah bagaimana konvergensi lebih lanjut harus dilakukan untuk mengelola network, aplikasi, dan content layanan-layanan digital yang seluruhnya telah berprotokol Internet namun pengelolaannya saat ini masih terpisah.

Jadi, materi apa lagi yang harus dipasang di Slideshare? Ada request? Jangan tentang Wagner yach :).

Wagner dan Faust

Tuhan berdebat tentang manusia, melawan Mephisto:

Wenn er mir auch nur verworren dient,
So werd ich ihn bald in die Klarheit führen.
Weiß doch der Gärtner, wenn das Bäumchen grünt,
Das Blüt und Frucht die künft’gen Jahre zieren.

Nun gut, es sei dir überlassen!
Zieh diesen Geist von seinem Urquell ab,
Und führ ihn, kannst du ihn erfassen,
Auf deinem Wege mit herab,
Und steh beschämt, wenn du bekennen mußt:
Ein guter Mensch, in seinem dunklen Drange,
Ist sich des rechten Weges wohl bewußt.

Itu cuplikan bagian awal dari Faust, satu kisah yang direka ulang oleh Goethe dari kisah Eropa klasik. Tuhan berusaha meyakinkan Mephisto, bahwa manusia bebas akan cenderung mengarah ke kebaikan; bahwa segelap apa pun manusia membawa jiwanya, ia akan cenderung kembali ke cahaya kecemerlangan. Maka Mephisto sang setan berusaha membuktikannya melalui Faust. Bagian2 ini sudah aku tulis di site ini bahkan sebelum dia berubah jadi blog :). Kebetulan Sabtu malam kemarin aku mampir ke Salihara, dan melihat kuliah dari Dewi Candraningrum tentang Goethe dan Islam. Jadi mendadak Faust terhadirkan lagi.

Faust versi Goethe ini konon menjadi puncak dari karya-karya Goethe. Bukan saja karena keanggunan sastrawinya, tetapi ia memuncakkan pemikiran Eropa masa itu. Agama, kekuasaan, dan narasi lama menjadi pembelenggu yang tak lagi dapat ditolerir. Tokoh Faust benar-benar dalam puncak tekanan akibat kejumudan diri yang tak tertahankan. Maka, satu-satunya jalan yang ditawarkan untuk keluar dari kejumudan pun ia ambil: bekerja sama dengan setan. Kejahatan setan adalah satu hal, tapi membiarkan diri dalam kejumudan adalah kejahatan yang buat Faust lebih keji. Dan tokoh Tuhan hanya memantau acuh: manusia yang berusaha mencapai yang terbaik dengan kejujuran hatinya, akan kembali menemukan cahaya.

Sebagai anak muda Eropa, Richard Wagner terbawa semangat Goethe ini. Dan sebagai komposer muda, ia sempat menyusun sebuat overture yang dimaksudkan untuk menjadi pembuka pentas Faust. Sebuah karya yang sungguh gelap.

Mungkin ini memang bukan karya Wagner terbaik — saat itu dia masih agak jauh dari puncak karyanya. Yang menarik adalah bahwa jalan hidup Wagner pun amat bergaya Faustian. Idealis muda yang selalu gelisah itu akhirnya mengisi hidupnya dengan jalan-jalan yang dianggap gelap dan salah: bergabung dengan kaum anarkis, menjadi hedonis dan punya banyak hutang, memusuhi kaum Yahudi secara terbuka, merebut istri sahabatnya (ya, ini Faustian sekali), bahkan konon menginspirasi Nietzsche untuk membunuh Tuhan.

Kita bukan Tuhan yang berhak menentukan apakah Wagner juga khusnul khatimah seperti Faust versi Goethe. Tapi karyanya mengispirasi dunia dengan cara yang bahkan tak terpahami mereka yang terpengaruhi olehnya. Seperti, haha, ya, seperti sang tokoh Tuhan itu menumbuhkan tunas-tunas pepohonan secara diam-diam, dan tiba-tiba manusia menyadari adanya bunga-bunga indah dan buah yang manis lebat berserakan bertumpukan menghiasi rantingnya dari demi hari.

Wagner dan Anarkisme

Antara 1848-1849 terjadi revolusi, yang dimulai di Berlin dan menyebar di negara2 lain yang kini menjadi Jerman. Majelis Nasional yang baru dibentuk, Parlemen Frankfurt, bersidang dan menyerukan dibentuknya Jerman baru berbentuk monarki konstitusional. Pemilu dilakukan di negara2 itu. Maret 1849, konstitusi berhasil dirumuskan, lalu Friedrich Wilhelm IV dari Prussia ditawari mahkota. Namun Majelis Nasional masih bergantung pada kerjasama para kaisar dan pemimpin2 lama. Friedrich Wilhelm IV menolak. Majelis Nasional terpecah. Di Sachsen, raja Friedrich August II tak mengakui konstitusi dan membubarkan Parlemen Sachsen. Rakyat Sachsen memberontak di bulan Mei. Situasi kacau, dengan pengawal yang ragu untuk memihak raja atau rakyat, dan raja yang akhirnya meminta bantuan tentara Prussia untuk menyerbu.

Dresden, ibukota Sachsen, sebelumnya dikenal sebagai pusat budaya kaum liberal dan demokrat. Seorang music director, Karl August Röchel menerbitkan Harian Dresden, yang sering memuat tulisan tokoh anarkis Mikhail Bakunin. Komposer Richard Wagner, yang waktu itu menjadi konduktor di Royal Saxon, mendukung revolusi sejak 1848, dan berkarib dengan Röchel dan Bakunin, serta turut menulis artikel agitasi mendukung revolusi. Saat revolusi Mei, ia turut membuat granat tangan dan menghadang tentara Prussia. Tapi revolusi akhirnya dipatahkan. Bakunin ditangkap, sempat dijatuhi hukuman mati, tapi lalu dibuang ke Russia. Wagner jadi buron, dan melarikan diri ke Paris, lalu ke Zürich.

Di saat2 itu, Wagner memulai tetralogi opera terbesarnya: Der Ring Des Nibelungen. Dimulai di Dresden, tapi disusun ulang dan ditulis garis besar kisahnya di Zürich. Modifikasi kisah tua budaya Nordik itu sedikit banyak menampilkan gaya anarkisme Wagner :). Wotan dan dewa2 lain ditampilkan sebagai para penguasa angkasa yang bising, sok tahu, namun bodoh. Hah, terlalu sering aku meringkas tetralogi ini. Di akhir cerita, Götterdämmerung, dengan optimisnya Wagner meruntuhkan Valhalla dengan seluruh dewa. Tokoh pahlawan diciptakan dari manusia (tapi keturunan dewa): Siegfried, yang tak kenal takut, tak kenal aturan, memiliki keberanian yang naïf, dan akhirnya gugur dengan cara tak menarik.

Cuplikan dari Wagner dulu, saat Siegfried sibuk membentuk kembali pedang Notung peninggalan kedua orang tuanya, disaksikan bapak tirinya yang culas:

Kembali ke anarkisme. Aku sendiri tak menganggap benda ini sepenuhnya negatif. Kaum anarkis memang selalu dipojokkan sebagai kaum anti kemapanan, anti pemerintahan, pro kekacauan, vandal, dll. Tapi sebenarnya kaum anarkis hanya berjuang untuk meningkatkan kedaulatan manusia sebesar mungkin, dan mengurangi peran pemerintahan hingga seminim mungkin.

Anarkisme memang jadi paradox :). Mungkin kaum anarkis pun belum selesai mendefinisikan diri. Rentangnya dari Bakunin yang — dengan menepis asumsi Rousseau bahwa negara, atau pemerintahan, disusun atas dasar kontrak sosial — menganggap negara adalah pengabadian penindasan dan perbudakan; hingga kaum2 anarkis yang lebih lunak yang sekedar berminat menghapuskan hak negara melakukan kekerasan terhadap rakyat. Dengan mengusung kemerdekaan dan keanekaragaman individual, kaum anarkis tak menganggap perserikatan antar mereka punya kekuatan yang penuh :). Memperpanjang paradox ini, kaum anarkis tidak akan bisa berkuasa. Tak akan bisa mereka bertahan membangun partai, berkoalisi, dan menyusun pemerintahan yang mereka kehendaki dengan peran pemerintah sekecil mungkin. Kalaupun mereka bisa berserikat, dan mempercayai kekuatan serikat itu (entah dengan pendekatan yang mana), gerakan2 anarkis itu akan seketika dikucilkan baik oleh kaum kanan yang berkehendak mempertahankan kekuasaan feudal, menghujamkan kekuatan organisasi agama, mencampuradukkan kekuatan kapital dengan pemerintahan, hingga kaum kiri yang menganggap perlunya menyusun kediktatoran proletariat yang temporer (entah temporer berapa abad) untuk menyusun kondisi ideal mereka. Kaum anarkis seperti Bakunin memang justru jadi bebuyutan kaum komunis. “Berikan kekuasaan kepada kaum marxist, dan tak lama mereka akan jadi pemerintah yang lebih kejam daripada tsar,” begitu ramalannya. Bakunin juga mungkin jadi satu2nya tokoh dunia yang pernah membayangkan adanya konspirasi antara Karl Marx dan Rotschild :D. “Marx akan membuat semua dikendalikan negara. Lalu bank2 dibubarkan dan dibentuk satu bank yang terpusat saja. Rotschild kan?” gitu tuduh Bakunin.

Sayangnya, mungkin satu2nya contoh di mana kaum anarkis pernah membentuk pemerintahan adalah pada Republik Pertama, yang dibentuk di Perancis setelah Bastille diserbu. Pemerintahan ini dalam sejarah lebih disebut sebagai pemerintahan teror, dan runtuh dalam waktu yang tak terlalu lama.

Hah, tadinya tulisan ini akan jadi bagian pertama dari deretan para tokoh yang (pernah) mempengaruhi Wagner. Tahun 2006, aku pernah menulis tentang beberapa tokoh yang dipengaruhi Wagner: Stephen Hawking, Edward Said, Bernard Shaw, James Herriot. Cita2nya, aku coba menulis tentang mereka yang mempengaruhi Wagner. Misalnya: Goethe, Schopenhauer, Shakespeare, Beethoven, hingga Bakunin. Tapi mungkin aku tak akan sempat juga. So, stop dulu di sini :)

TV Sosial

Yang membuat IPTV jadi menarik — buat aku — bukan karena TV, tetapi justru karena IP. IP telah merevolusi komunikasi data, komunikasi manusia, hingga budaya manusia. Kini kita mengharapkan IP akan merekonstruksi dunia TV yang amat membosankan itu menjadi media yang interaktif. Memang cukup banyak yang cuma bisa sinis menganggap IPTV adalah cita-cita yang terlalu tinggi di atas infrastruktur Internet Indonesia yang masih buruk. Dan ini mengingatkanku pada gambar telur dan ayam yang aku presentasikan juga di Taipei minggu lalu.

Berbicara tentang network dan content, orang sering merasa terperangkap oleh jebakan ayam dan telur: mana yang harus lebih dahulu. Padahal ini bukan jebakan. Yang orang pesimis lihat sebagai lingkaran setan bukanlah lingkaran: itu sebuah spiral. Di dalamnya ada yang berputar seperti lingkaran, tapi membesar dan bertumbuh. Network, yang buruk dan asal ada, memungkinkan kita menyusun aplikasi kecil, seperti mail atau text messaging, lalu akan diisi content teks, lalu akan membentuk interaksi dan market, yang berikutnya akan membebani network, tapi juga menciptakan demand, dan menciptakan alasan investasi pengembangan dan perbaikan network, yang lalu akan menciptakan network yang sedikit lebih baik, untuk diisi aplikasi yang lebih rakus (misalnya diisi gambar), yang lalu diisi content, market, network, aplikasi, content (kini video), market, network, aplikasi, content (video dengan delay rendah untuk komunikasi dua arah?), dst, dst. Semuanya tumbuh bertahap. Yang diperlukan adalah dorongan untuk aplikasi baru, content baru, interaksi baru, dst. Ini adalah konteks yang juga saat ini membuat kita wajar memiliki IPTV, dan membangun network yang lebih baik.

Apa saja peluang interaktivitas TV? Cukup banyak. Dari yang bersifat nilai tambah pada TV: TV dengan kendali orang tua, TV dengan penyimpanan, TV dengan review, TV dengan setting favorit. Lalu TV dengan interaksi terkait media sosial (Twitter, Facebook, Yahoo Messenger, Koprol, Flickr, Youtube). TV dengan e-commerce (bayangkan jika ini dikaitkan dengan iklan, review dari media sosial, dan kemampuan untuk langsung bertransaksi).

Sedang utak-atik soal ini, aku terantuk ke satu artikel di Computer. Ini mengenai salah satu alternatif interaktivitas TV, yang dinamai Social TV (TV Sosial). Pelopornya Marie-José Montpetit dari MIT. Bersama mahasiswanya, ia menyusun prototip TV Sosial ini. Mereka mengeksplorasi konsep-konsep seperti remote kontrol cerdas, TV partisipatif, dan narasi yang disusun pemirsa. Tentu juga mereka mendalami pengkaitan TV dengan berbagai media sosial terkini. Yang buat mereka menarik adalah agregasi database video yang diambil dari YouTube. Yang tersimpan bukan saja video, tetapi metadata, review, dll; dan informasi antar user yang berisi content yang baru dilihat, yang dianggap menarik, dll. Interaksi antar user dapat terjadi. Dan pesan semacam ini dapat dimatikan kapan saja jika pemakai menganggapnya mengganggu.

Lebih jauh, Montpetit melakukan hack yang memungkinkan interaksi antara iPhone dengan set-top box (STB), sehingga pengguna dapat menyaksikan acara mereka pada perangkat mobile. Juga ini memungkinkan user berinteraksi lebih bebas dengan perangkat mobile-nya, kalau ini dianggap lebih nyaman daripada langsung bekerja pada perangkat TV dan remote control-nya. Saat ini ia sedang mendalami feature-feature penting untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan. Hah, keamanan. BTW, apa bedanya security dengan privacy? Haha.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑