Author: Kuncoro Wastuwibowo (Page 10 of 88)

Sidang Comsoc Asia Pasifik

Tahun 2011 ini IEEE ICC diselenggarakan di kota Kyoto, Jepang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, helat akbar IEEE di bidang infokom ini dibarengi beberapa pertemuan, baik teknis maupun organisasi, di lingkungan IEEE dan IEEE Comsoc. Mewakili IEEE Comsoc Indonesia Chapter, aku diundang hadir di Comsoc AP-RCCC. Undangan diterima bulan April, jadi ada waktu cukup luang untuk mempersiapkan visa Jepang, tiket, hotel, dll. Sayangnya bulan2 ini adalah bulan2 sibuk di Divisi Multimedia Telkom. Jadi aku tak sempat melakukan hal2 menarik, seperti mengingat2 kembali penulisan huruf hiragana, katakana, dan terutama kanji dasar, buat bekal jalan2.

Rute perjalananku cukup jail :). Alih-alih mengambil penerbangan Jakarta-Kansai seharga 7.5jt, aku mengambil jalur Jakarta-Haneda seharga 5jt, ditambah Shinkanzen Tokyo-Kyoto seharga 2.5jt. Jalur ajaib ini mengharuskanku terdampar tengah malam di Haneda Airport sampai pagi, sebelum melaju ke Shinagawa Station dan Kyoto.

Tapi, Shinkanzen cukup kencang, dan pagi itu juga aku sudah sampai di Kyoto, plus sempat beristirahat. Setelah melaporkan kehadiran ke organiser, aku meluangkan waktu dengan menjelajahi pusat2 budaya di Kyoto. Sebenarnya, Kyoto sendiri adalah pusat budaya Jepang klasik. Aku mengunjungi kuil Buddha dan Shinto di Kiyomuzudera, dan kuil Zen di Konnin-ji, dan menghabiskan sore dengan melihat cuplikan teater Jepang klasik di Gion Corner. Tapi akhirnya aku kembali ke hotel dan melakukan finalisasi presentasi.

ICC dan konferensi yang menyertainya diselenggarakan di KICC, sebuah resort di timur laut Kyoto. Tampaknya tempat ini memang disiapkan untuk menjadi ruang diskusi bertaraf internasional. Aku tak mengikuti sesi-sesi ICC secara penuh. Hanya sesi workshop. Tapi aku harus mengikuti sidang AP-RCCC di tempat yang sama.

Jika IEEE Region 10 Meeting di Yogyakarta lalu merupakan pertemuan organisasi dari IEEE di kawasan Asia Pasifik, maka AP-RCCC ini adalah pertemuan dari IEEE Communications Society. Membahas wilayah Asia Pasifik, pertemuan ini dihadiri Presiden Comsoc, para VP dan direktur, Region Amerika Utara, Region Amerika Selatan, serta para ketua chapter Comsoc se-Asia Pasifik. Di dalam IEEE Comsoc, Region Asia Pasifik meliputi kawasan yang membentang dari Pakistan di barat, Jepang di timur laut, hingga New Zealand di tenggara.

Presiden IEEE Comsoc, Byeong Gi Lee, membuka sidang dengan menyampaikan tantangan terkini di bidang telaah komunikasi. Konvergensi telah melalui satu tahap dalam informasi digital, dan saat ini kita masuk ke konvergensi berbagai service. Konvergensi bukan hanya antara bidang komunikasi dan komputasi, tetapi melebar ke elektronika konsumen, media, dan kawasan lainnya. Comsoc mengantisipasi hal ini dari berbagai sisi: pendekatan pendidikan dan content, pendekatan industri, dan pendekatan standardisasi. Perumusan ini diikuti juga dengan restrukturisasi organisasi Comsoc. Berbagai aspek berkaitan dengan konvergensi lebih lanjut ini memicu diskusi yang cukup menarik.

Berikutnya beberapa VP dan direktur menyampaikan laporan dan arahan. Dan setiap chapter menyampaikan laporan, rencana kegiatan, dan hal-hal lain. Indonesia memperoleh giliran pertama untuk memberikan laporan. Aku menyampaikan laporan kegiatan yang saat ini masih dititikberatkan pada kampanye teknis dan organisasi IEEE dan Comsoc, termasuk dukungan dalam pembentukan 4 IEEE student branches pertama di Indonesia, serial roadshow, dan pendekatan lain. Rencana ke depan meliputi penyusunan konferensi yang lebih besar (lebih dari saat ini yang berupa seminar atau lecturing tematis). Untuk ini diperlukan assistance dan support dari Region maupun chapter yang bertetangga. Juga disampaikan persiapan TENCON di Bali bulan November 2011, dan permintaan untuk distinguished lecturer & distinguished speaker atas progress terkini di bidang ilmu Comsoc. Cukup banyak yang menyampaikan dukungan atas kegiatan IEEE Comsoc di Indonesia ini. Perwakilan chapter lain menyusul memberikan laporan.

Selesai konferensi, aku kembali ke pusat Kyoto dengan MRT bersama Prof. Hsiao-Hwa Chen. Ada yang agak lucu sebenarnya. Pertama jumpa (sebelum konferensi), beliau menyebut namanya, lalu aku menyampaikan bahwa tentu aku kenal beliau, baca beberapa papernya, dan bahkan tahun lalu sempat berkorespondensi. Beliau menanggapi antusias. Padahal sebenarnya tahun lalu korespondensi dari beliau bernada marah akibat sebuah kesalahpahaman yang lucu :). Tapi ini tak dibahas. Malah akhirnya kami berbincang panjang dengan pengelolaan chapter, tentang pengelolaan platfrom, tentang sejarah Jepang dan Kyoto, dst.

Jadi esoknya aku menyempatkan diri menelusuri kembali kawasan2 bersejarah di Nara (ibukota Jepang yang pertama, sebagai Jepang yang telah bersatu) dan di Kyoto (ibukota Kekaisaran Jepang selama 1000 tahun), sebelum akhirnya beranjak kembali ke Tokyo (ibukota Jepang sejak Restorasi Meiji).

Cerita lengkap (non IEEE) atas kunjungan ke Jepang ini:

Crowdsource Bookshop

Akhir minggu lalu, kami mencoba melakukan fund-raising, mengumpulkan dana untuk biaya pengobatan Hamdani, seorang rekan yang menderita kanker getah bening. Hamdani saat ini dirawat di Gedung Teratai, RS Dharmais. Biarpun ada keringanan biaya, namun biaya untuk penyembuhan liver dan ginjal yang mulai rusak (harus dipulihkan sebelum kemoteapi), biaya beberapa siklus kemoterapi, dan biaya pemulihan, akan cukup besar; tak mungkin tertangani Dani yang kini justru diberhentikan oleh lembaga pendidikan tempat ia bekerja.

Fund-raising kami tak bisa dibilang berhasil baik. Maka di hari Senin kemarin, yang dipaksakan cuti oleh menteri entah apa, kami memanfaatkan waktu yang sempit untuk merancang sebuah online bookshop, tempat kami dapat mulai menjual buku2 baru atau bekas sebagai sarana penggalangan dana lebih lanjut. Membuat site cukup mudah. Engine wordpress, domain murah, hosting numpang, plugin eshop, dan desain visual. Lalu integrasi dan test. Maka tengah malam tadi, meluncurlah Online Bookshop kami: Darrowby.co.

Darrowby, tentu diambil dari nama kota rekaan James Herriot, dalam buku Seandainya Mereka Bisa Bicara (If Only They Could Talk). Buat aku, Darrowby identik dengan buku, tapi juga dengan penyembuhan, dengan kesetiakawanan yang tulus, dengan simpati dibalik sikap pura2 acuh, dengan optimisme dan semangat tak kunjung padam, dengan ketidakmampuan untuk patah semangat menghadapi tantangan.

Buku2 diambil dari koleksiku dulu. Keren-keren, tentu saja :). Dan pertama2 akan diambil dari yang kira2 akan menghasilkan rupiah terbesar. Memang buku2 ini tak dijual murah, karena kita sedang mengumpulkan dana. 100% hasilnya akan diserahkan untuk pengobatan Hamdani. Tapi kualitas bukunya takkan mengecewakan pembeli juga. Setelah test hari ini (baru dengan beberapa buku), kami akan terus menambahkan buku-buku berbagai bahasa dan berbagai level harga ke Darrowby.

Mas Harry Sufehmi langsung menawarkan buku2 koleksinya juga. Bukan surprise, buat mereka yang mengenal sosok Mas Harry :). Sekaligus Mas Harry juga melontarkan istilah ini: crowdsource bookstore :). Community-based bookstore, haha. OK, ini memang menarik. Moga akan makin banyak yang mau membeli buku, menyumbang buku, dan lain-lain. Kalau belum ada buku yang cocok untuk dibeli, kami juga bisa mengirimkan  nomor rekening agar kita tetap dapat menyumbang tanpa membeli.

Allâh tak akan mengubah keadaanmu, kecuali kamu menggerakkan diri untuk melakukan perubahan.

Para Influencer

Yang menarik dari Kindle adalah bahwa setiap saat kita meminati buku baru (pun baru terbit), kita bisa langsung beli, dan langsung baca di piranti yang kini jauh terasa sebagai buku ini (alih2 perangkat elektronik). Memang membahayakan sih, dari sisi kemudahan belanja :). Mulai agak mengganggu, bahwa setiap saat ide dan kepenasaranan (curiosity) kita melompat, kita mengambil satu buku lagi :). Weekend ini aku sebenarnya hampir menamatkan “Quantum Man” dari Lawrence Krauss. Buku ini berdongeng tentang Richard Feynman. Alih2 menceritakan sisi manusiawi Feynman yang sudah sangat banyak ditulis sana sini, buku ini lebih berfokus ke sisi keilmuwanan Feynman, biarpun bentuknya tetap dongeng buat kaum awam. Di account Facebook-ku bisa diintip beberapa cuplikan buku itu.

Sayangnya, Amazon mendadak mengiming2i buku menarik lagi: Everything is Obvious, Once You Know The Answer. Penulisnya Duncan J Watts, seorang fisikawan yang melakukan riset di engineering, dan akhirnya berprofesi sebagai periset sosiologi. Dia mengawali bukunya dengan berkisah tentang beberapa kasus di mana orang2 penting, seperti penulis John Gribbin, serta senator AS, menganggap riset sosiologi bukan hal yang penting, misalnya sepenting riset fisika. Riset di bidang fisika tentu amat penting. Namun agak lucu kalau menganggap riset sosial itu tak penting dengan alasan — menurut mereka — bahwa hasilnya bisa ditebak dengan logika biasa, tanpa harus melakukan riset yang luas. Di dekade kedua abad ke-21 ini, dengan analisis yang cukup banyak mengenai jejaring sosial, kita mulai tahu bahwa banyak hal yang lebih menarik di riset ilmu sosial, selain sekedar memainkan urusan game theory yang banyak berfokus di urusan insentif, motivasi, dan nilai2. Tapi banyak yang tetap menganggap, penelitian fisika memberikan hasil yang luar biasa, dan menembus batas pikiran sederhana (common sense), sementara ilmu sosial tidak menghasilkan hal2 di luar itu. Masalahnya memang, kalau ilmu sosial itu sederhana, mengapa masalah sosial tak mudah dipecahkan? Soalnya bukan pada resource yang akan terlalu besar untuk memecahkan masalah itu, tetapi benar2 pada ketidaktrampilan kita memahami manusia, sebagai individu maupun masyarakat :D.

Penulis lalu memberikan contoh2 kecil. Paul Lazarsfeld pernah membuat riset pada para prajurit di Perang Dunia II. Ia memaparkan beberapa hasil. Misalnya, penemuan nomor 2: “Pemuda dari pedesaan umumnya memiliki semangat lebih baik dalam ketentaraan daripada pemuda perkotaan.” Reaksi kita? Tentu saja. Itu masuk akal. Pemuda desa lebih terbiasa dengan lingkungan yang keras, kerja keras, gotong royong, dll. Tapi lalu Lazarfeld mengatakan, “Ups. salah baca. Maksudnya, pemuda dari perkotaan umumnya memiliki semangat lebih baik.” Reaksi kita? Haha. OK. Tetap bisa dipahami. Pemuda kota lebih biasa hidup bersesakan, kerja dengan birokrasi panjang yang tidak pasti, penuh tata cara yang mudah berubah, dll. Semuanya masuk akal. Tapi, jika kedua hasil yang berlawanan itu masuk akal, maka ada yang salah dengan urusan “masuk akal” itu: itu masuk akal hanya setelah dijelaskan hasilnya. Yang kita sebut sebagai akal sehat, common sense, sebenarnya tak mampu menyusun prediksi; selain hanya menyusun alasan atas sesuatu yang diketahui hasilnya.

Atau, mengikuti Stephen Hawking di buku satunya, The Grand Design, akal sehat hanyalah kesimpulan dari kumpulan pengalaman pribadi yang terjadi pada masa hidup yang pendek, dan bukan kebijakan yang diperoleh sebagai hasil penelitian yang nyata atas perilaku semesta. Tapi, hanya berbekal akal sehat dari pengalaman singkat ini, banyak keputusan2 diambil. Para politisi yang mencoba mengatasi masalah kemiskinan merasa telah paham mengapa manusia bisa miskin. Penyusun marketing plan menyusun kampanye dengan anggapan bahwa mereka tahu apa yang diinginkan target pasar, dan bagaimana membuat target itu tertarik lagi. Penyusun kebijakan atas kualitas pendidikan,  kesehatan, dll, merasa paham atas efek skema insentif. Dan dalam skala lebih kecil, 90% orang Amerika merasa berkecakapan di atas rata2 dalam mengemudi, 25% merasa masuk 1% orang terbaik dalam kepemimpinan, dll, dll.

Watts pun mulai menceritakan sebuah riset. Risetnya mengharuskan mahasiswa meminta tempat duduk di kereta bawah tanah di New York :). Rinciannya agak panjang. Tapi dari sini, kita menangkap kompleksitas hubungan antar manusia, kekuatan (atau keterbatasan kekuatan) autoritas, kekuatan konsensus cair yang bahkan sulit ditembus oleh para peneliti, dan hal2 menarik lain. Lalu dibahaslah soal pengambilan keputusan pada manusia, yang selalu berujung pada soal nilai2 personal (dan sosial). Dan tentu soal konteks. Contoh kasus: dua orang yang tak saling kenal diberi $100. Salah satu (P1) harus membagi dua (tak harus sama besar), dan satunya (P2) memutuskan apakah ia akan menyetujui pembagian itu. Jika P2 tak setuju, uang $100 ditarik lagi, dan keduanya tak memperoleh apa2. Menarik. Sebagian besar P1 membagi sama rata: 50:50, namun tentu banyak juga yang mengambil kesempatan dengan mengambil lebih, misalnya 70:30. Asumsinya P2 akan lebih baik menerima 30 daripada tak menerima apa2. Tapi ada yang sedemikian bakhilnya untuk mengajukan 90:10. Umumnya pembagian yang amat tidak adil ditolak P2. Ahli ekonomi tradisional (yang berfokus pada insentif) akan terkejut mendapati bahwa P2 memilih tak memperoleh apa2 daripada “dimanfaatkan” :). Tetapi memang keadilan adalah nilai universal yang dipuja banyak orang, walau dengan pengorbanan uang. Level ketidakadilan di mana P2 masih mau menerima amat berbeda dari satu etnik ke etnik lainnya. Suku tertentu di Papua malah tak mau menerima pembagian 50:50 — P2 hanya mau nilai yang lebih daripada P1. Unik. Tak universal. Nilai2 antar etnik, antar kelompok, antar budaya, begitu beragamnya, dan cukup banyak yang saling bertentangan; dengan masing2 menganggap kumpulan nilai2 lainnya gila dan tak masuk akal. Tak heran jika dalam mensikapi yang terjadi di budaya lain, kita sering cuma bilang: bangsa sinting — semua logikanya terbalik. Pandangan yang tampak logis, biarpun cuma menunjukkan bahwa kita sama sekali tak memiliki kearifan.

Kesalahan pertama dalam meramalkan (dan mengubah) perilaku adalah bahwa kita mengira manusia digerakkan faktor2 seperti insentif, motivasi, dan nilai2. Sementara, banyak hal2 lain yang justru sengaja atau tidak turut mempengaruhi keputusan akhir: cara berkomunikasi (bentuk komunikasi, pilihan kata, latar musik, bentuk font, warna), atau hal2 lain yang cukup banyak. Kedua, pemodelan kita atas perilaku kolektif lebih buruk lagi. Ada berbagai warna interaksi internal di dalam kelompok yang masing2 pagarnya tak mesti tegas: alur kuasa dan pengetahuan sungguh cair, dan tak mudah diramalkan hanya dengan melihat elemen2nya. Kita cenderung menyederhanakan dengan menganggap kelompok sebagai individu, bernama crowd, market, karyawan, dll. Atau memilih representasi tak jelas seperti pemimpin, influencer, dll. Baru akhir2 ini dipahami bahwa penyederhanaan seperti itu bukan saja kurang tepat, tapi sungguh2 meleset.

Sungguh bacaan menarik di sebuah weekend. Untuk jadi lebih bijak di minggu-minggu ke depan.

ICT dan Socnet di Indonesia

Mungkin sudah berlebihan klaim bahwa socnet telah membawa perubahan yang significant terhadap Indonesia. Kisah koin Prita, pembebasan Chandra-Bibit, selalu diceritakan kembali sebagai kisah besar. Dan memang kisah besar :). Tapi yang terjadi mungkin hanya bahwa masyarakat (yang sesungguhnya memang jauh lebih cerdas daripada para elite politik kita) kini memiliki corong untuk menyampaikan suaranya, untuk didengar secara bising oleh para elite itu, dan memaksa mereka mengambil keputusan yang lebih masuk akal.

Yang lebih besar, dan lebih significant, namun mulai terlupakan, aku pikir, adalah #IndonesiaUnite: bagaimana kaum muda menyatukan suara dan menggaungkan ke masyarakat untuk bersatu melawan para teroris yang menggunakan kedok agama untuk memaksakan diskursusnya ke masyarakat. #IndonesiaUnite mampu meyakinkan masyarakat, bahwa perilaku teroris berkedok agama itu sungguh hina, memalukan, dan tak masuk akal untuk didukung. Lenyapnya gerombolan teroris nyaris tak menyisakan suara kehilangan :).

20110404-095725.jpg

Namun sejujurnya, di luar itu socnet belum banyak berperan mengubah negeri ini :). Bukan mengecilkan peran rekan-rekan yang sungguh aktif dengan passionnya yang luar biasa mencerlangkan negeri; tetapi situasi negeri ini memang memerlukan kerja lebih keras lagi :). Dan banyak jebakan yang mudah menanti. Socnet mengangkat suara baru yang lebih jernih; tetapi ia juga mengangkat elite baru yang terjebak seremonia dan eksklusivitas baru. Socnet meningkatkan sinergi untuk mengembangkan industri kreatif; tetapi ia juga memperkencang konsumerisme dan hedonisme. Socnet tak jelas: apakah ia menurunkan urbanisasi dengan membuat daerah segemerlap Jakarta, atau justru meningkatkan minat kaum muda untuk cepat2 pindah ke gemerlap Jakarta. Socnet sekaligus mempopulerkan karya yang elegant dan karya-karya sampah (ekstensi dari sinetron dan sinema kitsch Indonesia), lengkap dengan tukang jamu, menteri alay, banci gak jelas, intel gadungan, dll. Socnet sarang menggempur koruptor, sekaligus sarana bagi para koruptor kaya untuk meluaskan diskursus yang melenceng melalui generasi muda. Eh, mendadak bau lumpur.

Bagi para pengelola infrastruktur sendiri, socnet menarik. Seperti seluruh perusahaan lain, socnet membuat para provider menjadi transparan bagi kritik. Tapi kencangnya pipa baru bagi konversasi masyarakat ini, dan peningkatan pemanfaatan muatan aplikasi di atasnya, serta peluang pengembangan industri kreatif di atasnya, menciptakan konteks baru bagi para pengelola untuk mengembangkan bisnis, untuk menanamkan investasi baru bagi pengembangan infrastruktur. Dan seperti spiral yang terus berkembang, ini menjadi umpan bagi publik untuk berkonversasi lebih intens, lebih kreatif.

Kamu sendiri, apa yang kamu amati? Pasti banyak. Dan apa pun itu, pasti menarik. Coba sesekali apa yang teramati itu tidak ditulis dalam cericau 140 karakter, atau note singkat Facebook, atau tiga empat paragraf blog. Apalagi cuma komentar di blog :). Coba sesekali, itu kita bahas lebih serius. Semester ini, Internetworking Indonesia Journal memfokuskan pembahasan pada Implikasi Sosial dari ICT dengan konteks Indonesia. Informasi tentang paper dapat dilihat di Halaman CFP. Ini pengantarnya:

Information and communication technologies (ICTs) have become a ubiquitous part of people’s lives all over the world, including in Indonesia. The growing use of these technologies, especially the Internet, has not only implicated the ways individuals communicate, but also influenced the way they connect to each other. With the developments of social media such as blogs, wikis, collaborative websites and other social networking tools to fulfill the personal, organizational, societal and political goals and to influence the way individuals work and live, it is important to understand the implications it brings. This special issue seeks manuscripts that look at a wide variety of ICT uses and what implications these uses have on people, organizations and society in the Indonesian context as the technology becomes more widely available. This issue also welcomes those who look at the other side of the coin, i.e. manuscripts that focus on the cultural, social and political shaping of the technologies by Indonesian society. The goal of this special issue is to offer an understanding and assessment of how ICTs and society have mutually shaped each other, and theoretical considerations of the links between social implications and ICTs.

Editor tamu untuk topik ini adalah dua pakar yang tak diragukan, baik sebagai guru, wizard, researcher, sekaligus aktivis media sosial: Dr Yanuar Nugroho, dan Prof Dr Merlyna Lim.

Jadi, menulislah …

IEEE Region 10 Annual Meeting 2011

Satu tahun setelah Peristiwa Lapu-Lapu, IEEE Region 10 kembali menyelenggarakan annual meeting. Kali ini, Indonesia menjadi tuan rumah, dan pertemuan besar ini dilaksanakan di Sheraton Yogyakarta. Menariknya, minggu2 ini kegiatan di kantor sedang cukup gila, dan rescheduling kegiatan kantor yang sungguh amburadul nyaris membatalkan kehadiranku di Yogyakarta. Tapi syukur aku memilih terbang dengan Garuda Indonesia, jadi semuanya berjalan baik.

Kami sendiri  mengajukan kota Yogyakarta sebagai tuan rumah kegiatan ini dalam kegiatan serupa tahun lalu di Pulau Mactan. Saingan kami a.l. Australia, New Zealand, Bangkok, India, dan Tokyo. Namun kampanye kami efektif, sehingga tahun ini, tanggal 5-6 Maret lalu, R10 bersua di kaki gunung Merapi yang mendadak mengalirkan lahar lagi ini. Dalam annual meeting ini, hadir President-Elect of the IEEE, Gordon Day; Director of Region 10, Lawrence Wong; para pengurus  berbagai divisi, baik di level pusat maupun region; perwakilan section berbagai negara di Asia Pasifik; dan perwakilan chapter dan branch di Indonesia. Tim Indonesia sendiri diwakili chairman Muhammad Ary Murti, yang baru satu bulan ini menggantikan Arnold Ph Djiwatampu sebagai Indonesia Section Chair. Aku tentu hadir mewakili IEEE Comsoc Indonesia Chapter.

Annual meeting diselenggarakan mengikuti Robert’s Rules of Order yang juga banyak digunakan di parlemen-parlemen dunia. Chairman Lawrence Wong mengawali dengan Call to Order, dan diikuti dengan Roll Call, lalu diikuti reports. Menarik bahwa urutan kegiatan ini dapat terlaksana tepat waktu dari menit ke menit. Tanpa peduli jabatan, semua presenter hanya dapat memberikan presentasi 5-10 menit sesuai kesepakatan.

Dalam laporannya, Gordon Day, President-Elect 2011, yang tentu akan jadi President/CEO IEEE 2012, mengingatkan kembali akan transformasi yang masih terus terjadi di IEEE. Meluas dari dunia elektroteknika, IEEE kini mencakup dunia aeronautical, biomedical, electrical, electronic, computer, information technology, mathematics, physics, telecommunication, hingga automotive and biological engineering. Jumlah anggota mencapai 407 ribu. Namun jumlah ini masih kurang dari 10% para engineer di bidang kerja IEEE. Di US, hanya 7.5% engineer pada bidang ini yang menjadi anggota IEEE. Di Indonesia, hanya 0.5%.

Dengan tag advancing technology for humanity, pendekatan yang dilakukan IEEE a.l. memperkuat organisasi untuk dapat melayani generasi baru engineer, terutama di bidang-bidang baru yang akan lebih maju meningkatkan harkat hidup kemanusiaan. IEEE juga diarahkan untuk menjadi lebih global, merangkul para teknologis yang tersebar luas di seluruh dunia; serta meningkatkan peran dan kepemimpinan. Perubahan2 ekonomi, sosial, dan budaya yang terjadi makin cepat dalam waktu-waktu ini dilatarbelakangi secara strategis oleh pemanfaatan teknologi yang makin mendukung peningkatan harkat hidup manusia, secara individu dan sosial. Ini tak berhenti di sini. Dan para engineer harus terus diingatkan bahwa mereka masih memiliki tanggung jawab profesional untuk mendukung tata hidup yang lebih baik di abad-abad berikutnya.

Lawrence Wong menambahkan dengan menunjukkan keunikan wilayah Asia Pasifik: ini adalah region dengan jumlah anggota terbesar di dalam IEEE, dan dengan pertumbuhan tertinggi, terutama di kalangan mahasiswa dan engineer muda. Ini mencerminkan karakteristik kawasan ini yang merupakan kawasan teknologi paling dinamis sedunia. Yang akan dilakukan di region ini adalah meningkatkan sinergi antar wilayah, terutama dengan memanfaatkan sarana Internet.

VP MGA Howard E. Michel mendetilkan bahwa alih-alih mengurusi soal membership, IEEE akan lebih berfokus kepada member: How to Inspire, Enable, Empower and Engage the members of IEEE. Langkahnya panjang dan detail. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan IEEE Center for Leadership Excellence (CLE) untuk membangun kepemimpinan member. VP Educational Activities Tariq Durrani memaparkan beberapa prakarsa untuk mengembangkan pendidikan engineering sejak sebelum masa kuliah, misalnya TISP (program pelatihan dan penyertaan bagi guru), situs TryEngineering dan TryNano, akreditasi, sertifikasi, WIE (women in engineering), dll. Kelihatannya, selepas dari tugas di Comsoc, aku bakal suka mendalami TISP atau program semacam Faraday Lectures (dari IET). Eh. Meeting juga membahas laporan TENCON 2010 di Fukuoka, TENCON 2011 yang akan dilaksanakan tahun ini di Sanur (dipaparkan Chairman TENCON 2011 Dr Wahidin Wahab), dan TENCON 2012 di Cebu. Dan … hmm … banyak juga :).

Para peserta, yang mencapai sekitar 150 orang, juga diajak mengunjungi Candi Prambanan dan Kraton Yogyakarta, untuk mengenal budaya lokal. Dinner juga dihidangkan di kawasan Kraton Yogyakarta. Tapi di samping kunjungan bersama ini, beberapa peserta juga sudah mengincar untuk mengunjungi tempat2 menarik, seperti Candi Borobudur, dan Dalan Maliyoboro ingkang kondang sakjagad kuwi. Tampaknya Yogyakarta menjadi tuan rumah yang sukses untuk helat akbar IEEE Asia Pacific kali ini. Thank you, Yogya :)

Nodame Cantabile

Saat kata tak lagi menebarkan hikmah, melainkan hanya dusta dan prasangka. Saat konteks tak lagi memudahkan dan menyederhanakan perbincangan, tetapi melulu mengalihkan dan menyesatkan. Saat pesan singkat dan panjang hanya mengarah ke satu sampah ke sampah lainnya. … Saat itu musik terasa jadi penyelamat. Di tengah minggu yang sungguh menjengahkan itu, tampillah Twilite Orchestra.

Twilite Orchestra adalah sedikit dari nama orkestra yang sangat populer di Indonesia. Menyaksikan orkestra lain sangat mudah: kita datang, membeli tiket, memilih kursi, dan masuk :). Sebaik apa pun permainannya, tidak pernah ruang itu terisi penuh. Tapi Twilite Orchestra berbeda. Sejak dua minggu sebelumnya, hanya beberapa menit setelah Addie MS — sang director dan conductor — menyampaikan bahwa tiket mulai dijual, telah dimulai penyerbuan atas tempat2 pembelian tiket. Hari berikutnya, tiket sudah dinyatakan habis. Pendekatan Addie MS memang unik. Dari account Twitternya, @addiems, ia mulai menghimpun ide tentang performansi ini, dan apa yang ingin didengar oleh publik. Dan dalam persiapannya pun, ia menyampaikan ke publik, tetap melalui Twitter. Dari Twitter, aku memilih tempat beli tiket, dan sempat memesan 4 tiket.

Konser diperformansikan pada Kamis malam, 27 Januari 2011, di Balai Sarbini, tepat di persilangan tersibuk Kota Jakarta. Bahkan @addiems sendiri pun terus mengingatkan bahwa potensi macet besar, dan penonton diminta hadir lebih cepat. Hadir lebih cepat tentu menyenangkan, bisa menikmati satu mug kopi dulu di Plasa Semanggi :). Masuk tepat waktu, tak perlu menunggu terlalu lama sebelum Twilite Orchestra menampilkan sesi perdana: Montagues & Capulets. Aku tak terlalu akrab dengan para komposer Russia, dan hanya mengkoleksi karya mereka secara sporadik. Tapi malam ini Twilite hanya menampilkan karya2 terbaik dan terpopuler, jadi tentu karya Prokofiev yang ini sering terdengar juga. Pembukaan yang manis dan menarik.

Tapi kemudian Twilite menampilkan karya Beethoven terbaik: Simfoni Ketujuh. Yea! Dari sekian pilihan yang bisa dipilih dari Beethoven, Twilite memilih yang buat aku paling menyentuh. Twilite hanya menyajikan Act 1 dari Simfoni Ketujuh ini. Tak menggaung seram seperti saat Berliner Philharmonik memainkan dengan jumlah pemain yang sekian kali lipat Twilite Orchestra, tetapi tetap dengan kesyahduan yang menyemangati dan memberikan optimisme yang entah tadinya tertinggal di mana :).

Tapi lalu Addie MS membalik badan, dan memberi salam kepada pengunjung. Ia mengambil beberapa menit untuk menceritakan latar belakang Konser Nodame Cantabile ini. Ia mendapatkan gagasan performansi ini justru dari anaknya, dan dari kalangan muda, yang menggemari Nodame Cantabile. Cantabile itu manga jepang ciptaan Tomoko Ninomiya, yang menceritakan romansa dua pemusik muda. Manga ini menjadi populer dan berpindah ke aksi drama dan serial TV. Namun ekspresi musikal mereka bukan diambil dari musik masa kini. Alih-alih, mereka memilih musik klasik yang menurut Addie MS telah berusia ratusan tahun. Musik-musik dari drama itulah yang dipilih Addie MS untuk dikemas dan ditampilkan dalam konser yang mengambil nama Cantabile ini. Sambil Addie bercerita, aku punya waktu untuk memperhatikan para penonton. Luar biasa: malam ini penonton musik klasik lebih banyak didominasi anak muda yang datang bersama teman2nya, bukan bersama ortu seperti biasanya. Mereka tampil rapi (sesuai pesan @addiems di Twitter), bukan pakai T-Shirt dan sandal, tetapi tetap dengan gaya lincah ABG.

Kembali melihat ke panggung: Gita Bayuratri yang masih ABG memainkan Etude 10 No 4 dari Chopin. Serasa mendengar hujan mengiringi di atas :). Chopin memang fantastis. Tapi lalu Gita digantikan Audrey Sarasvathi. ABG juga. Dan yang ini tanpa basa-basi langsung menghajar sang piano dengan Danse Russe, bagian dari Petrushka, dari Stravinsky. Hantaman jari-jari yang luar biasa, sempurna sekali. Sempurna sekali. Seperti mimpi waktu Audrey meninggalkan pianonya. Dan Addie kembali memimpin orkestra, memainkan Rhapsody in Blue dari Gershwin. Ini permainan panjang paduan antara piano dengan orkestra yang lembut dan jazzy. Bagian piano dimainkan Kazuha Nakahara. Menarik, karena penataaan tempo di piano dipilih berbeda dengan beberapa versi Rhapsody in Blue yang pernah aku dengar. Gershwin, Chopin, Stravinsky, Beethoven — memang serasa masih di alam mimpi :). Lalu jeda 25 menit.

Setelah jeda, Twilite memainkan Mendelssohn. Seperti pada Prokofiev, aku tak terlalu akrab dengan Mendelssohn. CD-nya pun cuma punya satu. Tapi, karena konser malam ini memainkan karya paling populer, yang dimainkan Twilite adalah Simfoni Keempat dari Mendelssohn — komposisi pertama di satu2nya CD Mendelssohn yang aku punya itu. Dan, seperti Simfoni Ketujuh, Twilite hanya memainkan bagian pertama saja. Lalu Levi Gunardi naik memegang piano, dan Twilite memainkan Piano Concerto No 2 dari Rachmaninoff. OK, ini komposisi pertama malam ini yang aku belum punya CD-nya. Syukurlah :D. Dan Twilite berbaik hari untuk memainkan komposisi ini secara lengkap: 3 bagian. Aroma musik Russia tercium lembut  :). Felix memainkan bagian pianonya dengan elegant dan sempurna sekali.

Lalu perjalanan pulang, perjalanan ke Bandung. Wordcamp. Urusan kantor yang masih selalu tampak sporadik juga. Web. Rapat-rapat. Partnership. Inkubasi. Dan IEEE chairman rollout meeting. Kata, karya, ide, kata, karya, ide, inspirasi, cercaan, ledakan, motivasi, cercah cerlang, tekanan, optimisme, dan seterusnya. Lebih dari seminggu berlalu, dan baru sekarang aku sempat menulis. Musik, tak selalu mudah ditranslasikan menjadi kata-kata berpolusi ini lagi. Tapi yang jelas, musik dari Cantabile tak hilang setelah konser selesai. Mereka terus menemaniku dalam minggu2 yang keras ini, membuat semua gerak cepat itu serasa memiliki warna cemerlang dan harmoni musik yang terus mendorong, menyentuh, menemani, dan memuncakkan. Sungguh konser yang inspirasional.

Thank you, Mas Addie MS. Wagner kapan nih? Udah telanjur punya “adik” dinamai Tristan. Sekalian donk satu sesi Wagner yang heboh :)

Boim dan Kupfer

“Tuhan, seperti apa pun, akan berada di luar pemahaman kita. Kita harus mengakui bahwa konsepsi akan Tuhan lahir dari pikiran kita,” John Tomlinson berkisah. “Tokoh seperti Wotan disembah sebagai dewa oleh jutaan orang selama ratusan tahun. Tapi akhirnya orang tak lagi memikirkan dia, dan dia jadi tidak ada. Kisah-kisah lama ini dikemas Wagner seorang diri menjadi sebuah mitos yang baru. Wotan, dewa adikuasa, memiliki kewenangan mengatur hukum yang mengendalikan semesta. Tapi ia pun tak boleh melanggar hukum-hukum itu. Saat akhirnya tak bisa lagi berkelit dari berbagai kekusutan itu, runtuhlah seluruh kekuasaan dewa-dewa.”

Wagner sendiri menulis tetralogi Der Ring ini dalam status buron saat pemberontakan anarkisnya bersama Bakunin ditumpas di abad ke-19 lalu. Tampak jelas baginya bahwa kekuasaan lama memang sudah seharusnya tumbang. Tapi kekuasaan silih berganti dengan pembenarannya masing-masing: kerajaan, demokrasi, republik, komunisme, kapitalisme, membentuk rasionalisasi atas tata masyarakat yang sesungguhnya selalu hanya transien. Maka setiap saat kisah keruntuhan dewa ini diinterpretasikan kembali, dan opera Wagner selalu memperoleh nyawa baru.

Nyawa baru dengan kata-kata yang sama? Mungkinkah?

Pun dalam kurun waktu yang seberapa jauh, itu dimungkinkan. Beberapa tahun, aku mendengarkan (dan menonton versi digital dari) Der Ring versi Boulez. Ini dimainkan di Bayreuth tahun 1970-an, dan videonya diterbitkan di awal 1980-an. Versi CD-nya, yang terbit di awal 1990-an seolah menjadi standar masa itu. Padahal di awal 1990-an itu, Bayreuth tentu saja tak lagi memainkan versi Boulez. Tokoh kontroversial Daniel Barenboim memimpin orkestrasi Der Ring masa itu.

Aku pernah menulis tentang Barenboim di tahun 2005 [URL]. Tokoh ini adalah sahabat dari filsuf Edward Said [URL]. Edward Said, dengan nama campuran Inggris-Arab, adalah warga Palestina, beragama Kristen Anglikan, dan menjadi profesor di Columbia Univ. Hal2 seperti ini menjadikannya bukan saja minoritas, tetapi selalu menjadi orang asing. Daniel tak jauh berbeda. Ia keturunan Yahudi, sekian lama memimpin orkestra di Jerman (bahkan di Bayreuth), memainkan karya Wagner (yang sering dicap sebagai rasis dan anti-yahudi); namun malah memilih memainkan Wagner di Tel Aviv, yang langsung menimbulkan ledakan protes dari parlemen dan kemudian presiden kaum zionis (presiden Katsav Balav yang kini jadi narapidana itu). Daniel & Edward memiliki pemahaman amat berbeda mengenai asal konflik Palestina vs zionis, namun memilih menjadi sahabat, dan sering memperbincangkan solusi terbaik bagi konflik bangsa mereka.

Der Ring versi Barenboim baru aku dapat dari kunjungan di Hongkong akhir tahun lalu. Agak ragu untuk menambah koleksi Wagner. Tapi aku belum punya versi lengkap dari Der Ring yang dimainkan dalam satu musim (i.e. satu sesi interpretasi). Jadi set yang tak terlalu mahal ini aku ambil. Dan, ternyata, aku serasa punya satu set rekaman opera yang benar-benar baru.

Musik dipimpin oleh Barenboim, dan teater disutradarai oleh Harry Kupfer. Seperti Tomlinson bilang, hampir semua pemain yang direkrut adalah pemain yang baru pertama kali memainkan peran ini. Tomlinson pertama kali memainkan Wotan; Siegfried Jerusalem pertama kali memainkan Siegfried, dll. Dan Kupfer mengatur mereka dengan gaya yang membuat cerita itu terasa berbeda dengan versi pendahulunya.

Siegmund, yang dalam cerita memang digambarkan sebagai pemberontak yang terdampar, yang dalam permainan misalnya Placido Domingo digambarkan benar2 lemah dan romantis, kini dimainkan sebagai pemberontak yang keras, dengan tekad dan perlawanan yang tetap keras (namun tetap tak dapat melawan karena tak memiliki senjata). Saat Wotan harus mengkhianati Siegmund, dia mematahkan pedangnya, tapi lalu memeluk Siegmund, dan membiarkan Hunding menusuk Siegmund. Siegmund mati dalam pelukan Wotan. Cara Boulez menggambarkan Siegfried membuat pedang Notung di tahun 1976 memang fantastis, dengan tungku besar berbunga api. Versi Kupfer tak menampilkan tungku seheboh itu. Namun pedangnya benar-benar dileburkan dan dibentuk kembali di atas pentas. Brünnhilde yang di versi Boulez membuat akhir kisah Götterdämmerung agak membosankan, oleh Kupfer disentuh menjadi sangat aktif dan emosional agar kita tak sempat bosan.

Dan kalau Boulez menggambarkan kutukan Brünnhilde membuat kahyangan (OK, Valhalla) turut menyala terbakar api merah, maka Kupfer merasa bahwa dewa-dewa perlu dihukum lebih kejam dari itu. Cincin dibawa peri Rhein kembali ke sungai; mereka menari riang sampai ke ufuk, lalu menghilang. Lalu manusia seperti kita mengisi panggung, dengan aneka rupa: dari yang bergaya pesta resmi, sampai bergaya rumahan; tapi mereka tak peduli dengan urusan dewa, peri, cincin, dan semacamnya. Mereka acuh menonton TV. Tetap dengan nada gemuruh runtuhnya Valhalla. Acuh. Hanya seorang anak perempuan menatap langit. Lalu seorang anak lelaki dengan jas menghampirinya, menggenggam tangannya, lalu membimbingnya menggunakan lampu senter kecil pergi menjauhi kerumunan massa yang hanya peduli TV itu. Dan Alberich, si licik pencari kuasa, hanya bisa kecewa, dengan muka jeleknya, di sudut pentas.

Tomlinson bilang, ini seperti nubuwat untuk awal abad ke-21. TV mungkin memang tak terlalu laku lagi. Orang abad ke-21 berkicau dengan Twitter. Tapi si licik pencari kuasa masih ada, dengan bodohnya mencoba menggaruk kekayaan dan kekuasaan seolah kita masih hidup di abad pertengahan. Moga nubuwat Kupfer benar: si licik Alberichal hanya akan kecewa di atas kepunahan keluarganya, dengan nafas tetap bau lumpur.

Internetworking Indonesia Vol 2 No 2

Di ujung tahun 2010 ini, telah terbit Internetworking Indonesia Journal, Vol 2 No 2 (Fall/Winter 2010). Jurnal kali ini berisi paper-paper dengan tema bebas, yang ditulis baik dari kalangan researcher maupun mahasiswa pascasarjana, baik dari Indonesia maupun luar negeri. Pun kali ini, sebagian paper menggunakan Bahasa Indonesia, dan sebagian lain menggunakan Bahasa Inggris. Memang salah satu tujuan jurnal ini adalah untuk meningkatkan kemampuan menulis paper ilmiah dan teknis dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia.

Paper-paper dalam edisi ini:

  • Editors’ Introduction, by Thomas Hardjono, Budi Rahardjo and Kuncoro Wastuwibowo (PDF)
  • The Effect of IPv6 Packet Size on the Implementation of CRC Extension Header, by Supriyanto, Iznan H. Hasbullah, & Rahmat Budiarto (PDF)
  • A Modified Weighted Clustering Algorithm for Stable Clustering using Mobility Prediction Scheme, by S. Muthuramalingam, R. Viveka, B. Steffi Diana & R. Rajaram (PDF)
  • Mengamankan Single Identity Number (SIN) Menggunakan QR Code dan Sidik Jari, by Fridh Zurriyadi Ridwan, Hariyo Santoso & Wiseto Agung (PDF)
  • EnsoTracker: Mouse Controller Device using Head Movement, by Gunawan, Tri Kurniawan Wijaya, Indra Maryati & Edwin Seno Dwihapsoro (PDF)
  • UTAUT Model for Understanding Learning Management System, by I Gusti Nyoman Sedana & St. Wisnu Wijaya (PDF)
  • Star Schema Design for Concept Hierarchy in Attribute Oriented Induction, by Spits Warnars (PDF)

Edisi lengkap dapat diperoleh pada link berikut: Download Edisi Lengkap IIJ Vol 2 No 2

Terima kasih kepada para peneliti dan akademisi yang telah meluangkan berbagai sumberdaya untuk dapat menyumbangkan paper-paper di atas, juga kepada para reviewer yang menyumbangkan keahlian mereka untuk melakukan revisi dan editing pada paper.

Edisi IIJ berikutnya akan terbit pada tahun 2011, dengan fokus pada aspek sosial pada Internet di Indonesia. Mereka yang menjadi peneliti, pelaku, aktivis, pengamat, pada dinamika media dan jejaring sosial digital di Indonesia mungkin akan tertarik untuk menyumbangkan paper. CFP akan segera disampaikan oleh Guest Editor edisi berikutnya: Prof Merlyna Lim dan Dr Yanuar Nugroho.

Indigo Fellows

Tak seperti tahun lalu, sebenarnya tahun ini aku tak terlalu terlibat dalam deretan kegiatan Indigo Awards: Indigo Fellows, Indigo Fellowship, Tesca, Indigo Music Awards, dll. Tapi seorang rekan mengambil cuti untuk ibadah haji, dan aku diminta menggantikan dalam tim pengelolaan Indigo Fellows.

Indigo Fellows adalah program untuk mengangkat para teladan (inspiring person) dalam bidang pengembangan industri kreatif digital nasional. Tujuannya adalah untuk lebih menginspirasi dan memotivasi perkembangan kreativitas digital. Program ini dikerjakan bersama oleh Telkom Group dan berkala Warta Ekonomi. Waktu aku bergabung dengan tim, pekerjaan2 besar telah diselesaikan. Tim juri telah terbentuk (mula-mula diketuai Bp Mario Alisjahbana, tetapi beliau mengundurkan diri dan digantikan Bp Richard Mengko). Para peserta juga telah memasukkan proposal-proposal.

Di dalam tim, aku bertugas memeriksai proposal para kandidat Indigo Fellows. Ini tugas menarik. Klaim-klaim yang dituliskan di dalam proposal2 harus diperiksai: benarkah sang tokoh memiliki peran dalam proyek yang disebutkan, benarkah produk yang pernah dikembangkannya seberhasil yang dituliskannya, seberapa jauh keterlibatannya dalam komunitas mampu menginspirasi komunitas di sekelilingnya untuk lebih luas menciptakan dan mengembankan karya kreatif yang inovatif. Memang kata kuncinya adalah inspirasi :), karena tujuannya adalah mempercepat pengembangan industry kreatif melampaui bisnis atu bidang tugas yang digeluti saat ini. Proposal-proposal ditandai, lalu kami menemani Dewan Juri yang bertugas menilai setiap individu.

Sebagai panitia, kami tentu tidak ikut memberikan nilai, apalagi memutuskan ranking peserta :). Kami hanya memberikan saran atau masukan, jika dibutuhkan. Dewan Juri sudah amat memahami peta industri kreatif dan komunitas digital di Indonesia. Justru dari mereka, kami banyak belajar mengenai strategi penumbuhan komunitas2 kreatif.

Sidang untuk memilih finalis dilakukan di Purwakarta. Setelah itu, para finalis (yang jumlahnya hanya sekitar 3 orang per kategori) diundang ke Hotel Sahid di Jakarta untuk melakukan presentasi dan wawancara di depan Dewan Juri. Dan sekali lagi aku banyak belajar hal menarik dari interaksi antara para kandidat (i.e. para tokoh yang inspirational) dengan dewan juri. Plus perbincangan di kala rehat. Aku bayangkan, di tahap ini tugas Dewan Juri akan sangat berat. Yang dinilai benar2 tokoh berkaliber internasional :). Sidang internal Dewan Juri di tahap ini jadi cukup seru. Tak ada tokoh yang terangkat atau terturunkan dengan mudah.

Setelah sidang marathon 2 hari penuh, Dewan Juri memutuskan nama-nama Indigo Fellows 2010 sbb:

  • Tokoh Digital Creator: Oskar Riandi
  • Tokoh Digitalpreneur: Adi Sasongko
  • Tokoh Digital Academic: Dimitri Mahayana
  • Tokoh Digital Creative Promoter: Itoc Tochija
  • Tokoh Digital Community Fellow: Hari Sungkari
  • Special mention for Young Inspiring Creator: Adi Panuntun

Penganugerahan gelar Indigo Fellows dilakukan bersamaan dengan maklumat pemenang Indigo Fellowship dan Indigo Music Awards di Jakarta Convention Centre tanggal 8 Desember 2010.

Tugas menarik berikutnya barangkali justru di Indigo Fellowship. Berbeda dengan Indigo Fellows, Indigo Fellowship justru mengangkat insan kreatif Indonesia yang masih dalam tahap pengembangan kreasi maupun bisnis digital mereka. Para pemenang akan memperoleh pembinaan dan dukungan untuk mengembangkan kreasi mereka, agar dapat menjadi entrepreneur yang dapat lebih meningkatkan skala bisnis kreatif digital di Indonesia.

Carrier Ethernet World di Hongkong

“Siap-siap ke Hongkong ya!”
“Mendadak amat?”

Tapi mana ada sih akhir2 ini tugas yang nggak mendadak? Maka, di tengah kesibukan urusan akhir tahun (IPTV content, SDP service prototype, Indigo Fellows & Indigo Awards, main web reconfiguration, etc), aku menyempatkan mengumpulkan bahan, arrange tiket dan akomodasi. Sayangnya, karena waktu yang sempit (<72 jam), Garuda Indonesia menolak menjual tiket online. Akhirnya cari alternatif: Cathay Pacific. Tak seperti traveling lainnya, aku tak menyempatkan diri baca Google atau Wikitravel. Sempat sih, dikonversi Wikitravel itu ke PDF, disimpan di PDF, dibaca di Kindle di pesawat di antara awan di atas sana (biar di-nya banyak, dan tampak beda antara di sebagai pembentuk kata kerja dengan di sebagai kata sambung).  Mungkin detailnya aku ceritakan di TRAVGEEK.NET saja, biar blog yang itu punya content juga.

Acara di Hongkong ini berjudul Carrier Ethernet World 2010. Secara ringkas, carrier ethernet adalah jaringan core dan akses berkecepatan tinggi, digunakan umumnya oleh provider besar dan operator telekomunikasi untuk menghantar data, dan menggunakan standar-standar penghantaran paket data. Secara fisik, jaringan yang digunakan tetap berupa kabel optik, tetapi bukan seperti transmisi masa lalu yang menggunakan frame berbasis waktu (seperti SDH dll). Banyak hal yang masih layak didiskusikan. Pertama, alasan memigrasikan transmisi TDM menjadi carrier ethernet, yang ujungnya akan ke optimasi jaringan yang mengarah ke arsitektur horisontal dari next-generation network. Dan tentu untuk mendukung alasannya, aspek-aspek lain akan masuk, terutama service, aplikasi, content, hingga objective bagi semua stakeholder, dan ujungnya ke regulasi. Kebetulan, sepulang kuliah dulu, aku justru tak banyak lagi bermain di layer infrastruktur network. Jadi aku ditugaskan mempresentasikan hal-hal yang ada di layer atas: service dan environment yang akan mendukung pada negosiasi regulasi.

Di sisi ini, banyak yang bisa diceritakan. Telkom Indonesia bisa jadi contoh menarik. Divisi Multimedia, tempat aku didamparkan saat ini, dulu memiliki lingkup tugas dari infrastruktur hingga layanan multimedia — hal-hal yang bersifat IP-based commercial services. Sejak Telkom berbisnis TIME (dengan harapan TIME is MONEY), infrastruktur dipusatkan di Divisi Infrastruktur; sementara Divisi Multimedia memperoleh tugas menciptakan dan mengelola rentetan service, aplikasi, dan content yang akan jadi enabler untuk memungkinkan bisnis-bisnis TIME tumbuh di masa depan. Tapi tentu aku tak mempresentasikan organisasi Telkom dan posisi divisi2 di dalamnya. Aku lebih suka bercerita tentang potensi aplikasi Internet yang bisa tumbuh di negara yang sedang panas-panasnya berkonversasi multimedia seperti Indonesia, lalu bagaimana ini harus dan bisa didukung dari sisi pengembangan dan bisnis (mis. Indigo) dan dari sisi teknis (mis SDP dan IMS). Aku menikmati bagian ini: menggambar kotak2 dan struktur. Kemudian presentasi dilarikan ke bagaimana ini akan disampaikan untuk menjadi bagian dari regulasi (dan keseimbangan di sisi deregulasi). Cukup lucu bahwa salah satu kesimpulannya adalah perlunya ko-opetisi (kerjasama tanpa melupakan kompetisi).

Sebagian bahan presentasi aku ambil dari Mas Arief Hamdani juga (no link — syukurin — suruh siapa nggak bikin2 blog?). Penataan narasi (urutan cerita), pengayaan, dan ilustrasi, aku buat di perjalanan dan di hotel. Aku juga baru sadar bahwa sebagian besar dari presenter, peserta, mengenakan suite resmi. Terpaksa jaket dilemarikan, dan aku belanja jas sebentar (sempat salah nomor pula, dan harus dibalikin besoknya dengan cara yang lucu).

Presentasiku mengambil waktu sore hari. Para peserta yang siang harinya sempat menghilang sudah kembali, sehingga forum cukup penuh, padat, dan antusias. Aku menyampaikan presentasi, dan aku pikir seharusnya dapat nilai 8. Tapi 8 dalam skala Richter, kalau dihitung getaran pada meja dan lantai akibat efek demam panggung temporer. Hanya ada 1 pertanyaan; karena peserta diinformasikan bahwa kemudian ada sesi panel. Setelah satu presenter lagi dari New Zealand (yang bercerita dengan asik tentang inovasi content untuk mendukung aplikasi multimedia di NZ), panel dimulai. Sesi ini lebih menarik daripada tanya jawab dengan 1 penjawab. Jadi setiap pertanyaan didiskusikan kembali oleh forum di atas panggung.

Selesai. Lega. Tapi belum berakhir. Di sesi networking sesudahnya, beberapa peserta masih mengejar, menyampaikan apresiasi, dan terutama memenuhi kepenasaranan yang ternyata belum habis. Di meja cuma ada Coca Cola dan minuman beralkohol. Jadi aku nggak sengaja terus menjawab pertanyaan dan obrolan (yang terlalu serius untuk level networking) itu sambil terus-terusan meng-Coca Cola. Satu peserta dari US iseng menyuruhku belanja ke tempat2 menarik di sekitar Victoria Harbour (tempat konferensi diselenggarakan).

Keluar. Terjadi efek tak menyenangkan, tapi standar sekali. Penyebab: overload pekerjaan (sisa urusan kantor), kurang tidur (persiapan presentasi), kurang makan (gara2 persiapan presentasi, serta belum tahu tempat makanan halal), dan post-demam panggung-syndrome (ada ya, yang namanya kayak gitu). Berkeliling sebentar,  aku kelelahan. Balik ke hotel, lewat pasar tradisional segala. Pesan dinner dari kamar. Dan — seperti yang terjadi di bulan puasa — langsung tidur setelah kopi dan beberapa sendok makanan bisa masuk. Uh, rugi, perjalanan perdana ke Hongkong, dan isinya cuman bikin presentasi serta tidur. Haha :).

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑