Author: Koen (Page 1 of 87)

Kelemahan Strategi Global

Abad lalu, AS adalah puncak kekuatan industri. Dengan kapasitas industri dan inovasi terdepan, AS berproduksi dalam skala besar sambil menciptakan kelas menengah yang luas. Namun, sejak akhir abad ke-20, dominasi ini terkikis. Perusahaan Amerika seperti Apple dan Microsoft sukses secara global, tapi industri AS mulai melamah. Ini sebuah paradoks menarik: strateginya menang, tetapi negara kalah.

AS memimpin liberalisasi dan globalisasi, dengan memaksakan perdagangan bebas, deregulasi, dan offshoring sebagai strategi pertumbuhan ekonomi dan keunggulan kompetitif. Hal ini diperkuat masa Reagan-Thatcher dan dilembagakan dalam bentuk NAFTA dan dukungan atas keanggotaan RRC di WTO. Manufaktur padat karya dialihkan ke negara berbiaya rendah, sementara AS berfokus ke layanan bernilai tinggi dan inovatif, sambil menikmati manfaat efisiensi global.

Di level perusahaan, cara kerja ini efektif. Apple membangun salah satu ekosistem paling bernilai di dunia, dengan integrasi erat antara desain, software, layanan, dan hardware. Hampir semua hardware diproduksi dan dirakit di luar negeri, terutama RRC. Microsoft mendominasi perangkat lunak dan layanan enterprise, tetapi ekosistem globalnya—cloud, pengembangan sistem, dan rantai pasok—makin bergantung pada infrastruktur dan stabilitas politik internasional.

Makin jelas bahwa strategi berbasis ekosistem ini—meskipun brilian dalam skalabilitas, penguasaan pasar, dan profitabilitas—pada dasarnya rapuh. Strategi ini dibangun atas asumsi lingkungan global yang stabil, arus tenaga kerja lintas batas, modal, dan data yang tak terganggu, serta konsensus geopolitik yang kini mulai runtuh. Pandemi COVID-19, perang teknologi AS–China, dan meningkatnya kebijakan proteksionis di seluruh dunia menunjukkan rapuhnya mata rantai pasok dan ketergantungan atas platform tersebut.

Model kapitalisme AS juga dangkal dan berorientasi jangka pendek. Perusahaan didorong memaksimalkan laba triwulanan dan nilai return, dan jarang berfokus pada berinvestasi pengembangan kapabilitas secara domestik. Serikat pekerja melemah, dan infrastruktur politik dan sosial yang didukung kelas pekerja ikut runtuh. Pergeseran budaya menuju “knowledge economy” diikuti gagasan bahwa produksi fisik kurang berharga daripada platform digital, kekayaan intelektual, dan rekayasa keuangan.

Inti kelemahan terletak pada optimisasi efisiensi secara berlebihan dengan mengorbankan resiliansi. Dengan mengalihkan manufaktur penting ke luar negeri, AS kehilangan pekerjaan, juga pengetahuan industri, infrastruktur logistik, dan kemampuan merekonfigurasi produksi domestik secara cepat saat krisis melanda. Hal ini tampak pada krisis semikonduktor, APD, dan kebutuhan pokok lainnya selama pandemi awal dekade ini.

Ideologi dangkal ini juga diperluas ke Inggris, yang setia mengikuti strategi liberalisasi ekonomi AS. Di bawah kepemimpinan buruk Thatcher tahun 1980-an, Inggris melakukan swastanisasi industri besar, deregulasi sektor keuangan, pelemahan serikat buruh, dan self-positioning sebagai pusat global untuk layanan—terutama layanan keuangan. Seperti AS, Inggris membiarkan basis manufakturnya menyusut demi layanan bernilai tinggi yang terkonsentrasi di Tenggara, terutama London.

Tidak seperti AS, Inggris masih kurang di sisi skalabilitas, keragaman sumber daya, dan dominasi teknologi global. Inggris jadi mudah runtuh akibat ketimpangan regional yang mencolok, produktivitas yang menurun, dan kekurangan investasi kronis dalam infrastruktur dan pendidikan. Brexit, dalam banyak hal, merupakan ekspresi politik dari keterasingan ekonomi ini—pemberontakan terhadap globalisasi, sentralisasi, dan persepsi bahwa rakyat telah ditinggalkan oleh pengambil keputusan.

Di kedua negara, kita melihat kontradiksi inti: perusahaan menang secara global, namun ekonomi nasional menderita karena kerapuhan, ketimpangan, dan hilangnya kedaulatan di sektor-sektor strategis utama. Strategi berbasis ekosistem dari perusahaan seperti Apple dan Microsoft terus menghasilkan nilai yang besar, tetapi dikembangkan di atas geopolitik yang rapuh, tenaga kerja berbiaya rendah di luar negeri, dan jaringan logistik kompleks yang semakin rentan terhadap gangguan.

Ekosistem bisnis konon merupakan metafora dari ekosistem alam, yang berkembang melalui keragaman, redundansi, dan dukungan timbal balik. Tapi ekosistem bisnis yang dibangun oleh raksasa teknologi kadang justru kehilangan aspek semacam ini. Mereka cenderung bergerak ke sentralisasi, dominasi, dan efisiensi, membuatnya lebih menyerupai monokultur industri daripada ekosistem sejati. Ketika tekanan datang—dalam bentuk sanksi, pandemi, atau perang dagang—sistem-sistem ini tidak bergerak adaptif dan elastis, tapi justru patah.

Bukan berarti model ekosistem ini cacat secara mendasar. Model ini tetap menjadi salah satu kerangka kerja paling kuat untuk penciptaan nilai dalam ekonomi jaringan. Namun perlu ada (r)evolusi. Perusahaan harus membangun ekosistem yang efisien, namun sekaligus tetapi juga tangguh dan adaptif di level ekosistem (bukan di level perusahaan). Perlu dilakukan diversifikasi rantai pasok, investasi dalam kapabilitas lokal, dukungan atas kesehatan ekosistem, serta mitigasi atas risiko politik dan lingkungan.

Negara juga harus meninjau ulang cara kerjanya. Kembali ke proteksionisme bukanlah jawabannya, tetapi kembali ke liberalisme pasar juga salah. Sektor-sektor strategis harus dibangun kembali atau didukung secara domestik tidak hanya demi daya saing ekonomi, tetapi juga untuk ketahanan nasional. Kebijakan harus mendorong investasi jangka panjang, regenerasi regional, dan kebijakan industri yang selaras dengan inovasi.

Penerapan strategi berbasis ekosistem tidak boleh terlalu sempit dan dangkal. Perlu pandangan jauh ke depan, dan perlu perhatian besar terhadap kesehatan ekosistem ini sendiri. AS dan Inggris memberikan pelajaran bagi negara mana pun, bahwa ketahanan, kedaulatan ekonomi, dan kemakmuran inklusif akan sama pentingnya dengan efisiensi dan inovasi.

Jevon dan Konsumerisme Digital

Tahun 1865, ekonom Inggris William Stanley Jevons mengamati sebuah ironi dalam revolusi industri: semakin efisien mesin-mesin uap dalam menggunakan batu bara, semakin banyak batu bara yang dikonsumsi. Efisiensi, yang semula dipandang sebagai jalan menuju penghematan, justru meningkatkan peran (dan dengan demikian: volume) batu bara dalam aktivitas ekonomi. Paradoks ini kemudian dikenal sebagai Jevons’ Paradox, yaitu bahwa peningkatan efisiensi dalam penggunaan suatu sumber daya justru cenderung memicu lonjakan konsumsi terhadap sumber daya tersebut.

Jevons, observing the coal-based industry proliferation

Hampir dua abad kemudian, kita hidup dalam lanskap teknologi yang jauh lebih kompleks, dengan kehidupan digital yang diperkuat mikroprosesor dengan kemampuan proses miliaran butir data per detik, menghasilkan informasi dan pengetahuan yang luar biasa luas dan cepat. Menarik bahwa dengan dukungan kuat pada rasionalitas semacam ini, paradoks Jevons tidak menguap bersama asap batu bara. Ia bertahan dalam bentuk yang lebih subtil dan mungkin lebih dalam. Ketika perangkat digital menjadi lebih hemat daya, aplikasi menjadi lebih ringan, dan AI menjadi lebih efisien dalam inferensi, yang terjadi bukanlah penghematan kolektif, melainkan pelebaran permukaan konsumsi: lebih banyak data, lebih banyak sensor, lebih banyak pengolahan informasi, lebih banyak aplikasi, lebih banyak layar, lebih banyak keputusan yang diserahkan ke mesin. lebih banyak algoritma yang mengatur pilihan hidup, dan lebih banyak komputasi awan yang lebih mirip mendung asap tanpa berbatas.

Mobil listrik adalah studi kasus yang sempurna. Dipuja sebagai penyelamat lingkungan, teknologi ini diusung oleh pemerintah berbagai negara dan disambut kalangan industri sebagai simbol kemajuan hijau. Namun di balik citra bersih itu, muncul pola lama: teknologi digunakan untuk mendorong pembelian, meningkatkan produksi baterai yang boros sumber daya, dan membentuk kelas baru konsumen yang merasa berhak mengonsumsi lebih karena telah berbuat baik kepada lingkungan, plus pemerintahan yang mendorong konsumsi ini agar tampak memiliki kebijakan ramah lingkungan. Contoh lain adalah cloud computing yang dirancang untuk efisiensi infrastruktur digital, namun justru mendorong arsitektur digital yang masif, haus energi, dan bergantung pada pusat data yang semakin besar dan kompleks. AI, sedang kita kembangkan bersama, dalam bentuk model-model yang akan menghemat sumberdaya manusia dan mesin komputasi, namun dengan penggunaan yang meluas menjadi kebutuhan primer, dan akan memerlukan sumberdaya yang besar di semua titik.

The slaves of capitalism

Paradoks Jevon berusia nyaris dua abad, dan tentunya dilakukan koreksi, baik pada paradoks ini, maupun pada fenomena yang seharusnya dapat dikendalikan dengan memahami paradoks ini. Misalnya, regulasi dan kebijakan publik dirumuskan untuk menyeimbangkan pola konsumsi, dan membuat masyarakat dan teknologi lebih memihak lingkungan. Namun iklim politik ekonomi kontemporer yang ekstra-kapitalistik justru menjadikan kebijakan politik sebagai instrumen peningkatan konsumsi, bukan pembatasnya. Dorongan etis seperti budaya hidup secukupnya, kesadaran digital, keseimbangan hidup, dll juga tidak lebih baik. Politik dilemahkan para pebisnis; namun etika dilemahkan seluruh masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk mencari value yang absurd dengan konsumerisme yang makin berlebihan — plus diperkuat dengan algoritma yang lebih memudahkan konsumsi daripada mengangkat kemandirian rasionalitas pikiran manusia, wkwk.

Jika rasionalitas tidak mungkin dibangkitkan melalui kebijakan dan etika, mungkinkan dibangkitkan oleh rasionalitas lain? Misalnya melalui daya inovasi yang memberi nilai pada efisiensi dan sustainabilitas? Seharusnya, tapi saat ini belum cukup kuat. Kebutuhan yang dapat dibatasi saja, akan menemukan peluang kebutuhan baru. LED lebih hemat dari lampu, dan kebutuhan manusia akan lampu tentunya terbatas. Tapi LED kemudian dimanfaatkan untuk menyulap kota menjadi panggung iklan raksasa di semua titiknya. Efisiensi bekerja dalam sistem yang tidak bertanya “untuk apa?” tetapi “seberapa banyak lagi yang bisa dijual?”

Paradoks Jevons bukan sebuah hukum seperti hukum fisika yang tak bisa dilawan (**syarat dan ketentuan berlaku). Namun paradoks ini adalah cermin ideologis dari sistem ekonomi yang menjadikan efisiensi sebagai efisiensi peningkatan konsumsi. Kita tidak sedang melawan paradoks itu dengan inovasi, kebijakan, atau etika, melainkan memastikannya terus terjadi. Paradoks ini tetap hidup bukan karena ia benar secara mutlak, tetapi karena secara rasional, ia menjadi selalu teramati pada masyarakat yang serakah dan tidak mengenal kata cukup.

Market-Creating Innovation

Ternyata aku pernah mèjèng di Instagram @TelkomIndonesia yang terkenal itu. Bagian kecil dari banyak kisah keberhasilan Padi UMKM di diprakarsai Telkom Indonesia dan ditumbuhkan para BUMN di bawah kepemimpinan Kementerian BUMN.

Cuplikan pada gambar di IG itu diambil dari sambutanku pada Padi Business Matching beberapa waktu lalu, yang juga sekaligus melaporkan interim report dari pencapaian total peran Padi UMKM memberikan transaksi sebesar 6 triliun rupiah selama 2024. Kutipan lengkapnya lebih jail dari yang tertulis: “Inovasi penciptaan platform itu soal kecil. Serahkan saja pada Telkom, pasti beres. Inovasi yang betul-betul hebat adalah inovasi penciptaan market, yang sudah dilaksanakan para BUMN dengan mengubah operasi procurement jadi kapabilitas penciptaan market, dan diakui sebagai inovasi yang berhasil.”

Fotonya sendiri diculik team Corcom (tanpa pemberitahuan sebelumnya, wkwk) dari foto bersama the Coventry Gang di TEMSCON ASPAC 2024 di Sanur.

Sambutan dalam kegiatan itu agak impromptu, disiapkan hanya beberapa menit sebelum naik, karena ternyata opening speech kegiatan ini dilakukan Telkom, bukan dari Kementerian BUMN. Jadi di dalamnya malah masuk teori kompleksitas, teori ekosistem, dan tentu inspirasi Clayton Christensen tentang inovasi.

Dalam bukunya yang terakhir sebelum beliau wafat, yaitu The Prosperity Paradox, Clayton Christensen menjelaskan bahwa inovasi penciptaan pasar (market-creating innovation) adalah jenis inovasi yang tidak hanya meningkatkan efisiensi atau mengoptimalkan pasar yang sudah ada, tetapi menciptakan pasar baru yang sebelumnya tidak ada. Inovasi ini berfokus pada penciptaan bisnis yang mengubah non-konsumen menjadi konsumen dengan membuka akses baru dan memberikan nilai bagi masyarakat. Konsep ini berbeda dengan inovasi efisiensi atau inovasi yang berorientasi pada pertumbuhan jangka pendek. Dalam konteks BUMN seperti di atas, mengubah operasi procurement menjadi kapabilitas penciptaan market sejalan dengan bagaimana perusahaan dapat menyusun inovasi lebih dari strategi pertumbuhan yang dangkal seperti follow the money dan low hanging fruit, atau hanya pada efisiensi biaya; tetapi justru dengan menggiring atau bahkan menciptakan pasar baru yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan inklusi.

Padi UMKM diluncurkan sebagai bagian dari Gernas BBI di tahun 2020, pada saat negara sedang mendorong berbagai pihak menciptakan program untuk menghidupkan kembali ekonomi rakyat yang tenggelam akibat krisis Covid. Tahun itu, kami sempat dipanggil KSP. Di sana, disampaikan bahwa dari sekian proposal program pengembangan ekonomi berbagai K/L pada tahun krisis 2020 itu, hanya Padi UMKM (Telkom / Kementerian BUMN) yang betul-betul jalan dan memberikan nilai yang cukup besar. Banyak yang lain masih terhambat berbagai faktor. Program Bela Pengadaan di jalan, tapi valuenya kecil. Sepanjang 2021, kami kampanyekan Padi UMKM dalam arus utama program pemulihan ekonomi nasional melalui Gernas BBI. Dan pada tahun 2022, sebagai ekspansi program ini, negara memberikan kepercayaan kepada Telkom untuk menyiapkan platform pengadaan publik baru yang dikelola LKPP.

Signals & Boundaries

Buku unik dari John Holland, Signals & Boundaries, memberikan perspektif yang lebih intuitif pada CAS (sistem adaptif kompleks), yaitu dengan menunjukkan bagaimana emergence justru dihasilkan dari interaksi yang bersifat lokal. Menurut Holland, sinyal (yang membawa informasi) dan batas (yang mendefinisikan dan melindungi elemen di dalam sistem) memiliki peran utama dalam pembentukan dan perubahan complex sistem (sistem kompleks). Perspektif ini dapat memudahkan kita memahami bagaimana interaksi lokal yang sederhana dapat menghasilkan pola global yang kompleks.

Pengaruh pandangan ini cukup luas pada komunitas complexity theory, termasuk para akademisi di SFI. Mereka memadukan gagasan Holland ke dalam kerangka yang lebih luas tentang teori jaringan dan modularitas, serta menjembatani model adaptasi yang ada sebelumnya dengan pendekatan komputasional yang lebih modern. Dengan menekankan peran komunikasi melalui sinyal dan pembentukan struktur melalui batas, Holland memberikan konsep praktis untuk analisis dinamika ekosistem, platform teknologi, dan jaringan sosial.

Kekuatan Holland terletak pada ketegasannya menggambarkan bagaimana interaksi lokal dapat menghasilkan emergence pada complex system. Elemen dalam sistem yang berinteraksi akan saling bertukar sinyal, yang berfungsi sebagai feedback loop, yang kemudian akan mendorong adaptasi perilaku serta mempengaruhi elemen di sekitarnya. Batas (boundary) memastikan struktur tetap terjaga dengan isolasi interaksi tertentu dari derau eksternal, sehingga memungkinkan subsistem berkembang secara independen namun tetap terhubung. Keseimbangan antara isolasi dan keterhubungan inilah yang mendorong munculnya pola-pola baru dan adaptasi dalam sistem kompleks, yang mewujud dalam emergence.

Tentunya terdapat kritik juga atas gagasan bahwa kompleksitas secara umum dihasilkan dari interaksi lokal. Fokus eksklusif pada proses bottom-up semacam ini dikhawatirkan dapat mengabaikan peran pengaruh global dan kausalitas top-down. Dalam banyak sistem, batasan yang bersifat menyeluruh, faktor lingkungan, dan dinamika kolektif dapat membentuk pola dan perilaku yang tidak bisa dijelaskan hanya melalui interaksi lokal. Fenomena emergence dinilai dapat juga dipengaruhi kekuatan global.

Lebih ekstrim dari ini, terdapat sudut pandang “strong emergence” yang berpendapat bahwa ada sifat-sifat sistem yang muncul di tingkat makro yang secara mendasar tidak dapat direduksi atau diprediksi dari interaksi komponen dasarnya. Dalam perspektif ini, interaksi lokal belum dianggap dapat menjelaskan fenomena kompleks yang muncul, sehingga ada karakteristik menyeluruh yang memerlukan pendekatan konseptual tersendiri.

Menarik andai dapat dikembangkan model yang menggabungkan interaksi tingkat mikro dengan struktur tingkat makro. Terdapat konsensus di antara peneliti bahwa pendekatan ganda — integrasi perspektif lokal dan global — dapat menjadi kunci memahami kompleksitas secara menyeluruh. Teori network dan dinamika sistem misalnya, menyoroti pentingnya korelasi jarak jauh dan global feedback loop yang melengkapi interaksi lokal. Pendekatan terpadu ini mengakui bahwa meskipun sinyal dan batas sangat penting, interaksi sistemik yang lebih luas juga berperan penting dalam memicu adaptasi dan self-organisation.

Perspektif atas sinyal dan batas dari Holland tentunya tetap merupakan kontribusi yang sangat berpengaruh dalam complexity science, termasuk peluangnya untuk mengenali dan mengembangkan penerapan CAS di berbagai bidang, melalui interaksi terdesentralisasi di tingkat lokal untuk menghasilkan emergence. Namun penting juga untuk menselaraskannya dengan perspektif yang berbeda, termasuk strong emergence dan pengaruh global, agar kita dapat memahami kompleksitas dari kompleksitas (hahaha) secara lebih utuh, termsauk dengan mendorong inovasi dalam cara memodelkan dan mengelola complex system di dunia nyata.

TEMSCON ASPAC 2024

IEEE TEMS (Technology and Engineering Management Society) adalah society dari IEEE yang berfokus pada bidang manajemen teknologi dan engineering. TEMS melayani para profesional yang lingkup kerjanya meliputi bidang teknologi dan menajemen, termasuk aspek inovasi, kepemimpinan, dan strategi dalam bisnis berbasis teknologi.

Pertama kali dalam sejarah, IEEE TEMS mengadakan flagship conference di Indonesia. IEEE TEMS Conference Asia-Pacific (TEMSCON ASPAC) diselenggarakan di Bali dari tanggal 25 hingga 26 September, bertempat di Prama Sanur Beach Hotel. Tema konferensi ini, “Achieving Competitiveness in the Age of AI,” mengupas peran transformasional AI dalam bisnis modern dan manajemen rekayasa. Para pemimpin IEEE TEMS, plus akademisi, pemimpin industri, dan peneliti dari seluruh dunia (bukan hanya kawasan Asia-Pasifik saja), berhimpun mengkaji inovasi terbaru terkait daya saing, manajemen rantai pasok yang berkelanjutan, kebijakan keamanan siber, inovasi kesehatan digital, dan kewirausahaan dalam ekosistem digital.

Pembukaan IEEE TEMSCON ASPAC 2024

Konferensi dibuka dengan sambutan dari Conference Chair, Prof. Andy Chen (Former Presiden IEEE TEMS dan President-Elect IEEE Systems Council). Sesi pembukaan ini juga diisi dengan kata pengantar dari Prof. Andrea Balz (Presiden IEEE TEMS saat ini) dan Prof. Imam Baihaqi (Wakil Rektor ITS Surabaya).

Bersama Prof Benny Tjahjono dan Tim dari Coventry University di Upacara Pembukaan TEMSCON

Keynote speech dibawakan oleh para akademisi: Prof. Richard Dashwood (Vice-Provost for Research and Enterprise dan Deputy Vice-Chancellor for Research di Coventry University), Prof. Alexander Brem (Professor dan Vice Rector di University of Stuttgart), serta Prof. Anna Tyshetskaya (Vice Rector di Sankt Petersburg University, Rusia). Setelah pembukaan, konferensi dilanjutkan dengan sesi pemaparan paper-paper hasil riset.

Hari kedua konferensi diadakan berupa Industry Forum, yang menghadirkan para ahli untuk membahas tantangan dan peluang AI bagi daya saing global. Keynote speakers dalam forum ini, selain Dr. Ravikiran Annaswamy (Past President of IEEE TEMS) dan Dr. Sudeendra Koushik (President-Elect of IEEE TEMS), juga aku sendiri. Kehormatan tersendiri. Judul presentasiku adalah “Towards Complexity-Based Strategic Management.”

My Keynote Speech

Setelah jeda siang, forum dilanjutkan dengan sesi panel bertajuk “Accelerating Innovation for a Sustainable Future.” Prof. Marc Schlichtner (Principal Key Expert of Siemens) menjadi pembicara utama, dengan Prof. Robert Bierwolf (anggota TEMS Board of Governors) sebagai moderator. Panel ini juga dihadiri para pemimpin ternama di bidang manajemen teknologi dan rekayasa: Prof. Alexander Brem (Professor dan Vice Rector di University of Stuttgart), Prof. Anna Tyshetskaya (Vice Rector di Sankt Petersburg University, Rusia), serta aku sendiri. Keren bisa satu panggung dengan tokoh-tokoh terkemuka ini.

Panel Diskusi

Konferensi ini ditutup dengan gala dinner yang diisi dengan sesi networking yang hangat dan penuh keakraban bagi seluruh peserta, termasuk anggota TEMS Executive Committee, Board of Governors, dan para pemimpin universitas. Acara ini memperkuat koneksi dan kebersamaan di antara komunitas akademik dan profesional yang hadir.

Diskusi IEEE — Wanita dan Teknologi

Peran utama IEEE dalam memajukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi global tidak dapat disangkal. Namun, di luar kalangan ilmuwan dan insinyur, peran IEEE ini belum banyak dipahami masyarakat. Asyiknya, sejak kepemimpinan Prof. Gamantyo Hendrantoro dan Dr. Agnes Irwanti di IEEE Indonesia Section, publikasi atas diskursus IEEE telah lebih banyak disebarluaskan ke masyarakat umum. Selama dua tahun berturut-turut, IEEE Indonesia telah menghadirkan Presiden IEEE ke Indonesia, menampilkan diskusi yang disiarkan di televisi untuk meningkatkan minat masyarakat Indonesia.

IEEE President 2024, Dr. Tom Coughlin, mengunjungi Jakarta minggu ini, didampingi oleh IEEE R10 Director Prof. Lance Fung, IEEE R10 Director-Elect Prof. Takako Hashimoto, IEEE R10 Women-in-Engineering Committee Chair Dr. Agnes Irwanti, IEEE Malaysia Section Chair Dr. Bernard Lim, dan IEEE Indonesia Section Chair Prof. Gamantyo Hendrantoro. Sebagai bagian dari kegiatan ini, pada tanggal 14 Mei diselenggarakan IEEE briefing, diikuti dengan talkshow yang disiarkan oleh TVRI.

Tema talkshow adalah “Membentuk Masa Depan: Peran Wanita dalam Industri” — menampilkan para pemimpin terkemuka dari industri, universitas, pemerintah, dan organisasi IEEE di kawasan ini. Salah satunya sohib lamaku, Elysabeth Damayanti, OVP Cybersecurity Telkom Indonesia. Talkshow dimulai dengan pembukaan oleh Dr. Agnes, dan beberapa key speeches dari Bu Mira Tayyiba sebagai Sekjen Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Dr. Laksana Tri Handoko sebagai Kepala BRIN.

Sebagai salah satu pembicara, aku mulai dengan menyebutkan implikasi Complexity Science: bahwa kita selalu mengakui keragaman pada sistem yang kita rancang, dengan bidang ilmu, agen, pemeran, dll yang sangat berbeda namun saling terhubung, dan menghasilkan emergence: hal baru, nilai baru, keunggulan baru, serta hal-hal yang tak teramalkan. Inilah cara Internet dan dunia digital kita berkembang, dan inilah cara ekosistem alam dan ekosistem bisnis bekerja. Perspektif ini mendorong inklusivitas, karena peran yang berbeda dari berbagai kelompok demografis dianggap penting untuk kelangsungan hidup dan inovasi semua sistem yang kita jalani, termasuk peran wanita. Ini adalah alasan utama untuk menurunkan kesenjangan gender.

WEF menebitkan Laporan Kesenjangan Gender Global 2023, yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-87 dari 146 negara dalam hal kesenjangan gender. Cukup rendah, tetapi masih di depan beberapa negara maju di Asia, termasuk Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Skor Indonesia sekitar 68% dalam hal pengurangan kesenjangan gender — termasuk kesenjangan yang cukup rendah dalam kualitas kesehatan, kesenjangan sedang dalam partisipasi ekonomi, dan kesenjangan tinggi dalam pemberdayaan politik.

Kita yakin bahwa transformasi digital — yang sedang kita kembangkan bersama — dapat digunakan menurunkan kesenjangan tersebut. Saat ini kita mengembangkan transformasi digital di tingkat strategis & bisnis untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dari bagian timur hingga barat Indonesia; dengan mengembangkan platform, mengimplementasikan percontohan dengan pemerintah, industri nasional, dan kemudian mengembangkannya. Kita bekerja untuk meningkatkan bisnis UMKM, pertanian, industri, pendidikan, dll, bahkan ke pulau-pulau terpencil di Indonesia. Terbukti, bahwa platform digital telah memberikan akses yang lebih luas kepada semua jenis kelamin secara cukup setara terhadap informasi dan pengetahuan, layanan, peluang pasar & bisnis. Namun, transformasi harus direncanakan dan dilaksanakan dengan hati-hati, disertai upaya pendidikan yang memadai.

Digitalisasi dalam proses kerja memungkinkan kita memberikan pemberdayaan yang lebih baik bagi perempuan. Ini dapat melewati banyak tantangan sosial, mendorong perempuan untuk mengurangi dampak penilaian negatif yang masih ada dari norma-norma tradisional. Transformasi bisnis memungkinkan inklusi yang lebih baik di tempat kerja dan bisnis pada umumnya. Ini juga merupakan peluang bagi perempuan untuk menggabungkan komitmen, kemampuan, dan peluang mereka. Gunakan layanan digital untuk memaksimalkan kolaborasi, bekerja dalam kemitraan, berani memimpin komunitas, memimpin perubahan, dan saling mendukung baik pada tingkat pribadi, tingkat organisasi, maupun ekosistem lintas industri.

Itulah salah satu kuncinya. Kunci lainnya adalah keragaman & keunikan. Perempuan harus menjaga identitas, kepribadian, dan pola pikir mereka sendiri, untuk mempertahankan perspektif & nilai yang berbeda; sambil membuka pikiran mereka terhadap budaya baru, cara berpikir yang berbeda.

Masih banyak waktu kemudian untuk mendengarkan para pembicara super-keren dalam acara ini. Ini salah satu hari paling berhargaku tahun ini: belajar banyak kebijaksanaan. Mudah-mudahan IEEE Indonesia Section terus melanjutkan kegiatan berharga ini lebih banyak lagi di masa depan.

Diskusi IEEE — Perubahan Iklim

Hingga kini, masih sangat jarang ada kunjungan dari Presiden IEEE yang tengah menjabat ke Indonesia. Dalam catatan, Presiden IEEE pertama yang mengunjungi Indonesia adalah Prof Peter Staecker pada tahun 2013, waktu aku baru beberapa hari menjabat Ketua Umum (Chairman) IEEE Indonesia Section. Tahun ini, Presiden IEEE Prof Saiful Rahman mengunjungi Indonesia beberapa hari; sekaligus dalam bagian dari kampanye IEEE atas perubahan iklim. Beliau didampingi Ketua IEEE Indonesia Section saat ini, Prof Gamantyo, dan Ketua Terpilih IEEE Malaysia, Bernard Lim.

Sebagai bagian dari program ini, IEEE berkolaborasi dengan TVRI mengadakan diskusi on-air yang bertajuk “IEEE ASEAN Roundtable Discussion on Climate Change.” Acara diselenggarakan 27 Oktober 2023 di TVRI, dengan Prof Saifur Rahman sebagai pembicara utama, didampingi pembicara lain dari industri, universitas, lembaga riset, dan pemerintah sebagai peserta; dalam bentuk diskusi meja bundar. Penyelenggara kegiatan adalah TVRI, dipimpin Dr. Agnes Irwanti, salah satu anggota Dewan Pengawas, dan Iman Brotoseno, Dirut TVRI. Aku jadi salah satu pembicara, mewakili IEEE Advisory Board.

Aku memaparkan peluang pemanfaatan teknologi yang tersedia atau tengah dikembangkan, untuk mengurangi dan mengatasi dampak perubahan iklim. Perubahan iklim selalu menjadi salah satu motivasi di balik banyak inovasi kolaboratif dalam pengembangan teknologi dan bisnis berbasis teknologi.

Karena pekerjaanku di industri telekomunikasi, aku mengawali dengan memberikan contoh dalam industri mobile. Penggunaan radio kognitif (CR) dan akses spektrum dinamis (DSA) dapat mengoptimalkan teknologi hijau dengan meningkatkan efisiensi dan penghematan spektrum melalui adaptasi dinamis terhadap perubahan kondisi jaringan dan faktor lingkungan. Di daerah perkotaan dengan beban jaringan tinggi, CR dapat beralih ke pita frekuensi yang kurang padat, mengurangi konsumsi daya dan meningkatkan kinerja jaringan; dan juga dapat dioptimalkan untuk memilih infrastruktur jaringan yang paling ramah lingkungan. Perangkat CR dapat mengurangi daya saat berkomunikasi dalam jarak pendek, sehingga dapat menghemat energi. CR juga memungkinkan berbagi spektrum dinamis antara berbagai teknologi. Hal ini mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan mengurangi konsumsi energi dalam berbagai jenis jaringan yang dipadukan ini. Dengan blockchain, spektrum dapat dibagikan antara operator dengan pencatatan dan penghitungan biaya yang lebih mudah.

Dalam pendekatan yang lebih aplikatif dalam industri, paradigma pertumbuhan bisnis berbasis ekosistem telah mendorong perusahaan untuk berbagi kapabilitas, sumber daya, dan peluang; sehingga biaya dan risiko dapat ditekan, sekaligus mengurangi beban pada lingkungan melalui berbagai metode berbagi yang dipermudah oleh digitalisasi yang memungkinkan proses dan kemampuan dapat dimodulkan, digunakan kembali, diintegrasikan, diperbaiki, dan dikendalikan bersama antara bisnis yang bersifat kolaboratif atau bahkan kompetitif.

Penggunaan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan robotika memainkan peran penting dalam mengatasi perubahan iklim dalam berbagai cara. Beberapa contoh:

  • Teknologi ini dapat digunakan dalam robotika yang meliputi sensor otonom, drone, dan satelit untuk memantau dan mengumpulkan data atas parameter terkait iklim, seperti suhu, kelembaban, emisi karbon, deforestasi, dan lainnya. Teknologi ini membantu dalam mendapatkan data yang akurat dan real-time untuk analisis iklim.
  • AI memudahkan analisis data iklim yang besar, membantu para peneliti membangun model iklim yang lebih akurat. Model-model ini sangat penting untuk memahami perubahan iklim, penyebabnya, dan memprediksi iklim di masa depan.
  • AI digunakan untuk optimisasi konsumsi energi di berbagai sektor, termasuk transportasi, manufaktur, dan konstruksi. Smart grid dan sistem manajemen energi menggunakan AI untuk mengimbangi pasokan dan permintaan energi, mengurangi pemborosan, dan mengintegrasikan sumber energi terbarukan dengan efektif.
  • Manajemen logistik terintegrasi berbasis AI (4PL / 5PL) dapat mengatur layanan logistik untuk berbagi layanan logistik, dengan model rantai pasok yang lebih baik, didukung oleh prediksi permintaan dan produksi yang lebih baik. Ini akan mengurangi juga penggunaan bahan bakar dan beban lingkungan untuk memperluas fasilitas transportasi.
  • AI memperbaiki praktik pertanian, mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan hasil panen. Selain itu, robotika dapat membantu dalam pertanian presisi, mengurangi penggunaan bahan kimia dan meningkatkan keberlanjutan.

Ada banyak aspek teknologi lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan kondisi lingkungan, termasuk manajemen energi, manajemen lalu lintas, pendidikan yang dipersonalisasi, dan lainnya. Pembicara lain juga menjelajahi apa yang dapat kita lakukan dalam bidang pendidikan, kebijakan pemerintah, dan bidang lainnya.

Perikemanusiaan dan Perikeadilan

Waktu aku masih jadi Chairman of the IEEE Indonesia Section, sempat ada usulan dari anggota Advisory Board (yang dalam konteks Indonesia berarti mantan ketua IEEE Indonesia Section) tentang Israel. Saat itu, IEEE Indonesia Section tengah sangat gencar melakukan eksplorasi untuk menjadi host atas IEEE international conferences, baik yang skala region (Region 10 Asia Pacific) maupun kemudian level dunia.

Hal yang sering jadi issue adalah soal imigrasi. Banyak peserta konferensi dari negara Asia mengalami kesulitan mengurus visa masuk Indonesia, seperti dari negara Iran dan Pakistan. Beberapa anggota komite sempat menyebut bahwa filtering untuk beberapa negara memang lebih ketat. Salah satu alasannya adalah kekhawatiran Indonesia dijadikan jembatan untuk mencari jalan untuk migrasi ke Australia. Namun warganegara Pakistan yang sudah di Australia pun masih lebih sulit masuk ke Indonesia. Kadang ketua konferensi, atau bahkan ketua IEEE Indonesia Section, harus menulis surat jaminan pribadi ke Kedutaan dan Kantor Imigrasi.

Soalan lain adalah warga dari entitas ilegal zionis yang menduduki Palestina (yang demi kesederhanaan teks akan kita sebut sebagai Israel tanpa tanda petik). Kebijakan yang bijak dari Pemerintah Indonesia untuk selalu menolak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel dianggap jadi penghambat. Kami Excom IEEE Indonesia Section diminta mencari cara untuk memungkinkan dipermudahnya pemegang paspor Israel untuk memasuki Indonesia.

Secara pragmatis, waktu itu aku sampaikan bahwa banyak pemegang paspor Israel sebenarnya memiliki kewarganegaraan ganda, merangkap jadi warga negara Eropa, AS, Kanada, bahkan Singapura. Andaipun mereka hanya punya paspor Israel saja, mereka sangat dipermudah membuat paspor di negara lain. Jadi tidak ada perlunya kita mendorong pemerintah Indonesia memperlunak sikap pada pemegang paspor Israel. Kita tetap menerima mereka dengan tangan dan hati terbuka.

Salah satu anggota senior di Advisory Board kemudian menyampaikan bahwa persoalannya bukan bisa lewat jalan samping, tetapi secara politis Indonesia dianggap tidak ramah pada Israel, dan posisi ini menyulitkan Indonesia mengajukan diri sebagai tuan rumah berbagai konferensi internasional.

Atas statement itu, aku saat itu memberikan jawaban bahwa jika persyaratan tertulis atau tak tertulis untuk jadi host adalah harus memberikan rekomendasi atau saran kepada pemerintah Indonesia untuk memperlunak sikap kepada Israel, aku memilih tidak akan mengajukan IEEE Indonesia Section sebagai host — setidaknya selama aku jadi ketua.

Aku rasa, sikap yang sudah diambil Bapak Bangsa kita, untuk melihat perspektif geopolitis global secara lebih cerdas dan mengedepankan perikemanusiaan dan perikeadilan, masih relevan hingga kini, masih jadi kebijakan Pemerintah Indonesia yang patut didukung, dan sudah menjadi bagian dari perspektif pribadi dalam negosiasi global.

Selamat Ramadan!

BBI Papua

Gerakan nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) edisi Agustus 2022 dilaksanakan di Provinsi Papua, dengan campaign manager Kemkominfo. Seperti tahun 2021 lalu, Kemkominfo menggelar aktivitas pembinaan UMKM sebelum menyelenggarakan acara perayaan (a.k.a. harvesting). Peran Telkom — selain tentu saja menyediakan infrastruktur, platform, dan layanan digital berkualitas terbaik di dunia (xixixi) — adalah membina para UMKM.

Ini tentu memang bagian dari strategi perusahaan untuk mengembangkan strategi bisnis berbasis ekosistem yang berfokus pada pengembangan ekonomi masyarakat, sesuai panggilan Clayton Christensen dalam The Prosperity Paradox.

Kickoff dilaksanakan di Jayapura, 14 Juli 2022. Team Telkom tiba di Jayapura 13 Juli 2022 dan mengawali kegiatan dengan koordinasi dengan BRI sebagai pengelola pembinaan UMKM Jayapura (via Rumah BUMN Jayapura). Kegiatan pembinaan telah berlangsung rutin, dan kami memastikan bahwa komersialisasi B2B melalui Padi UMKM telah dijalankan di Jayapura. UMKM binaan RB Jayapura ini diundang juga dalam kickoff BBI Papua.

Kickoff dilaksanakan dalam bentuk digitalk yang menghadirkan PIC dari Kemkominfo, Telkom, dan Bank Indonesia (plus beberapa brand pendukung lain yang cuma hadir secara online). Hadir juga perwakilan UMKM dan komunitas pengembangan UMKM.

Kegiatan pembinaan UMKM berikutnya dilaksanakan bulan Agustus 2022 di kota Merauke. Team Telkom mendarat di Merauke (dengan Garuda Jakarta–Jayapura–Merauke) pada 3 Agustus 2022. Kegiatan di hari itu meliputi kunjungan ke Rumah BUMN Merauke yang dikelola oleh Telkom Indonesia.

Kegiatan pelatihan digelar di Coreine Hotel, dengan konten komersialisasi dengan (sekaligus onboarding di) Padi UMKM, serta pendanaan UMKM yang menghadirkan Pimpinan Cabang Pegadaian Merauke. Kegiatan memakan waktu hampir sehari penuh karena minat yang tinggi dari para UMKM.

Kemkominfo juga menyelenggarakan Digitalk di Merauke yang menghadirkan Wakil Bupati Merauke, ditambah PIC dari Kemkominfo, Telkom, dan Bank Indonesia (plus beberapa brand pendukung lain yang cuma hadir secara online) — jadi semacam reuni.

Usai Digitalk, kami menyempatkan diri meninjau perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini: titik KM0 dari Merauke ke Sabang, kalau kita ikuti arah bumi berputar. Tempatnya di Distrik Sota, Merauke.

Sempat berbincang juga dengan beberapa warga Papua Nugini di balik pagar perbatasan. Anak-anak kecil PNG ini lucu-lucu tapi bandel. Suka sekali bermain-main dengan rambutku. Mereka cakap berbahasa Indoenesia dan bahasa Inggris.

Tak hendak memubazirkan waktu yang sangat singkat di Merauke, kami juga mengunjungi titik pembinaan UMKM yang dilakukan oleh komunitas setempat.

Acara puncak Gernas BBI Papua dilaksanakan kembali di Jayapura, 24 Agustus 2022. Dari Telkom, hadir GM Witel Papua (Pak Agus Widhiarsana) dan team dari RMU, Corcom, dan Synergy; serta tentu dari Telkomsel (GM: Pak Agus Sugiarto). Selain memastikan kelancaran kegiatan (incl infrastruktur) dan turut merayakan kolaborasi pembinaan UMKM, kami juga mengkampanyekan virtual expo.

Pemerintah diwakili Kemkomarves (Deputi Koordinasi Parekraf, Bapak Odo Manuhutu), Kemkominfo (Dirjen IKP), Kemdagri, etc. Selain BI dan Telkom, brand pendukung lain kini hadir secara onsite juga. Demo virtual expo dilakukan oleh perwakilan dari kementerian-kementerian, dipandu PIC dari Telkom. UMKM yang hadir meliputi UMKM binaan Telkom dan komunitas pembina UMKM lain (incl BI, Pemprov, Pemkab, Dekranas etc).

Intinya, kegiatan-kegiatan di Papua ini berjalan cukup baik; dan tentu saja memerlukan komitmen, kapabilitas, dan kolaborasi lebih kuat untuk keberlanjutan program demi mencapai tujuan memakmurkan rakyat Papua melalui ekonomi digital.

Lalu kita lanjutkan pekerjaan lain seraya menanti rembang petang saat matahari terbenam; di tepi Teluk Cendrawasih, Jayapura.

Ternate & Tidore

Kerajaan Ternate dan Tidore adalah bagian penting dari sejarah Indonesia. Dua kerajaan di dua pulau kecil di barat Pulau Halmahera ini memiliki kekuasaan di nyaris seluruh Indonesia Timur. Ternate menguasai hingga Mindanao, Sulawesi utara dan tenggara, Papua barat, Halmahera utara; sementara Tidore menguasai Halmahera selatan hingga Papua. Bersama Makian dan Moti, wilayah ini dikenal sebagai Moloku Kie Raha (Persatuan Empat Kerajaan) yang kemudian disebut Maluku.

Gunung Tidore tampak dari Pulau Ternate

Maluku, bersama dengan berbagai wilayah nusantara lain, terlibat dalam perdagangan internasional sejak awal milenium pertama. Jalan sutra serta perdagangan lintas Samudera India hingga Yaman, ke negeri Syam, lalu ke Eropa, memiliki ujung timur di kepulauan ini, dengan berbagai rempahnya yang mewarnai budaya dunia. Didudukinya Konstantinopel oleh Kekhalifahan Utsmany mendorong bangsa Eropa mencari jalan ke ujung rantai perdagangan ini, dengan Portugal berlayar jauh ke timur dan Spanyol jauh ke barat, hingga mencapai wilayah Maluku. Sempat Ternate bersekutu dengan Portugal, sementara Tidore bersahabat dengan Spanyol — namun akhirnya semuanya jatuh ke penguasaan keji VOC. Di abad ke-21 ini, kita mendapati bahwa wilayah ini, yang kini dipersatukan dalam Provinsi Maluku Utara, memiliki tingkat ekonomi yang cukup rendah dibandingkan banyak wilayah lain di Indonesia.

The Sultanate of Ternate in the era of Sultan Baabullah.

Aku mendarat dengan GA648 di Sultan Baabullah Airport, Ternate, hari ini pukul 7:45 WIT. Sebetulnya sempat mengharapkan ada waktu untuk diskusi ringkas tentang rencana perluasan program pembinaan UMKM Maluku Utara dengan rekan-rekan Telkom di Ternate dan Halmahera. Telkom telah memiliki UMKM binaan yang produknya dapat diunggulkan, dan aku sudah dapat list-nya dari Bang Lonely Baringin, GM Witel Sulut & Malut — namun seluruh manajemen Telkom di Indonesia bagian Timur sedang menghadiri rakor di Kepulauan Maluku Tengah :).

Sultan Baabulah Airport dengan Latar Gunung Gamalama di Ternate

Sebagai bagian dari misi memperkuat kembali ekonomi wilayah Maluku Utara, khususnya ekonomi UMKM, kami berkunjung ke Ternate dan Sofifi (Ibukota Provinsi Maluku Utara, di Pulau Halmahera). Kementerian Desa PDTT memperoleh tugas sebagai campaign manager Gernas BBI di Maluku Utara, didukung berbagai top brands pendukung BBI, termasuk Telkom. Kegiatan diawali dengan kickoff hari ini, dengan acara puncak bulan September.

Kickoff dilaksanakan di Kantor Gubernur Maluku Utara yang terletak di lereng bukit di Sofifi, Pulau Halmahera. Seluruh rombongan dari Jakarta dan Ternate bertolak dari Pelabuhan Ternate ke Sofifi dengan speed boat dengan waktu ±40 menit.

Kickoff hanya berisi statement tentang visi dan lingkup program, diikuti komitmen para stakeholder program atas aktivitas yang akan dilaksanakan. Sederhana dan efektif. Diskusi selanjutnya dilaksanakan dalam waktu yang tersisa secara informal; baik dengan Kementerian Desa & PDTT sebagai campaign manager, maupun dengan stakeholder lain. Harvesting BBI Maluku Utara akan dilaksanakan September tahun ini — didahului BBI Kalimantan Selatan bulan Juli ini dan BBI Papua bulan Agustus.

« Older posts

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑