Author: koen (Page 20 of 123)

Mephisto Bagi Irak

Lebih dari setengah penduduk Inggris menolak keikutsertaan Inggris di dalam perang Bush melawan Irak. Di Amerika sendiri, banyak rakyat yang lebih suka mendukung policy yang diambil Perancis dalam soal Irak. Tapi Bush terlalu malu hati untuk mundur. Juga Blair.

Soalnya memang bukan hanya menyerang Irak atau tidak. Tapi apa yang akan terjadi pada rakyat Irak. Kita berdemo menentang serbuan AS ke Irak. Tapi seandainya AS tidak jadi menyerbu Irak, apa yang akan kita lakukan? Berteriak gembira karena berhasil mengalahkan AS secara moril? Apa yang kemudian terjadi pada Irak adalah: terus menerus dipimpin dan dihancurkan oleh Saddam Hussein dan kawanan perampoknya.

Kita kayak lupa betapa seramnya hidup di bawah Soeharto, yang sisa-sisanya masih ada saat ini. Tidak mustahil rezim Megawati akan mengarah ke hal yang sama, dan mulai terasa saat ini. Saddam Hussein, kita tahu, bukan tipe penjahat yang bersembunyi di balik kesantunan, tapi tipe yang terang-terangan membasmi rakyatnya sendiri.

AS memang bukan tipe penjaga keadilan yang bisa dipercaya. Kalau ia punya hati nurani, atau nilai keadilan dan kemanusiaan setitip debu saja, ia bisa membubarkan Israel lebih dahulu sebelum mengutak-atik negara-negara lain. Tapi bagi sebagian rakyat Irak, barangkali AS mirip Mephisto yang datang kepada Faust waktu tidak ada jalan lain yang bisa dilihat untuk keluar dari kemandegan. Rakyat Irak seperti dipaksa memilih satu dari dua macam setan.

Pada saat seperti ini barangkali cuma dapat memohon keajaiban dari seorang Ibrahim yang pernah tumbuh di tanah itu. Setidaknya seorang Abu Nawas, kalau Ibrahim dipandang terlalu mulia untuk bangsa itu. Orang-orang yang mau menampik kebodohan dari bangsa-bangsa yang bernafsu menyerbu Irak dan sekaligus kebodohan dari orang yang menolak menyerbu Irak.

Edy Liu

«Life is hard. Get used to it.»

Gitu ditulis Edy Liu beberapa tahun lalu. Nggak tau di mana itu anak sekarang. Di-SMS juga nggak pernah jawab.

Tentang Beberapa Musik

Rap, musik yang sempat dimusuhi BJ Habibie. Padahal rap kadang kerasa enak. Malahan Rap yang di plug in pada “Another One Bites The Dust” punya Queen sempat bikin aku kecanduan juga.

Kali musik itu soal kebiasaan ya. Orang bisa digeser seleranya dengan melakukan embedding jenis musik lain pada musik yang dia suka. Perpaduan yang bagus, manis, dan menyeret paksa, haha :). Soalnya, kalau rap nggak ditanam di Queen, gimana caranya rap bisa bikin aku kecanduan?

Kayaknya aku sempat stuck di Wagner gara-gara itu. Dari Bach, aku yakin. Terus tergeser ke Beethoven. Terus ke Wagner dan (Richard) Strauss. Akhirnya stuck di Wagner. Abis, dari Wagner mau ke mana? Yang mungkin sih ke Kitaro, haha. Coba aja dengerin Kitaro abis Wagner, kan kerasa ada link-nya.

Kalau abis itu sempat ada Debussy dan Stravinsky, itu adalah kesengajaan, bukan akibat mood. Waktu akhirnya Debussy memenuhi ruang-ruang, aliran mood membawa lagi ke Wagner. Duh, itu orang memang egois bukan kepalang. Semua musik bermuara ke dia, tapi dia nggak ngasih ide buat cari musik jenis lain.

Queen sendiri dari mana sih? Dari kebiasaan aja. Terus ada suasana real art di sana, yang bikin musiknya nggak kalah-kalah amat dengan Debussy misalnya.

Eh, jadi inget Rhoma Irama zaman dulu. Maunya berdakwah dengan dangdut. Akhir ceritanya kayaknya bukan pedangdut jadi santri. Malah para santri yang tadinya soleh jadi doyan dangdut dan suka goyang goyang. Idih, amit-amit.

Ketidakpastian Heisenberg Ngebut

Heisenberg ngebut. Seorang polisi menghentikannya.
«Anda melanggar batas kecepatan,» kata si polisi.
«Berapa kecepatan saya tadi?» tanya Heisenberg.
«90 km/jam,» kata si polisi.
«Anda yakin?»
«Tentu, saya yakin sekali.»
«Kalau demikian, Anda tidak dapat menuntut saya. Anda tidak akan dapat menunjukkan di mana saya ngebut tadi.»

Ini cerita fiktif sih. Tapi tidak pasti juga.

Suka Kerja Keras

Emang kelihatannya aku jadi pemalas buat ngurusin web. Web ini, dan terutama web komunikasi.org. Tapi sebenernya aku lagi aktif merenovasi website. Cuman yang ini tempatnya di intranet kantor, dan nggak bisa diakses dari Internet. Tapi bisa dibayangin lah, kira-kira kayak apa hasilnya kalo aku ngedesign webpage. Nggak beda jauh sama site ini. Dan yang jelas kalah jauh sama webdesigner yang profesi utamanya siswa sekolah.

Eh bener loh, beberapa temen aku yang anaknya masih di SD udah bisa bikin website yang desainnya lumayan juga. Cuman pakai FrontPage sih. Tapi desainnya bagus bener. Bisa keren dah masa depan Indonesia di bidang aplikasi informasi. Insya Allah.

Nah, di tengah-tengah renovasi web, ternyata si webserver bermasalah. Khas lah, kalau nekat pakai webserver dengan OS bikinan Microsoft. Servernya nggak bisa diakses secara lokal. Remote aja yang bisa, tapi kan terbatas. Jadi sementara aku backup aja, persiapan reinstalasi webserver. Tapi masih gatel juga, jadi aplikasi-aplikasi baru masih ditambah.

Good news tapi, pagi ini si boss ke meja aku, dan bilang kalau beliau udah punya doku buat beli webserver baru. Ugh, sedappp. Nggak usah reinstalling. Beli baru aja sekalian. Pakai apa ya. Mau pakai Linux, tapi kurang menantang. Ntar virus sama bug lain kan susah masuk. Enaknya pakai Windows lagi ah.

Kita kan suka kerja keras.

Tentang Nol

Kelihatannya rekan-rekan kamu kehilangan integritas.

Lalu?

Dan kompetensi.

Masih ada. Aku lihat masih ada.

Apa yang masih ada.

Dua-duanya. Kompetensi, ya, integritas, juga.

Kayaknya kita bakal mengulangi diskusi lama: apakah nol sebuah bilangan.

Programmer Yang Baik

Bill Venners, pada bulan Januari 2003, menghadiri KTT “Writing Better Code” yang diorganisir Scott Meyers dan Bruce Eckel. Sambil ber-KTT, dia berkeliling mewawancarai para big shots dalam dunia programming, buat menanyakan: bagaimana sih cara mereka mencari programmer yang baik?

Hasilnya adalah sebuah tulisan di www.artima.com/wbc/interprogP.html, membahas berbagai cara untuk menyeleksi programmer untuk perusahaan atau proyek kita. Para programmer bisa mempelajari essay ini untuk menilai diri sendiri dan melakukan improvement untuk menjadi programmer yang lebih terpercaya.

89420069

The easiest thing, yet the most difficult: be yourself.

Is there such a thing as “yourself”?

As a psychological entity in reality?

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑