Melawan Para Moron

Bully. Atau kepongahan lain. Semuanya bodoh. Dan amat tak masuk akal untuk menyerah pada kebodohan.

Kampusku dulu bukan satu yang paling terkenal se-Indonesia. Tapi para seniorku noraknya bukan main menerima adik2 angkatannya. Padahal aku sudah terbiasa menilai kecerdasan orang a.l. dari gaya berkomunikasinya. Ternyata aku gak salah. Sekian waktu kemudian, aku lihat bahwa para panitia opspek pada masa itu, tanpa kecuali, adalah kumpulan mahasiswa paling bodoh di kampus kami. Dalam encounter satu lawan satu, misalnya di warung makan, beberapa senior malah menunduk kalau aku tatap tajam tanpa berkedip. Ah, mereka cuma pengecut yang hanya berani berkelompok. Kebayang nggak sih: dari zaman itu pun aku sudah termasuk mahasiwa paling kecil mungil di kampus.

Aku pikir para moron itu sudah aku tinggalkan di sejarah kampus. Tapi cukup gila bahwa di tempat kerjaku pun ada beberapa makhluk penindas semacam itu. Waktu aku masuk ke bidang network dulu, sebagian besar perangkat sentral adalah buatan Siemens. Semua sentral di Bandung itu Siemens, kecuali satu sentral baru dari Lucent. Aku merasa agak aneh bahwa beberapa rekan senior tampak berkeberatan masuk ke ruang kontrol Siemens, dengan berbagai alasan. Aku pikir alasannya murni keamanan. Tapi halangan serupa tak tampak di sentral Lucent, yang awaknya lebih acuh. Baru dua tiga tahun berikutnya seorang senior mengakui bahwa dia memang menyuruh teman2nya mengurangi akses aku ke kontrol Siemens, khawatir ada personal opportunity yang bisa aku ambil buat melejit meninggalkan mereka. Konyol. (Si senior ini beberapa tahun kemudian makin gak betah kerja di Telkom; mengambil pensiun dini dengan uang saku sangat besar, dan pindah ke Bakrie). Sementara aku di sentral Lucent melakukan inovasi untuk meniru analisis2 yang dilakukan di Siemens. Sentral Lucent masih jarang dan kecil2. Jadi program2ku diminta rekan2 pengendali sentral Lucent di Batam, Medan, Surabaya, dll. Aku serahkan program lengkap dengan source code. Source code ini dikembangkan bersama-sama jadi sistem analisis yang lebih lengkap. Lumayan juga, aku jadi bisa jalan-jalan keliling Indonesia, ke hampir seluruh tempat yang punya sentral Lucent. Dibandingan program analisis milik Siemens yang besar, lambat, rumit, sulit dimodifikasi, plus mahal; program-program kami lebih ringan, lincah, dan customizable. Langkah berikutnya, menyusun program analisis lengkap seluruh sentral. Kali ini mudah, karena pintu-pintu yang tadinya tertutup terpaksa mulai dibuka. Program-program ini akhirnya memungkinkan aku memperoleh Penghargaan Prestasi dari Menteri Perhubungan. Haha, waktu itu secara teknis Telkom masih diasuh Menhub.

Inti ceritanya, ditindas bukan berarti harus jadi lebay. Jelas kaum penindas hanyalah sekelompok orang bodoh yang memiliki ketakutan pada kita orang2 cerdas. Dan tentu, orang cerdas harus menggunakan cara cerdas untuk menyelesaikan masalah secara elegan.

3 Comments

  1. Nike

    bukan jaman penindasan lagi, dan jangan mau ditindas.

  2. atik

    Om kunnnn…ada yg menindasmu belakangan ini kah ampe bikin tulisan moron…hahahahaha

  3. Koen

    @Nike: Dengan gaya Nike, mana mungkin ada yang bisa melakukan penindasan :D

    @Atik: Lagi sempat musim bahas soal bully di Twitter. Daripada bikin kultwit, mendingan bikin cerita di sini, kan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑