Para Influencer

Yang menarik dari Kindle adalah bahwa setiap saat kita meminati buku baru (pun baru terbit), kita bisa langsung beli, dan langsung baca di piranti yang kini jauh terasa sebagai buku ini (alih2 perangkat elektronik). Memang membahayakan sih, dari sisi kemudahan belanja :). Mulai agak mengganggu, bahwa setiap saat ide dan kepenasaranan (curiosity) kita melompat, kita mengambil satu buku lagi :). Weekend ini aku sebenarnya hampir menamatkan “Quantum Man” dari Lawrence Krauss. Buku ini berdongeng tentang Richard Feynman. Alih2 menceritakan sisi manusiawi Feynman yang sudah sangat banyak ditulis sana sini, buku ini lebih berfokus ke sisi keilmuwanan Feynman, biarpun bentuknya tetap dongeng buat kaum awam. Di account Facebook-ku bisa diintip beberapa cuplikan buku itu.

Sayangnya, Amazon mendadak mengiming2i buku menarik lagi: Everything is Obvious, Once You Know The Answer. Penulisnya Duncan J Watts, seorang fisikawan yang melakukan riset di engineering, dan akhirnya berprofesi sebagai periset sosiologi. Dia mengawali bukunya dengan berkisah tentang beberapa kasus di mana orang2 penting, seperti penulis John Gribbin, serta senator AS, menganggap riset sosiologi bukan hal yang penting, misalnya sepenting riset fisika. Riset di bidang fisika tentu amat penting. Namun agak lucu kalau menganggap riset sosial itu tak penting dengan alasan — menurut mereka — bahwa hasilnya bisa ditebak dengan logika biasa, tanpa harus melakukan riset yang luas. Di dekade kedua abad ke-21 ini, dengan analisis yang cukup banyak mengenai jejaring sosial, kita mulai tahu bahwa banyak hal yang lebih menarik di riset ilmu sosial, selain sekedar memainkan urusan game theory yang banyak berfokus di urusan insentif, motivasi, dan nilai2. Tapi banyak yang tetap menganggap, penelitian fisika memberikan hasil yang luar biasa, dan menembus batas pikiran sederhana (common sense), sementara ilmu sosial tidak menghasilkan hal2 di luar itu. Masalahnya memang, kalau ilmu sosial itu sederhana, mengapa masalah sosial tak mudah dipecahkan? Soalnya bukan pada resource yang akan terlalu besar untuk memecahkan masalah itu, tetapi benar2 pada ketidaktrampilan kita memahami manusia, sebagai individu maupun masyarakat :D.

Penulis lalu memberikan contoh2 kecil. Paul Lazarsfeld pernah membuat riset pada para prajurit di Perang Dunia II. Ia memaparkan beberapa hasil. Misalnya, penemuan nomor 2: “Pemuda dari pedesaan umumnya memiliki semangat lebih baik dalam ketentaraan daripada pemuda perkotaan.” Reaksi kita? Tentu saja. Itu masuk akal. Pemuda desa lebih terbiasa dengan lingkungan yang keras, kerja keras, gotong royong, dll. Tapi lalu Lazarfeld mengatakan, “Ups. salah baca. Maksudnya, pemuda dari perkotaan umumnya memiliki semangat lebih baik.” Reaksi kita? Haha. OK. Tetap bisa dipahami. Pemuda kota lebih biasa hidup bersesakan, kerja dengan birokrasi panjang yang tidak pasti, penuh tata cara yang mudah berubah, dll. Semuanya masuk akal. Tapi, jika kedua hasil yang berlawanan itu masuk akal, maka ada yang salah dengan urusan “masuk akal” itu: itu masuk akal hanya setelah dijelaskan hasilnya. Yang kita sebut sebagai akal sehat, common sense, sebenarnya tak mampu menyusun prediksi; selain hanya menyusun alasan atas sesuatu yang diketahui hasilnya.

Atau, mengikuti Stephen Hawking di buku satunya, The Grand Design, akal sehat hanyalah kesimpulan dari kumpulan pengalaman pribadi yang terjadi pada masa hidup yang pendek, dan bukan kebijakan yang diperoleh sebagai hasil penelitian yang nyata atas perilaku semesta. Tapi, hanya berbekal akal sehat dari pengalaman singkat ini, banyak keputusan2 diambil. Para politisi yang mencoba mengatasi masalah kemiskinan merasa telah paham mengapa manusia bisa miskin. Penyusun marketing plan menyusun kampanye dengan anggapan bahwa mereka tahu apa yang diinginkan target pasar, dan bagaimana membuat target itu tertarik lagi. Penyusun kebijakan atas kualitas pendidikan,  kesehatan, dll, merasa paham atas efek skema insentif. Dan dalam skala lebih kecil, 90% orang Amerika merasa berkecakapan di atas rata2 dalam mengemudi, 25% merasa masuk 1% orang terbaik dalam kepemimpinan, dll, dll.

Watts pun mulai menceritakan sebuah riset. Risetnya mengharuskan mahasiswa meminta tempat duduk di kereta bawah tanah di New York :). Rinciannya agak panjang. Tapi dari sini, kita menangkap kompleksitas hubungan antar manusia, kekuatan (atau keterbatasan kekuatan) autoritas, kekuatan konsensus cair yang bahkan sulit ditembus oleh para peneliti, dan hal2 menarik lain. Lalu dibahaslah soal pengambilan keputusan pada manusia, yang selalu berujung pada soal nilai2 personal (dan sosial). Dan tentu soal konteks. Contoh kasus: dua orang yang tak saling kenal diberi $100. Salah satu (P1) harus membagi dua (tak harus sama besar), dan satunya (P2) memutuskan apakah ia akan menyetujui pembagian itu. Jika P2 tak setuju, uang $100 ditarik lagi, dan keduanya tak memperoleh apa2. Menarik. Sebagian besar P1 membagi sama rata: 50:50, namun tentu banyak juga yang mengambil kesempatan dengan mengambil lebih, misalnya 70:30. Asumsinya P2 akan lebih baik menerima 30 daripada tak menerima apa2. Tapi ada yang sedemikian bakhilnya untuk mengajukan 90:10. Umumnya pembagian yang amat tidak adil ditolak P2. Ahli ekonomi tradisional (yang berfokus pada insentif) akan terkejut mendapati bahwa P2 memilih tak memperoleh apa2 daripada “dimanfaatkan” :). Tetapi memang keadilan adalah nilai universal yang dipuja banyak orang, walau dengan pengorbanan uang. Level ketidakadilan di mana P2 masih mau menerima amat berbeda dari satu etnik ke etnik lainnya. Suku tertentu di Papua malah tak mau menerima pembagian 50:50 — P2 hanya mau nilai yang lebih daripada P1. Unik. Tak universal. Nilai2 antar etnik, antar kelompok, antar budaya, begitu beragamnya, dan cukup banyak yang saling bertentangan; dengan masing2 menganggap kumpulan nilai2 lainnya gila dan tak masuk akal. Tak heran jika dalam mensikapi yang terjadi di budaya lain, kita sering cuma bilang: bangsa sinting — semua logikanya terbalik. Pandangan yang tampak logis, biarpun cuma menunjukkan bahwa kita sama sekali tak memiliki kearifan.

Kesalahan pertama dalam meramalkan (dan mengubah) perilaku adalah bahwa kita mengira manusia digerakkan faktor2 seperti insentif, motivasi, dan nilai2. Sementara, banyak hal2 lain yang justru sengaja atau tidak turut mempengaruhi keputusan akhir: cara berkomunikasi (bentuk komunikasi, pilihan kata, latar musik, bentuk font, warna), atau hal2 lain yang cukup banyak. Kedua, pemodelan kita atas perilaku kolektif lebih buruk lagi. Ada berbagai warna interaksi internal di dalam kelompok yang masing2 pagarnya tak mesti tegas: alur kuasa dan pengetahuan sungguh cair, dan tak mudah diramalkan hanya dengan melihat elemen2nya. Kita cenderung menyederhanakan dengan menganggap kelompok sebagai individu, bernama crowd, market, karyawan, dll. Atau memilih representasi tak jelas seperti pemimpin, influencer, dll. Baru akhir2 ini dipahami bahwa penyederhanaan seperti itu bukan saja kurang tepat, tapi sungguh2 meleset.

Sungguh bacaan menarik di sebuah weekend. Untuk jadi lebih bijak di minggu-minggu ke depan.

5 Replies to “Para Influencer”

  1. tumben aku mengerti penjelasan fisikawan yang berprofesi jadi periset sosiologi ini, hehe. tampak menggoda untuk ikut membaca juga, hmm…

  2. Ada beberapa Indonesian expert yang sungguh paham soal social media, sebenarnya. Selain Teh Merlyna a.k.a. Lady Day dan Mas Yanuar Nugroho, tentu ada juga Mas Roby Muhamad. Yang terakhir ini juga fisikawan yang alih profesi menjadi researcher di bidang sosiologi. Pernah aku tulis juga sih di blog ini.

Leave a Reply to didut Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.