Coventry

Coventry menyambut dengan aroma bekunya yang khas dan akrab. Cukup menyentakku, menghadirkan ilusi seolah aku baru meninggalkan kota ini beberapa bulan lalu. Banyak yang nampaknya terbekukan waktu: gedung dengan label yang sama, teks yang sama, aroma yang sama, dan nada yang sama. Mesin jaguar di Q Block, penjaga KFC, hingga matahari yang belum terbenam pukul 20:00.

Tapi sebenarnya banyak yang berubah. Lower precinct yang dulu direnovasi itu, kini sudah jadi mall yang ramah, menyatu dengan upper precinct yang tak berubah itu. Konon inilah pedestrian precinct pertama di Inggris, yang kemudian banyak ditiru kota lainnya. Millenium arc juga sudah selesai, menambah menarik kawasan sekitar Pool Meadow dan Museum Transportasi.

Coventry pernah jadi kota keempat terbesar di Inggris, setelah London, Norwich, dan Bristol. Sempat tumbuh dari industri wool dan tekstil, ia beralih jadi raja industri mekanik: jam tangan, sepeda, hingga mobil. Namun industri persenjataannyalah yang membuat kota ini habis diluluhlantakkan Luftwaffe tahun 1940.

Kota-kota di sekitar Coventry menampilkan kecantikan masa lalu. Warwick dengan tembok megah dan kastil raksasanya; Leamington dengan taman luas dan gedung anggun bernuansa krem; Stratford-upon-Avon dengan beraneka gaya kecentilan abad2 lalu. Tetapi bom-bom dari Jerman membuat Coventry kehilangan banyak dari masa lalu itu. Namun, seperti seekor phoenix, ia bangkit dari abu kehancurannya, membangun diri sebagai kota modern.

Beberapa situs menandai masa-masa dibangunnya Coventry saat itu. Belgrade Theatre dibangun atas sumbangan rakyat Yugoslavia, karena saat itu Coventry masih harus membangun instalasi vital. Patung-patung rekonsiliasi menunjukkan tiadanya minat mengungkit luka dan lebih memilih bekerja akrab meningkatkan harkat. Dan warna multikultural Coventry adalah warna asali yang membentuk kota ini.

Tentu aku mengawali jelajah Coventry dari Coventry University. Kampus berlogo phoenix ini menjadi simbol kota Coventry yang menjadi kuat oleh kemampuan dan kepeloporan teknologi. Lanchester library, technopark, gedung Jaguar (ruang kuliahku dulu), hingga kantor pusat dengan penjaga yang extra ramah. Logo baru (yaitu logo lama yang dicerminkan) kini menghiasi hampir semua gedung di kampus ini.

Herbert Museum, yaitu pusat budaya dan sejarah Coventry, jadi tujuan berikutnya. Kebetulan ada pameran tentang asal usul Coventry di sini; dari masa prasejarah Coventry, pembentukan kota dan kisah Lady Godiva, perang saudara dan revolusi industri, hingga hancur dan lahir kembalinya Coventry.

Barulah kemudian city centre dan kawasan precinct. Dan kemudian kawasan lain di sekitar kota. Dan berakhir dengan kunjungan ke kota-kota di sekitar. Stratford-upon-Avon dengan puluhan angsa putih yang besar namun lincah di sungai Avon, Warwick dengan kastilnya nan megah dan fantastik, dan Leamington dengan tupai-tupai imutnya. Lalu, Coventry kembali harus ditinggalkan.

Coventry menginspirasi untuk bergerak, berinovasi kreatif, berkomitmen pada kejujuran ilmiah, dan terus maju ke depan; bukan untuk terus berada di masa lalu atau melamuni masa kini. Maka kunjungan ke Coventry belum selesai. Kita terus berada di Coventry justru saat kaki kita melompat jauh darinya, dan kekuatan kreatif kita mewarnai dunia-dunia yang terus kita jelajahi.

5 Replies to “Coventry”

  1. @NF: Sementara di koen.im dulu ya :). Aku nggak bawa Mac selama libur. Harus tunggu transfer foto dulu di rumah nanti :)

Leave a Reply to Koen Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.