Telefonsky

Oom Eris itu unik nian — selalu terfokus pada pekerjaan. Jadi, waktu aku menelefon minta izin nggak masuk kantor (dengan surat izin dokter), tanpa pikir panjang beliau memutuskan untuk pindah kantor ke rumahku. Bandung sudah menggelap-malam waktu beliau dan rombongan datang. Tapi begitu masuk rumah, yang dilihat malah rak buku kecilku. Kalau yang dilihat rak yang lebih besar, yang banyak buku2 anehnya sih masih bisa dipahami. Tapi rak buku kecil itu umumnya berisi buku “dan lain-lain” yang ditampung karena rak besar tak mampu lagi menyimpan. Agak lama, aku baru sadar bahwa yang dilihat Si Oom bukan buku, tapi tiga miniatur telefon antik. Haha. Masih Telkom nih :).

Aku sendiri bukan kolektor miniatur telefon antik. Syulit carinya syie. Itu miniatur telefon masuk rak juga cuman gara2 berencana mensuasanai rak buku bagian tengah, yang berisi buku2 telekomunikasi, dengan suasana sejarah telekomunikasi. Selain miniatur telefon, ada beberapa perangko dan kartu pos bertema telekomunikasi. Tapi rencana itu pun tak diteruskan. Keburu pindah ke Jakarta.

Aku cukup beruntung sempat kenal telefon sejak kecil. Zaman dulu, telefon itu langka. Hitam putih pula (eh, itu sih TV). Tapi Papap dibekali telefon rumah. Rumah yang di Malang (Kasatriyan) bertelefon hitam agak besar. Nomornya 5131 pesawat 26. Kadang2 tante-tante dari Perumtel datang melakukan “service telefon” :). Yang gawat tuh Mess di Jember. Telefonnya masih pakai engkel diputar. Wrrrrr. Listrik terkirim, dan operator (manusia) menjawab untuk menyambungkan. Waktu itu yang kadang aku telefon adalah Oom No’ yang kerja di Perumtel Bandung, nomornya 022-51507; atau rumah Embah di Cimahi, nomornya 0229-4762. Cimahi pernah 0229 loh. Dan sebelumnya pernah harus dengan komunikasi khusus karena tidak punya kode area tersendiri.

Mobile-Phone-02

Trus telefon tak menarik lagi. Mata kuliah Telefoni di Teknik Elektro juga cuman kulintasi, tak kuperdalam. Dih, hari gini, masih urusan telefon; pikirku. Mana nih ISDN — yang aku baca2 di majalah Time waktu SMA dulu? Padahal saat itu telefon tengah berevolusi ke arah informasi digital. Semua voice hanya dibawa sampai ke sentral, kemudian dibawa sebagai informasi digital 64 kb/s per kanal. Satu-satu sentral didigitalkan. Di kampus aku malah bermain dengan control & computing. Dan memutuskan untuk … Eh, tapi nggak punya bekal buat skripsi dink. Err, kebetulan Telkom menawari beasiswa ikatan dinas. Masuk nggak? Haha, untuk mendaftar masuk ke Telkom, kami harus ‘rapat’ dulu. Aku dan Ziggyt memutuskan bahwa Telkom layak dimasuki, karena urusannya nantinya bukan cuma telefon, tetapi transportasi informasi kecepatan tinggi.

Sejarah memang menyuruh aku dan Ziggyt akhirnya ikut mengawal Telkom. Cuman untuk urusan informasi kecepatan tinggi, kelihatannya kami harus menunggu lagi dan belajar lagi sekian tahun. ISDN ternyata tak aplikatif. ATM ditinggalkan sebelum implementasi. Hanya di core network saja, semuanya disiapkan. Dan mobile telecommunications melejit secara eksplosif, mengubah bisnis telekomunikasi selama2nya. Sekarang aku menikmati cita2 masa kuliah. Apa pun zaman dulu namanya, sekarang namanya adalah Mobile Internet 2.0. Informasi multimedia berlarian, menemani dan membantu kita di manapun kita berada. Tak hanya dengan akurat, tetapi juga dengan elegan, indah, dan manusiawi. Sambil …

“Sombong nih Si Koen sekarang,” kata Ziggyt — sekarang bermain bisnis Internet di Bogor. “Nggak pernah diangkat telefonnya.” Dasar Ziggyt pelupa. Memang kapan sih aku pernah betah berkomunikasi dengan telefon? Hari gini masih urusan telefon? (Déjà vu –red). Twitter atau Blog aku balas kok, Git :).

BTW, cita2 masih jauh dari usai. Salah satunya, yang selalu aku sebut2 (sampai bikin bosan temen2 di sekitarku), adalah menggantikan kebutuhan transportasi dengan telekomunikasi. Aku mencita2kan kota2 tanpa mobil berasap. Kendaraan listrik berjumlah kecil menghantar manusia bersilaturrahim dan melakukan hal2 menarik. Sekolah, kerja, administrasi, ekonomi, dan hal2 menyebalkan lainnya tak lagi akan menyesakkan dan mencampuri bumi. Semuanya akan kita pindahkan ke Internet (3.0, 4.0, sampai berapa pun). Let’s do it.

[Blog berhenti. Kerja lagi.]

11 Replies to “Telefonsky”

  1. wah saya dahulu sewaktu esde di kampung juga ada telepon di rumah yang mesti diengkol dulu baru bisa nyambung …
    sayangnya dahulu itu ketika ada pergantian sistem telekomunikasi dan telepon antik itupun dibawa petugas telkom dan diganti dengan yang putaran angka … hmmm … kalau inget itu jadi berpikir kenapa gak ditahan aja tuh telepon … wah saya dahulu sewaktu esde di kampung juga ada telepon di rumah yang mesti diengkol dulu baru bisa nyambung …
    sayangnya dahulu itu ketika ada pergantian sistem telekomunikasi dan telepon antik itupun dibawa petugas telkom dan diganti dengan yang putaran angka … hmmm … kalau inget itu jadi berpikir kenapa gak ditahan aja tuh telepon …

    • Khusus buat Deniar, lebih gampang jalan ke ruang sebelah dan langsung menggebrak ke mejaku :D

  2. Mas Koen, jadi telpon yg diengkol itu sebetulnya semacam generator listrik tangan, yang akan memberi tahu central bahwa ada permintaan telpon?
    dan ditangani masih oleh manusia?
    canggih juga ya idenya…
    dan prinsip kerja telponnya saat itu apa masih murni sama dengan yg diciptakan graham bell, yang hanya berupa sumber listrik speaker dan microphone dinamic tanpa penguatan?

  3. om koen, kalo semuanya dipindahin ke web.. jadinya bandung penuh sama yang kopdar dong.. ahahahaa.. tapi lucu juga idenya.

Leave a Reply to KangBoed Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.