Simfoni Ketiga

Aku agak takjub sadar bahwa di ipodku ada Simfoni Beethoven Pertama, Ketiga, Kelima, Ketujuh, Kesembilan, dan beberapa konserto violin. Huh, makhluk ganjil :). Sejujurnya, buat aku, yang terbaik bukan simfoni kesembilan. Simfoni pertama dan ketujuh itu penenang; sementara simfoni ketiga dan kelima itu penyemangat. Simfoni kesembilan itu buat temen2 yang mengaku doyan Beethoven, minta dipasangi simfoni kesembilan, dan langsung ngabur beberapa detik di Act 1 :). Mungkin mereka pedoyan ring back tone :).

So, hasil mencuri info di blog Novi si Antares Merah, aku kabur dari kantor Jumat sore lalu, menyerang Balai Sarbini di Semanggi, dan menyempatkan diri menyaksikan pagelaran Nusantara Symphony Orchestra untuk yang kedua kali. Kali pertama adalah Mei tahun lalu, dengan performansi Simfoni Kelima dan Carmen. Malam ini NSO menggelar dua simfoni Haydn dan satu dari Beethoven. Konduktor masih Hikotaro Yazaki, apprentice dari Seiji Okawa itu. Dan seperti waktu aku terpukau Simfoni Ketiga, sekian tahun lalu, kali ini juga aku dapat kursi VIP dengan tarif kursi biasa :).

Haydn menyaksikan Mozart tumbuh, dan Mozart menyaksikan Beethoven tumbuh. Jarak 2 generasi ini membuat aku jarang mengakrabi Haydn, kecuali dari beberapa studinya. Malam ini digelar Simfoni No 1 dan No 104. Betul2 klasik. Ada sedikit gaya barok di Simfoni 1. Juga rokoko. Urutan pun bergaya klasik. Mm, waktu dulu belajar, memang yang dijadikan contoh untuk ‘musik klasik’ adalah Haydn, dan Mozart :). So, klasik kali :). Buat wagnerian macam aku, ini adalah musik penenang :), yang sanggup menghapus semua urusan bisnis telekomunikasi dari kepala. Simfoni 104 terasa lebih dinamis dan diperberat, sedikit. Hanya dinamis dan berat dibandingkan simfoni no 1 :). Tetap hal yang tenang, riang, dan konon mencuplik musik2 rakyat pada bagian akhirnya yang sungguh riang.

Finalnya tentu pada Simfoni Beethoven Ketiga. Aku sungguh tak adil, selalu menitikberatkan Simfoni Ketiga pada bagian pertama, dan sedikit bagian kedua. Maka aku dihajar di sini. Bagian pertama Simfoni Ketiga malam ini dimainkan dengan sungguh kacau balau. French horn sungguh merusak (akibat cuaca buruk atau budaya rokok di Indonesia?). Tapi yang lain pun tak valid memposisikan yang seharusnya lembut, dan yang seharusnya keras mengalun, dan yang seharusnya keras menghentak. One word: bencana :). Paduan empat alat tiup yang seharusnya beriringan, dan biasanya sungguh menginspirasi itu, jadi nampak seperti bermain terpisah. Aku didorong jatuh, diikat sesak …

Dan saat itu, bagian kedua mulai menyajikan musik pemakaman yang agung itu: pemakaman kepahlawanan (eroica). Lupakan french horn, dan sisanya adalah keanggunan, yang mengembalikan nafas, dan mulai mengangkat diri. Hm, heran juga, kenapa musik pemakaman selalu terasa anggun (Requiem dari Mozart, Tod und Verklarung dari Strauss, dll). Ketuk-ketuk timpani mengingatkan pada pemakaman Siegfried (Gotterdämmerung, Wagner). Beethoven memang ajaib. Ia menjadikan adegan pemakaman seperti perayaan kehidupan, dengan gaung nilai-nilai yang berubah dinamik. Dan dari pemakaman, ia langsung ke bagian tiga yang riang berkejaran dengan berbagai alat musik tiup, terus menerus berkejaran semuanya, cepat, dan lambat. Sekali lagi, lupakan french horn pembawa bencana itu. Dan tanpa jeda, kita dibawa ke bagian terakhir yang kembali mengayunkan kita ke hidup yang nyata: dinamis, semangat, berkejaran, naik, turun, dan terlontarlah kita dengan semangat dan inspirasi tinggi. Ah, aku hidup …

22 Comments

  1. Andy MSE

    Maaf, saya tidak komen tulisannya…
    *ini benar2 nama domain ter-keren yang pernah saya tahu* :-)

    • deden

      Saya juga berpikir demikian Kang Andy, gak nyangka ketemu sampeyan di sini.

  2. Hilman

    Requiem? Mas Koen dengerin Requiem?

    • dhani

      Kaget Ya? Gw malahan suka dengerin Messiah. :D

    • Koen

      Ada sih CD-nya.
      Aku jadi ingat, ada bagian kecil dari Simfoni Ketiga ini, di bagian pemakaman itu, yang latarnya mirip dengan bagian tertentu dari Requiem.

  3. agusset

    wah, kalau mbaca cerita mas koen ttg nonton pergelaran musik klasik, kayanya seru banget ya? saya suka ngebacanya. tapi, sayangnya, saya koq gak pernah bisa menikmati musik jenis ini ya? tapi mungkin beda ya antara cuman ngedenger dengan nonton langsung pergelarannya?

    • Koen

      Wah, lebih asik kalau aku boleh menghabiskan sebagian umur di Jerman, kayak Mas Agus. Bisa sering2 ke Berlin atau Bayreuth nih :).
      So, kalau di Jerman sendiri, apa yang suka bikin seru?

  4. Red Antares

    1. Mas Koen beli tarif kursi biasa dapet yang VIP, sedangkan kami tarif kursi biasa dapet yang VVIP. Benar-benar moral hazard :).
    2. Lihat foto itu, Hikotaro begitu lincah. Aku suka rambutnya yang melambai-lambai. Pengen banget melihat ekspresi mukanya pas dia jadi konduktor, sayang untuk bisa melihat ekspresikanya, at least aku harus jadi pemain biola. Any idea untuk cara lain, selain jadi pemain musik?
    3. Hari Jumat itu aku nyarinya Mba’ Enggar, yang paling gampang dikenal dari jauh :) dan lebih kelihatan di kala gelap.

    • Koen

      Hihi, pakai nomor :).
      1. Kami dapat VVIP juga kok. VVIP II :).
      2. Hikotaro bukan cuman melambai. Kalau kita lihat badannya, kakinya, kita kayak mau melihat dia terbang. Lincah sekali.
      3. Keliatan nggak? Kalau Novi sih keliatan waktu pulang aja, lewat pintu kanan. Buru2 amat. Takut disuruh nraktir ya? :)

  5. aceng!

    Pernah mampir ke youtube sengaja cari opera wagner, pengen kayak mas kun… gak nyampe semenit buru-buru keluar lagi, ngeri… gelap banget!

    • Koen

      Hihi :)

  6. Hilman

    Beralih dari Requiem ^_^, kalau memang Haydn dan Mozart sering dijadikan contoh musik klasik, kenapa Mas Koen malah kurang mengakrabinya?

    • Koen

      Aku bukan ahli permusikan sih :). Ada jawaban soal ini di FAQ, dikit. Tapi musik itu soal kebiasaan juga. Aku tadinya nggak menikmati rap. Tapi abis menikmati Queen dipadukan rap, rap tanpa Queen jadi OK juga. Wagner jadi pas, soalnya aku menikmati Richard Strauss, dan terasa kaitan yang kuat. Richard Strauss terasa pas soalnya … wah panjang. Beethoven dan Mozart mungkin tadinya terasa setara. Tapi kalau kita mendoyani Wagner, Beethoven terasa lebih pas.
      Soal lain tentu kemudahan mengakrabi juga. Beethoven punya 9 simfoni, plus beberapa orkestra, Wellington, dan hal2 kecil semacam Elise dll. Mozart punya 40an simfoni, banyak orkestra, dan opera. Wow. I mean: wow. Tapi sebagai non musisi, aku malah kewalahan memahami kemozartan, kecuali beberapa. Dan Haydn? Yang NSO mainkan saja Simfoni nomor 104. Aku belum tahu berapa simfoni yang Haydn buat. Tapi untuk menemani baca buku atau makan malam, Haydn mungkin lebih pas. Atau bahkan Bach.

  7. iman brotoseno

    yang Carmen saya sukaaa… he he,mungkin karena banyak versinya dari model gipsy, spain sampai klasik

    • Koen

      Ya nih. Saya juga suka kangen Carmen. CD ketinggalan di Bandung. Dan belum sempat dimasukkan iTunes. (Yang terakhir ini mencakup juga simfoni-simfoni Beethoven bernomor genap, haha).

  8. Dian

    Bikin ngiri aja :p

    • Koen

      Jangan2 kalimat ini berarti “Tunggu pembalasan dahsyatku sebentar lagi. Mwahahahahahahahahaa.”

      • Dian

        hihi, tahu ajaaaaaaa

      • Koen

        Bersambung ke babak “Mephisto vs Mephisto” :p

  9. lola

    nice posting!!

  10. NGESELIN

    Mau gak simfoni2 bethoven yg lain?

    Gw ad bnyk

    • Koen

      Mau. Legal kan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑