Month: February 2009

Simfoni Ketiga

Aku agak takjub sadar bahwa di ipodku ada Simfoni Beethoven Pertama, Ketiga, Kelima, Ketujuh, Kesembilan, dan beberapa konserto violin. Huh, makhluk ganjil :). Sejujurnya, buat aku, yang terbaik bukan simfoni kesembilan. Simfoni pertama dan ketujuh itu penenang; sementara simfoni ketiga dan kelima itu penyemangat. Simfoni kesembilan itu buat temen2 yang mengaku doyan Beethoven, minta dipasangi simfoni kesembilan, dan langsung ngabur beberapa detik di Act 1 :). Mungkin mereka pedoyan ring back tone :).

So, hasil mencuri info di blog Novi si Antares Merah, aku kabur dari kantor Jumat sore lalu, menyerang Balai Sarbini di Semanggi, dan menyempatkan diri menyaksikan pagelaran Nusantara Symphony Orchestra untuk yang kedua kali. Kali pertama adalah Mei tahun lalu, dengan performansi Simfoni Kelima dan Carmen. Malam ini NSO menggelar dua simfoni Haydn dan satu dari Beethoven. Konduktor masih Hikotaro Yazaki, apprentice dari Seiji Okawa itu. Dan seperti waktu aku terpukau Simfoni Ketiga, sekian tahun lalu, kali ini juga aku dapat kursi VIP dengan tarif kursi biasa :).

Haydn menyaksikan Mozart tumbuh, dan Mozart menyaksikan Beethoven tumbuh. Jarak 2 generasi ini membuat aku jarang mengakrabi Haydn, kecuali dari beberapa studinya. Malam ini digelar Simfoni No 1 dan No 104. Betul2 klasik. Ada sedikit gaya barok di Simfoni 1. Juga rokoko. Urutan pun bergaya klasik. Mm, waktu dulu belajar, memang yang dijadikan contoh untuk ‘musik klasik’ adalah Haydn, dan Mozart :). So, klasik kali :). Buat wagnerian macam aku, ini adalah musik penenang :), yang sanggup menghapus semua urusan bisnis telekomunikasi dari kepala. Simfoni 104 terasa lebih dinamis dan diperberat, sedikit. Hanya dinamis dan berat dibandingkan simfoni no 1 :). Tetap hal yang tenang, riang, dan konon mencuplik musik2 rakyat pada bagian akhirnya yang sungguh riang.

Finalnya tentu pada Simfoni Beethoven Ketiga. Aku sungguh tak adil, selalu menitikberatkan Simfoni Ketiga pada bagian pertama, dan sedikit bagian kedua. Maka aku dihajar di sini. Bagian pertama Simfoni Ketiga malam ini dimainkan dengan sungguh kacau balau. French horn sungguh merusak (akibat cuaca buruk atau budaya rokok di Indonesia?). Tapi yang lain pun tak valid memposisikan yang seharusnya lembut, dan yang seharusnya keras mengalun, dan yang seharusnya keras menghentak. One word: bencana :). Paduan empat alat tiup yang seharusnya beriringan, dan biasanya sungguh menginspirasi itu, jadi nampak seperti bermain terpisah. Aku didorong jatuh, diikat sesak …

Dan saat itu, bagian kedua mulai menyajikan musik pemakaman yang agung itu: pemakaman kepahlawanan (eroica). Lupakan french horn, dan sisanya adalah keanggunan, yang mengembalikan nafas, dan mulai mengangkat diri. Hm, heran juga, kenapa musik pemakaman selalu terasa anggun (Requiem dari Mozart, Tod und Verklarung dari Strauss, dll). Ketuk-ketuk timpani mengingatkan pada pemakaman Siegfried (Gotterdämmerung, Wagner). Beethoven memang ajaib. Ia menjadikan adegan pemakaman seperti perayaan kehidupan, dengan gaung nilai-nilai yang berubah dinamik. Dan dari pemakaman, ia langsung ke bagian tiga yang riang berkejaran dengan berbagai alat musik tiup, terus menerus berkejaran semuanya, cepat, dan lambat. Sekali lagi, lupakan french horn pembawa bencana itu. Dan tanpa jeda, kita dibawa ke bagian terakhir yang kembali mengayunkan kita ke hidup yang nyata: dinamis, semangat, berkejaran, naik, turun, dan terlontarlah kita dengan semangat dan inspirasi tinggi. Ah, aku hidup …

Fresh 6

Fresh 6 ini penting buat aku :). Soalnya aku pernah bilang ke Kukuh: membuat Fresh itu rada gampang. Tapi mempertahankan untuk rutin akan makin berat. Milestone pertama adalah setelah Fresh 5 — yang berikutnya akan masih diisi dengan penuh semangat atau mulai dengan keengganan. Tapi asiknya, ternyata Fresh 6 ini justru pengunjungnya membanjir. Sip deh. Good job, pals.

BTW, aku telat di Fresh 5 bulan sebelumnya. Dan tak kusesali. Telatnya gara2 dijadwalkan berbincang dengan seorang Helmy Yahya. Ini makhluk memang inspiring; pun di luar layar kaca. Salah satu yang doi sampaikan adalah bahwa orang Indonesia memiiki prestasi yang sebenarnya OK: bulutangkis, panahan, catur, matematika, fisika, coding, dll, dll. Deret yang panjang. Syalahnya, kalau kerja tim, kita langsung runtuh. Maka itu belum terdengar kita berprestasi misalnya di sepakbola. Atau membuat industri kreatif yang besar dan complicated. Hal ini aku sampaikan di Fresh 6 ini sebagai bagian dari sharing tentang SDP. SDP sendiri beberapa kali sudah dibahas di blog ini; sampai SDP 2.0 segala. Ini platform yang nantinya akan membantu para technopreneur dan komunitas-komunitas kecil untuk mengembangkan bisnis content & aplikasi-nya sendiri; dengan support yang cukup lengkap di sisi network.

Fresh 6 ini memang bertema Technopreneur. Disponsori Indopacific Edelman, acara ini dilangsungkan di sebuah resto di kawasan Adityawarman, Jakarta; Kamis malam lalu (29 Januari). Pitra sudah menuliskan laporan yang lengkap di site Fresh yang baru: freshyourmind.com. Keren, domain, site, sama laporannya.

Temen ngobrol di Fresh ini adalah Ahmad Sofyan, sambil sesekali jalan2 networking dikit2. Juga Mas Novyanto. Dan dinner bareng pasangan Akhmad Fathonih dan Sofia Kartika. Dan jumpa darat pertama dengan Ronny Haryanto. Ronny tinggi besar ternyata, haha. Lain dari itu, ia adalah hacker yang udah lama kita kenal online. Dan domain ronny.haryan.to adalah inspirasi untuk mulai iseng cari domain kun.co.ro, sekian tahun lalu; selain juga pengelola agregator Planet Terasi. Tapi semua udah tahu dink.

OK, foto :

Akuntabilitas Babi

Kami sedang berbincang tentang tempat2 menarik di Indonesia, saat seorang intern dengan ringan bertanya, “Tapi sebenernya, kenapa sih babi itu haram?” Aku lupa apakah anak ini masih mahasiswa atau baru lulus. Tapi ini pertanyaan yang sebenernya standard, yang banyak ditanyakan siapa pun dari dalam dan luar budaya Islam, dari berbagai tingkat pemahaman agama. Asal usul pelarangan benda2 ajaib ini: babi, alkohol, riba; masih terus menarik diperbincangkan. Kalau rokok diharamkan, itu lebih mudah dipahami: ia merusak kesehatan orang2 di sekitar si perokok, dan membutakan hati serta otak si perokok sehingga tak akan bisa paham hal sepele semacam ini.

Tapi kembali ke babi. Aku akhirnya cuman memberi ringkasan jawaban dengan style ahli hikmah. Peraturan2 itu dibuat cuman sebagai constraint dalam kehidupan manusia. Kenapa harus babi yang diharamkan? Bisa sih apa pun. Tapi harus ada yang jadi tag untuk masuk ke exception list. Sekarang setiap kali umat manusia mau makan, ia harus bertanya2: “Ini makanan mengandung babi tidak?” Tapi kita tidak makan hasil peternakan kita atau tetangga kita sendiri. Dan asyiknya, sejauh mana pun makanan di piring kita berasal, kita tetap harus bertanya: “Ini makanan mengandung babi tidak?” Masyarakat harus punya kemampuan melacak asal usul makanan kita: dari manapun, disimpan berapa lama pun, diolah dengan cara apa pun, oleh siapa pun, bangsa apa pun. Artinya: semua harus terdokumentasi. Artinya: harus ada accountability.

Makanan tidak boleh berbabi. Minuman tidak boleh beralkohol. Uang tak boleh bercampur hasil riba. Dengan aturan2 macam ini, segala supply bahan pendukung kehidupan manusia, dan segala proses-proses ekonomi pendukungnya jadi harus terlacak, terdokumentasi, dan transparan. Kalau ini terlaksana, maka — sungguh — Islam adalah pelopor akuntabilitas publik yang paling mapan.

Tapi … hmmm … fakta bahwa tingkat kesehatan masyarakat dengan mayoritas muslim justru di bawah rata2, dan proses kerjanya paling buruk dan tak transparan, dan wacana masyarakatnya mudah tertembus pseudoscience, dan semacamnya; terpaksa membuat kita harus mengakui: kita abai dalam menjalankan hukum-hukum yang sudah kita akui bersama. “Halal nih, katanya Pak Haji yang jual. Juga bebas kuman dan bebas virus dan bebas bahan berbahaya dan beracun.” Tidak ada sertifikasi, tidak ada transparansi dalam proses kerja dan pengkomposisian bahan2 kerja. Padahal Rasulullah memarahi orang2 yang bertansaksi keuangan tanpa melakukan pencatatan, serta orang yang bekerja tanpa melakukan perjanjian kerja terlebih dahulu.

“Halah, soal haram kan berlaku untuk anggota MUI sendiri.”
Aku nggak tahu kapan aku boleh menertawai kejujuran orang yang memamerkan kebodohannya. Sambil … tentu saja … apakah MUI juga sudah mengamalkan transparansi? Haha. Hush.

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑