Kalau menyebut humor matematika, aku selalu nggak sengaja ingat yang itu: ei? = -1, turunan dari de Moivre. Humor dari abad kedelapan belas. Sekaligus konspirasi: bagaimana bilangan-bilangan lucu yang diperkenalkan ke dalam hidup kita secara terpisah itu tahu-tahu bergabung dalam satu persamaan sederhana. Huh, sederhana? Hmmm, setidaknya singkat :).
Barangkali memang karena hidup kita dialirkan secara praktis, bukan formulatif (hush). Nggak boleh disangkal :), soalnya yang dinamai praktis itu hal yang mengalir mudah bersama hidup, kan? Haha :). Kita mengenali banyak hal dari sekumpulan pengalaman yang seolah terpisah. Padahal sebenernya itu satu narasi yang saling terkait secara singkat. Begitu suatu hari kita melihat kaitan antar peristiwa, yang ternyata sederhana, kita barangkali akan menganggapnya juga sebagai humor. Aku serius. Humor. Lompatan logika yang melenceng dari harapan (harapan atas kerumitan — duh, kasihan deh kita).
Atau konspirasi. Const ?.
Hafal ? sampai berapa angka? Aku sampai … sebentar. 3,14159265358979323. 17. Nggak sampai 20. Ada yang mau2nya menghafal sampai ratusan. Dan ada prodigy yang bukan menghafal tetapi menghitung terus-terusan dengan kecepatan sekitar 0,8 detik per angka. Aku lupa namanya. Ntar aku cari. Ludolph Ceulen, dari abad ke-17, menghitung (dan menghafalkan) ? sampai 35 digit, dan meminta 35 angka itu ditulis di atas nisannya. Waktu baru belajar C sih, aku bikin program untuk menulis ? terus menerus. Makin lama makin lambat. Dan untuk e juga.
Oh ya, sekarang e. Hmmm, cuman sampai … 2,718281828. Eh, masa sih mirip bilangan rasional gini? Kok jadi nggak yakin. Hmm, gaswat. Soalnya bilangan panjang2 gini aku pakai untuk pin dan password numerik.
Dan i? Ah ini mah mainan sehari2 buat anak Elektro :). Sorry, tulisan ini nggak selesai. Mau pulang dulu ah.
Jadi ingat ..
gara-gara tak hafal akar pangkat dua sampe belasan angka di belakang koma .. aku salah nebak berat seseorang ^_^ Trus abis itu kena sindir deh ttg ke-elektro-anku. Ha!
Hmm… bukannya ditulis sebagai πi (bagian “i” di belakang) seperti halnya lazim untuk notasi bilangan imajiner?
Dalam membicarakan konstanta phi, sering dilupakan (atau tidak diketahui) tentang peranan ilmuwan Timur seperti Madhava (ehem… sama ama nama anak saya). Yang terlebih dahulu telah menghitung nilai phi terlebih dahulu (259 tahun sebelum Newton dan Leibnitz). Sejalan dengan makin ngetopnya orang India di dunia matematika saat ini, sekarang banyak penamaan deret dan metoda matematika telah memasukkan nama Madhava di dalamnya. Berbagai nama deret matematika sekarang diberi tambahan nama-Madhava.
Yang menarik Madhava menuangkan perhitungan phi tidak di dalam rumus matematika tetapi dalam tulisan bergaya puisi. Sebab memang begitulah cara di India kuno untuk menuliskan pelajaran matematika. Seandainya pelajaran matematika masih dituliskan dan diajarkan dalam puisi, mungkin anak ABG Indonesia banyak yang menyukainya.