Tak terlalu deras hujan pagi ini. Rintik. Tapi dinginnya langsung menghujam menembus jaket tipisku. Tidak menyiksa. Malah menanamkan kesegaran dan kenangan bahwa di masa-masa kebangkitanku, dingin adalah sahabat, dan kesegarannya adalah anugerah.
Sebagai bagian dari kenangan, Iqbal tiba-tiba menemaniku. “Jangan mengharapkan kehangatan dari apa pun, dari siapa pun. Nikmati bekunya dada itu, dan cobalah dalam kebekuan itu untuk memberikan kehangatan pada penghuni bumi.” Aku mencoba tersenyum. Tidak mudah, di tengah rintik yang mulai menderas. Mudah2an masih agak mirip senyum.
“Percayalah hanya pada Penciptamu, dan jangan menggantungkan hatimu pada apa pun,” celotehnya lagi. Aku terpaksa menukas, “Bahkan mungkin tak perlu menggantungkan diri pada-Nya. Ini permainanku dengan-Nya. Ia memberikan cobaan, kepedihan, kesendirian, lalu Ia melihat bagaimana aku bisa mengatasinya. Ia tahu aku bisa. Ia penciptaku.” Dan beku kembali menerpa.
Mungkin bukan kehangatan yang Ia berikan. Tapi jelas sebuah perhatian. Dan bagi seorang manusia yang haus perhatian, tak ada bedanya apakah perhatian itu diberikan dalam bentuk kehangatan atau kebekuan, dalam bentuk anugerah atau cobaan, dalam bentuk keramahan atau kepahitan. Dan keterpojokan. Dan kegelisahan.
“Api Namrudz tak akan mampu membakarmu,” kata Iqbal lagi.
Aku tak perlu menggunakan bibir beku untuk membalas kata-kata teman khayaliku yang ini. “Api Namrudz tak punya kekuatan padaku. Bukan karena aku orang suci. Tapi karena aku tidak mengakui kekuatan Namrudz dan pasukannya dalam menentukan apa yang terjadi dalam hidupku.”
Iqbal kembali ke alam kenangan, waktu warna putih gedung kantorku mulai terlihat di kejauhan.