Wagner, kalau masih ingat nama ini, akhirnya tega membakar Siegfried. Dan kemudian juga Brunnhilde. Si manusia lugu yang dikorbankan untuk menjadi pahlawan yang selalu kesepian dan selalu penuh tanya, akhirnya jatuh di tangan kaum kerdil. Di tangan kaum kerdil yang sama lugunya dan sama-sama terkorbankannya oleh skenario para dewa sok tahu dari Valhalla itu; bukan di tangan kaum raksasa yang selalu mudah dihancurkan oleh tangan perkasa dari hati yang bersih itu.
Wagner, memang sebenarnya jarang menggunakan peperangan sebagai penanda kegagahan dan kegigihan kemanusiaan. Alih-alih, perang nyaris selalu jadi tragedi ketidakmampuan mengatasi realita dengan cara yang cerdas.
Namun perang sendiri merupakan realita. Apakah kita cukup cerdas untuk mengatasi apa yang tersisa dari sampah kebodohan manusia itu, atau kita justru ikut terkusutkan di dalamnya. Cincin Nibelung akhirnya hanya kembali ke pemiliknya … para peri sungai. Berlaksa perang, lengkap dengan kebodohan kisah kepahlawanan serta tragedi di dalamnya, tidak pernah ada maknanya, dan seolah tak pernah terjadi bagi mereka.