Trus apa itu hisab, apa itu rukyah? Hisab itu perhitungan waktu astonomis, dan
rukyah itu pengenalan waktu secara visual. Kalau kita memulai puasa dan mengatur
waktu shalat dengan membaca jadwal di tabel: itu hasil hisab. Kalau kita memulainya
dengan melihat perbedaan warna langit, mengukur bayangan, dan mengamati matahari
tenggelam: itu rukyah. Metode rukyah penuh kelemahan akibat faktor cuaca dan
keterbatasan alami lainnya. Jadi dikembangkan metode hisab yang memperhatikan
rukyah :). Hisab versi 2, begitulah. Kalau hisab versi satu membahas kapan matahari
tenggelam, kapan bulan baru terbit, maka hisab versi dua membahas kapan matahari
seharusnya tampak tenggelam, kapan bulan baru seharusnya bisa tampak. Itulah awal
perbedaan 2-3 derajat antara kedua metode hisab. Pada posisi nol derajat setelah
mati, biarpun secara teori bulan sudah baru, secara teori bulan setipis itu belum
dapat dilihat.
Aku sebenernya lebih suka memilih metode hisab unmodified (versi 1) yang menurutku tidak
terlalu bias. Memang hadist mengarahkan kita berpuasa sampai bisa “menyaksikan”
bulan baru. Tapi kata “menyaksikan” (seperti yang juga kita gunakan dalam Syahadat),
tidak persis sama dengan “melihat” (yang mengharuskan penggunaan mata). Menyaksikan
secara sains bisa lebih tajam dari sekedar melihat dengan mata.