Cerita soal sufi, trus aku ditanya seorang cyberfriend, “Kenapa nggak meneruskan mendalami tasawuf?”
Itu masih cerita abad ke-20 :). Aku terus cerita flashback ke beberapa tahun sebelumnya. Di antara pesan-pesan sufi, ada satu yang terasa melekat dan terasa benar: “Kami, kaum sufi, menyelam di danau hakikat, sementara para nabi dan rasul pun hanya bermain-main di tepiannya.”
Memang benar, wacana kaum sufi selalu tentang esensi segala ilmu dan segala sesuatu, yang akhirnya saling berkaitan, membawa segalanya ke ketunggalan yang mengasyikkan; sementara para rasul hanya mengajak ke hal-hal praktis di kehidupan.
Itu yang akhirnya bikin aku nggak terlalu mengasyiki tasawuf. Kalau memang para rasul memberi contoh untuk hidup di tepian danau itu, aku memilih hidup di tepian saja. Hidup dalam realita yang mengalir, menghadapi berbagai keterbatasan kita apa adanya, dan merasakan detak nadi kehidupan.
Seorang cendekiawan muslim menulis di catatan hariannya: Masalahnya Muhammad (saw) itu seorang praktisi, bukan seorang filsuf.
Kalau beliau masih hidup, aku mau menjawab: hiduplah dalam kehidupan, jangan meninggikan falsafah kehidupan lebih dari kehidupan itu sendiri, dan itu yang dicontohkan Rasulullâh.