Konon kaum sufi, yang sudah mampu mempelajari ‘hakikat’, bisa melakukan berbagai keajaiban. Bukan mukjizat seperti para rasul, tetapi semacam karomah, atau tidak perlu seperti itu. Sekedar hal-hal yang buat orang awam tampak ajaib. Alkisah seorang sufi senior ditanyai seorang peminat sufism: “Bagaimana kaum sufi mampu melakukan berbagai keajaiban.”
Sang sufi senior mengingatkan si penanya, sebenarnya manusia memang punya potensi melakukan berbagai keajaiban. Manusia punya potensi untuk itu. Tapi keseharian hidupnya (yang manusiawi itu) mencegahnya untuk terus menerus bisa melakukan keajaiban. Kecuali, katanya, jika ia dalam keadaan terjepit. Seorang ibu yang anaknya terhimpit tembok yang runtuh bisa sekejab kuat mengangkat runtuhan tembok sampai anaknya keluar, kemudian ia tidak pernah lagi mampu mengangkat benda yang lebih dari beberapa belas kilogram.
“Memang sering dilaporkan insiden semacam itu. Tapi itu kan dalam keadaan terjepit. Tapi bagaimana kaum sufi dapat sering melakukannya?”, kejar sang penanya.
“Itu yang perlu kau pahami,” kata sang sufi, “Kami membiasakan diri hidup dalam posisi yang selalu terjepit.”
Zuhud, biasanya ditafsirkan sebagai sikap waspada dan menjaga diri dari melanggar nilai-nilai kehidupan. Tapi ada kaum yang sedemikian menjaga kezuhudan dalam bentuk kewaspadaan kritis, sampai hidupnya selalu ‘terjepit’, dan dengan demikian menimbulkan potensi keajaiban terus menerus.
Ini memang agak menjelaskan, bagaimana Nazaruddin bisa menurunkan hujan dengan mencuci baju.