Sekali waktu James Herriot mengeluh. Ternak-ternak yang susah diurusi, dan pemiliknya yang nggak mau bekerja sama. “Rasanya kayak alam semesta menunggu aku jatuh dan langsung mati.” Tapi di luar matahari bersinar ramah.

Dia membaringkan diri di rerumputan, menutup mata, terus membayangkan kalau dia jadi akuntan di kantor bergaya konservatif, dengan jubah dan topi yang tergantung di pojok, dan setumpukan angka di atas meja. “Haha, aku tidak mengeluh,” kata dia akhirnya.

Ribuan awan berarak melintas di luar. Semua nuansa kelabu dipakai, dari putih berkilauan sampai abu-abu kehitaman. Pohon-pohon di bawahnya bergerak enggan. Herriot pasti bakal lebih suka bersumpah serapah kedinginan mengobati sapi yang terendam sungai setengah beku, daripada ada di ruang ini dengan matriks Excel dan sebuncah panjang kode.

Kata Adnan, makhluk kayak aku memang didesain untuk berlompatan di lapangan, bukan buat kuliah atau bikin assignment. Kali dia bener juga, sedikit. Kode- kode ini memang mengasyikkan, dan memicu pikiran. Dan nyanyian Isolde memang membersihkan pikiran. Tapi kalau disuruh milih, aku juga bakal lebih suka berlompatan di luar sana, berlarian sama awan awan.

Herriot, mengacu ke buku Herriot versi Bhs Indonesia. Isolde, mengacu ke bagian terakhir dari Tristan und Isolde.