Seandainya Mereka Bisa Bicara … dan begitulah aku ketemu lagi dengan si James Herriot. Udah lusuh sekali, my poor old pal. Coba, apa aku masih membacanya dengan kacamata yang sama dengan tahun-tahun dulu. Kayaknya sih nggak.
Kadang, kalau aku lagi naif, emang rasanya ingin ikut jadi hero yang memperbaiki dunia ini. Siegfried style. Tapi terus ada waktunya aku menganut Tristan style yang membiarkan semuanya mengambang, memandang hidup secara ironik, dan hanya bermain di hal-hal yang menarik. Dan kalau semuanya udah kembali jernih *voila* jadilah aku si Koen yang jernih, pingin ramah tapi rada susah berkomunikasi, pingin mengoptimalkan potensi tapi suka nggak pe-de, dan terutama … selalu optimis. That’s James style!
Lucunya, karakter Siegfried dan Tristan di Skeldale ini bisa aku pas-pasin dengan karakter yang sama di opera Wagner. Tapi kalau di opera Wagner, siapa tokoh yang bisa mewakili karakter James Herriot?
Barangkali dengan ini kita bisa menyusun hipotesis bahwa pada saat kita memberi terlalu banyak nilai untuk kehidupan *haha*, pada saat itu justru hilanglah nilai dari kehidupan itu. Sekilas kesannya memang anti-humanisme. Tapi dalam frame yang juga mengakui keabadian, sebenernya ini lebih tepat dinamai super-humanisme. Tentu, kata super di sini tidak berkaitan (atau justru bertentangan) dengan istilah Nietzsche.