IEEE Electioneering 2013

Padahal sebenarnya electioneering memiliki arti yang sudah terbakukan, yaitu bergiat dalam kampanye pemilihan. Namun komite pemilihan yang dibentuk oleh IEEE Indonesia Section memiliki definisi tersendiri, yaitu election yang dilakukan oleh pelaku dunia engineering.

Electioneering (dalam kedua arti di atas), sejauh pengamatan aku, baru sekali ini diramaikan di Section. Tapi ini proses yang menarik dan diharapkan bisa jadi menjadi preseden baik buat organisasi. Di masa sebelumnya, selalu ada kesulitan untuk mencari pimpinan baru di IEEE di Indonesia, baik di Section maupun di Chapter-Chapter. Padahal, kita mencoba konsisten untuk menjaga kelangsungan dan dinamika organisasi dengan secara teratur melakukan pergantian kepengurusan. Syukurlah, sejak tahun ini, situasinya telah berubah. Organisasi telah ditumbuhkan oleh para volunteer dan anggota di Section, Chapter, Student Branch, dan Affinity Group, menjadi makin dinamis, makin berkibar, dan makin diminati. Kita memasuki masa dimana leadership dalam organisasi ini mulai dianggap menarik untuk dikompetisikan.

Electioneering adalah proses yang tidak natural :). Para engineer yang sehari-hari menjaga jarak dari riuh politik praktis, bekerja dalam hening dunia sains dan engineering, bekerja ikhlas tanpa mengangkat diri, serta bekerja sama saling memberikan support, mendadak — walau tetap selalu secara canggung —melakukan promosi personal, aktivitas, dan rencana. Pasti tampak lucu dan lugu. Namun sebenarnya ini sehat bagi organisasi, karena setiap leadership akan memiliki program yang jelas dan terkomitmenkan kepada anggota.

Proses election diawali dengan penunjukan Election Committee, yaitu Arnold Ph Djiwatampu, Endra Joelianto, dan Arief Hamdani Gunawan. Komite mencari kandidat awal, dengan masukan dari Advisory Board dan Executive Committee. Mereka mengajukan aku sebagai Kandidat. Kemudian dimaklumatkan kepada para anggota untuk dapat mencari kompetitor bagi kandidat pertama. Alhamdulillah, rekan-rekan dari ITB berkenan mengajukan kandidat kompetitor ini, yaitu Prof Soegijardjo Seoegijoko, dari ITB. Kampanye dilakukan dengan cara para engineer, yaitu via online: web, email, chat group, dan sarana digital lainnya.

Election dilaksanakan dari 18 Desember 2012 hingga 15 Januari 2013. Waktunya cukup panjang, mungkin karena pengalaman tahun-tahun sebelumnya dimana para anggota tak banyak menaruh minat pada pemilihan. Jumlah anggota yang memiliki hak pilih sekitar 600 orang, tak termasuk para mahasiswa.

Saya sampaikan ucapan selamat dan terima kasih kepada Election Committee: Arnold Ph Djiwatampu, Endra Joelianto, Arief Hamdani Gunawan. Mendorong 126 dari hanya sekitar 600 voting member untuk dapat aktif dalam pemilihan, tentu sesuatu yang luar biasa; termasuk mengingat bahwa sebagian besar member kita mungkin masih kurang aktif memanfaatkan web organisasi dan kurang peduli pada operational organisasi. Tentu ini tak lepas juga dari komitmen dan order yang diberikan oleh Section Chair, Muhammad Ary Murti, untuk memastikan terselenggaranya election ini ini secara transparan, fair, dan elegant. Yo da man!

Ucapan selamat, terima kasih, dan salam hormat juga buat Prof Soegijardjo Seoegijoko, partner dalam election ini. Sayangnya saya baru sekali berjumpa dengan beliau: tokoh yang lembut, kebapakan, dan selalu memberikan perhatian tulus kepada berbagai aktivitas engineering. Saya berharap, ke depan ini akan lebih banyak waktu bagi kita untuk berbincang dan berinteraksi memajukan organisasi dan profesi kita.

Jabat erat dan pelukan hangat buat para endorser dan supporter, tokoh-tokoh yang biasanya kalem, namun mendadak bisa menampilkan kehangatan persahabatan dan solidaritas dengan cara yang tak terbayangkan. Pak Ford Lumban Gaol dan Pak Lukas Tanutama (Binus); Pak John Batubara dan Pak Henri Uranus (UPH); Pak Dadang Gunawan, Pak Wahidin Wahab, Bu Fitri Yuli, Bu Riri Fitri sari (UI); Pak Gamantyo Hendrantoro (ITS); Pak Suhono Harso Supangkat dan Pak Budi Rahardjo (ITB); Pak Muhammad Ary Murti dan Pak Arifin Nugroho (ITT); Pak Wiseto Agung dan Pak Anto Sihombing (Telkom); Pak Satriyo Dharmanto dan Bu Agnes Irwanti (Multikom); Pak Jeffrey Samosir (Tritronik); dan masih banyak lagi rekan-rekan dari berbagai kampus dan dunia industri yang memberikan dukungan yang tulus.

OK. Mudah-mudahan pesan ini tak terlalu panjang dan menghabiskan waktu produktif kita. Masih banyak aktivitas yang harus kita lakukan dan target yang kita kejar, memberikan yang terbaik buat profesi, buat negeri ini, dan buat “advancing technology for humanity” :).

IS Expo ITS

Satu undangan datang dari mahasiswa Sistem Informasi ITS, mengajak mengisi mini seminar tanggal 17 November di Surabaya. Judul acaranya Information System Expo ITS 2012. Sekilas, tanggal itu rasanya aman, jadi aku iyakan. Meluangkan waktu berbincang dengan Generasi Z biasanya justru memicu inspirasi baru. Tapi tema yang disodorkan bikin aku senyum lebar: To be an Out-of-the Box Engineer. Ini bener-bener cap yang diberikan ke aku selama bertahun-tahun, sampai dua tahun lalu. Dua tahun lalu, aku mengaku membunuh otak kanan dan beradaptasi hanya dengan otak kiri. Dan pura-pura berhasil, haha :).

Tanggal 16 malam, aku terbang ke Surabaya. Adhika dan satu rekannya menjemput di Juanda. Cukup lelah seusai maraton Qbaca seminggu sebelumnya, aku malah menghabiskan malam nonton Star Trek. Fokusnya pada Spock pula. Kapan nih mau beralih ke otak kanan lagi? Malah kuranh tidur. Tapi paginya aku bangun sangat segar. Mungkin karena jauh dari polusi Jakarta. Melaju ke ITS di trafik akhir pekan Surabaya yang tenang, kami masuk ke Gedung Robotika ITS, dan disambut MC Rossa dan Zaki.

Presentasiku diawali cerita tentang IEEE dan misinya, advancing technology for humanity. Untuk misi ini, IEEE meninggalkan kotak masa lalunya. Misalnya, kini ia tak lagi menyebut dirinya Institute of Electrical and Electronic Engineers, tetapi hanya IEEE saja, dan membuka diri terhadap bidang ilmu lain: informatika, fisika, matematika, biologi, kedokteran, serta bidang lain yang mendukung misi mengembangkan teknologi demi harkat kemanusiaan.

Lalu cerita beralih ke tantangan besar yang harus dituntaskan para engineer di abad ke-21, terutama menyangkut energi, lingkungan, pendidikan, kesehatan; lalu difokuskan ke keindonesiaan dan kesisteminformasian. Bagaimana kita diharapkan merekayasa gaya hidup digital yang memungkinkan ekosistem yang lebih hemat energi, ramah lingkungan, manusiawi. Bagaimana simulasi interaksi dan komunikasi harus diciptakan untuk membantu manusia memperoleh pendidikan dan gaya hidup yang lebih baik.

Dibandingkanlah contoh kasus di beberapa negara, terutama kontras kondisi dimana engineer bekerja secara eksklusif untuk membentuk sebuah produk dan kondisi dimana engineer bekerja membentuk platform yang dapat digunakan publik untuk menciptakan produk-produk yang lebih luas. Berfokus ke Indonesia lagi, aku kembali ke gambar spiral besar, dimana setiap sisi harus mempertimbangkan, berkomunikasi, berkolaborasi dengan ujung spiral lain (spiral punya ujung yach) untuk memastikan semuanya tumbuh bebesar mencapai misi. Contoh spiralnya memiliki 4 ujung: network, service / aplikasi, konten, dan komunitas.

Masih panjang sih. Tapi ceritanya gak seru kalau ditulis. Lebih seru waktu diperbincangkan :). Ensuite masih ada dua presenter lagi; masing2 membahas media sosial dan product branding vs personal branding.

Selesai seminar mini ini, aku langsung harus pamitan. Harus agak meramaikan Indonesia Book Fair di Senayan :). Adhika dan Dilla mengantarku ke Juanda lagi. Dan pesawatku menderu melawan mendung tebal kembali ke Jakarta.

Tapi perkiraanku ada benarnya. Ketemu para calon engineer itu benar-benar memicu inspirasi-inspirasi baru. Thanks, SI ITS :).

Qbaca: Buku Digital Indonesia

Catatan “Humor Klasik Buat Bisnis” tentu saja memang dibuat dalam masa pengembangan Qbaca. Di awal pengembangan, negosiasi yang menarik — yang menyangkut bentuk produk dan platform — telah dilakukan dengan beberapa kandidat developer, para publisher, hingga para senior di corporate. Sedikit mirip dengan si “calon besan Bill Gates” :). Bahkan di masa awal pembentukan prototype produk (dan platform), kami telah menerima berbagai masukan yang sesungguhnya semuanya bagus dan ideal, namun saling bertolak belakang. Mirip petani dan  anaknya yang membawa keledai. Tapi kami harus memastikan bahwa produk ini bisa menjejakkan kaki di kondisi Indonesia saat ini, sekaligus punya peluang untuk tumbuh ke depan dan menumbuhkan pengembangan konten dan aplikasi digital lain di Indonesia. Yang justru tidak mudah adalah memastikan misi dan strategi produk ini tersampaikan dengan baik, hingga ke ujung senior leader di atas, ke developer yang memiliki standard tersendiri, ke komunitas, ke publisher, dan ke dalam tim sendiri. Agar tak terulang kisah Goh Chok Tong, kita harus benar-benar memastikan misi dan strategi ini tersampaikan ke semua stakeholder. Tapi memang tidak mudah.

Qbaca sendiri dinyatakan resmi diluncurkan pada 9 November 2012, di Teluk Jakarta, bersamaan dengan penyerahan penghargaan Indigo Fellowship 2012. Acaranya sederhana, sesuai bentuk produk yang tidak gemebyar, tapi diharapkan tumbuh dari kecil untuk berkembang membesar melalui aktivitas komunitas.

Event perdana bagi Qbaca adalah di Indonesia Book Fair di Senayan Jakarta, 17-25 November 2012. Dua talk show digelar di panggung utama.

Talk show tanggal 19 November menampilkan Dewi “Dee” Lestari yang didampingi EGM DMM Achmad Sugiarto, mengulas e-Book dari berbagai sudut pandang. Dee sebagai pembaca mengharapkan e-Book bukan hanya sebagai buku yang didigitalkan, tetapi harus diperkaya dengan enhancement yang meningkatkan pengalaman membaca dan berinteraksi. Dee sebagai penulis mengharapkan platform e-Book yang dilengkapi dengan digital security untuk menjamin terjaganya hak penulis dan penerbit buku.

Talk show tanggal 21 November menampilkan CIO Telkom, Indra Utoyo, dalam bedah buku “Manajemen Alhamdulillah” karya beliau yang juga tersedia di Qbaca. Sebetulnya tak ada permintaan khusus untuk memasang buku pejabat Telkom di Qbaca. Kami hanya meminta penerbit (a.l. Mizan Group) untuk memasang beberapa buku best seller mereka ke dalam Qbaca. Ternyata salah satu yang dikirimkan adalah buku “IU” ini. Waktu kami sampaikan terima kasih bahwa buku “IU” ikut dimasukkan, pihak penerbit Mizan juga surprised, karena mereka tidak merasa sengaja memilih buku yang berkaitan dengan Telkom. Bedah buku ini menghadirkan perwakilan dari Mizan Group, IKAPI Pusat, dan MUI. Surprised. IU sendiri menyampaikan paparannya tidak dengan gaya Telkom (hahaha), tetapi sebagai penulis professional yang memiliki passion pada karyanya. “Telkom punya direksi sekelas ulama,” komentar ustadz Irfan Helmi dari MUI Pusat.

Selama pameran, beberapa masukan, dan komentar diterima oleh Tim Qbaca. Mungkin aku akan memberikan komentar satu-per-satu di sini, sekaligus buat bahan diskusi buat menerima lebih banyak masukan lagi buat perbaikan produk milik bersama ini.

EPUB3

Qbaca bukan saja akan memigrasikan buku ke bentuk digital, namun juga akan menjadi platform bagi konten dan aplikasi digital interaktif skala mini untuk dapat dikemas dalam bentuk e-Book, dan didistribusikan dalam Qbaca bookstore. Format yang mutakhir, terbuka, terstandardisasi, dan paling memungkinkan untuk ini adalah EPUB3. EPUB3 memungkinkan konten berupa teks, gambar, animasi, video, suara, dan aplikasi interaktif untuk dimasukkan ke dalam e-Book secara relatif mudah. Dalam konteks buku-buku sekolah, kita dapat menciptakan LKS digital, laporan, eksperimen, tes kemampuan, dll, dalam e-Book berformat EPUB3 ini.

EPUB3 juga, sebagai format standard, dipilih untuk memudahkan para publisher mempersiapkan e-Book sendiri sebelum disubmit ke dalam sistem Qbaca. Berbagai program (mis Pages di Mac) dapat melakukan ekspor ke EPUB. Program gratis seperti Calibre dapat melakukan konversi ke EPUB. Program Sigil dapat digunakan untuk membuat dan mengedit file EPUB.

Namun, file akan dikirimkan ke user dalam bentuk file EPUB3 terenkripsi. Jadi hak-hak penerbit tetap dijaga.

Digital Right

Qbaca harus memastikan bahwa para penerbit dan penulis di Indonesia bersedia bekerja sama, dan menyumbangkan buku untuk didistribusikan di Qbaca. Salah satu hal yang diminta semua penerbit besar saat ini adalah dijaganya digital right. Memang ini jadi melanggar prinsip pribadi yang menyukai konten terbuka. Secara pribadi, semua whitepaper, materi lecture & seminar, dan presentasi, selalu aku bagikan free via web atau jalur lain. Tetapi kita tidak hidup di lingkungan tempat para penulis berpikir seperti penulis O’Reilly (yang sering aku jadikan contoh dalam distribusi buku tanpa DRM), dan pembaca publik di Indonesia pun belum seluruhnya berperilaku seperti sebagian besar segmen pembaca buku-buku O’Reilly. Survei-survei menunjukkan bahwa publik di Indonesia lebih suka mencari konten gratis (termasuk Internet gratis dan listrik gratis, jika memungkinkan), plus suka berbagi konten gratis yang bukan milik mereka sendiri. Belum ada kesadaran menjaga copyright atau copyleft.

Jadi, sampai budaya kita bisa agak berubah, atau sampai para penerbit/penulis bersedia bekerja sama dengan model bisnis tanpa DRM, kita terpaksa masih akan memberlakukan DRM.

Platform

Qbaca akan tetap diarahkan sebagai platform. Bukan hanya berarti Qbaca dapat menampung berbagai konten dan aplikasi yang berbeda sebagai konten yang dijual dan didistribusikan di atasnya, tetapi juga Qbaca akan dikembangkan untuk memungkinkan transaksi dilakukan tidak hanya di sistem Qbaca. Setelah sistem teruji oleh pasar, kita akan mengajak para developer untuk menciptakan aplikasi reader yang terhubung dengan sistem Qbaca, membuat toko digital yang dapat digunakan untuk membeli konten di Qbaca, membuat lini produksi yang dapat langsung melakukan submit konten (e-Book dan konten lain) ke Qbaca, menghubungkan aplikasi dan web dengan Qbaca, dan masih banyak kemungkinan lain.

Kompatibilitas

Pada versi terkini (2.0.0), Qbaca tidak dapat dijalankan pada Jelly Bean (Android 4.1 dan 4.2). Ini memang mengecewakan, terutama bagi kami. Aku sendiri menggunakan Flexi di Samsung Galaxy S3 dengan Android 4.1.1, jadi masih ikut mengalami crash ini. Tim developer menjanjikan  bahwa versi yang berjalan baik di Jelly Bean akan diterbitkan sesegera mungkin.

Versi iOS tetap dijadwalkan terbit pada bulan Desember. Waktunya memang mendesak, sementara Apple approval memerlukan waktu tak sedikit. Mohon kesabaran sedikit dari para penganut “Think Different” :).

Versi Blackberry masih di luar rencana. Tapi kami berharap RIM benar-benar mewujudkan harapan kita semua untuk memungkinkan aplikasi Android dijalankan di atas OS Blackberry 10.

User Interface

User Interface Qbaca masih jauh dari memuaskan. Kami masih terus memperbaikinya. Kami telah meminta masukan dari para blogger dan anggota komunitas pembaca buku serta komunitas penggemar gadget. Ada banyak masukan, dan beberapa di antaranya bertolak belakang. Misalnya, ada yang memilih halaman depan hanya diisi cover tanpa deskripsi, namun banyak yang juga mengharapkan deskripsi tetap ditampilkan. Tim kami terus memilah, melakukan eksperimen, dan memperbaiki user interface ini.

Buku Yang Terbatas

Sebagian besar penerbit yang telah memiliki perjanjian kerja sama dengan Qbaca masih memerlukan waktu lebih panjang untuk mempersiapkan konten EPUB. Umumnya mereka melakukan layout dengan In-Design atau program lain yang belum dapat menyimpan hasil seperti yang diharapkan, dalam format EPUB3. Tapi konten-konten baru saat ini terus-menerus ditambahkan.

Penulis Indie

Sebagai corporate yang memang masih mengemban sisa-sisa masa lalu, Telkom belum cukup luwes untuk bekerja sama dengan individual. Revenue sharing baru dapat dilakukan dengan badan hukum :). Namun Qbaca akan membuka kerjasama dengan pihak ketiga untuk menerima naskah dari penulis indie; sehingga naskah dapat diformatkan menjadi EPUB3, dan disubmit ke sistem Qbaca, plus dilakukan revenue share dengan cara yang tetap memenuhi persyaratan bagi semua pihak.

Tambahan

Beberapa situs / news / blog yang mengulas Qbaca:

News / Journal: Daily Social | Tempo | TribunTelkom Speedy | Mizan
Blog: Nike Rasyid | Fera Marentika | Bambang TrimHindraswari EnggarDaily Andro
Qbaca: Site | Twitter | Facebook | Google Playstore | Mail

Penjelajah Antarktika

Dalam salah satu sesi pada Workshop Transformasi Organisasi minggu lalu di Gunung Malang, CIO Telkom Indra Utoyo [@iutoyo] sempat menganjurkan buat baca buku Great by Choice, tulisan Jim Collins. Pada sesi break berikutnya, aku langsung download bukunya di Amazon Kindle [fk.vc/gbc]. Workshopnya sendiri lumayan padat, jadi buku itu baru leluasa terbaca di penerbangan Tangerang-Incheon (atau kerennya Jakarta-Seoul). The Why dari buku ini dipaparkan pada Bab 2, yang mengisahkan Penjelajahan Perdana ke Antarktika di tahun 1911-1912.

Pada Oktober 1911, dua tim penjelajah menyiapkan perjalanan pertama umat manusia ke Kutub Selatan. Satu dipimpin Roald Amundsen dari Norwegia, dan satu tim Robert Falcon Scott dari UK. Keduanya berusia sekitar 40 tahun, dan pernah menjelajah Antarktika. Amundsen pernah tinggal selama musim dingin di Antarktika melalui Lintas Barat Laut (Northwest Passage); sementara Scott pernah memimpin penjelajahan ke arah Kutub Selatan di tahun 1902 — tapi berhenti di 82 derajat. Dalam ekspedisi ini, keduanya memilih tanggal berangkat yang berdekatan, pada jalur berbeda, tetapi jarak kurang lebih sama, yaitu sekitar 2300 km, pada suhu -30 derajat Celcius. Tentu di tahun 1911 belum ada HP, radio bergerak, satelit, GPS, atau pesawat penolong untuk keadaan darurat.

Saat berusia duapuluhan tahun, Amundsen menjelajah Eropa, dari Norwegia ke Spanyol pergi dari Norwegia ke Spanyol untuk memperoleh sertifikat pelayaran. Bukannya naik kereta atau kapal laut, ia memilih bersepeda. Ia mencoba makan daging lumba2 untuk memahami nilai gizinya. Ia selalu bersiap seolah2 suatu hari kapalnya akan karam, dan ia harus hidup dalam cuaca ekstrim kejam dikelilingi hanya satwa2 aneh yang mungkin bisa dimakan. Ia bahkan sempat ke wilayah orang Eskimo. Ia melihat bagaimana orang Eskimo bergerak lambat tapi stabil, agar tak berkeringat. Keringat bisa jadi lapis es pada suhu di bawah nol. Ia memakai baju longgar ala Eskimo (juga untuk mencegah keringat), dan belajar menggunakan anjing buat menarik kereta.

Persiapan Scott tidak seekstrim itu. Ia melakukan pengkajian juga, namun tidak dalam posisi seketat Amundsen. Ia berminat mencobai kereta bermotor, dan membawa Kuda Poni yang sudah berabad2 teruji tangguh di Eropa. Di penjelajahan, mulai tampak bahwa persiapan Scott kurang matang. Mesin motor pecah hanya dalam waktu beberapa hari. Kuda poni mudah berkeringat, berlapis es, tak tak bertahan. Selain itu, mereka hanya makan tanaman, yang tak tersedia di Antarktika. Amundsen, selain membawa stok makanan dan daging, juga berencana membunuh anjing2 yang paling lemah untuk menjadikannya makanan buat anjing yang lain. Tak lama, tim Scott harus menggunakan diri mereka sendiri buat menarik kereta.

Kedua tim meninggalkan persediaan makanan buat pulang. Amundsen bukan hanya memberi tanda depot makanan dengan bendera, tetapi juga meninggalkan bendera dan tanda2 lain pada jarak yang teratur agar mereka tak mudah tersesat saat kembali. Amundsen menyiapkan 3 ton makanan untuk 5 orang, sementara Scott membawa 1 ton untuk 17 orang. Pada titik kritis 82 derajat, persediaan Amundsen masih cukup banyak; sementara Scott persediaannya pas2an sesuai kalkukasi minimal. Kehilangan satu depot saja akan berakibat fatal bagi tim Scott. Scott suka hal yang pas2an tampaknya. Ia hanya bawa satu termometer. Saat termometer pecah, ia marah luar biasa. Amundsen bawa 4 termometer.

Ini penjelahanan perdana ke Kutub Selatan. Tak ada manusia tahu apa di depan sana. Tak ada pesawat atau satelit pernah mengintai dari atas sana. Namun Amundsen mengasumsikan yang di depan sana semuanya buruk, dan ia harus siap. Scott sendiri selalu tak siap menghadapi nasib buruk. Catatan hariannya penuh keluhan atas takdir buruk pada timnya.

Pada 15 Desember 1911, Amundsen tiba di Kutub Selatan. Musim panas memberi pemandangan cerah. Ia memasang bendera Norwegia, dan mendedikasikan dataran itu untuk Raja Norwegia. Mereka membuat tenda, dan menyiapkan perjalanan pulang. Berjaga2 kalau mereka akan mati dan gagal mencapai jalan pulang, Amundsen membuat surat buat Raja Norwegia, dan menyimpannya di kantong, untuk dititipkan ke Scott yang mungkin tiba beberapa saat kemudian. Persiapan luar biasa!

Amundsen di Kutub Selatan

Ternyata saat itu Scott masih sibuk menarik kereta, 500 km jauhnya dari Kutub. Baru pada 17 Januari 1912, Scott mencapat Kutub Selatan, dan menatap sedih pada Bendera Norwegia di sana. Eh, aku sedih beneran di adegan ini :(. “Hari yang menyedihkan,” tulisnya, “Sementara angin bertiup makin kencang dan suhu turun ke -30 lagi. Tuhan maha besar! Tempat yang kejam untuk dijelajahi tanpa memperoleh kemenangan.” Pada saat yang sama, Amundsen sudah bergerak cepat ke utara, melintasi batas 82 derajat, menghindari cuaca yang kembali memburuk.

Scott di Bendera Amundsen di Kutub Selatan

Amundsen tiba di pangkalan tepat pada 25 Januari 1912. Tepat sesuai perencanaan. Scott menghentikan perjalanan bulan Maret, tertekan dan sangat kelelahan. Delapan bulan kemudian, tim dari UK menemukan jenazah Scott dan rekan-rekannya, hanya 15 km dari depot makanan.

Scott dan Amundsen menghadapi situasi yang sama, dan cuaca yang sama. 34 hari pertama, keduanya menemui perbandingan cuaca baik yang sama, sebesar 56%. Namun, mereka melakukan perencanaan perjananan dengan gaya yang berbeda.

Buku ini lalu memberikan simpulan. Kepemimpinan yang mampu membawa perusahaannya selalu selamat dalam badai, dan tetap mampu tumbuh, ternyata: tidak lebih kreatif, tidak lebih visioner, tidak lebih karismatik, tidak lebih ambisius, tidak lebih beruntung, tidak lebih berani menghadapi resiko, tidak lebih heroik, dll dibanding pemimpin yang lain. Bukan berarti bereka tidak memiliki sifat itu. Justru, sifat itu sudah ada pada pemimpin perusahaan yang berhasil maupun yang gagal. Tapi pemimpin pada perusahaan yang terbukti berhasil itu memahami bahwa mereka menghadapi ketidakpastian yang terus-menerus, dan tak selalu dapat dikendalikan. Mereka paham, tapi mereka menolak untuk dikendalikan oleh hal-hal tidak bisa mereka kendalikan itu. Maka mereka mengambil tanggung jawab untuk melakukan pengendalian penuh, dengan segala resikonya, atas keberhasilan misi mereka.

Buku ini memberikan contoh lebih detail atas cara kerja kepemimpinan semacam ini. Aku rasa memang Pak Indra Utoyo berkeinginan agar para pimpinan Telkom masa kini dan masa depan bisa meneladani dan mempejalari bagaimana terus menjaga bisnis yang kita yakini menjadi pendukung kuat pertumbuhan dan ketahanan ekonomi nasional ini. OK bukunya terus aku baca. Tapi blognya berhenti di sini. Kan judulnya Penjelajahan Antarktika.

APCC 2012

Duet konferensi IEEE Comnetsat dan IEEE Cyberneticscom di Bali bulan Juli lalu ternyata meninggalkan efek panjang. Walau kami para organiser menganggap segala sesuatunya masih jauh dari sempurna, namun kedua keynote speaker kami memiliki kesan berbeda. Prof Lightner (Presiden IEEE tahun 2006) dalam pertemuan di Hongkong memuji Cyberneticscom dan Comnetsat sebagai konferensi yang sepenuhnya memenuhi persyaratan dan bakuan IEEE, bahkan termasuk hal2 kecil seperti visual design; lalu mengusulkan Indonesia mengajukan proposal menjadi tuan rumah IEEE TALE 2013. Prof Byeong Gi Lee (Presiden IEEE Comsoc tahun 2010-2011), dalam komunikasi sesudah Comnetsat, juga mendorong Indonesia menjadi tuan rumah di APCC 2013. Kebetulan Prof Lee adalah General Chair untuk APCC 2012. Maka kami diundang untuk mengajukan proposal, melakukan bidding, pada APCC 2012 ini. Prof Lee orangnya sangat cerdas dan lembut, namun tegas. Jadi biarpun nadanya lembut, itu agak kami artikan sebagai perintah.

APCC, Asia-Pacific Conference on Communications, adalah konferensi regional yang sangat bergengsi di salah satu kawasan dengan pertumbuhan teknologi IT tertinggi di dunia. Untuk level internasional, IEEE Comsoc memiliki ICC dan Globecom. Untuk level general, IEEE Region 10 Asia Pacific memiliki Tencon (yang dituanrumahi Indonesia tahun 2010). APCC semacam irisan bagi keduanya. Namun karena bidang ilmunya spesifik, hubungan personal dan profesional di kalangan Steering Committee-nya (ASC) sangat erat. APCC, selain disponsori oleh IEEE Comsoc, juga didukung oleh KICS di Korea, IEICE di Jepang, dan CIC di Cina. Nama2 anggota ASC juga cukup mendebarkan: tokoh2 besar yang merupakan pionir dunia ICT. APCC diselenggarakan pertama kali tahun 1993 di Taejon, Korea. APCC ke-18 tahun ini juga diselenggarakan di Korea, tetapi di Jeju Island.

Comsoc Indonesia (IEEE Communications Society Indonesia Chapter) mulai bergerak. Pertemuan penjajagan dilakukan sejak Ramadhan tahun ini. Namun officer di Comsoc Indonesia, selain jumlahnya sedikit, juga sangat sibuk. Sangat! Jadi kami hanya membuat proposal yang sifatnya brief, bukan proposal lengkap. Justru, sambil mengajukan proposal, kami akan banyak minta masukan dari APCC Steering Committee. Walau beberapa kali menyelenggarakan konferensi internasional dengan hasil patut dibanggakan; tapi kami bahkan belum pernah datang ke APCC. Setelah melakukan negosiasi internal beberapa putaran, yang juga melibatkan IEEE Indonesia Section, diputuskan Indonesia akan mengirimkan aku (sebagai Past Chair Comsoc Indonesia), M Ary Murti (sebagai IEEE Indonesia Chair, tapi sebenarnya Past Chair Comsoc Indonesia juga sih), dan Agnes Irwanti (sebagai Sekretaris Comsoc Indonesia).

Karena kesibukan yang memang luar biasa, kami bahkan tidak bisa berangkat bersamaan. Visa Korea pun diuruskan. Aku memilih terbang dengan Garuda, berangkat dari dari Jakarta tanggal 13 Oktober malam, dan tiba di Incheon 14 Oktober. Berkeliling sejenak di Seoul, perjalanan diteruskan dengan Korean Air dari Incheon ke Jeju. Jeju adalah pulau wisata yang terletak lepas di selatan Semenanjung Korea. Kalau ada waktu, aku tulis rincian perjalanan di blog TravGeek deh. Tapi gak janji :p

APCC 2012 dibuka tanggal 15 pagi. Pembukaan dilakukan berturutan oleh Prof Jinwoo Park, Presiden KICS; Prof Byeong G Lee, dari IEEE; lalu Prof Yang Zhen, Vice Chair dari CIC. Plenary session dibawakan oleh Prof Tomonori Aoyama, yang juga salah satu pelopor APCC, dengan tema New Generation Networking (NWGN) and Inter-Cloud Computing to Handle Big Data. NWGN, atau disebut juga Future Internet, bukanlah sekedar pengembangan dari suite TCP/IP; melainkan rancangan arsitektur network baru yang bisa jadi berdasarkan Post-IP Network.

Break, foto2 dulu dengan beberapa peserta dari Indonesia, yang merupakan mahasiswa & mahasiswi di Korea dan Jepang.

Setelah break, ASC mengadakan sesi terpisah, untuk membahas penyelenggaraan APCC ini. Termasuk di dalamnya adalah pembahasan tuan rumah APCC berikutnya. Jadi delegasi Indonesia harus bergabung dengan ASC, dan gagal ikut sesi pembahasan industri bertema Advanced Multi-Screen Services and Future Smart TV.

ASC menempati ruang seminar saja. Anggota ASC, para titan itu, berkomunikasi dengan budaya yang menarik: lembut, tegas, dan memancarkan kecerdasan. Selain anggota ASC, hadir delegasi Indonesia dan Thailand yang mengajukan bidding. Thailand tampil dengan presentasi yang excellent, detail, sambil tak lupa membawa souvenir dari negerinya. Presentasi delegasi Indonesia disampaikan Mr Koen Clumsy yang seperti biasa berpresentasi dengan gaya gugup alaminya. Lebih banyak berfokus ke pemilihan tema, waktu, situasi.

Sesudah presentasi, diantara berentetan pertanyaan, Ketua Sidang sempat menanyakan, apakah Indonesia tidak berkeberatan jika diberi kesempatan sesudah Thailand saja. Aku menjawab bahwa kita tidak punya keberatan soal waktu dan tempat. Tapi memang keren kalau kita menyelenggarakan APCC di tahun yang sama dengan anniversary ke 25 dari IEEE Indonesia dan ke 10 dari Comsoc Indonesia. Ada beberapa pertanyaan lain tentu saja. Tapi kami bisa menunjukkan bahwa kami punya plan dan komitmen yang baik. Bernegosiasi dengan manusia-manusia yang cerdas tak pernah sulit :). Tak lama, kami diminta keluar.

Beberapa belas menit kemudian, kami diminta masuk lagi, dan diberi ucapan selamat. Sidang ASC telah menetapkan Indonesia jadi tuan rumah untuk APCC 2013, dengan Comsoc Indonesia sebagai organizer. Kami juga diminta menyampaikan pidato singkat pada banquet esok harinya.

Tanggal 16 pagi, aku masih ikut Plenary Session. Prof Zhisheng Niu menyampaikan tema Rethinking Cellular Networks – A Novel Hyper-Cellular Architecture for Green and Smart ICT. Siang, baru kelelahan terasa mengganggu. Kami menyempatkan menyegarkan diri dengan jalan-jalan ke pantai di depan hotel.

Malam itu, kami diundang ikut Banquet dari APCC. Sebagai calon tuan rumah tahun 2013, kami diminta duduk di salah satu meja VIP di depan. Tentu di acara semacam itu, toast jadi kegiatan rutin. Syukur ada yang meletakkan sebotol Coca Cola di meja; buat kami2 yang masih istiqomah tak mau menenggak khamar. Kempai! Aku minta Bu Agnes yang memberikan sambutan dari Indonesia; daripada aku clumsy lagi dan pasti dan tampak lelah. Deretan VIP bergantian mengajak berbincang tentang rencana APCC tahun depan.

OK, rencana APCC 2013 akan kita paparkan juga di blog ini; tapi di waktu lain.

Pagi tadi, aku bangun pagi2, dan langsung kabur dari hotel. Hampir tak ada taksi di Jeju sepagi itu. Tapi ada satu orang Korea sudah pesan taksi ke airport. Jadi aku boleh ikut. Dari Jeju Airport, Korean Air menerbangkanku ke Gimpo, dalam waktu 1 jam. Disusul jalan cepat 500 meter, aku masuk ke Arex (Airport Express). Arex adalah kereta yang menghubungkan Gimpo dengan Incheon, dengan waktu sekitar 40 menit. Di Incheon, aku langsung checkin di Garuda, jalan cepat ke imigrasi, jalan cepat ke kereta penghubung terminal, dan sampai di Gate 107 tepat waktu para penumpang diminta boarding. Wow, nyaris :).

Tujuh jam kemudian, aku sudah sampai Jakarta.

Humor Klasik Buat Bisnis

Yang berikut ini bukan candaan baru, tapi candaan yang sering digunakan untuk mengingatkan anak2 muda yang baru masuk ke dunia bisnis akan dunia yang berbeda dengan ranah akademis mereka. Maaf kalau masa yang digunakan adalah antara belasan hingga ratusan tahun lalu :p

1. Kisah Besan Bill Gates

Mr X: “Hei, aku menemukan calon istri buat kamu.”
Anak Mr X: “Gak mau ah.”
Mr X: “Tapi ini putri Bill Gates.”
Anak Mr X: “Baiklah.”

Lalu si ayah melakukan networking dengan CEO World Bank.

Mr X: “BTW, aku rasa anakku cocok jadi VP di Bank Dunia.”
CEO World Bank: “No way, man!”
Mr X: “Tapi dia menantu Bill Gates.”
CEO: “Really? Boleh juga kalau gitu.”

Dan datanglah Mr X ke Bill Gates.

Mr X: “Bill. Boleh juga nih kalau kita berbesan.”
Gates: “Emang loe siapa?”
Mr X: “Anak gua sih VP World Bank.”
Gates: “Hmmm. Boleh juga.”

Bisnis masa kini hanya jalan jika semua pihak dapat memberikan dukungan bersamaan. Jika menjalankan satu bagian dari bisnis, lalu menunggunya berhasil untuk dapat mulai mengajak pihak lain; bisnis tidak akan berjalan baik. Kita harus menyusun plan secara ketat dan rapi, lalu menawarkan dan menjaminkan ke semua pihak agar mereka memberikan dukungan, kemudian menjalankan apa yang kita janjikan dengan komitmen dan kerja keras kita. Tentu, rasanya akan seperti dijepit semua pihak. Tapi untuk sebuah misi yang penting, kenapa tidak?

2. Kisah Petani dan Keledai

Petani dan anaknya pergi menuntun keledai. Berpapasanlah mereka dengan Tuan A. Maka Tuan A berkomentar: “Petani bodoh. Masa berjalan kaki sejauh itu, padahal mereka punya keledai yang bisa ditunggangi.”

Maka petani menaikkan anaknya ke punggung keledai, dan melanjutkan perjalanan. Bersualah mereka dengan Tuan B, yang lantas berceloteh: “Begitulah petani masa kini mendidik anaknya untuk kurang ajar. Anak bersenang-senang naik keledai, sementara orang tuanya harus berjalan.”

Maka petani menurunkan anaknya dari punggung keledai, dan mengendarai keledai. Bertemulah mereka dengan Tuan C, yang tak membuang waktu untuk langsung menyumbang pendapat: “Petani tak tahu diri. Bersenang-senang naik keledai, sementara anaknya yang kecil dan lemah harus berjalan kaki.”

Petani pun mengangkat anaknya ke atas punggung keledai. Berjumpalah dengan Tuan D, yang langsung berpidato: “Sungguh petani jahat. Dua orang menunggang satu keledai kecil? Sungguh tak berperikemanusiaan!”

Kita semua tahu bahwa tidak akan pernah kita bisa menyenangkan semua orang. Tidak mungkin. Tidak masuk akal. Tapi mungkin kita harus juga mulai sadar bahwa tidak mungkin juga untuk bisa menyenangkan satu orang, siapa pun itu. Tetaplah konsisten pada misi kita. Abaikan suara-suara tidak penting.

3. Kisah Pejabat Orde Baru

Soeharto menjumpai Lee Kuan Yew. Ia mendadak bertanya, kenapa Singapore bisa jauh lebih maju dari Indonesia. Maka Lee Kuan Yew memanggil Goh Chok Tong, lalu ia bertanya: “Mr Goh, siapa itu anaknya bapakmu, anaknya ibumu, tapi bukan saudaramu?” Goh tersenyum, lalu menjawab: “Tentu saja saya sendiri.” Dan Lee menyimpulkan: “Kami bisa maju karena kami memilih orang-orang pintar jadi pengelola negara.”

Soeharto pulang. Tapi ia penasaran: apakah ia telah memilih orang pintar jadi pengelola negara. Maka ia memanggil menteri kesayangannya, Harmoko. “Pak Harmoko. Ada yang ingin saya sampaiken. Pak Harmoko coba menjawab, siapakah anak daripada bapakmu, anak daripada ibumu, tapi bukan saudara daripada kamu.” Harmoko cepat menjawab, “Mohon petunjuk untuk tindak lanjutnya, Pak.” Soeharto agak kesal, tapi ia masih menyimpan harapan. “Coba Pak Harmoko mencari jawabannya ke menteri-menteri lain.” Maka Harmoko undur diri.

Setelah tak memperoleh jawaban dari Soedharmono, Akbar Tanjung, dll; akhirnya Harmoko menemui Habibie. Habibie tertawa saja. “Pak Harmoko, jawabannya adalah saya sendiri!” Harmoko langsung cerah. Tak lama ia mohon menghadap Presiden Soeharto.

Soeharto menyambut dengan senyum permanennya. “Sudah ada jawaban, Pak Harmoko?” Harmoko tak sabar menjawab dengan ceria, “Sesudah saya gali informasi dari berbagai pihak, ternyata jawabannya adalah: Pak Habibie!”

Soeharto mengernyitkan kening. Tapi ia tak ingin mengecewakan bawahannya yang setia itu. “Bagus Pak Harmoko. Itu merupaken upaya yang baik. Jawabannya juga sebenarnya mendekati benar. Tapi sayang memang belum 100% benar.”

Harmoko agak kecewa. “Jadi jawabannya apa, Bapak Presiden yang Kami Banggakan?”

“Adapun jawabannya,” pungkas Soeharto, “Adalah Goh Chok Tong.”

Pesan: Kadang kita merasa misi dan pesan kita telah tersampaikan dengan baik kepada seluruh pihak yang kita harapkan akan mendukung misi kita. Tapi sering kali kita salah. Misi belum tersampaikan. Pastikan misi tersampaikan.

Ada sumbangan cerita juga?

 

Workshop Buku Digital

Kota Bandung akan mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat Ibukota Buku Dunia (World Book Capital) di tahun 2016. Ini salah satu point terpenting yang disampaikan Bapak Mahpudi, Wakil Ketua IKAPI Jawa Barat, pada kegiatan Workshop Pengembangan Buku Digital tanggal 27 September kemarin.  Workshop ini diselenggarakan di Mabes IKAPI Jabar di kawasan Ciateul, Bandung. Di workshop ini, aku mempresentasikan “Eksplorasi Buku Digital” buat para penerbit buku se-Jawa Barat. Tapi sebelumnya, GM Unit Business Service Telkom Regional III Gunawan Rismayadi berbincang dulu dengan peserta workshop tentang strategi Telkom menumbuhkan bisnis digital, termasuk dengan partnership dan inkubasi UKM (Usaha Kecil Miliaran).

Presentasiku sendiri berfokus ke salah satu project bottom-up di Telkom, yaitu pengembangan ekosistem buku digital (e-Book). Project ini belum diberi nama resmi :). Tapi kami sudah menyelesaikan business plan. Dari sisi teknis, bakuan sudah ditetapkan. Untuk pengembangan, kami telah memilih partner yang terpercaya. Para penerbit sudah dilibatkan sejak awal, bukan saja untuk memberikan content buku digital, tetapi juga untuk merumuskan bentuk produk e-Book itu. Dan, tentu saja, komunitas-komunitas pecinta buku, penulis, penggemar gadget, kami ajak berbincang asik untuk membahas pengelolaan produk.

e-Book sendiri bukan sekedar buku yang dipindahkan ke komputer dan gadget. Seperti surat berpindah ke email dan TV berpindah ke IPTV, e-Book akan mendapatkan banyak nilai tambah saat bermigrasi ke dunia digital. e-Book bukan saja berisi teks dan gambar, tetapi dapat memuat berbagai konten multimedia, seperti animasi, video, hingga interaktivitas. Untuk mendukung ini, kami memilih standard EPUB3, bukan PDF atau semacamnya. Developer kami terpaksa mengubah desain asli mereka untuk mengikuti standard yang kami tetapkan ini. Tentu konten ini harus dikunci dengan mekanisme DRM yang kuat, untuk memastikan buku hanya dibaca oleh user yang memiliki hak untuk membaca.

Sementara ini, aplikasi client disiapkan hanya untuk Android dan iOS. Versi Mac, PC, web, Blackberry, Windows Phone, dll, bisa menyusul, tapi belum ditetapkan prioritasnya. Tapi kami sadar bahwa pemakai smart phone dan tablet di Indonesia umumnya menggunakan Android; dan pemakai Android umumnya gemar barang gratisan. Jadi, konten-konten buku ini, selain juga dijual, juga dapat dimungkinkan untuk diberikan secara gratis, asalkan ada dukungan iklan. Iklan ini berasal dari advertiser, yang seolah-olah mentraktir pembaca buku, sehingga mereka bisa mengunduh buku secara gratis. Iklan dipasang sebagai in-content advice, bukan sebagai banner advertising atau semacamnya. In-content artinya iklan berada di dalam buku, mirip iklan di majalah saat ini; dan advice artinya iklan bersifat kontekstual, sesuai dengan tema buku dan kebutuhan pembaca. Infomedia, satu perusahaan dari Telkom Group, sudah memiliki barisan advertiser yang siap memasang iklan. Tentu, keputusan memasang iklan dan jenis iklan tetap menjadi keputusan penulis buku dan penerbit.

Feature-feature lain masih terus ditambahkan. Workshop IKAPI ini juga sekaligus jadi ajang menerima masukan dari para publisher untuk menyiapkan produk yang betul-betul memenuhi kebutuhan pembaca, penulis, penerbit, dan pemakai gadget. Salah satu yang sering diminta oleh para publisher adalah interaktivitas, khususnya buat buku sekolah. Ini juga tengah kami siapkan, namun mungkin belum dapat selesai di versi awal dari produk ini. Akan diperlukan integrasi terbatas dengan database sekolah dan siswa juga nantinya; tetapi ini akan dipermudah karena ada SIAP Online.

Project e-Book ini sendiri dimulai dari keinginan rekan-rekan buat menyediakan produk e-Book yang membuat buku digital bisa membudaya di Indonesia. Amazon Kindle, Apple iBook, B&N Nook, dll belum banyak berisi Buku Indonesia, dan masih mempersulit transaksi dari Indonesia (kecuali user menggunakan jalan samping, seperti jailbreak, memalsu alamat, dan semacamnya). e-Book yang ada di Indonesia umumnya masih menggunakan PDF atau semacamnya; jauh tertinggal dari aplikasi serupa yang justru tampil menarik menayangkan konten majalah, misalnya. Kami berkomitmen agar hobbi dan gaya hidup membaca buku plus gaya hidup digital, bisa dipenuhi secara legal dan nyaman. Publisher bisa memperoleh jalur distribusi buku yang baru, sekaligus mendapatkan alternative business model yang berbeda.

Yang juga sangat penting buat aku adalah bahwa kesukaan kami membaca tidak perlu mengorbankan pohon-pohon, hutan-hutan, dan lingkungan hidup. Wangi kertas yang dulu harum, kini sudah tercampur rasa bersalah bahwa kami terlau banyak mengorbankan lingkungan buat kecintaan kami membaca. Dengan buku digital, aku berharap bisa beli buku lebih banyak; bisa bawa ratusan buku ke mana-mana setiap saat; dan tidak lagi banyak mengorbankan hutan hijau. Sekarang sih Kindleku memang terisi ratusan buku, tapi hampir tidak ada Buku Indonesia di dalamnya.

Komitmen semacam ini memang memerlukan kerja keras. Jadwal hidup beberapa minggu ini jadi agak tergeser dan terganggu akibat banyaknya bagian-bagian dari produk yang harus direncakanan dengan baik dan dipastikan dapat diimplementasikan sesuai rencana. Kontrak-kontrak, cara-cara pembayaran, user experience, dan masih banyak lagi.

Syukurlah, seperti para penerbit yang tergabung di IKAPI Jawa Barat ini, banyak pihak-pihak lain yang sudah menyatakan dukungannya atas project ini. Misalnya beberapa penerbit besar di Jakarta dan Bandung. Juga komunitas pecinta buku, penggemar gadget, penyuka komik. Komunitas pengembang konten digital sudah mulai tertarik membayangkan media baru untuk aplikasi interaktif mereka, termasuk saluran buat pemasarannya. Komunitas penyayang lingkungan, ada yang mau bergabung?

Satu lagi. Satu lagi. Ada usulan buat nama produk ini? Bikin usulan yang kreatif ya :)

It Only Hurts When I Smile

Sekali-sekali cerita yang nggak ada ujung pangkalnya yuk.

Alkisah, di tahun 1997, Larry Page, Sergey Brin, dan beberapa rekan lain mencari nama keren buat teknologi mesin pencari yang tengah mereka kembangkan. Waktu itu Sean Anderson dan Larry Page sibuk mereka-reka nama, dengan papan tulis dan terminal terakses Internet. Salah satu kata yang buat mereka menarik adalah Googolplex, yang langsung ditanggapi Larry dengan memilih bentuk yang lebih singkat: Googol. Keduanya menunjukkan bilangan yang amat besar. Sean menghadap terminalnya, dan mencari apakah nama itu sudah ada pemiliknya. Namun Sean bukan pengeja yang baik. Jadi dia mengetikkan nama Google.com, yang ternyata available. Larry ternyata suka nama itu; dan seketika mereka meregistrasikan nama itu. Domain Google.com tercatat diregistrasikan tanggal 15 September 1997.

Aku sendiri kenal Google dalam kunjungan mendadak ke ruang lab Mas Budi Rahardjo di tahun 1997 itu. Atau mungkin awal 1998. “Ada yang baru nih,” kata Mas Budi dengan gaya curiousnya, trus menunjukkan Google.com. Nama unik. Sebelumnya, tahun 1996, aku pernah kontak ke Sisfo Telkom (yang menggunakan domain Sisfotel di bawah TLD yang aku sudah lupa sekarang, mengusulkan mengambil domain Telkom.com yang waktu itu masih available. Waktu itu aku belum tahu caranya beli domain. Yang aku tahu, harga US$ 70 per tahun untuk domain dotcom buat aku mahal sekali. Lama setelah itu, dengan Telkom tak juga beli domain Telkom.com, akhirnya domain itu dibeli pihak random untuk keperluan random, hingga sekarang. Tapi mungkin bagus. Telkom pernah punya semangat “Angkat domain Indonesia” dengan lebih memilih domain Telkom.co.id dan Telkom.net.id. Keren.

Mungkin gara2 sebal atas dibelinya domain Telkom.com oleh pihak gak jelas, di pertengahan tahun 2000an, waktu harga domain sudah mulai turun, aku sempat agak excessive beli domain-domain Telkom yang masih dibiarkan lepas dan mungkin bisa dipakai: Telkom.tv, Telkom.info, Telkom.tel, dll. Bea per tahunnya lama2 lumayan besar. Jadi beberapa mulai aku biarkan lepas. Dilepasnya juga terutama zaman minat atas domain mulai turun, digantikan akurasi mesin pencari, media sosial, dan aplikasi2 mobile. Apa sih domain Kaskus yang benar? Kita nggak harus tahu. Ketik kata Kaskus di Google, dan kita lihat hasilnya. Atau klik icon Kaskus di smartphone kita. Survei di Korea pun menunjukkan bahwa sebagian besar user (!) di Korea tidak hafal domain layanan2 penting di Korea. Mereka mengetikkan nama layanan saja di form alamat, lalu membiarkan Google atau pencari lain memilihkan alamat yang benar, lalu mereka klik. Boros sumberdaya. Tapi kan Internet di sana memang kencang. Enak buat kebiasaan boros.

Jadi mendadak agak lucu bahwa di tahun 2012 ini, sebuah perusahaan IT meminta tolong aku buat jadi broker buat beli domain dotcom. Pimpinan di perusahaan itu ternyata sudah memilihkan nama yang bagus. Tapi pimpinan perusahaan besar tentu berbeda dengan Larry Page muda di tahun 1997, yang masih doyan berdiskusi di depan terminal online. Perusahaan membesar, dan pimpinan (termasuk Larry Page pun) mulai berjarak wibawa dengan karyawan. Cita rasa jadi titah, bukan inspirasi. Maka nama pilihan pimpinan harus dicarikan domainnya. Dan harus dotcom. Dan harus dotcom! Err, ini tahun 2012 padahal, bukan 1997 lagi :). Harus dotcom, andikan pun mungkin domain itu sudah ada pemiliknya. Tentu, kita bisa menggunakan Paypal, eBay, Sedo untuk melakukan transaksi atau brokerage atas domain milik perseorangan. Tapi di perusahaan IT ini, ternyata sangat sedikit orang yang punya kartu kredit, lebih sedikit lagi yang pernah mengetikkan nomor kartu kredit di browser, dan jauh lebih sedikit lagi yang punya account di Paypal. Yaudah, kita bantu.

Aku memang punya akun Paypal, dilink ke kartu kredit Citibank, dengan limit terkecil yang aku punya. Ini memang buat transaksi pembelian atau pembayaran skala kecil. Gak mungkin buat skala agak besar sesuai permintaan pemilik domain. Whoaa. Si perusahaan IT sih janji akan mengirimkan dana ke tabunganku. Tapi tampaknya tetap harus dilampiri bukti pembayaran dulu. Artinya, aku harus bayar dulu dengan CC-ku. Jadi aku call Citibank, minta kenaikan batas kredit. Citibank menyanggupi, dan akan menghubungi 2 hari lagi. Whoaa. Lama. Kita perlu orde menit dan jam nih. Masuk ke Paypal, aku coba buat kaitan ke akun kartu kredit baru: BCA.

Oh ya, aku punya kartu BCA. Memang sejak zaman Orba aku enggan punya akun di bank yang buat aku selalu jadi simbol kroni Soeharto dan Orde Baru itu. Tapi akhirnya aku punya akun BCA juga tahun ini, setelah berhasil lupa sama Orba. Lucunya, beberapa hari setelah itu, Mr Liem sang kroni Soeharto, sang bekas pemilik BCA itu, mati.

Balik ke Paypal, seharusnya memang harus menunggu cetakan tagihan keluar, membaca 4 digit kode transaksi dalam tagihan, baru bisa memvalidasi penggunaan kartu dengan 4 digit kode itu. Tapi aku beruntung. Belum satu menit, crew BCA menelefon, memastikan apakah aku baru saja melakukan transaksi US$ 1.95 di Paypal. Aku pura2 tanya kode verifikasinya dulu. Ia memberikan 4 angka, dan aku catat, lalu aku iyakan. Crew terdengar lega dan puas. 4 angka itu aku masukkan ke form di Paypal, dan kartu BCA-ku sudah bisa digunakan bertransaksi di Paypal.

Tapi limit sisa di Citibank dan BCA mungkin masih kurang. Jadi aku suntikkan dana dari tabungan pribadi ke rekening Citibank. Selesai, aku langsung mentransfer dana melalui Paypal, melalui akun dua CC, ke John, si pemilik domain. John ini musisi. Gitaris, penyanyi, organizer, dan kadang publisher juga. Tapi dia bukan tech-savvy. Jadi, setelah menerima pembayaran, dia masih harus kebingungan dengan cara mentransfer domain. Perlu waktu 1 minggu, janjinya. Whoaa. Lama. Jadi aku ngasih kursus ke John. Dia musisi, bukan tech-savvy, dan tinggal di LA. Tiap tengah malam sampai dekat subuh aku ngasih semacam kursus langkah2. Tapi dia terus gagal dengan langkah2ku. Bukan sepenuhnya salah dia. Dia beli domain di Yahoo, yang sebetulnya tidak memberikan layanan domain dan hosting seperti jasa webhosting lain. Yahoo menawarkan domain sebagai bagian dari solusi enterprise dan UKM-nya. Harga domain US$ 9 di tahun pertama, dan terus kena autocharge US$ 35 setiap tahun, sampai akun kita matikan. Mahal! Yahoo sendiri merupakan reseller dari Melbourne IT.

Gagal melakukan transfer domain normal antar registrar, aku minta coba transfer antar akun di satu registrar. Gagal juga. Yahoo mungkin memang tak memberikan fasilitas itu, katanya. Jadi aku coba dari Melbourne IT. Minta registry key ke John. John sempat menertawai, membayangkan aku minta kunci beneran, sementara dia merasa beli domain secara online. Jadi gak ada kuncinya. Tapi dua hari kemudian — Whoaa! Lama! — John bisa memberikan registry key ke aku. Aku pindahkan domain ke account baru yang aku buat di Melbourne IT. Horee! Gak dink. Melbourne IT aneh. DNS records management disediakan gratis. Tapi DNS domain ini terkunci ke Yahoo (YNSx.YAHOO.COM) . Loh. Bahkan dia tidak bisa diredelegate ke DNS dari Melbourne IT sendiri (NSx.SECURE.NET). Konon perlu 24 jam. Hampir 48 jam kemudian, aku baru sadar ada yang salah dengan urusan Melbourne IT dan terutama Yahoo. John sendiri sudah mematikan kontrak domain (menghindari pembayaran US$ 35 per tahun). Jadi domain tak menunjuk ke mana2. Aku pun semena2 bikin akun baru di Yahoo, dan melakukan setting NS buat domain ini. Lucunya, ini bisa dilakukan, biarpun akunku di Yahoo tidak pernah tercatat sebagai pemilik domain ini. Maka domain ini akhirnya berfungsi.

Selesai domain ini berfungsi, aku sedikit bernafas; dan meluangkan waktu mengunjungi situs punya John. Menikmati lagu yang diciptakan (?) dan dinyanyikan dia: “It Only Hurts When I Smile.” Asik juga lagunya. Menemani jam2 kerja yang kurang tidur gara2 beberapa hari mengguide John di timezone Los Angeles.

Tapi, tentu, ini solusi jorok. Aku tetap melakukan transfer normal antar registrar. 4 hari kemudian, transfer baru selesai. Dan aku bisa memindahkan setting DNS secara lebih permanen. Dua hari setelah pembayaran, si perusahaan IT mentransfer biayanya ke rekening Bank Mandiri. Aku bayar via ATM ke Citibank. Tapi, berbeda dengan pembayaran Citibank via SMS BNI yang langsung dikonfirmasi dalam beberapa detik; pembayaran Citibank via ATM Mandiri memerlukan 2 hari baru dinyatakan terbayar. Whoaa! Lamaa! Benarkan seluruh institusi di negeri ini berkonspirasi menghambat mereka yang berminat mengakuisisi domain agak mahal dalam waktu cepat? Wkwk.

Setelah pembayaran masuk ke Citibank, bukan berarti urusan beres. Aku masih harus beli satu domain pendukung lagi. Memang seharusnya sekaligus. Tapi tertunda gara2 transfer antar bank yang lambat, plus waktuku habis. Domain yang satu ini dibeli dari Michael, yang kebetulan lebih paham IT. Sekarang tinggal tunggu transfernya. 4-5 hari. Whoaa! Lama!

Sementara itu, aku beberes uang2 transferan untuk mengembalikan posisi tabungan dan kartu kreditku ke posisi semula. Eh, ternyata malah jadi defisit, wkwk. Pertama, kurs di Paypal mahal sekali. US$100 dicharge ke kartu lebih dari 1 juta rupiah. Kedua, transfer domain dll memerlukan biaya. Dan ketiga, kadang harus eksperimen untuk melihat setting di penyedia service semacam Yahoo dan Melbourne IT, yang juga perlu biaya. Tapi, demi bantu project yang keren dan menarik, nggak apa2 deh. Biasanya juga gitu :)

Pagi tadi aku gak sengaja lewat ke si perusahaan IT. Ke bagian yang mengelola teknis produk, tapi bukan bagian yang minta tolong aku beli domain itu. Salah satu manager berceletuk, “Nah ini si juragan domain. Tempat bisnis dan jual beli domain.” Hahah. Bau lokomotif. Pendengar di ruang itu pasti membayangkan aku dapat profit dari bisnis domain, atau semacamnya. Tentu aku gak perlu jelaskan ke dia. Atau ke siapa pun. Never argue with moron :).

Then I smile. It doesn’t hurt at all :)

SM IEEE

Baru semalam aku menghadiri pertemuan pengurus IEEE Indonesia Section, di Binus University, Syahdan. Dipimpin Pak Lukas Tanutama, pertemuan itu membahas program Membership Development 2012-2013; termasuk upaya meningkatkan status para insinyur anggota IEEE di Indonesia, yang terlalu sibuk riset atau bekerja, dan pasti lupa urusan kecil macam peningkatan status keanggotaan :). Sambil buka puasa (“Menu tesis,” kata Pak Ford Lumban Gaol) kami juga membahas rencana konferensi kembar Cyberneticscom dan Comnetsat 2013, serta rencana Indonesia menuanrumahi APCC 2013.

Pagi ini IEEE menyapa lagi. Satu paket sampai di rumah. Isinya plakat, yang mensertifikasi peningkatan engineering level-ku ke level IEEE Senior Member, ditandatangani Presiden IEEE, Gordon Day, dan sekretaris, Celia Desmond. Gordon Day ini yang tahun lalu hadir di IEEE Region 10 Annual Meeting di Yogyakarta, waktu itu masih sebagai President-Elect. Beliau ini juga yang sempat gak sengaja ketemu di Tokyo bulan Juni 2011.

Pemberitahuan via mail memang sudah masuk 15 Juni lalu. Keputusan pengangkatan (tercetak di plakat) ternyata malah tanggal 2 Juni. Hmm, aku lagi di Bayreuth atau Berlin waktu itu.

Menurut situsnya, IEEE Senior Member adalah tingkat tertinggi yang dapat diajukan oleh anggota IEEE. Level yang lebih tinggi, IEEE Fellow, hanya dapat diajukan melalui nominator. Untuk mencapai level ini, kandidat haruslah:

  • Menjadi insinyur, ilmuwan, pendidik, eksekutif teknis, atau pelopor dalam bidang yang didalami IEEE
  • Memiliki pengalaman yang menunjukkan kematangan profesional
  • Menjalani pekerjaan profesional selama setidaknya 10 tahun
  • Menunjukkan kinerja luar biasa setidaknya 5 tahun

Bidang yang didalami IEEE:

  • Engineering
  • Computer science & IT
  • Physical sciences
  • Biological and medical sciences
  • Mathematics
  • Technical communications, education, management, law & policy

Tidak dipungut biaya untuk proses ini. Namun kandidat — tentu saja — harus jadi anggota IEEE dulu. Dan, kita tahu, keanggotaan IEEE memang tidak gratis. Selain itu, akan diperlukan testimoni dari para Senior Member sebelumnya.

Aku cukup beruntung, memiliki para senior yang bersedia memberikan testimoni, entah macam apa, tapi yang jelas membuat komite cukup cepat memberikan keputusan pengangkatan. Terima kasih buat:

  • Prof. Dr. Dadang Gunawan, Universitas Indonesia
  • Arnold Ph Djiwatampu, TT Tel
  • Lukas Tanutama, Universitas Bina Nusantara
  • Dr. Wahidin Wahab, Universitas Indonesia

Oh, ya. Dari kecil memang cita2ku jadi Insinyur :). Dan aku masih cukup konsisten untuk terus mengasyiki dunia engineering. Jadi karyawan di perusahaan yang dinamis memang memungkinkan kita mendapati proyek engineering yang menarik. Tapi keacakan keputusan HRM kadang memaksa kita bekerja di bidang non-engineering. IEEE justru membantu aku di masa2 itu untuk tetap bisa bekerja sebagai Insinyur, dengan menyediakan ruang diskusi dan kerja di bidang engineering, dan dengan memungkinkan aku memberikan pelatihan, seminar, dan networking di bidang engineering.

Hal2 itu justru akhirnya membuat aku jadi volunteer dan officer di IEEE Indonesia Section, termasuk di IEEE Communications Society Indonesia Chapter. Namun pekerjaan dan minatku tetap di engineering. Industry. Bukan di akademis.

Dunia riset dan akademis memang bagian sangat critical di engineering. Kita beroleh pengembangan paling maju terutama dari hasil riset. Namun game dalam dunia kampus, terkait terkait urusan point, kum, gelar, nilai, dan seperangkat aturan periferalnya, bikin aku kadang merasa agak tak nyaman dengan kampus. Jiwaku anarkis kayaknya. Tapi pekerjaan engineering tetap memerlukan insight yang membuat kita akrab dengan paper, serta dokumen dan komunikasi teknis lain. Jangan khawatir, aku gak akan alergi paper :). Addicted malah.

Aku masih terus cari peluang untuk lebih banyak menciptakan kegiatan koordinasi engineering dalam kerangka IEEE yang tak terlalu banyak bersifat akademis. Sekali lagi, bukan karena soal akademis kurang penting; tapi justru karena selama ini kegiatan IEEE dan organisasi serupa justru lebih banyak berfokus ke soal akademis.

Memang, ini akan perlu terobosan dan ide baru. Juga akan perlu lagi meluangkan waktu dan dana yang sebenarnya juga tidak berlebihan tersisa. Tapi, buat komitmen “advancing technology for humanity” … apa sih yang nggak? :)

Oxford

Spring Travelling 2012 lebih banyak diarahkan ke ibukota negeri Eropa Barat dan Tengah. Tapi, agak bosan liaht kota besar seperti London, kami menyempatkan diri kabur ke kota kecil yang tempatnya tak terlalu jauh. Pilihan akhirnya jatuh ke Oxford, karena kota2 lain telah terkunjungi di tahun2 sebelumnya, dan karena posisi Oxford yang cukup dekat London. Perjalanan ke Oxford pun tak terlalu serius: cukup dengan bis tingkat Oxford Tube berwarna merah mirip bis kota, dari Victoria atau Hyde Park, langsung ke Oxford. Harga return ticket £16 per orang. Perjalanan memakan waktu 1 jam. Dan segera kami tiba di kota mungil ini.

Dasar usil; yang pertama kami kunjungi malah pasar tradisional dan flea market. Puas berbincang dengan penjual2 di sana, yang umumnya sudah berumur, plus melakukan keisengan2 lain; kami beranjak dan mengunjungi kawasan yang lebih bersifat klasik akademis dan eaaaa.

Pertama, Museum of the History of Science. Museum ini berada di pusat kota, tak jauh dari Waterstones dan Blackwells Bookshop. Seperti banyak museum di Inggris, museum ini dapat dimasuki gratis. Tapi pengunjung disarankan melempar uang £2 ke kotak donasi. Yang pertama tampak di museum ini adalah papan tulis yang sempat ditulisi Einstein saat memberikan kuliah di Oxford tahun 1930an, yaitu saat Einstein telah meninggalkan Jerman, tetapi belum memperoleh tempat di US. Di papan bersejarah ini, Einstein mengkalkukasi perkiraan umur semesta.

Di bawahnya, dalam urutan yang kurang jelas kategori atau linimasanya, ditampilkan berbagai artifaks keilmuan, peninggalan para ilmuwan terdahulu, di bidang matematika, astronomi, fisika, dan lain-lain. Yang buat aku menarik tentu deretan piranti yang menunjukkan sejarah wireless communications: formula Maxwell, spark gap Righi, receiver Marconi, dan lain-lain. Hal-hal yang membentuk hidup dan karirku. Asli mengharukan, wkwkwk. Ada cognitive radio juga. Eh, nggak dink.

Juga ada koleksi alat2 hitung posisi pengamat pada koordinat bumi, posisi astronomis benda langit, waktu2; yang dirunut balik dari zaman kejayaan budaya Islam. Memang waktu itu umat muslim yang masih gemar menjelajah gemar sekali membuat perangkat rumit untuk menyederhanakan kalkulasi waktu shalat, posisi kiblat, dan waktu ibadah lain. Jauh berbeda dengan film Achmad Dahlan versi seleb sinetron yang menampilkan KH Achmad Dahlan seolah2 masih pakai lukisan peta dua dimensi, wkwkwk. Ah, para pembikin sinetron — sekolah pun mungkin mereka jadi tukang contek.

Keluar museum, kami mulai menjelajahi Universitas Oxford. Sambil jalan kaki keliling kota, kami dipandu seorang guide yang ceria bernama Linda. Universitas Oxford sebenarnya merupakan federasi dari 38 college, katanya. Universitas ini merupakan yang tertua kedua atau ketiga di dunia, setelah Univ Bologna di Italia dan mungkin bersamaan dengan Univ Paris di Sorbonne. Didirikan di abad ke-12, Ia jadi populer setelah Raja Henri II sempat melarang orang2 Inggris berkuliah di Paris. Tadinya setiap wilayah/county memiliki college sendiri di Oxford (yang menjelaskan mengapa ada beberapa nama college yang mirip nama county). Tapi batas ini kemudian baur, dan berdiri college yang tak tergantung wilayah. Akibat clash dengan penduduk, sempat terjadi eksodus kalangan akademis ke Cambride yang kemudian mendirikan Univ Cambridge di abad ke-13.

Setiap college memiliki kemandirian secara akademis. Namun ujian dan hal-hal administratif dikoordinasikan oleh universitas, dan dipimpin seorang Vice Chancellor. Memasuki beberapa college, aku melihat struktur yang kurang lebih sama. Kantor, taman besar di tengah, ruang kuliah dan diskusi, asrama, ruang makan bersama yang mirip ruang makan Harry Potter (minus lilin melayang tanpa benang), dll, dan ornamen2 yang menunjukkan kekhasan setiap college. Konon college2 di Oxford strukturnya meniru Merton College, dan Cambridge meniru Oxford, dan banyak kampus meniru keduanya.

Agak menarik melihat seorang mahasiswi berpakaian sangat rapi, lengkap dengan bunga di dada, melintas kencang bersepeda. Linda menjelaskan bahwa hari itu adalah hari ujian. Para mahasiswa harus mengenakan jubah kampus nan klasik itu untuk mengikuti ujian, dan membawa topinya. Mereka juga harus menyematkan bunga di dada: bunga putih untuk mahasiswa tahun pertama, merah tua untuk tahun terakhir, dan merah muda untuk sisanya. Tak lama, tampak sekelompok mahasiswa dan mahasiswi berjubah mirip wisuda, langkap dengan bunga pink di dada.

Kami juga mengunjungi Bodleian Library dan Radcliffe Camera (foto paling atas). Bodleian adalah perpustakaan induk, yang bukan hanya tempat riset utama di Oxford, tetapi juga merupakan erpustakaan acuan, tempat semua buku yang diterbitkan di Inggris dan Irlandia harus diserahkan untuk disimpan.

Kunjungan ke college2 cukup memakan waktu. Tapi ada waktu tersisa untuk mengamati pasar tradisional, pedestrian di tengah kota tempat warga kota menikmati sore, Oxford University Press (yang buku2 terbitannya cukup menghabiskan ruang di rak buku rumah hijau di Bandung), dan bekas tempat penginapan Rhodes (pengusaha berlian yang namanya sempat diabadikan sebagai nama negara Rhodesia, dan kini lebih dikenal peninggalannya berupa bea siswa Rhodes).

Oxford dan Cambridge adalah dua kota yang tidak turut dihancurkan bom Jerman pada Perang Dunia II. Jerman berharap dapat suatu hari menguasai kedua kota intelek ini dalam keadaan utuh. Namun tentu Jerman tak pernah berhasil menguasai Inggris Raya. Saat situasi berbalik, dan negeri Jerman dijatuhi bom oleh Angkatan Udara Sekutu, kota-kota intelek semacam Heidelberg pun tidak mengalami pengeboman. Ada sedikit nuansa manusia beradab juga dalam Perang Dunia. Sayangnya, dalam plan kali ini, kami tak sempat mengunjungi Heidelberg dan Gottingen.