Tag: Socmed

ICT dan Socnet di Indonesia

Mungkin sudah berlebihan klaim bahwa socnet telah membawa perubahan yang significant terhadap Indonesia. Kisah koin Prita, pembebasan Chandra-Bibit, selalu diceritakan kembali sebagai kisah besar. Dan memang kisah besar :). Tapi yang terjadi mungkin hanya bahwa masyarakat (yang sesungguhnya memang jauh lebih cerdas daripada para elite politik kita) kini memiliki corong untuk menyampaikan suaranya, untuk didengar secara bising oleh para elite itu, dan memaksa mereka mengambil keputusan yang lebih masuk akal.

Yang lebih besar, dan lebih significant, namun mulai terlupakan, aku pikir, adalah #IndonesiaUnite: bagaimana kaum muda menyatukan suara dan menggaungkan ke masyarakat untuk bersatu melawan para teroris yang menggunakan kedok agama untuk memaksakan diskursusnya ke masyarakat. #IndonesiaUnite mampu meyakinkan masyarakat, bahwa perilaku teroris berkedok agama itu sungguh hina, memalukan, dan tak masuk akal untuk didukung. Lenyapnya gerombolan teroris nyaris tak menyisakan suara kehilangan :).

20110404-095725.jpg

Namun sejujurnya, di luar itu socnet belum banyak berperan mengubah negeri ini :). Bukan mengecilkan peran rekan-rekan yang sungguh aktif dengan passionnya yang luar biasa mencerlangkan negeri; tetapi situasi negeri ini memang memerlukan kerja lebih keras lagi :). Dan banyak jebakan yang mudah menanti. Socnet mengangkat suara baru yang lebih jernih; tetapi ia juga mengangkat elite baru yang terjebak seremonia dan eksklusivitas baru. Socnet meningkatkan sinergi untuk mengembangkan industri kreatif; tetapi ia juga memperkencang konsumerisme dan hedonisme. Socnet tak jelas: apakah ia menurunkan urbanisasi dengan membuat daerah segemerlap Jakarta, atau justru meningkatkan minat kaum muda untuk cepat2 pindah ke gemerlap Jakarta. Socnet sekaligus mempopulerkan karya yang elegant dan karya-karya sampah (ekstensi dari sinetron dan sinema kitsch Indonesia), lengkap dengan tukang jamu, menteri alay, banci gak jelas, intel gadungan, dll. Socnet sarang menggempur koruptor, sekaligus sarana bagi para koruptor kaya untuk meluaskan diskursus yang melenceng melalui generasi muda. Eh, mendadak bau lumpur.

Bagi para pengelola infrastruktur sendiri, socnet menarik. Seperti seluruh perusahaan lain, socnet membuat para provider menjadi transparan bagi kritik. Tapi kencangnya pipa baru bagi konversasi masyarakat ini, dan peningkatan pemanfaatan muatan aplikasi di atasnya, serta peluang pengembangan industri kreatif di atasnya, menciptakan konteks baru bagi para pengelola untuk mengembangkan bisnis, untuk menanamkan investasi baru bagi pengembangan infrastruktur. Dan seperti spiral yang terus berkembang, ini menjadi umpan bagi publik untuk berkonversasi lebih intens, lebih kreatif.

Kamu sendiri, apa yang kamu amati? Pasti banyak. Dan apa pun itu, pasti menarik. Coba sesekali apa yang teramati itu tidak ditulis dalam cericau 140 karakter, atau note singkat Facebook, atau tiga empat paragraf blog. Apalagi cuma komentar di blog :). Coba sesekali, itu kita bahas lebih serius. Semester ini, Internetworking Indonesia Journal memfokuskan pembahasan pada Implikasi Sosial dari ICT dengan konteks Indonesia. Informasi tentang paper dapat dilihat di Halaman CFP. Ini pengantarnya:

Information and communication technologies (ICTs) have become a ubiquitous part of people’s lives all over the world, including in Indonesia. The growing use of these technologies, especially the Internet, has not only implicated the ways individuals communicate, but also influenced the way they connect to each other. With the developments of social media such as blogs, wikis, collaborative websites and other social networking tools to fulfill the personal, organizational, societal and political goals and to influence the way individuals work and live, it is important to understand the implications it brings. This special issue seeks manuscripts that look at a wide variety of ICT uses and what implications these uses have on people, organizations and society in the Indonesian context as the technology becomes more widely available. This issue also welcomes those who look at the other side of the coin, i.e. manuscripts that focus on the cultural, social and political shaping of the technologies by Indonesian society. The goal of this special issue is to offer an understanding and assessment of how ICTs and society have mutually shaped each other, and theoretical considerations of the links between social implications and ICTs.

Editor tamu untuk topik ini adalah dua pakar yang tak diragukan, baik sebagai guru, wizard, researcher, sekaligus aktivis media sosial: Dr Yanuar Nugroho, dan Prof Dr Merlyna Lim.

Jadi, menulislah …

Connected

Sebagai seorang pemula, aku memang melakukan banyak kesalahan di Twitter. Salah satunya adalah sering lupa melakukan follow-back. Sambil mengikuti kuliah bersama Goenawan Mohamad dan Roby Muhamad di Komunitas Salihara, aku coba cari account Twitter Oom/Mas/Aa Roby. Tweetnya semenarik kuliahnya. Ternyata beliau sudah follow aku, entah dari tahun berapa, dan aku belum follow back. Secara professional, ini durhaka :). Jadi buru2 aku follow account @robymuhamad.

Roby seorang fisikawan yang memperdalam studi ke sosiologi. Aku tak menyebut ini “beralih” atau “tersesat” :). Semesta memiliki kompleksitas yang berkembang. Matematika mewujud (melalui string atau bukan) ke fisika, lalu dalam jumlah besar berinteraksi dan membentuk hukum turunan yang baru (kuantum, kalor, kosmologi), hingga evolusi yang memunculkan makhluk hidup, manusia, masyarakat, budaya, dst. Tentu kita ingat kekaguman Dawkins pada replikasi meme yang serupa seplikasi gene: apa pun obyeknya, itu sekedar matematika replikasi. Itu satu hukum yang berentet saja. Nah, yang diperdalam Roby, a.l. adalah jejaring sosial. Mungkin Roby adalah amat sedikit orang Indonesia yang melakukan research secara professional dan akademis untuk memahami jejaring sosial.

Di Salihara, Roby mulai bercerita tentang bagaimana influence mengalir di masyarakat. Ia tak mengawali dengan 2.0, Twitter, dll seperti presenter hobbyist seperti kita. Ia memulai dengan kasus semacam kesurupan massal: bagaimana di Afrika sejumlah besar murid sebuah sekolah bisa tertawa bersama, tanpa bisa dihentikan, selama beberapa minggu. Kacau, sekolah dibubarkan, murid dipulangkan. Pulangnya murid2 itu menimbulkan masalah baru. Di kota2 lain tempat murid2 itu dipulangkan, terjadi penularan kembali, sehingga wabah tawa justru menyebar ke banyak kota. Meme yang menakutkan :).

Roby sempat menyebut bahwa soal2 ini diulas dalam buku berjudul Connected. Judul yang tak asing. Aku sendiri punya satu buku berjudul Connected, tulisan Daniel Altman. Connected 24 Hours in the Global Economy. Tapi pasti ini buku yang berbeda. Di rumah, aku langsung menjelajah ke Amazon.co.uk, dan menemukan buku Connected tulisan Nicholas Christakis & James Fowler. Subjudulnya menggambarkan soal jejaring sosial. Bahkan buku ini punya account Twitter tersendiri: @connected_book.

Jejaring sosial, kata buku ini, adalah kumpulan manusia; tetapi yang lebih penting adalah bahwa ia memiliki koneksi, keterhubungan, yang membuat jejaring lebih berarti daripada sekedar kumpulan individu. Jejaring jadi mampu melakukan hal-hal yang tak mampu dilakukan orang-orang itu secara tersendiri.

Berikut disebutkan beberapa hal menarik dalam jejaring:

  1. Kita membentung jejaring kita
  2. Jejaring membentuk kita
  3. Teman-teman mempengaruhi kita
  4. Teman-teman dari teman-teman dari teman-teman kita mempengaruhi kita
  5. Jejaring memiliki kehidupan tersendiri
  6. Antar setiap manusia, terdapat hanya 6 derajat pemisahan
  7. Namun antar teman, hanya terdapat 3 level pertemanan yang menimbulkan pengaruh.

Khusus soal 6 derajat pemisahan, disebutkan bahwa hal ini telah diteliti di US beberapa dekade yang lalu. Namun, menghadapi kecurigaan bahwa angka sekecil 6 hanya dimungkinkan oleh kedekatan geografis, etnik, budaya, dll; maka sekelompok ilmuwan melakukan penelitian dengan jangkauan internasional. Salah satu peneliti ini adalah Roby sendiri.

Lalu sang buku meneruskan bagaimana jejaring mempengaruhi kita dalam menentukan kebahagiaan, mencari pasangan hidup, merawat kesehatan, hingga berjuang demi demokrasi. Beberapa hal yang juga diulas dalam buku ini:

  • Emosi menyebar dari satu manusia ke manusia lain melalui ekspresi wajah. (Emosi pada A -> Ekspresi pada A -> Ekspresi pada B -> Emosi pada B)
  • Kita akan cenderung berbahagia, tercukupi, dan merasa positif, jika dikelilingi orang yang berbahagia.
  • Kesepian adalah sebab dan akibat dari keterputusan hubungan
  • Jika kawan dari kawan dari kawan kita bertambah berat badannya, kita cenderung akan menambah berat badan, walaupun kita tak mengenal orang (atau orang-orang) itu.
  • Keterhubungan bisa berpengaruh positif (menularkan kebahagiaan) atau negatif (menularkan keinginan bunuh diri)

Aku belum menyelesaikan buku ini juga. Dibaca bersamaan dengan buku2 lain, sebagai bagian dari keinginan untuk terus mempelajari fitrah manusia: bagaimana mereka diciptakan, bagaimana mereka berproses, bagaimana mereka dapat mencapai yang terbaik untuk masa depannya. Twitter terlalu keren untuk digunakan becanda tanpa tujuan.

TV Sosial

Yang membuat IPTV jadi menarik — buat aku — bukan karena TV, tetapi justru karena IP. IP telah merevolusi komunikasi data, komunikasi manusia, hingga budaya manusia. Kini kita mengharapkan IP akan merekonstruksi dunia TV yang amat membosankan itu menjadi media yang interaktif. Memang cukup banyak yang cuma bisa sinis menganggap IPTV adalah cita-cita yang terlalu tinggi di atas infrastruktur Internet Indonesia yang masih buruk. Dan ini mengingatkanku pada gambar telur dan ayam yang aku presentasikan juga di Taipei minggu lalu.

Berbicara tentang network dan content, orang sering merasa terperangkap oleh jebakan ayam dan telur: mana yang harus lebih dahulu. Padahal ini bukan jebakan. Yang orang pesimis lihat sebagai lingkaran setan bukanlah lingkaran: itu sebuah spiral. Di dalamnya ada yang berputar seperti lingkaran, tapi membesar dan bertumbuh. Network, yang buruk dan asal ada, memungkinkan kita menyusun aplikasi kecil, seperti mail atau text messaging, lalu akan diisi content teks, lalu akan membentuk interaksi dan market, yang berikutnya akan membebani network, tapi juga menciptakan demand, dan menciptakan alasan investasi pengembangan dan perbaikan network, yang lalu akan menciptakan network yang sedikit lebih baik, untuk diisi aplikasi yang lebih rakus (misalnya diisi gambar), yang lalu diisi content, market, network, aplikasi, content (kini video), market, network, aplikasi, content (video dengan delay rendah untuk komunikasi dua arah?), dst, dst. Semuanya tumbuh bertahap. Yang diperlukan adalah dorongan untuk aplikasi baru, content baru, interaksi baru, dst. Ini adalah konteks yang juga saat ini membuat kita wajar memiliki IPTV, dan membangun network yang lebih baik.

Apa saja peluang interaktivitas TV? Cukup banyak. Dari yang bersifat nilai tambah pada TV: TV dengan kendali orang tua, TV dengan penyimpanan, TV dengan review, TV dengan setting favorit. Lalu TV dengan interaksi terkait media sosial (Twitter, Facebook, Yahoo Messenger, Koprol, Flickr, Youtube). TV dengan e-commerce (bayangkan jika ini dikaitkan dengan iklan, review dari media sosial, dan kemampuan untuk langsung bertransaksi).

Sedang utak-atik soal ini, aku terantuk ke satu artikel di Computer. Ini mengenai salah satu alternatif interaktivitas TV, yang dinamai Social TV (TV Sosial). Pelopornya Marie-José Montpetit dari MIT. Bersama mahasiswanya, ia menyusun prototip TV Sosial ini. Mereka mengeksplorasi konsep-konsep seperti remote kontrol cerdas, TV partisipatif, dan narasi yang disusun pemirsa. Tentu juga mereka mendalami pengkaitan TV dengan berbagai media sosial terkini. Yang buat mereka menarik adalah agregasi database video yang diambil dari YouTube. Yang tersimpan bukan saja video, tetapi metadata, review, dll; dan informasi antar user yang berisi content yang baru dilihat, yang dianggap menarik, dll. Interaksi antar user dapat terjadi. Dan pesan semacam ini dapat dimatikan kapan saja jika pemakai menganggapnya mengganggu.

Lebih jauh, Montpetit melakukan hack yang memungkinkan interaksi antara iPhone dengan set-top box (STB), sehingga pengguna dapat menyaksikan acara mereka pada perangkat mobile. Juga ini memungkinkan user berinteraksi lebih bebas dengan perangkat mobile-nya, kalau ini dianggap lebih nyaman daripada langsung bekerja pada perangkat TV dan remote control-nya. Saat ini ia sedang mendalami feature-feature penting untuk meningkatkan kenyamanan dan keamanan. Hah, keamanan. BTW, apa bedanya security dengan privacy? Haha.

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑