Sebuah Airbus-300 jatuh dan meledak di Queen, New York. Gedung-gedung terbakar.
Jadi, Bush mau bunuh berapa orang lagi sekarang ?
Page 148 of 210
Wagner pernah berpendapat bahwa opera, yaitu teater yang terpadu sepenuhnya dengan musik, adalah puncak dari seni. Tentu, ini pendapat yang terpaku ke diri sendiri, seperti juga umumnya pendapat kita. Tapi waktu di langit awan kembali berlapis-lapis dengan semua nuansa kelabu, dan pohon memadukan warna kelabu dengan warnanya yang biru, hijau, jingga, coklat, merah bata, dan semuanya bergerak lamat-lamat di antara bangunan dan tiang yang kaku, aku selalu tergoda untuk memasang iringan musik yang setengah sayup. Hasilnya mirip opera para awan dan dedaunan. Plus beberapa burung yang melintas di sana sini.
Seperti musik yang memerlukan visualisasi, seni visual pun memerlukan musik. Tidak harus jadi opera seperti bayangan Wagner. Apa sajalah. Manusia kan makhluk yang lengkap dan kompleks.
Udah ah, ngeliatin awan aja. Bukannya nyelesaiin tesis.
Satu per satu delegasi FCO4/Chev-2001 mendatangi dapur Claycroft 1 Flat 1 di Warwick University, kediaman Surya Tjandra dan Wina. Plus dua dari FCO2. Edwin dan Bibip dari Warwick. Koen dan Kamto dari Coventry. Ari dari Canterbury. Bahan perbincangan utama meliputi lamb soup, bayam rebus, ayam panggang, bakwan jagung, dan benda-benda serius lainnya. Plus hal-hal kecil semacam dekonstruksi Derrida, proliferasi nuklir, dan ah lupa … semuanya kalah asik sama hal-hal serius tadi sih. Udah agak lama nggak ‘berbincang ‘ se-‘serius’ itu :). Cable&Wireless nggak pernah menyajikan diskusi yang bermutu. Nasinya aja selalu kering, beda sama nasi segar yang dipaparkan oleh Wina. Fajar dari Birmingham University datang terlambat, tetapi membawakan argumentasinya dengan cukup berhasil: cokelat buat dessert.

Pepatah lama mengatakan bahwa satu-satunya yang lebih baik dari seorang sahabat terbaik adalah sahabat terbaik yang membawa cokelat.
Tapi seminar yang meriah ini berlangsung singkat. Abis itu kita harus antar Ari ke Pool Meadow (seminar berikut di Leeds), dan antar Fajar meninjau museum transportasi di Coventry. Tapi hari ini terlalu cepat gelap, dan kelelahan tiba-tiba menggigit.
Walküre (obat tidur manjur) mengisi kamar yang digelapkan. Dua jam secara efektif memulihkan badan. Mandi, shalat gabungan Maghrib-Isya, dan duduk dengan segar tapi masih agak lelah di depan komputer. Dan baru sadar bahwa aku udah kangen sekali suasana Indonesia. Tod und Verklärung mengisi ruang, diiringi raungan mesin pesawat terbang di luar jendela.

Pasang Act 1 dari Lohengrin, pas bener dengan garis-garis awan hitam di luar jendela, dan deretan awan putih perak gemerlapan di ujung langit, dengan angin yang mulai kencang bertiup merontokkan daun-daun kuning kecoklatan.
Satu daun jatuh, satu hari berlalu, satu hari makin dekat dengan tanah air. Memang sih, secara teori nggak ada bedanya melakukan sesuatu di sini atau di tanah air. Cuman rasanya beda aja berbuat sesuatu untuk tanah air dengan berbuat sesuatu untuk … entah untuk apa.
Tambahan: Kenapa ya Act 3 nggak kompatibel sama Act 1. Kalau pembukaan Act 1 terasa pas, pasti pembukaan Act 3 terasa kampungan sekali.
Aku ngegeser buku, sebuah buku lain jatuh, dan di atasnya ada gunting yang jadi ikutan jatuh. Di tengah keberisikan buku dan gunting jatuh, pesawat TV jadi hidup. Aku cari remote control, kali dekat gunting. Eh, remote controlnya ada di ujung ruangan (dibikin jauh biar nggak tergoda buat pasang TV).

Alternatif penyebab:
- Induksi elektromagnetik. Kalau petir sih, memang bisa menginduksi perangkat elektrik: bisa TV-nya, atau remote controlnya. Tapi dari gunting yang jatuh, sekuat apa sih medan yang ditimbulkan. Mungkin soalnya gunting itu sepasang yah. Kalau sendok pasti efeknya nggak segede itu.
- Waktu gunting tadi jatuh, barangkali di luar ada petir juga, tapi nggak kedengeran soalnya berbarengan dengan keberisikan di dalam kamar. Petir inilah penyebab induksi elektromagnetik, bukan gunting.
- Tetangga menghidupkan TV dengan remote control. Sinyalnya menembus jendela kamarnya, memantul di jendela gedung di seberang taman, menembus jendela kamar ini, dan menghidupkan TV.
- Dalam kekagetan, aku nggak sengaja masang TV (gerak reflek yang ajaib), terus waktu kesadaran balik aku nggak ingat apa-apa.
- TV ini sebenernya bukan TV biasa: dia dipasangi detektor tindakan terorisme oleh CIA. Dan gunting yang jatuh tadi jadi pemicu buat interceptor CIA.
- Di dalam TV ada tupai kecil. Waktu gunting jatuh tupainya kaget dan menggerakkan switch yang menghidupkan TV.
Kayaknya teori terakhir yang paling valid, soalnya kan beberapa minggu y.l. aku kejar-kejaran sama tupai. Aku bongkar aja deh TV-nya. Kasihan tupainya.
Duh, cara aku mengambil kesimpulan kok sama sama pemerintah AS yah.
Mail dari Ziggyt hari ini: Wez, ternyata punya anak itu wah …… siiip banget. kita jadi ngerti kenapa ortu sayang banget ama kita …………. jadi tau kenapa ortu sangat kuatir ama kita ……….. kita jadi tau, betapa susahnya ortu dulu ngurusin kita yang bandel ……… Aku jadi sadar, ternyata sampe sekarang aku belon mampu membalas pengorbanan mereka ………………… sedih deh Wez!!
Thanks, Git. Masih rajin berdoa buat Bapak kan ? Aku sendiri jadi tambah kangen nih sama Mama dan Papap.
Buku The Universe in a Nutshell hari ini resmi terbit, dan sebuah box dari Amazon bertengger di kotak suratku. Enaknya buka dari depan, dari tengah, apa dari belakang ya?
Umm, yeah, 201 halaman. Bagian depan ngebahas relativitas lagi dan mekanika kuantum lagi, mengulang buku yang lama, lengkap dengan penjelasan atas konsep-konsep semacam spin, interaksi, string, dan kurva waktu, dan ditutup dengan anak emas Hawking, yaitu rumus entropi black hole. Hehe, ada rumusnya juga ternyata buku ini.
Buat yang suka penasaran, rumusnya gini nih: S=Akc³/4hG, dengan S entropi, A luas event horizon, h tetapan Planck (h dicoret), k tetapan Boltzmann, G tetapan gravitasi Newton, dan c kecepatan cahaya. Aku pernah candain, kalau Maxwell rumusnya pakai c, Einstein pakai c², Hawking pakai c³, dan penerusnya harus cari yang mengandung c4.
Halaman 69 baru mulai ngebahas hal-hal baru. Sejarah semesta, yang tidak linear. Terus meramal masa depan (ada rumus lagi nih, dari Schrödinger, dari Schwarzschild, dan satu lagi tentang temperatur black hole). Diikuti kemungkinan kembali ke masa lalu (dan apakah kemudian sejarah bisa diubah). Bab berikutnya ngebahas masa depan, mirip Star Trek apa nggak (kok jadi inget buku Dilbert ya), dan juga membahas soal DNA, AI, mikroprosesor. Dan di ujung akhir, soal filosofi semesta lagi, misalnya soal holografi semesta. Bentuknya berkaitan tapi nggak berurutan kayak buku pertama dan nggak terpisah kayak buku kedua.
Kalau udah rajin baca buku dari penulis lain 10 tahun ini, sebenernya yang ada di sini nggak terlalu baru. Jadi maunya buku ini merangkum semua yang sudah ditulis buku lain (termasuk buku Hawking sebelumnya). Nggak perlu baca buku Hawking yang lalu untuk mulai baca buku ini. Juga nggak harus bosan membaca dari depan ke belakang, soalnya bahasannya dibuat agak terpisah. Ilustrasinya kaya sekali, lebih banyak daripada tulisannya. Gambarnya mewah. Banyak box yang membahas risalah ilmuwan lain, dan berbagai konsep, tanpa mengganggu naskah utama. Kayak baca majalah aja :).
Disclaimer: Halaman ini berjudul Catatan Lepas. Isinya lebih di soal periferal daripada hal-hal yang esensial. Aku nggak terlalu open source untuk hal-hal berada di core. Tapi kadang orang salah mengira, bahwa personality aku dan beberapa temen yang tersebut di sini identik dengan yang diceritain di sini. Nggak lah :). Di sini aku tulis yang ringan-ringan aja :).
Lama juga nggak nulis tentang Afghanistan. Di milis, terakhir aku ngebahas tulisan seorang dokter dari Jepang tentang pemerintahan Taliban. Lucu juga, kesannya aku jadi pro Taliban. Padahal belum. Mereka menganut asas tunggal sih.
Pro rakyat Afghanistan sih selalu; anti politisi Amerika emang udah dari dulu; tapi pro Taliban juga belum. Justru abis peledakan WTC (yang konon perbuatan CIA sendiri), dan Taliban terus-terusan difitnah, lama-lama aku jadi mulai bersimpati sama Taliban.