Apaan ? Nanya nilai tesis aku ? Nggak lah yaw.
Kalo skripsi sih boleh dibocorin, soalnya kan udah lamaaaa sekali.
Apaan ? Nanya nilai tesis aku ? Nggak lah yaw.
Kalo skripsi sih boleh dibocorin, soalnya kan udah lamaaaa sekali.
Abis berita kesel, perlu ada berita cerah dikit. Eka Budi akhirnya selesai juga skripsinya, termasuk revisinya. Dapet A pula. Dengan demikian selesailah deretan telepon-telepon dan kunjungan-kunjungan yang nyaris tanpa henti itu (hehe, sorry ya Bud). Dan aku cuman mengakhiri dengan mengingatkan, setelah selesai suatu urusan, segera kerjakanlah urusan yang lain, nyontek QS Al-Insyirah. Kayaknya aku juga perlu ngerjain banyak hal lain.
Inget si Sobreng, atau entah siapa itu nama aslinya (sebenernya inget kok, tapi biar nama ini aja lah yang ditulis), yang beberapa tahun lalu juga minta bimbingan, dan juga ngeganggu jadwal hidup bahkan sampai weekend. Tapi juga happy end dengan nilai A buat skripsi. Cum laude malahan.
Kenapa ya aku sendiri nggak dapet A waktu bikin skripsi dulu. Haha :).
Urung jadi “guru” di Balikpapan, minggu ini aku jadi “murid” di Lemahneundeut (nama-nama di Bandung lucu juga ya). Internet Business. Bagian pembukaannya menarik juga. Tapi justru bagian intinya bikin kesel setengah mati. Instructornya cuman jadi penerjemah slide hitam putih di infocus. Mediocre pula. Plus nambahin cerita-cerita yang nggak relevan dan nggak berujung (maksudnya putus di tengah jalan). Plus menekankan visi-visi jangka pendek. Kayaknya banyak waktu yang terbuang hari ini.
Padahal instructornya mantan CEO Centrin loh.
Mudah-mudahan besok suasananya lain.
Trus di akhir cerita hari ini, ada yang tega juga nuduh aku jadi pendukung
Islam Liberal (Islib). Uh?
Memang yang oleh orang Islib itu disebut Islam konservatif itu,
aku pikir gaya berpikirnya dan gaya hidupnya perlu direvisi habis-habisan.
Tapi aku nggak cukup gila untuk memecahkan soal itu dengan memformalkan
kategorisasi dan perbedaan lagi. Nggak. Aku selalu berpikir bahwa orang-orang
Islib malah sedang mempertegas karakteristik yang berusaha dilawannya dengan
cara membuat batas. Transaksi yang kemudian terjadi bukanlah transaksi antar
hikmah, tetapi antar kategori dan label (lagi). Ini buat aku sama sekali nggak
menarik. Tapi tentu, orang boleh punya pendapat yang berbeda.
Minimal, buat orang-orang Islib sendiri, mereka berhasil membuat orang melihat
bahwa Islam itu tidak hanya memiliki satu diskursus. Ada yang lebih ramah pada
perbedaan dengan dunia di luar Islam, yaitu kelompok mereka (dan yang bukan
kelompok mereka tentulah kurang ramah pada dunia di luar Islam). Selamat deh
buat mereka. Sekarang tinggal memperbaiki yang seharusnya diperbaiki.
Dan yang selalu ditembakkan balik ke aku, adalah soal agama. Waktu aku tulis soal keanekaragaman diskursus di milis asasi@, seorang sohib senior menembak dengan soal ulama, bahkan nabi, yang tentu pola pikirnya tetap menempati sebuah domain saja. Aku nggak mau nulis jawabanku di sini. Lain kali, barangkali. Tapi selalu soal agama ini yang dijadikan sasaran buat menembak :). Barangkali memang kesannya aku orang liberal yang memilih hidup sebagai orang konservatif (haha). Aku cuman bisa menertawakan adanya kategori konservatif dan liberal.
Aliran diskursus kita lebih liar dari kategori yang sudah kita bentuk. Kita jam 6.00 pagi jadi konservatif soal X dan liberal soal Y, dan jam 6.15 barangkali soalnya lain lagi. Itu cuman dinamika pikiran harian.
Orang sendiri tampaknya terlalu suka mempertengkarkan soal agama, seolah-olah agama adalah hal yang lebih serius daripada soal-soal lain. Bukan tempatnya di sini untuk menulis bahwa agama bukan hal serius. Paling yang aku tulis adalah: agama, walaupun tentu bersifat formal, barangkali lebih pas dijalankan secara informal.
Agak mirip dengan cerita dua anak di Arab. Kedua anak itu sedang bermain. Waktu terdengan suara adzan di kejauhan, keduanya berhenti bermain. Satu menemukan daun lebar, lalu shalat di tanah dengan kepala dialasi daun itu. Satu lagi tak menemukan daun, jadi shalat di atas tanah saja. Itu jadi hal harian aja. Tapi yang jadi cerita sebenernya bukan soal ini.
Aku lihat di site-site antar agama, agama-agama diperbandingkan dengan mengkaji kitab masing-masing, mengajukan kritik dan celaan, kemudian melakukan pembelaan, dan jadi bertele-tele tanpa ujung dan tanpa kesimpulan. Tak akan jadi kesimpulan, kalau memang diskurusnya sudah ditata terpisah (Eh, ini udah dibahas beberapa bulan lalu). Dan tak ada yang mempertanyakan: emang ada gunanya?
Kenapa tak memecahkan suatu masalah saja, dan memberikan perspektif masing-masing dari sudut pikiran masing-masing — pikiran yang tentu memiliki sistem operasi berupa agama dan pandangan hidup masing-masing. Yahudi tak selalu berarti Taurat, Kristen tak selalu tentang Yesus dan Injil, Islam tak selalu soal Quran dan Hadist. Agama tak selalu hanya soal-soal itu? Agama juga selalu soal penanggulangan banjir, soal rokok dan narkotika, soal infrastruktur informasi, dan hal-hal yang membuat kita konsisten menjalani amanah hidup sebagai rahmatan lil alamin.
Hal-hal yang buruk selalu bisa diperburuk :). Kategorisasi sendiri bisa
diperburuk, yaitu dengan melakukan relasi antara labelisasi dengan konsumsi.
Mr X jadi pakar IT gara-gara punya beberapa website yang punya domain sendiri.
Miss Y masuk kelompok terpelajar gara-gara menghabiskan dana untuk belajar
sampai bergelar PhD di luar negeri. Mrs Z jadi ibu bijak gara-gara beli
detergen tertentu, pakai minyak goreng tertentu, pasang Mozart untuk bayinya.
Mr K mengaku artistik, budayawan, dan kosmopolitan, gara-gara suka buang uang
buat nonton orkestra. Sederhana bener logikanya sebenernya. Karakteristik
akhirnya dibentuk dengan belanja. Itu barangkali hanya karena karakteristik
manusia diisi dengan kategori-kategori.
Kalau baca catatan-catatan lama (bukan yang akhir 1980-an tapi yang
awal 1990-an), aku sering bener nulis tentang kesilapan logika karena
kategorisasi. Memang waktu itu muak bener sama “ilmu” yang kebanyakan
diisi tentang kategori, pemisahan, dan secara tidak langsung juga
definisi yang hanya bersifat membedakan (alih-alih menyusun dari dasar).
Komunisme dan liberalisme di PMP, materi dan energi di fisika, logika
dan emosi. Dan tentu: benar dan salah. Memang bagus untuk alat bantu
belajar buat anak kecil, tapi nggak valid untuk dibawa ke lingkungan
pendidikan yang lebih jauh; dan sama sekali nggak pas dibawa ke dunia
nyata.
Orang tidak lagi berusaha menganalisis masalah dari sumbernya,
tetapi sibuk menempeli kategori-kategori, dan menganggap semuanya selesai
di sana. “Anda introvert,” dan itu menjelaskan semua perilaku kita.
“Saya pakar IT”, “Dia memang emosional”. Efeknya mirip kayak kalau
kita menyampaikan bahwa gravitasi terjadi karena ada massa. Kayak menjelaskan,
tapi tidak menjelaskan sama sekali. Dan sayangnya kita suka merasa puas
berhenti di sana. Sederhana, singkat, dan harmonis.
Dan salah.
Join lagi dengan Computer Society.
Aku lupa alasan untuk masuk lagi, dan juga lupa kenapa dulu aku
keluar. Barangkali memang kita nggak pernah perlu alasan. Alasan
barangkali hanya kisah yang dikaitkan dengan insiden, haha :).
© 2025 Kuncoro++
Theme by Anders Noren — Up ↑