Category: Science (Page 10 of 12)

Einstein Aja Gak Tau

Pada binatang berdarah dingin, metabolisme tubuh harus diatur sesuai dengan suhu lingkungan di sekitarnya. Cengkerik misalnya, mengeluarkan suara kerikan dengan frekuensi sebanding dengan suhu udara di sekitarnya. Ini frekuensi kerikan, bukan frekuensi suara yang dihitung dalam Hertz itu. Kita namai saja kekerapan deh.

Di Amerika Utara, suhu udara bisa diperkirakan dengan mendengarkan kekerapan bunyi cengkerik. Kita ukur berapa kali cengkerik mengkerik dalam 15 detik. Hasilnya kita tambahkan 40, dan kita peroleh perkiraan suhu udara dalam derajat Fahrenheit. Tapi tentu ini suhu udara menurut laporan cengkerik, yang artinya suhu udara pada semak-semak di sekitar rumah kita, bukan suhu di dalam rumah.

Di negara-negara yang lebih beradab, cengkerik menyesuaikan diri dengan satuan metrik. Maka suhu diukur dengan menghitung jumlah kerikan dalam 8 detik, lalu ditambahkan lima, dan hasilnya adalah suhu dalam derajat Celcius. Tambahkan 273, kalau mau mengukur hasil dalam Kelvin.

Cerita ini, dan ratusan hal-hal menarik lainnya, bisa dibaca pada buku terjemahan di samping ini: Einstein Aja Gak Tau. Terjemahannya memang banyak yang lucu, termasuk judulnya yang ngasal bener. Tapi dengan mengabaikan hal-hal kecil macam gini, isi buku ini adalah ratusan mutiara. Dianjurkan buat orang yang suka memikirkan sebab akibat dari hal-hal sehari-hari, dan untuk yang punya anak yang tak henti-henti bertanya tentang hal-hal semacam ini. (Jadi inget Yani).

Bintang Terang, Bintang Gelap

Kembali, kenapa malam itu gelap? Dan kenapa bintang bersinar terang? Sekilas tidak ada yang aneh. Malam gelap karena sebagian besar semesta terdiri atas ruang hampa, dan sebagian kecilnya adalah bintang-bintang serta materi gelap, dan bintang-bintang menyala karena tumbukan partikel akibat gravitasi yang besar mengakibatkan terjadinya pembakaran luar biasa. Tapi masalahnya, sekian ribu tahun setelah big bang, sebenarnya semesta berbentuk mirip sop panas yang homogen. Kenapa kemudian justru terjadi ruang hampa dingin dan bintang panas? Ini pelanggaran hukum termodinamika! Di mana-mana justru benda panas dan benda dingin yang dicampurkan akan membentuk kesetimbangan yang makin lama makin homogen, seperti yang sedang terjadi sekarang: bintang memberikan cahaya, kehilangan energi, sementara semesta dingin sisanya menerima cahaya dan suhunya meningkat. Ajaib bahwa di zaman dulu, pernah terbentuk bintang panas dan malam-malam dingin dari homogenitas.

Sop kita itu, yang terdiri dari radiasi-radiasi dan ion-ion yang terlalu panas untuk membentuk atom, sebenarnya tidak sepenuhnya homogen. Secara global memang homogen. Tapi di dalamnya selalu terjadi fluktuasi-fluktuasi lokal. Sementara semesta mengembang, kerapatan energi di dalamnya terus menurun, sampai suatu saat terjadi suhu yang cukup rendah yang memungkinkan terjadinya rekombinasi dan terbentuknya atom-atom. Fluktuasi yang terakhir tercetak sebagai bentuk semesta saat ini.

Kayak apa sih fluktuasinya? Sebenarnya kita tidak bisa menebaknya. Bisa isotermal (fluktuasi pada materi tapi tidak pada energi, sehingga energi/suhu tidak berubah), atau bisa juga adiabatik (fluktuasi pada materi dan energi). Yang mungkin adalah keduanya. Tapi mana yang dominan?

Ilmuwan Russia dan Eropa berbagi tugas soal ini. Orang Russia melakukan perhitungan dengan menganggap fluktuasi bersifat adiabatik, sementara orang Eropa menganggap fluktuasi bersifat isotermal.

Hasilnya: kalau fluktuasi bersifat isotermal, akan terbentuk inti pembentukan bintang yang sangat besar, lalu meledak menjadi jutaan inti yang jauh lebih kecil, lalu meledak lagi, dst … membentuk pola yang kita kenal masing-masing sebagai superkluster, galaksi, dan bintang. Super-superkluster, kalau ada. Sementara, kalau fluktuasi bersifat adiabatik, terbentuk ledakan yang tidak bersifat hirarkis, sehingga terbentuk galaksi dalam jumlah besar, tapi bersifat paralel. Jadi, melihat kondisi sekarang, nampaknya fluktuasi pada fase sop itu bersifat isotermal.

Ada hal lain yang mengejutkan dari perhitungan soal-soal galaksi ini. Galaksi itu mirip gunung es: bagian yang tampak hanya 10%-nya. Jadi kalau kita melihat galaksi sebagai kumpulan bintang cerlang, well, itu baru 10%. 90% anggota galaksi adalah bintang-bintang gelap yang mengelilingi bintang-bintang cerlang itu.

Gelap Malam

Gelapnya langit konon menyimpan berjuta rahasia. Masa? Dari kacamata ilmiah, gelapnya langit justru mengungkap banyak rahasia.

Waktu Isaac Newton menurunkan formulasi mekanika gravitasi, orang mulai bertanya: kenapa gravitasi tidak membuat bintang2 saling menarik dan saling menumbuk? Newton berkilah dengan berbagai asumsi-asumsi ajaib, termasuk bahwa besarnya semesta tak terhingga, sehingga semesta tidak terpusat, dan tidak memiliki pusat gravitasi tempat mereka seharusnya runtuh. Salah satu penerus Newton berkilah juga bahwa pada jarak dekat memang gravitasi bersifat saling menarik; tapi pada jarak jauh dia bisa berubah jadi saling menolak.

Fakta bahwa malam itu gelap membuka rahasia yang satu ini: semesta mengembang. Dengan kecepatan tinggi pula. Kalau semesta tidak mengembang, seluruh cahaya bintang dari segala arah akan mencapai mata kita di bumi, dan malam jadi terang benderang. Fakta bahwa semesta mengembang menghasilkan kesimpulan yang niscaya: semesta memiliki awal pada ruang kecil tempat segalanya berasal. Didukung fakta-fakta “geseran sinar merah” dan “radiasi latar belakang”, akhirnya kita mengenali sejarah semesta, yang kemudian dinamai dengan “big bang”.

Tapi kalau big bang benar terjadi, dan semesta mengembang dengan kecepatan tinggi, kanapa sampai tercipta bintang gemintang dan galaksi hingga supercluster?

Kembali kita meminta jawaban pada gelapnya malam.

Ketidakpastian Heisenberg Ngebut

Heisenberg ngebut. Seorang polisi menghentikannya.
«Anda melanggar batas kecepatan,» kata si polisi.
«Berapa kecepatan saya tadi?» tanya Heisenberg.
«90 km/jam,» kata si polisi.
«Anda yakin?»
«Tentu, saya yakin sekali.»
«Kalau demikian, Anda tidak dapat menuntut saya. Anda tidak akan dapat menunjukkan di mana saya ngebut tadi.»

Ini cerita fiktif sih. Tapi tidak pasti juga.

Abdus Salam

Tahun 1940, orang-orang di kota Jhang, Punjab berbaris di jalan memberi sambutan meriah. Buat seorang pejabat? Bukan, buat seseorang yang jauh lebih hebat dari itu. Orang itu Abdus Salam masuk kota dengan bersepeda. Usianya 14 tahun, dan ia baru saja memecahkan rekor ujian matrikulasi di Universitas Panjab. Ia kemudian memperoleh beasiswa untuk bersekolah di Univ Panjab, dan kemudian di St John’s College di Universitas Cambridge, UK. Ia pernah ditawari masuk Trinity College yang bertetangga dengan St John, tapi ia menolak. Taman di Trinity tidak seindah di St John, katanya. Di Cambridge, ia jadi wrangler (yaitu: matematikawan kelas satu). Kayak si Doel anak
betawi, dia juga rajin sembahyang dan mengaji Qur’an.

Fred Hoyle, kosmolog kondang yang kelak jadi musuh besar Stephen Hawking, menganjurkan Abdus Salam melakukan riset dalam fisika eksperimental. Bencana terjadi, haha. Salam kurang trampil di lab. Hasil eksperimennya suka ajaib, dan ia menulis penjelasan dengan menemukan teori-teori baru. Tapi ternyata itu membantunya untuk betul-betul menyusun teori-teori baru. Ia, misalnya, berhasil menuliskan formulasi matematika yang membuktikan dugaan-dugaan Schwinger, Feynman, dan Dyson mengenai karakteristik elektron. Sejak itu Salam juga mulai memberikan prediksi-prediksi, yang kemudian akan banyak terbukti, misalnya tentang pelanggaran asas paritas.

Fisika itu ibadah, kata Abdus Salam, tapi juga kesenangan.

Ujungnya, pada tahun 1979 ia memperoleh hadiah Nobel untuk Fisika, atas jasanya memformulasikan penyatuan elektromagnetika dengan nuklir lemah, sekaligus membuka satu langkah baru ke penyatuan fisika — hal yang tidak pernah dicapai oleh Einstein (ide yang terlalu cepat, begitulah).

Hmmm, Nobel untuk ibadah, atau Nobel untuk kesenangan? Atau Abdus Salam juga sebenarnya menemukan penyatuan antara sains, ibadah, dan kesenangan? 1 Nobel lagi?

Lemparan Piring QED

“You know, what they think of you is so fantastic; it’s impossible to live up to it. You have no responsibility to live up to it.” — gitu di catatan Richard Feynman.

Waktu itu PD II sudah berakhir, para ilmuwan dipulangkan dari proyek Los Alamos yang fantastik itu, dan Feynman mengajar di Cornell. Nyaris tidak ada hal baru yang menarik di bidang fisika teoretis pada masa itu, dan kebosanan menjelma jadi ketakutan akan adanya kemandegan. Yup, kemandegan — kata-kata yang selalu menakutkan buat kita semua. Ada beberapa lembaga berwibawa di luar Cornell yang masih terus menawari Feynman untuk bergabung, mengingat reputasi Feynman sebelumnya. Tapi Feynman membayangkan bahwa dirinya bukan Feynman yang dulu — sekarang ia Feynman yang mandeg.

Trus ia jadi ingat beberapa percakapan dengan von Neumann waktu masih di Los Alamos, waktu von Neumann mengajari rekan-rekannya untuk mengambil sikap irresponsibilitas aktif terhadap masyarakat. Jangan ambil pusing, begitulah kira-kira. Jadi Feynman bikin statement di atas. Plong.

Hebat sekali yang terjadi kalau kita merasa bebas dari beban. Feynman kembali hidup, tapi bukan untuk tujuan besar: semuanya dilakukan hanya buat ketertarikan pribadi. Membaca “1001 Malam”, lempar-lemparan piring di kafetaria, dan menghitung formulasi fisika yang lucu-lucu.

Salah satu yang bikin sibuk adalah kecepatan putar logo Cornel di piring yang dilempar di udara, waktu piring itu bergelincir di udara. Perbandingan kecepatan putarnya 2:1 terhadap kecepatan piring (Di sebuah jurnal, aku baca bahwa sebenernya bukan 2:1 tapi 1:2, dan Feynman mungkin sengaja menuliskan kesalahan ini untuk menguji pembaca — sialnya aku nggak pinter ngelempar piring ke udara, jadi nggak pernah ikutan menguji). Kenapa 2:1? Hitungannya tidak sederhana. Ia menghabiskan waktu menghitung keseimbangan akselerasi pada sebaran massa. Hasilnya dipamerkan ke Hans Bethe. Tanggapan Bethe bikin bete: “Apa gunanya?”

Tapi Feynman tidak peduli. Ia meneruskan ke sesuatu yang lebih fundamental untuk menyusun formula dasarnya. Trus, kalau partikelnya cuman segede elektron gimana? Kan ada pengaruh persamaan Dirac untuk elektrodinamika. Trus, trus, trus, trus…

Dalam pengakuan Feynman, keisengan dari putaran piring itu, yang berkelanjutan ke mana-mana, yang membuatnya menerima Hadiah Nobel Fisika, untuk formulasi elektrodinamika kuantum (QED).

Teori Tentang TV

Aku ngegeser buku, sebuah buku lain jatuh, dan di atasnya ada gunting yang jadi ikutan jatuh. Di tengah keberisikan buku dan gunting jatuh, pesawat TV jadi hidup. Aku cari remote control, kali dekat gunting. Eh, remote controlnya ada di ujung ruangan (dibikin jauh biar nggak tergoda buat pasang TV).

Alternatif penyebab:

  • Induksi elektromagnetik. Kalau petir sih, memang bisa menginduksi perangkat elektrik: bisa TV-nya, atau remote controlnya. Tapi dari gunting yang jatuh, sekuat apa sih medan yang ditimbulkan. Mungkin soalnya gunting itu sepasang yah. Kalau sendok pasti efeknya nggak segede itu.
  • Waktu gunting tadi jatuh, barangkali di luar ada petir juga, tapi nggak kedengeran soalnya berbarengan dengan keberisikan di dalam kamar. Petir inilah penyebab induksi elektromagnetik, bukan gunting.
  • Tetangga menghidupkan TV dengan remote control. Sinyalnya menembus jendela kamarnya, memantul di jendela gedung di seberang taman, menembus jendela kamar ini, dan menghidupkan TV.
  • Dalam kekagetan, aku nggak sengaja masang TV (gerak reflek yang ajaib), terus waktu kesadaran balik aku nggak ingat apa-apa.
  • TV ini sebenernya bukan TV biasa: dia dipasangi detektor tindakan terorisme oleh CIA. Dan gunting yang jatuh tadi jadi pemicu buat interceptor CIA.
  • Di dalam TV ada tupai kecil. Waktu gunting jatuh tupainya kaget dan menggerakkan switch yang menghidupkan TV.

Kayaknya teori terakhir yang paling valid, soalnya kan beberapa minggu y.l. aku kejar-kejaran sama tupai. Aku bongkar aja deh TV-nya. Kasihan tupainya.

Duh, cara aku mengambil kesimpulan kok sama sama pemerintah AS yah.

The Universe in a Nutshell

Buku The Universe in a Nutshell hari ini resmi terbit, dan sebuah box dari Amazon bertengger di kotak suratku. Enaknya buka dari depan, dari tengah, apa dari belakang ya?
Umm, yeah, 201 halaman. Bagian depan ngebahas relativitas lagi dan mekanika kuantum lagi, mengulang buku yang lama, lengkap dengan penjelasan atas konsep-konsep semacam spin, interaksi, string, dan kurva waktu, dan ditutup dengan anak emas Hawking, yaitu rumus entropi black hole. Hehe, ada rumusnya juga ternyata buku ini.

Buat yang suka penasaran, rumusnya gini nih: S=Akc³/4hG, dengan S entropi, A luas event horizon, h tetapan Planck (h dicoret), k tetapan Boltzmann, G tetapan gravitasi Newton, dan c kecepatan cahaya. Aku pernah candain, kalau Maxwell rumusnya pakai c, Einstein pakai c², Hawking pakai c³, dan penerusnya harus cari yang mengandung c4.

Halaman 69 baru mulai ngebahas hal-hal baru. Sejarah semesta, yang tidak linear. Terus meramal masa depan (ada rumus lagi nih, dari Schrödinger, dari Schwarzschild, dan satu lagi tentang temperatur black hole). Diikuti kemungkinan kembali ke masa lalu (dan apakah kemudian sejarah bisa diubah). Bab berikutnya ngebahas masa depan, mirip Star Trek apa nggak (kok jadi inget buku Dilbert ya), dan juga membahas soal DNA, AI, mikroprosesor. Dan di ujung akhir, soal filosofi semesta lagi, misalnya soal holografi semesta. Bentuknya berkaitan tapi nggak berurutan kayak buku pertama dan nggak terpisah kayak buku kedua.

Kalau udah rajin baca buku dari penulis lain 10 tahun ini, sebenernya yang ada di sini nggak terlalu baru. Jadi maunya buku ini merangkum semua yang sudah ditulis buku lain (termasuk buku Hawking sebelumnya). Nggak perlu baca buku Hawking yang lalu untuk mulai baca buku ini. Juga nggak harus bosan membaca dari depan ke belakang, soalnya bahasannya dibuat agak terpisah. Ilustrasinya kaya sekali, lebih banyak daripada tulisannya. Gambarnya mewah. Banyak box yang membahas risalah ilmuwan lain, dan berbagai konsep, tanpa mengganggu naskah utama. Kayak baca majalah aja :).

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑