Category: Life (Page 15 of 30)

Serang

Serang!

Biar namanya rada provokatif gitu, kota ini berkesan tenang.

Ada beda yang nyata antara kota Serang dengan Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Cianjur, dan kota-kota crowded di Jawa Barat, terutama Bandung. Sekilas, malah mirip kota-kota di Jawa Timur, dengan jalan utama yang lebar dan tenang, dan jalan kecil yang konsisten dengan kebersihannya. Kalau kita cari soto kudus bertiga, plus minum, dan boleh bayar kurang dari 20 ribu rups, kita lebih yakin bahwa memang kita bukan di provinsi Jawa Barat.

Wajar kalau akhirnya bener-bener orang Banten minta berpisah dengan Jawa Barat.

Faust by Chirikov

Faust, by Chirikov. Hah, orang Russia nulis tentang Faust? Hmm, apa sih yang nggak ditulis orang Russia :) :).

Ivan Mikhailovich yang hidup dengan kerutinan tak terpemanai, serta biasa acuh pada keluarganya; dan istrinya, Xenia Pavlovna, yang mulai terbiasa dengan ketidakhadiran suaminya. Xenia ingin sesekali ke teater, tapi Ivan selalu mengingatkan bahwa 9 tahun sebelumnya mereka sudah pernah ke teater. Tapi waktu Faust dimainkan di kota itu, Ivan membeli dua tiket, dengan jengkel.

Kejengkelan juga mewarnai perjalanan mereka ke teater. Bahkan sampai jeda pertama, keduanya saling tidak puas atas kehadiran pasangannya ;). Bagian berikutnnya membuat mereka merasa terjebak dalam hidup. Tapi siapa yang menjebak. Barangkali seperti Faust juga yang terjebak dalam impian yang menjauh dari realita tapi ke arah kesuraman. Bentuk impian yang salah, sungguh aneh.

Tapi selalu bisa diperbaiki.

Di akhir pertunjukan mereka minum orange juice, tanpa rasa permusuhan lagi. Dan dengan kebanggaan yang terus berkembang pada pasangannya.

Dan begitulah, mereka jadi saling menyayangi lagi. Dan hidup mereka berubah sama sekali.

Diin Progresif

Toh sejak paruh akhir abad 20, para psikolog sudah memandang sifat dasar
manusia yang positif, progresif, dan sosial. Manusia punya kecenderungan dasar untuk mencari kebenaran, untuk menegakkan visi, untuk terus berkembang.

Dan sebenarnya: untuk merengkuh Rabbnya dan Ilahnya. Untuk hidup sesuai dengan diin-nya.

Tiap individu dibekali dengan cara yang berbeda, hidup yang berbeda, dan fungsi yang berbeda, untuk akhirnya bersama-sama menjalani diin-nya, tanpa harus membentuk penyeragaman nilai-nilai. Justru sambil terus menerus memperbaharui nilai-nilai kita.

Duh, yang terakhir kok jadi mirip Nietzsche yah.

Diin Konservatif & Liberal

Sebuah diin tidak diciptakan untuk manusia. Tapi, diin dan manusia dan
semesta diciptakan dari suatu kesatuan. Jadi memang akan selalu harmonik.

Kaum agamawan konservatif dan liberal sama-sama mengira bahwa kemanusiaan tidak sesuai dengan diin. Kaum konservatif jadi percaya bahwa manusia harus dipaksa, didorong, dikejar-kejar untuk melaksanakan nilai-nilai agama; dan sebaliknya kaum liberal jadi percaya bahwa nilai-nilai agama harud didefinisikan ulang agar nyaman bagi manusia dan pola hidup kontemporernya.

Dua-duanya terjebak ke dalam jebakan yang sama yang menimpa kaum psikolog awal abad 20 yang dipimpin Freud.

Diskursus Diin

Memang gampang sekali cari musuh dengan menyebut soal keanekaragaman diskursus dalam diin. Orang lebih suka membayangkan sebuah diin sebagai satu cara, satu pola, satu hukum. Itu muskil. Manusia dan masyarakat memang diciptakan berbeda. Barangkali, dalam perkembangan diin, kita terlalu banyak menyerap ide-ide dari agama-agama kuno dengan sistem kependetaannya, juga dari konsep nasionalis dan ideologi-ideologi, lengkap dengan struktur-struktur kesatuan ide-nya. Jadi diin dipaksakan untuk dipetakan ke dalam sistem agama atau sistem ideologi lain, bukan sebagai sebuah cara hidup yang manusiawi.

On Absurdity

Calvin memulai, “Isn’t it strange that evolution would give us a sense of humor?”

Terus, “When you think about it, it’s weird that we have a physiological response to absurdity. We laugh at nonsense. We like it. We think it’s funny.”

Abis itu dia berpaling ke Hobbes, “Don’t you think it’s odd that we appreciate absurdity? Why would we develop that way? How does it benefit us?”

“I suppose if we couldn’t laugh at things that don’t make sense, we couldn’t react to a lot of life,” kata Hobbes.

Calvin berhenti.

“I can’t tell if that’s funny or really scary,” katanya, akhirnya.

Offline Blog

Di komputer ini (Tristan & Isolde) aku ketemu lagi catatan-catatan dari tahun 1980-an yang sudah diketikkan di komputer awal 1990-an dulu. Apa sih yang dulu aku pikirin, waktu masih teenager? Curious sendiri kadang-kadang. Tapi lucunya ada beberapa hal yang tak berubah. Salah satunya gaya bahasa. Yang lain adalah soal pergeseran diskursus (yang dulu istilahnya lucu-lucu bener).

Kali-kali kita perlu keliling juga ke blog teenager Indonesia masa kini.
Banyak yang bener-bener smart loh.

Para Pengutuk

Kenapa sih manusia masih harus saling mengutuk ?

Dari kecil kita dipropagandai bahwa manusia punya bakat jahat. Di sekolah kita diajari bahwa penjajah Belanda dan PKI itu tak punya hati, lebih jahat dari setan. Di perpustakaan sekolah, kita disuruh baca Karl May yang dengan sok sekali memamerkan kejahatan bangsa Indian, Arab, dan Balkan. Di TV kita belajar dari Chuck Norris, bahkan Superman dan James Bond, tentang para prime evil. Bahkan sejarah agama pun dipenuhi dengan kisah-kisah sepihak yang meragukan tentang itikad jahat manusia-manusia.

Barangkali kita harus balik ke cerita-cerita Astérix. Jenderal dan tentara Romawi yang konon kejam itu tak lebih dari sekumpulan penakut yang saling menyelamatkan diri. Kartun memang. Tapi barangkali memang akar kejahatan manusia itu tak lebih dari ketakutan, yang dibesar-besarkan, dan dilampiaskan dengan menghancurkan. Bukan dari jiwa gelap manusia.

Tidakkah cukup bahwa syaythan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk membenci, mengutuk, memprasangkai, menuding. Terlalu banyak masalah yang tidak terpecahkan hanya gara-gara urusan saling membenci.

Dan saling takut.

Agama dan Diskursus

Dan yang selalu ditembakkan balik ke aku, adalah soal agama. Waktu aku tulis soal keanekaragaman diskursus di milis asasi@, seorang sohib senior menembak dengan soal ulama, bahkan nabi, yang tentu pola pikirnya tetap menempati sebuah domain saja. Aku nggak mau nulis jawabanku di sini. Lain kali, barangkali. Tapi selalu soal agama ini yang dijadikan sasaran buat menembak :). Barangkali memang kesannya aku orang liberal yang memilih hidup sebagai orang konservatif (haha). Aku cuman bisa menertawakan adanya kategori konservatif dan liberal.

Aliran diskursus kita lebih liar dari kategori yang sudah kita bentuk. Kita jam 6.00 pagi jadi konservatif soal X dan liberal soal Y, dan jam 6.15 barangkali soalnya lain lagi. Itu cuman dinamika pikiran harian.

Orang sendiri tampaknya terlalu suka mempertengkarkan soal agama, seolah-olah agama adalah hal yang lebih serius daripada soal-soal lain. Bukan tempatnya di sini untuk menulis bahwa agama bukan hal serius. Paling yang aku tulis adalah: agama, walaupun tentu bersifat formal, barangkali lebih pas dijalankan secara informal.

Agak mirip dengan cerita dua anak di Arab. Kedua anak itu sedang bermain. Waktu terdengan suara adzan di kejauhan, keduanya berhenti bermain. Satu menemukan daun lebar, lalu shalat di tanah dengan kepala dialasi daun itu. Satu lagi tak menemukan daun, jadi shalat di atas tanah saja. Itu jadi hal harian aja. Tapi yang jadi cerita sebenernya bukan soal ini.

Aku lihat di site-site antar agama, agama-agama diperbandingkan dengan mengkaji kitab masing-masing, mengajukan kritik dan celaan, kemudian melakukan pembelaan, dan jadi bertele-tele tanpa ujung dan tanpa kesimpulan. Tak akan jadi kesimpulan, kalau memang diskurusnya sudah ditata terpisah (Eh, ini udah dibahas beberapa bulan lalu). Dan tak ada yang mempertanyakan: emang ada gunanya?

Kenapa tak memecahkan suatu masalah saja, dan memberikan perspektif masing-masing dari sudut pikiran masing-masing — pikiran yang tentu memiliki sistem operasi berupa agama dan pandangan hidup masing-masing. Yahudi tak selalu berarti Taurat, Kristen tak selalu tentang Yesus dan Injil, Islam tak selalu soal Quran dan Hadist. Agama tak selalu hanya soal-soal itu? Agama juga selalu soal penanggulangan banjir, soal rokok dan narkotika, soal infrastruktur informasi, dan hal-hal yang membuat kita konsisten menjalani amanah hidup sebagai rahmatan lil alamin.

22 02 20 22

Kalau kita mau selalu berkurban, bertahan mengiris hati kita sampai pedih sampai berdarah sampai hancur; aku kira barulah kita punya kekuatan untuk menjalani kehidupan di semesta ini. Tidak perlu ada peperangan, tidak perlu ada kebencian.

Tapi kita memang tidak selalu punya kekuatan untuk mengorbankan diri kita. Kita terlalu banyak dikelilingi kabut kekhawatiran dan bisik-bisik. Kayak Faust yang lagi didampingi Mephistopeles dan tidak lagi bisa memandang hidupnya dengan jernih.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑