Category: Life (Page 15 of 30)

Diskursus Diin

Memang gampang sekali cari musuh dengan menyebut soal keanekaragaman diskursus dalam diin. Orang lebih suka membayangkan sebuah diin sebagai satu cara, satu pola, satu hukum. Itu muskil. Manusia dan masyarakat memang diciptakan berbeda. Barangkali, dalam perkembangan diin, kita terlalu banyak menyerap ide-ide dari agama-agama kuno dengan sistem kependetaannya, juga dari konsep nasionalis dan ideologi-ideologi, lengkap dengan struktur-struktur kesatuan ide-nya. Jadi diin dipaksakan untuk dipetakan ke dalam sistem agama atau sistem ideologi lain, bukan sebagai sebuah cara hidup yang manusiawi.

On Absurdity

Calvin memulai, “Isn’t it strange that evolution would give us a sense of humor?”

Terus, “When you think about it, it’s weird that we have a physiological response to absurdity. We laugh at nonsense. We like it. We think it’s funny.”

Abis itu dia berpaling ke Hobbes, “Don’t you think it’s odd that we appreciate absurdity? Why would we develop that way? How does it benefit us?”

“I suppose if we couldn’t laugh at things that don’t make sense, we couldn’t react to a lot of life,” kata Hobbes.

Calvin berhenti.

“I can’t tell if that’s funny or really scary,” katanya, akhirnya.

Offline Blog

Di komputer ini (Tristan & Isolde) aku ketemu lagi catatan-catatan dari tahun 1980-an yang sudah diketikkan di komputer awal 1990-an dulu. Apa sih yang dulu aku pikirin, waktu masih teenager? Curious sendiri kadang-kadang. Tapi lucunya ada beberapa hal yang tak berubah. Salah satunya gaya bahasa. Yang lain adalah soal pergeseran diskursus (yang dulu istilahnya lucu-lucu bener).

Kali-kali kita perlu keliling juga ke blog teenager Indonesia masa kini.
Banyak yang bener-bener smart loh.

Para Pengutuk

Kenapa sih manusia masih harus saling mengutuk ?

Dari kecil kita dipropagandai bahwa manusia punya bakat jahat. Di sekolah kita diajari bahwa penjajah Belanda dan PKI itu tak punya hati, lebih jahat dari setan. Di perpustakaan sekolah, kita disuruh baca Karl May yang dengan sok sekali memamerkan kejahatan bangsa Indian, Arab, dan Balkan. Di TV kita belajar dari Chuck Norris, bahkan Superman dan James Bond, tentang para prime evil. Bahkan sejarah agama pun dipenuhi dengan kisah-kisah sepihak yang meragukan tentang itikad jahat manusia-manusia.

Barangkali kita harus balik ke cerita-cerita Astérix. Jenderal dan tentara Romawi yang konon kejam itu tak lebih dari sekumpulan penakut yang saling menyelamatkan diri. Kartun memang. Tapi barangkali memang akar kejahatan manusia itu tak lebih dari ketakutan, yang dibesar-besarkan, dan dilampiaskan dengan menghancurkan. Bukan dari jiwa gelap manusia.

Tidakkah cukup bahwa syaythan diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk membenci, mengutuk, memprasangkai, menuding. Terlalu banyak masalah yang tidak terpecahkan hanya gara-gara urusan saling membenci.

Dan saling takut.

Agama dan Diskursus

Dan yang selalu ditembakkan balik ke aku, adalah soal agama. Waktu aku tulis soal keanekaragaman diskursus di milis asasi@, seorang sohib senior menembak dengan soal ulama, bahkan nabi, yang tentu pola pikirnya tetap menempati sebuah domain saja. Aku nggak mau nulis jawabanku di sini. Lain kali, barangkali. Tapi selalu soal agama ini yang dijadikan sasaran buat menembak :). Barangkali memang kesannya aku orang liberal yang memilih hidup sebagai orang konservatif (haha). Aku cuman bisa menertawakan adanya kategori konservatif dan liberal.

Aliran diskursus kita lebih liar dari kategori yang sudah kita bentuk. Kita jam 6.00 pagi jadi konservatif soal X dan liberal soal Y, dan jam 6.15 barangkali soalnya lain lagi. Itu cuman dinamika pikiran harian.

Orang sendiri tampaknya terlalu suka mempertengkarkan soal agama, seolah-olah agama adalah hal yang lebih serius daripada soal-soal lain. Bukan tempatnya di sini untuk menulis bahwa agama bukan hal serius. Paling yang aku tulis adalah: agama, walaupun tentu bersifat formal, barangkali lebih pas dijalankan secara informal.

Agak mirip dengan cerita dua anak di Arab. Kedua anak itu sedang bermain. Waktu terdengan suara adzan di kejauhan, keduanya berhenti bermain. Satu menemukan daun lebar, lalu shalat di tanah dengan kepala dialasi daun itu. Satu lagi tak menemukan daun, jadi shalat di atas tanah saja. Itu jadi hal harian aja. Tapi yang jadi cerita sebenernya bukan soal ini.

Aku lihat di site-site antar agama, agama-agama diperbandingkan dengan mengkaji kitab masing-masing, mengajukan kritik dan celaan, kemudian melakukan pembelaan, dan jadi bertele-tele tanpa ujung dan tanpa kesimpulan. Tak akan jadi kesimpulan, kalau memang diskurusnya sudah ditata terpisah (Eh, ini udah dibahas beberapa bulan lalu). Dan tak ada yang mempertanyakan: emang ada gunanya?

Kenapa tak memecahkan suatu masalah saja, dan memberikan perspektif masing-masing dari sudut pikiran masing-masing — pikiran yang tentu memiliki sistem operasi berupa agama dan pandangan hidup masing-masing. Yahudi tak selalu berarti Taurat, Kristen tak selalu tentang Yesus dan Injil, Islam tak selalu soal Quran dan Hadist. Agama tak selalu hanya soal-soal itu? Agama juga selalu soal penanggulangan banjir, soal rokok dan narkotika, soal infrastruktur informasi, dan hal-hal yang membuat kita konsisten menjalani amanah hidup sebagai rahmatan lil alamin.

22 02 20 22

Kalau kita mau selalu berkurban, bertahan mengiris hati kita sampai pedih sampai berdarah sampai hancur; aku kira barulah kita punya kekuatan untuk menjalani kehidupan di semesta ini. Tidak perlu ada peperangan, tidak perlu ada kebencian.

Tapi kita memang tidak selalu punya kekuatan untuk mengorbankan diri kita. Kita terlalu banyak dikelilingi kabut kekhawatiran dan bisik-bisik. Kayak Faust yang lagi didampingi Mephistopeles dan tidak lagi bisa memandang hidupnya dengan jernih.

Logika Kurban

Melaksanakan kurban, dan mengenang kisah Ibrahim secara umum, setiap tahun digunakan sebagai upaya memaksa kita menggugat logika linear kita; dan sejenak memahami kebesaran Allah dan kebesaran manusia yang nyaris tidak pernah kita sadari. Ketika Allah berkenan melakukan komunikasi yang nyaris verbal, kita dipaksa melihat realita yang dicoba untuk dilupakan oleh tata wacana kita.

Tapi hari ini kita dipaksa menyaksikan. Orang-orang yang paling dikasihi Allah justru adalah orang yang batinnya paling banyak disiksa. Para penegak kebenaran memang dipaksa diceraiberaikan. Semesta tidak dibuat untuk ditata rapi dengan mudah, tetapi justru untuk menyaksikan sejauh mana kita mau menjalankan kehidupan ini dengan tanggung jawab yang diberikan pada kita.

Dan akhirnya, untuk menunjukkan rasa kasih kita, kita harus menumpahkan darah.

Security a.k.a. Satpam

Kali ini, aku mau melantur soal satpam. Dan bukan satpam di Lembong atau di Westwood.

Aku pertama kali kerja (kerja bergaji) jadi instruktur komputer di LPK
Kopma Unibraw, waktu masih kuliah di semester 4 atau 5. Yang dicari
bukan sekedar gaji (iya juga sih, buat beli buku komputer #@*!#*!@^), tapi
kesempatan pakai komputer (harga komputer mahal euy, sampai sekarang), dan kesempatan berkomunikasi lisan (yang kayaknya bisa agak mengubah personality-ku — tapi ini soal lain).

Jadi disanalah komputer-komputerku. Dan aku nyaris siang malam ada
di sana. Jadi mulai akrab sama satpam-satpam. Ada yang sok suka traktir
(tapi doyan pinjam motor). Ada yang suka tanya-tanya soal komputer.

Si satpam yang suka tanya soal komputer itu belajarnya serius bener.
Dia nggak terlalu sering di depan komputer. Tapi di gardunya pun dia
bawa buku dBase dan baca dengan serius. Beberapa tahun kemudian aku
lihat dia kerja jadi tutor komputer di tempat lain. Kagum juga aku.
Satpam lainnya ada yang selalu bawa buku pelajaran Bahasa Inggris
dan suka tanya-tanya juga. Kali-kali udah jadi guru Bahasa Inggris
dia sekarang.

Misteri 12 Koin

Di bulan Mei 2000, Irwan Hadi memberikan tebakan ini di milis pau-mikro@:


Begini.
Ada 12 coin, terus di antara 12 coin itu ada 1 coin palsu. Nah koin palsu itu pas banget bentuknya dengan 11 coin lainnya, dan dilihat dengan mata telanjang tidak ketahuan deh. Tapi … berat koin palsu itu beda dengan 11 coin lainnya, bisa lebih berat ATAU lebih ringan. Nah gimana caranya nemukan coin palsu itu, dengan menggunakan neraca 2 lengan (seperti neracanya tukang emas gitu lho) dengan HANYA 3 kali menimbang. Nah lho ;)

Trus waktu itu aku coba jawab kayak gini:


Saya membuat simulasi dengan bilangan triner (yakni 0, 1, 2). Dengan demikian nomor coin adalah sebagai berikut:

000 002 010 022
110 121 122 111
202 201 210 221

Perhatikan bahwa tidak ada koin dengan nomor kembar. Juga tidak ada koin dengan nomor 1 berkomplemen dengan nomor 2. Jadi, kalau ada 022 tidak akan ada 011. Kalau ada 121, tidak boleh ada 212.

Penimbangan dilakukan tiga kali :

Penimbangan I :
xx1 melawan xx2 (4 vs 4)

Kalau sama, koin palsu pada xx0
Kalau tidak sama, catat yang lebih berat pada 1 atau 2
dalam kasus ini beri nilai p jika 1 lebih berat, q jika 2 lebih berat

Penimbangan II :
x1x melawan x2x (4 vs 4)
Kalau sama, koin palsu pada x0x
Kalau tidak sama, catat yang lebih berat pada 1 atau 2 —> angka q
dalam kasus ini beri nilai p jika 1 lebih berat, q jika 2 lebih berat

Penimbangan III :
1xx melawan 2xx (4 vs 4)
Kalau sama, koin palsu pada 0xx
Kalau tidak sama, catat yang lebih berat pada 1 atau 2 —> angka r
dalam kasus ini beri nilai p jika 1 lebih berat, q jika 2 lebih berat

Penimbangan selesai. Sekarang kalkulasi. Dasarnya, koin palsu selalu lebih berat atau selalu lebih ringan dari koin lain. Tidak mungkin koin palsu sekarang lebih berat dan nanti lebih ringan. Itu gunanya angka p dan q.

Seluruh angka dijumlahkan dengan OR. Bilangan x OR bilangan apa pun menghasilkan bilangan itu. Hasilnya barangkali 000. Inilah yang palsu.

Enak kalau memang dapat koin nomor 000. Probabilitasnya 1/12. Kemungkinan besar sih sih kita dapat koin dengan nomor p dan q.

Kita ingat, koin palsu akan selalu lebih berat atau lebih ringan. Jadi jika nilai p=1, p akan selalu 1 dan q akan selalu 2. Sebaliknya jika nilai p=2, p akan selalu 2 dan q akan selalu 1. Kalau yang palsu koin nomor ppp atau qqq, berarti yang palsu nomor 111 atau 222. Tapi koin nomor 222 nggak ada. Jadi pasti koin nomor 111. Kalau yang palsu koin nomor pq0 atau qp0, berarti yang palsu nomor 120 atau 210. Tapi koin nomor 120 nggak ada. Jadi pasti koin nomor 210.

Dengan demikian, penimbangan 3 kali cukup untuk menentukan manakah koin yang palsu dari 12 koin. Juga, dengan probabilitas 11/12 kita bisa menentukan apakah koin palsu ini lebih berat atau lebih ringan.

Tolong diperiksakan yah.

Filosofi Dilbert

Ntar catatan harian isinya jadi koleksi kisah Dilbert, Dogbert, Wally, etc ;).

Abis beberes paket, rak buku dikonfigurasi ulang. Satu baris buku khusus berisi buku-buku philosophy (atau setidaknya yang aku pikir gitu). Tapi jumlah baris hanya enam. Banyak buku yang nggak bisa masuk kategori. Buku-buku Dilbert akhirnya dimasukkan ke baris philosophy.

Bukan gara-gara aku mengakui kepiawaian Scott Adams sebagai filsuf amatir. Tapi gara-gara paragraf pembuka salah satu buku Dilbert yang pernah aku bahas di sini juga.

“Banyak orang yang gila dan bodoh tapi merasa benar dan bahkan merasa canggih. Itu membuat saya berpikir, jangan-jangan sebenarnya saya yang gila dan bodoh tapi merasa benar dan canggih.”

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑