Author: Koen (Page 59 of 87)

XPhone

I got my first Windows Mobile 2003 Smartphone System. Mirip kayak sistem-sistem Windows 2003 for Pocket PC, tapi dengan UI yang hanya berupa layar kecil dan key-taps, tanpa stylus atau keyboard mini. Nggak ada Pocket Office, selain Outlook, yang terintegrasi sangat manis dengan Windows Me di notebook. Sekedar notepad aja nggak ada, bahkan di Outlook pun. Tapi bisa lah dicari di freeware.msmobiles.com. Bisa sekalian pasang Pocket Quran, dan program2 kecil lain.

Developing system? Wow, aku belum mulai seserius itu, haha. Ini cuman alat bantu kerja, bukan alat buat ngabisin waktu. Programming kecil-kecilan sih, bisa pakai JavaScript-embedded HTML aja :). Elsa pasti langsung masuk situ.

OK, sekarang bisa lebih produktif beneran nggak?

Notebook @ Pusdikhub

Emang kenapa sih Victor Frankl harus dibawa-bawa? Haha :). Kelakuan aja.

Nggak seburuk Frankl. Di Pusdikhub, kadang2 pelatih bisa diajak becanda. Makanan teratur (aku udah baca makanan Frankl di Auschwitz, dan jelas bahwa makananku jauh lebih baik), terutama kalau diingat bahwa aku hobbi melanggar peraturan dengan menyelundupkan makanan dari luar. Kopi encer (yang pernah suatu hari bercampur sepatu boot di dalamnya), bisa diperbaiki dengan menambahkan Nescafe bubuk (selundupan juga). Juga aku bisa bawa buku2, dan sembunyi2 baca malam2. Dan yang lebih gila, aku pernah bawa notebook segala. Konon aku manusia pertama yang masuk kamp itu (sebagai tawanan) dan sempat bawa notebook. Buat pengamat Hk Moore, ini spec notebook waktu itu: Tandon, 486SX, memori 2M, harddisk 80M, dibeli awal 1993.

Bersambung ah. Ternyata waktu luang nggak banyak euy.

Pusdikhub

Hari pertama, kita disuruh berguling-guling di lapangan, sampai belasan orang muntha-muntah. Trus semua dapat hadiah kalung tali yang luar biasa tebal (aku nggak mau susah-susah mencoba mengingat namanya), dan boleh mulai lari, dengan kaos dan celana hijau, kayak tentara. Hujan mulai turun. Sebuah kali kecil berair hitam meluap.

— Omong2, kalau perut Anda nggak kuat, mendingan baca posting lain deh —

satu per satu kita disuruh masuk. Bukan cuma memasukkan badan, tetapi harus lompat dan jungkir balik di dalam air hitam. Aku optimis. Nothing to loose. Paling juga pingsan, masuk RS :). Tapi airnya deras. Begitu kepala masuk ke cairan hitam dan bau itu, badan terseret. Air hitam itu tertelan beberapa galon *bo-ong*. Tapi aku masih hidup. Aku menepi. Di tepi semuanya diperintahkan tiarap. Menempel ke tanah. Ke jalan. Ke lumpur. Makhluk di sebelahku batuk-batuk. Meludah. Menyemburkan dahak. Dan semprotannya pas ke mukaku. Trus aku berpikir …

Bah, yang tadi lebih jorok dari ini. Aku nggak peduli.

Aku nggak peduli. Tahu-tahu kalimat ini jadi semacam spirit buat aku.

Waktu mulai lari lagi, aku bisa lari lebih kencang. Kayak orang yang nggak bisa kelelahan. Aku nggak peduli. Mau capek, mau sakit, mau pingsan, mau mati. Nggak peduli. Masuk got yang dialiri kotoran-kotoran, nggak peduli.

Si pelatih teriak, “Itu yang masih kuat, bantu teman-temannya!”

Barangkali untuk pertama kali seumur hidup, aku masuk kelompok “masih kuat” dalam adu fisik macam gini. Well, Nietzsche mulai benar.

Shalat Maghrib di bawah hujan lebat (enak, nggak usah capek2 cari tempat wudlu kayak temen2 lain). Dingin membekukan. Tangan mulai susah dikontrol. Iga rasanya mulai sakit. Doa-doa dibisikkan (doa standar aku, bukan doa khusus).

Dan aku punya keyakinan bahwa aku bisa menyelesaikan hal ini.

Atau apa pun.

10 Tahun

“Udah berapa tahun kerja di Telkom?” gitu dia tanya, di atas kereta yang berdetak tanpa ampun.

“Berapa ya. Hampir 10 kayaknya.” — Dan tahu-tahu ada yang masuk dan menyerang pikiranku.

Yup, 10 tahun yang lalu. Januari 1994. Aku baru lulus. Magang beberapa minggu di Pusdiklat. Dan abis flu dua minggu, tahu-tahu aku dapat panggilan untuk mulai proses inisiasi karyawan baru: Bintal. Pusdikhub. Cimahi.

Sekian tahun sebelumnya, aku lahir di Cimahi. Dan tahun itu, aku dipaksa lahir lagi di Cimahi. Jadi manusia yang punya tanggung jawab keseharian (beda sama zaman mahasiswa di mana kita punya tanggung jawab untuk bangsa, negara, dan kemanusiaan tapi tidak punya tanggung jawab untuk diri sendiri dan lingkungan kecil kita). Apa berarti aku masuk Pusdikhub dengan suka cita? Sorry yach, aku bukan setelan STPDN yang kayaknya harus baris ke praktek psikiatri itu ;). Nggak. Aku masuk masih lengkap dengan rasa permusuhan dengan bentuk-bentuk kemiliteran, dan memandang semuanya sebagai akal-akalan dari Telkom, militer, dan orang-orang yang tidak cakap mengatur negara.

Tapi itu tahun 1994. Beberapa tahun sebelumnya aku udah dikenalin dengan Maslow. Dan karena nggak percaya sama ocehan dosen tentang lima level kebutuhan, aku waktu itu doyan baca buku2 psikologi humanistik. Maslow, Allport, Frankl. Dan waktu aku masuk Pusdikhub, aku masih punya Frankl yang belum selesai terbaca.

Barangkali itu yang bikin semangatku nggak ilang. Di pintu masuk, aku rasanya kayak mewakili Viktor Frankl yang masuk kamp bersejarah itu. Dan aku mulai dengan ucapan Frankl: “Di kamp, tempat di mana tekanan hidup sangat tinggi, nilai-nilai kemanusiaan pada tawanan akan jatuh, nyaris semuanya. Kecuali pada beberapa orang saja, di mana nilai-nilai itu justru meningkat tajam.”

Juga Nietzsche, tentu, dengan values transvaluation.

Dan aku pikir, aku cukup berhasil di sana, akhirnya.

Kribo

Trus suatu hari Mama bisik2 ke aku: «West. Di depan rumah banyak orang kribo. Gede-gede. Serem. Ngapain ya?»

Aku ngintip ke depan.

«Nggak pa-pa, Ma. Itu praktikan, lagi mau asistensi.»

Kampus Rada Feodal

Kampus aku dulunya rada feodal. Dosen gila? Bukan. Dosennya sih baik2 aja. Merakyat. Yang gila hormat justru para “senior” di kampus, yang sebenernya aku ragukan kepakaran dan pengalamannya, jadi aku ragukan keseniorannya. Politisi busuk kampus yang gila hormat itu biasanya sok kuasa ke mahasiswa tingkat 1 dan terus sok lebih senior di tahun-tahun berikutnya. Aku waktu itu bahkan menolak manggil “Mas” ke angkatan2 yang lebih lama. Aku panggil nama aja. “Mas” itu untuk dosen aja. Kalo “Mbak”? Ugh, yang ini lain sih *set mode diskriminatif=on*. Angkatan yang lebih lama dan lebih baru, aku panggil “Mbak” semua.

Nah, kembali ke feodalisme. Ternyata di Lab RL, feodalisme ini masih dipelihara. Para praktikan digalakin melulu. Keselnya, ini masih terjadi juga biarpun Lab RL dipegang temen2 seangkatan aku. Katanya sih «mengkondisikan praktikan baru agar siap bekerja keras». Sounds good, Capo! *set mode sarkasme=on*. I don’t buy it. Aku pikir itu nggak lebih dari melampiaskan katarsis internal.

Abis praktikum RL, yang harus diambil adalah Elka. Masuk deh para mahasiswa dengan muka tegang ketakutan ke Lab Elka. Jadi ketegangan dan kegugupan kayak gini nih yang dihasilkan para Capo di Lab RL. Aku coba masuk Elka dengan gaya casual (eh, ini satu2nya gaya yang aku punya dink, jadi nggak pakai setting). Trus mulai dengan ngobrol hal-hal yang ringan dan lucu. «Kita tahu diode kan?». Eh kalimat kayak gitu pun langsung memancing mata tegang? Aku harus berjuang keras untuk menghapus hasil pendidikan di Lab RL!. (Tapi untuk apa? Biar mereka nggak mau jadi bulan2an asisten Lab Telekomunikasi dan lain2 sesudahnya).

Sabotase dimulai. Tapi nggak sengaja. Aku waktu itu suka ke rumah Yudo. Dia asisten Lab RL. Tapi nggak berbakat gila ;). Kadang2 ada praktikan minta asistensi ke rumah dia juga. Baru terpikir buat sabotase. Jadi aku, sambil nemenin Yudo, nemenin mereka juga. Ngajak makan tahu campur sambil nunggu laporannya diperiksa Yudo. Bagi2 Sarimi (itu Sarimi gratisan, banyakkkk sekali, dikasih tukang fotokopi soalnya kita ngasih dia order fotokopi banyakkkk sekali, jadi akhirnya mi-nya dikembalikan ke publik aja lagi). Sambil ketawa-ketawa: asistensi berhadiah mi. Anak kos2an, mana ada sih yang menolak mi. Dan melakukan setting *set mode kaku=off* *set mode takut_asisten=off*.

Berhasil? Ada lah. Tapi nggak mungkin dijalankan di semua asisten RL untuk semua praktikan kan? Ntar aku dibilang bikin diplomasi Sarimi. Ntar aku dibilang punya bakat jadi politisi busuk pula.

TEUB

Beberapa hari terakhir ini, website ini dikunjungi para tamu istimewa: angkatan “10 tahun kemudian” dari Teknik Elektro Unibraw. Wuih, iki 2004 rek — taon 1994 aku wis lulus. Yang paling banyak dari Lab Elektronika. Kayaknya sebelum ngasih kehidupan yang sekarang, NSA lupa menghapus data-data lama aku sebagai asisten di Lab Elektronika, jadi aku masih bisa ditrace. Ya udah deh, terima nasib :). *set mode paranoid=on*

Gimana tuh ceritanya aku masuk Lab Elka?

Ceritanya, aku lagi doyan main2 mikroprosesor. Di Lab Elka? Ya nggak. Di Lab Mikroprosesor. Orang dengan ukuran sekecil aku memang pantesnya nyuruh2 makhluk hidup yang lebih kecil, dan yang lebih kecil dari aku cuman chips. Di situ tiap hari aku ketemu Pak Bambang Siswojo, yang lagi asik main2 PLC, pakai bahasa Prolog (Anda nggak salah baca). Di sebelahnya, ada bahan riset punya aku, Ziggyt, dan Hakim, yang aku program pakai C. Turbo C versi 2 — kompiler terbaik sebelum C++.

Trus suatu hari Pak Bambang nawarin aku: «Udah siap jadi asisten, dik?» Aku tanya dulu: «Di sini, Pak?» (soalnya sebagai mahasiswa tahun kedua, aku secara resmi belum ikut praktikum mikroprosesor). Nggak pakai senyum, Pak Bambang menjawab «Ya nggak. Di Lab Elka.» Ya udah. Jadi deh. Bareng sama Ziggyt.

Hey, ini jadi asisten di Lab Elka itu kebanggaan lho. Memang, kalau di kuping, Lab Mikroprosesor atau Telekomunikasi atau Kontrol itu lebih gagah. Tapi *set mode megalomaniak=on*, mahasiswa yang diakui pantas jadi asisten udah keburu direkrut di usia muda di Lab RL dan kemudian Lab Elka, bahkan sebelum mereka ikut praktikum di lab-lab lainnya.

Trus ngapain? Ya itu lah. Nyolder diode, transistor, dan benda2 nggak presisi yang dibeli di pasar besar. Sengaja dicari di sana sih *set mode bohong=on*, soalnya para praktikan selalu nulis di bagian kesimpulan: «Selisih dengan hasil perhitungan diakibatkan oleh alat-alat yang kurang presisi». Take it easy. Semester berikutnya, dua kontainer gede dari Jerman bawa alat2 lab yang baru dan cakep dan bikin betah ngetem di lab.

75th Tintin

«Sebenarnya … musuh terbesarku adalah Tintin» — Jendral Charles de Gaulle.
Selamat ulang tahun, Tintin, pengelana hampir semua benua (kecuali Antartika) sampai ke bulan. Mudah2an kamu masih bisa menyemangati anak-anak zaman ini untuk bisa jadi pengelana antar benua juga, minus tembakan, bom, dan dan penculikan.

Dimes Logical Counting

Tadinya ada dua standar menghitung bilangan di atas satu miliar. Tadinya? Iya, sekarang konon malah jadi ada tiga.

Metode Amerika-Perancis, yang kayaknya juga dianut Indonesia, menghitung bilangan perseribuan. Satu miliar (atau satu bilyun) adalah seribu juta. Satu trilyun adalah seribu miliar. Satu kuadrilyun adalah seribu trilyun.

Di Inggris dan negara Eropa lainnya (selain Perancis maksudnya), hitungan dilakukan persejutaan. Satu bilyun itu sejuta juta. Satu trilyun itu sejuta bilyun. Satu kuadrilyun itu sejuta trilyun.

Nah, ternyata ada satu metode lagi, yang dinamakan Dimes Logical Counting (DLC). Kayak apa tuh? Lebih heboh, soalnya pakai deret ukur. Pertama, dia niru sistem Inggris: satu bilyun itu satu juta juta. Kemudian kehebohan dimulai: satu trilyun adalah satu bilyun bilyun, dan satu kuadrilyun adalah satu trilyun trilyun. Jadi DLC mengenal angka misalnya tiga bilyun trilyun.

Kosa kata yang dipakai ketiga sistem itu sama: juta, bilyun, trilyun, kuadrilyun, kuintilyul, sekstilyun, septilyun, oktilyun, nonilyun, desilyun. Di Perancis, satu desilyun punya 32 angka 0. Di Inggris dia punya 60 angka 0. Dan menurut DLC, dia punya 3072 angka 0.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑