Author: Koen (Page 58 of 87)

Self-Framing

Gara-gara eksperimen si profesor kemaren, akhirnya aku jadi punya bayangan bahwa kita sendiri yang sebenarnya jadi penanggung jawab tunggal atas frame realitas tempat kita hidup dan terus mengamati. Kita lah yang membentuk semesta tempat kita hidup. Kenapa aku hidup di negara yang menempati ranking atas dalam pacuan korupsi antar bangsa, dengan rakyat yang miskin, sementara di luar sana ada negara kaya yang dipimpin tanpa hati nurani, tapi juga tidak mampu menyelesaikan tugasnya mengendalikan dunia. Barangkali situasi yang kayak gini yang paling sesuai untuk mendukung survivabilitasku :D. Dan kalau Anda membaca tulisan ini dalam frame Anda sendiri, bayangkan bahwa tulisan ini bisa berbeda dengan tulisan yang aku tulis di frame aku. Aku bayangin, kalau Anda orang ultranasionalis, tulisanku kebaca jadi kayak gini: “Kenapa aku hidup di dunia yang dikuasai kaum fasis, dan umat beragama dihabiskan seluruhnya, dan bangsa-bangsa saling berperang dan saling memperbudak” dan seterusnya.

Multi Realitas

Dalam cerita ini sang profesor bermain roulette bersama asistennya, Cindy. Atau nama lain, terserahlah, aku juga nggak ingat. Cindy memegang pistol kuno berisi setengah penuh, bertugas menembakkan peluru panas tepat ke kepala Profesor. Profesor berwajah tenang dan penuh percaya diri, sementara Cindy berwajah tegang dan sedikit pucat.

“Dor,” suara bising mengiringi letupan pistol tanpa peredam suara itu.

Dengan tegang Cindy menatap Profesor yang masih tersenyum. “Teruskan,” perintah Profesor. Lebih tegang, Cindy memutar kantong peluru, lalu melakukan tembakan kedua. Profesor masih tersenyum. Dan dengan ketegangan memuncak, Cindy melakukan tembakan ketiga. Teror yang amat sangat menyelimuti ruangan, ketika peluru menghancurkan kepala Profesor.

Adegan selanjutnya tidak perlu diulas, karena website ini terbuka untuk segala umur. Cindy jatuh terduduk, nyaris pingsan. Bagaimana pun, ia hanya menjalankan perintah.

Tapi itu versi Cindy.

Sekarang kita dengarkan versi Profesor.

“Teruskan,” perintah Profesor setelah peluru pertama. Cindy menembak. Masih kosong. Tidak tega Profesor melihat ketegangan yang memuncak di wajah Cindy. Ia memberikan isyarat mata untuk tembakan ketiga. Masih kosong juga. “Ayo cepat kita selesaikan,” kata Profesor. Cindy membidikkan pistol. Tembakan berikutnya masih kosong. Juga berikutnya. Juga berikutnya. Sampai tembakan ke seratus, Profesor memberi tanda berhenti. Lalu dengan riang ia berteriak, “Eksperimen berhasil!”

Dalam proposisi ini, pengamat yang berbeda bisa mengamati hasil eksperimen secara berbeda. Pada tembakan pertama, probabilitas bahwa peluru akan tertembakkan adalah 50%. Kans profesor untuk hidup tinggal 50%. Dua tembakan memberi kans 25%. Tiga tembakan, 13%. Bagi Cindy, Profesor sudah cukup beruntung bahwa ia mati setelah tembakan ketiga (probabilitas hidup tinggal 13%). Tapi bagi Profesor, kalau ia mati, ia tidak bisa memberikan hasil pengamatan. Jadi bagi versi Profesor hidup, sampai tembakan ke-100 pun ia tidak bisa mati.

Dan kalau kenyataan bagi para pengamat itu berbeda, apa itu artinya semesta paralel jadi valid? Atau tanpa jadi paralel pun, multi-realitas bisa terjadi? Versi terakhir ini lebih menarik.

Apa bedanya?

Kita kembali ke eksperimen celah ganda (yang banyak ditulis di web ini tahun 2000-2001). Saat elektron tunggal ditembakkan di depan celah ganda, ia berinteraksi dan membentuk pola interferensi. Tapi interaksi dengan siapa? Barangkali waktu elektron ditembakkan, masing2 celah menerima satu elektron dalam realitas yang terpisah. Realitas terpisah, tapi masih bertetangga, dan bisa menyatu lagi.

Konsep multi-realitas juga bisa jadi jawaban yang cepat (dan dangkal) untuk menjawab pertanyaan khas zaman Interpretasi Kopenhagen: siapa sang pengamat? Bagaimana kalau ada banyak pengamat? Realitas menjadi lebih tergantung lagi pada pengamat. Di salah satu frame realitas yang lain, bukan manusia yang jadi pemenang dalam evolusi makhluk hidup. Dalam frame yang lain lagi, bumi tidak pernah terbentuk.

Esse es percippi, kata Berkeley. Mudah2an aku nggak salah eja lagi. Mungkin memang nggak masuk akal dan menyebalkan. Tapi, kayak yang pernah aku tulis, aku punya pertanyaan dari waktu aku berumur sekitar 5 tahun, dan belum terjawab juga. Dan barangkali cerita yang satu ini bisa mulai membuka jawaban.

Pemilu

Apa aku beneran apatis sama Pemilu? Nggak tuh :). Aku akhirnya nggak bergabung dengan pasukan Golput yang konon tahun ini diprediksikan bakal mencapai 25%-30% dari jumlah pemilih.

Pagi ini, dengan T-shirt Telkomnet Instan, topi Indosat 001, Xphone (Telkomsel inside) untuk curi-curi gambar, dan sandal non-japit, aku bergabung bersama tetangga2 yang iseng meluangkan waktu libur tambahan buat ngobrol di taman sambil iseng-iseng nusuk gambar :D. Ikutan ketawa2 ngeliatin foto calon legislatif yang culun2 (yang nggak culun nggak diketawain — percayalah), dan terutama saling ngetawain soalnya pada nggak kenal nama calon legislatif di sana, yang konon ngetop itu. Plus jepret-jepret suasana sedikit. Ambil Aqua gratis. Ya udah deh, tusuk gambar, sama menintai jari manis sebelah kiri. Pulang? Nggak.

Nusuk apa? He-he :). Berdasar syariah sih, kalau nggak punya pilihan yang baik (which is true), pilihlah yang akan memberikan keburukan minimal.

Alexa


Yet another Internet joke, dari Alexa, anak site dari Amazon, yang merasa sudah berhasil menyusun ranking site berdasarkan kunjungan dan kepopuleran. Kerja Anda masih panjang, sobat!

And, btw, yup, I’m still too busy.

Asa


RSAI, lepas pagi. Permainan cahaya di langit menandakan harapan-harapan yang tak pernah pudar. Tapi bukan lagi harapan untuk memenuhi keinginan-keinginan manusia yang serba fana. Lebih dari itu, yang tampak justru harapan untuk lebih memahami kasih sayang-Nya yang sedemikian agung tak terbatas, untuk memahami kefanaan dunia fana kita sambil mendalami keabadian di baliknya.

Dawkins & Moore

Sumpah, aku bukan fans Richard Dawkins, biarpun kayaknya nama ini udah mulai sering ditulis di site ini. Aku cuman rada tertarik baca ulasannya dia, tentu tentang genetika, tapi pakai Hk Moore. Kita tahu, Moore bikin estimasi eksponensial itu untuk chip, untuk transistor, bukan untuk genetika. Tapi yang dibahas Dawkins itu soal pemetaan DNA. Dan artinya soal IT. Dan artinya soal prosesor lagi, chip lagi.

Dawkins mengambil data dari Jonathan Hodgkins, tentang biaya yang dikeluarkan untuk memetakan DNA, sejak 1965. 1965, wow. Waktu itu penelitian DNA masih sedemikian mahalnya, sehingga perlu £1000 per huruf untuk memetakan RNA ribosome suatu bakteri. Belum DNA sih, masih RNA. Tahun 1975, pemetaan DNA virus X.174 membutuhkan £10 per huruf. Tahun 1985 nggak ada data. Tahun 1995, perlu £10 per huruf untuk memetakan DNA sebuah nematoda kecil. Pada proyek GENOME manusia di tahun 2000, diperlukan biaya £0.1 per huruf. Dari situ, Dawkins menyusun plot, plus ekstrapolasi, sambil menyadari bahwa ini tidak terlalu serius. Sampel 4 data tentu sama sekali tidak ilmiah.

Hasilnya dibikin nggak serius juga, maunya. Dengan £1000, kita bisa memetakan seluruh DNA virus Herpes di tahun 2020. Tahun 2030, uang yang sama bisa dipakai memetakan DNA lalat buah. Dan tahun 2040, uang yang sama bisa memetakan DNA mamalia, termasuk manusia. Di tahun 2050? Semua manusia bisa memetakan DNA masing-masing cukup dengan £100.

Wow, dengan data kayak gitu, cukup main2 DNA untuk mengerti seluruh sejarah evolusi, sejarah peradaban dan migrasi manusia, silsilah manusia dari zaman prasejarah. Kalau sekarang kita periksa paru2 dengan Röntgen, nanti kita bisa sekalian tes DNA, dan para dokter bisa mengobati kita bukan berdasar gejala rata2 manusia, tapi persis sesuai karakteristik fisik kita. Tapi data yang sama bisa dipakai untuk menerima atau menolak kita bekerja, bisa dibajak perusahaan asuransi, pemerintah, militer, dan sebagainya.

Jangan lupa, bermain2 dengan DNA hewan, kita bisa menciptakan kembali spesies yang punah.

Tapi, kayak Moore juga selalu bilang, ekstrapolasi eksponensial selalu berakhir di titik jenuh. Akankah titik jenuh itu tercapai sebelum impian liar Dawkins terjadi?

Googling Kuncoro

Rank sebuah site di suatu search engine, kayaknya nggak mutlak ditentukan oleh keteraturan update site itu. Yang terjadi justru mirip fluktuasi. Mirip kurs atau saham. Ada faktor seperti apakah site lain juga diupdate, apakah link ke site kita bertambah, bagaimana jadwal penilikan site oleh search engine, dan ratusan faktor lain.

Site ini secara ajaib naik lagi ke rank atas untuk pencarian nama Kuncoro, setelah sempat turun ke posisi tiga atau empat dalam beberapa bulan terakhir. Padahal, kayak bulan2 sebelumnya, masih nyaris nggak ada update di site ini.

Ciater

Masa sih aku dibilang nggak pernah nulis tentang kegiatan harianku? Ha-ha :), sepanjang 2001 aku lebih banyak nulis tentang keseharianku. Kalau ujungnya melayang ke mana-mana, barangkali memang keseharianku lebih banyak terisi penyusunan konsep daripada … daripada … emang hidup harusnya gimana sih?

OK, aku coba ceritain apa yang terjadi hari ini. Aku dipaksa meeting di Ciater Spa. Tempat yang menarik untuk rehat, tapi bukan untuk meeting. Dan yang dibahas di meeting tentulah rahasia perusahaan yang jelas nggak pingin aku tulis di sini. Kalaupun boleh, amit2. Rapat seharian udah bosen, masa harus dibahas pula di sini. Jadi apa yang akhirnya aku tulis? Yaw, apa aja yang terjadi di luar rapat. Dan sebenernya nggak banyak. Cuaca lagi menarik sekali, kayak dalam kisah Asterix di Inggris: bervariasi antara kabut, mendung, dan hujan.

Tapi, kayak yang aku tulis barusan, sebenernya cuacanya menarik :p.


Masuk kawasan Ciater, dunia masih penuh kabut.


Break siang, liat2 curug. Namanya curug air panas, pastilah penuh uap panas.


Sore, pulang, udah berkabut lagi. Kabut mulai menipis di sekitaran Tangkuban Parahu.


Sampai Lembang, kabut hilang, tapi mendung tebal.


Di Bandung, hujan justru dimulai dari arah timur.

Minnie

Sisa badai semalam, di sekitar rumah kabut tipis masih mengambang ringan. Waktu pintu rumah dibuka, sesosok makhluk kecil meluncur kencang dari ujung jalan, melesat ke dalam rumah, kayak takut pintu itu ditutup lagi. Di dalam rumah, dia mengerem mendadak, sedikit kepeleset, dan matanya mulai menjelajahi isi rumah. Ekor tebalnya bergerak sama antusiasnya dengan matanya. Berkeliling sebentar, dia menoleh sebentar, kecewa, trus ke luar rumah lagi. Dengan kecepatan sekitar seperseribu waktu di masuk tadi.

I knew you were disappointed, Minnie. I can’t help it. I miss her too.

Padalarang


Melintas Padalarang. Tapi benda ajaib satu ini lebih mengingatkan ke Stasiun Malang, tempat kami dulu main dorong2an lori di bawahnya. Sebenernya sekarang benda kayak gini masih ada gunanya nggak sih?

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑