Author: Koen (Page 57 of 87)

life.after.theory

Nicholas Royle: The first question that I would like to ask is, I suppose, a question in three parts and it’s about the acolyte and anacoluthon. The acolyte is the follower and thus is the apparent opposite of anacoluthon. Anacoluthon is what fails to follow; it’s what’s non-sequential or literally ‘without following’. So I thought with this question about the acolyte and anacoluthon I could take anacoluthon first, seeing as it’s second, and ask whether we could read ‘life.after.theory’ as an anacoluthon. I think I’ll just leave that as the first part of the question…

Jacques Derrida:I would say — in the most formalized form — of the logic which was at work in my lecture, in fact in your questions too, that there is no simple opposition between the acolyte, or the ‘acoluthon’ and the ‘anacoluthon’. That is a problem, because to accompany, or to follow in the most demanding and authentic way, implies the ‘anacol’, the ‘not-following’, the break in the following, in the company so to speak. So, if we agree on this, a number of consequences will follow: you cannot simply oppose the acolyte and the anacoluthon — logically they are opposed; but in fact, what appears as a necessity is that, in order to follow in a consistent way, to be true to what you follow, you have to interrupt the following. So let me leave this statement in its abstract form and then

Tentu, sejarah menunjukkan bahwa aku nggak bisa jadi saksi perbincangan menarik ini. Di tahun 2001 itu, orang-orang Loughborough meng-email-ku, bilang bahwa tempat sudah penuh, dan bahwa cek yang aku kirim sudah dimusnahkan. Dan baru tahun 2004 aku bisa dapat dokumen, dalam bentuk buku “life.after.theory”, yang memang bukan berisi lecture-nya, tapi risalah conference-nya.

Bisakah aku memohon secarik waktu untuk sekedar menitipkan mataku pada halaman-halaman buku ini, duhai rezim ebitda, agar kembalilah sedikit kehidupan pada tubuh yang sedang bergerak lincah namun tanpa jiwa ini?

Undangan Alumni Chevening

“And you?”

“Coventry. I was sent to Coventry.”

Dia senyum lebar. Trus memberi isyarat mengunci bibirnya. Buat yang waktu kecil nggak sempat baca buku Sapta Siaga: frasa dikirim ke Coventry berarti dicuekin, nggak diajak bicara, biasanya sebagai hukuman. Mudah2an bener Sapta Siaga. Tapi kali2 Lima Sekawan atau Pasukan Mau Tahu.

“And what did you study in Coventry?”

“I studied communications.”

“Amazing! You were sent to Coventry to study communications!”

Gitu lah, salah satu small chat malam kemaren. Ceritanya para alumni Chevening diundang chatting di rumah British Ambassador di Jl Teuku Umar, Jakarta, sambil merayakan 20 tahun program Chevening di Indonesia. Mulai lepas Maghrib, acara dimulai dengan cari teman buat saling usil sana sini. Sambil cari2 Coca-Cola. Jam 1900, tuan rumah Charles Humfrey yang ramah tamah itu mengguncang lonceng untuk membungkam hadirin, trus mulai pidato singkat, trus menyerahkan ke Hassan Wirayudha, yang pidato sedikit lebih panjang, trus … udah … makan aja sambil cari temen ngobrol lagi.

Dari ex-FCO4 of Chev-2001, cuman hadir Ika dan Ari, yang masih enak diculik buat ngobrol sambil cuil-cuil kue di sana sini. Ada juga Benno yang masih ingat masukin aku ke mail list Chev-2000, soalnya aku memang terpaksa salah angkatan. Dan dari Chev-2002, kejutan, ada Nophie — makhluk yang sembunyi cukup lama dan aku pikir nggak akan bisa aku temui lagi di dunia nyata.

OK, tapi akhirnya kita sungkan juga meriuhi rumah orang sampai malam. Jadi akhirnya kita temui Mr Humfrey buat pamitan.

0x2B | ~0x2B

Yang ini dari Shakespeare: “To be or not to be?”

Atau TOBE OR NOT(TOBE). Tapi semua x or not x tentu hasilnya adalah true. Atau nilai logika 1.

Programmer C akan lebih suka menulis pertanyaan itu dalam notasi yang lebih menarik: 0x2B | ~0x2B; trus dia tulis jawaban sendiri: 0xFF. Tapi ini tergantung sizeof variabel penampung. Bisa jadi hasilnya 0xFFFF, atau lebih panjang lagi.

Wittgenstein’s Poker

Wittgenstein, nama yang pertama kali tercerna waktu seorang sohib yang unik mengirimi satu set Tractatus Logico Philosophicus dalam format HTML, waktu masih zaman Netscape 3.0. Dibaca berhari2, sambil terus mengasyiki traffic analysis programming, aku putuskan bahwa Wittgenstein masuk kategori “interesting but not essential” — keputusan yang pasti bertolak belakang dengan banyak filsuf asli yang lebih suka menempatkan Wittgenstein sebagai “one of the most essential philosopher”. Tak urung, Tractatus aku beli lagi sebagai buku — lupa di mana, buat nemenin masa2 bikin tesis. Kayaknya ini juga keputusan yang salah. Di waktu yang salah, maksudnya, waktu otak lagi penuh NHFLE, RSVPTE, BPG-VPN, dan lain2. Bukan berarti network engineering nggak kompatibel sama filsafat, tapi barangkali jadi lucu kalau MPLS jadi disamain dengan MephistoPeLeS. Tuh kan, gini deh kalau orang udah jarang nulis weblog. Tersesat kesana kemari kalimatnya.

OK, di akhir masa tesis, di Waterstones Piccadilly, ketemu aku sama nama itu lagi. David Edmonds & John Eidinow baru menerbitkan buku berjudul Wittgenstein’s Poker. Mengingat reputasi Wittgenstein sebagai fisikawan-matematikawan, aku langsung menduga buku ini mengkali soal filsafat matematika. Tapi ternyata bukan. Poker nggak ada hubungannya dengan permainan kartu yang suka dijadikan teori matematika itu. Itu poker yang berarti alat yang dipakai untuk mengatur kayu bakar menyala di perapian. Yow, aku nggak mau terlalu banyak shipping buku, jadi aku kembalikan buku itu ke raknya. Dan baru dibeli beneran tahun 2004 ini.

Di Cambridge, ada klub filsuf serius, yang dinamai Moral Science Club (MSC). Tiap Kamis malam, mereka melakukan diskusi di ruang H3 di King’s College. Tahun 1946 itu, ketua klub tak lain adalah Ludwig Wittgenstein, dengan sekretaris orang Palestina bernama Wasfi Hijab. Di bulan Oktober, Hijab mengundang salah satu filsuf tenar, yang saat itu berposisi di London (LSE): Karl Popper. Popper dan Wittgenstein sama2 berasal dari Austria, dan berkeliaran akibat perang. Cuman selama PD II, Popper berada di tempat aman di Selandia Baru. Popper (KP) dan Wittgenstein (LW) juga sama2 sedang menanjak sebagai filsuf paling populer dan kontroversial masa itu. Dan dengan cara yang berbeda, memiliki hubungan yang pernah dekat dengan Bertrand Russel (BR), filsuf kenamaan Cambridge itu. KP nggak bisa datang Kamis malam, jadi Hijab mereschedule pertemuan jadi Jumat malam, 25 Oktober 1946. OK, jadi hadir malam itu: LW si ketua, KP si dosen tamu, dan BR si tokoh besar, dan sekian belas peserta, dari profesor hingga mahasiswa.

Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Tapi saksi2 hidup memiliki kisah yang berbeda atas apa yang terjadi di sana. Yang mereka sepakati adalah bahwa Wittgenstein, eh LW, berbicara sambil mengacungkan poker, dan bahwa LW kemudian keluar ruangan tanpa menutup pertemuan.

KP menyampaikan paper berjudul “Are There Philosophical Problems?” serta menunjukkan bahwa memang ada soalan2 sekitar filsafat yang membuat filsafat tetap exist. Di lain pihak, LW mengabaikan adanya hal2 yang disebut soalan filsafat. Yang tertinggal, demikian konon LW, adalah soalan matematika dan sosiologi belaka. Kemudian di satu titik, LW mengambil poker dan mengangkatnya. Beberapa saksi menyatakan bahwa LW mengangkat poker sebagai contoh objek filosofis. Yang lain bilang bahwa LW menggunakan poker untuk melakukan penekanan kata2, kayak konduktor gitu lah. Nah, yang lain bilang bahwa LW mengacungkan poker dengan marah ke muka KP.

Kapan poker itu diletakkan kembali? Menurut KP, LW mengajukan pertanyaan semacam “Coba Anda sebutkan sebuah masalah dalam etika?” Dan KP menjawab: “Misalnya, jangan mengancam dosen tamu dengan poker.” LW marah, melempar pokernya, lalu keluar ruangan sambil membanting pintu. Tapi menurut versi lain, BR-lah yang meminta LW meletakkan kembali poker itu, dan terjadi adu mulut antara LW yang menuduh BR tak pernah memahaminya, serta BR yang menuduh LW selalu mencampuradukkan segalanya, dan diakhiri dengan LW yang marah dan melempar poker lalu membanting pintu. Versi lain menyebutkan bahwa BR tak terlibat pertengkaran itu. Versi lain menyebutkan bahwa LW keluar tanpa membanting pintu. Dan versi lain menyatakan bahwa Popper melucu soal “mengancam dosen tamu” justru setelah LW keluar. Nampaknya soal itu sedemikian menguras pikiran, sampai urutan peristiwa itu tak terekam dengan baik oleh para filsuf itu.

Apakah LW melarikan diri karena merasa tak mampu lagi menghadapi argumen KP? Atau justru ia menganggap KP sedemikian kacaunya sehingga tak perlu dilayani lagi? Atau sebal karena soal serius itu dijadikan bahan candaan? Atau ada soal lain dengan BR? Yang pasti menarik dibahas buku ini adalah latar belakang pendapat LW maupun KP, yang masih2 memiliki pengaruh kuat, dan diakui sebagai filsuf2 yang original.

Pameran Awan

Mumpung lagi speechless … Bikin pameran gambar awan aja. Atau “awan”.

Railway
Railway
Railway
Railway

Gatsu
Gatsu Jakarta
Gatsu
Gatsu Jakarta

GCaraka
Griya Caraka
GCaraka
Griya Caraka

AntapaniAntapani

AntapaniAntapani

CibangkongBSM Cibangkong

GCarakaGriya Caraka

GCarakaGriya Caraka

LembangLembang

LembangLembang

OfficeOffice at Supratman

OfficeOffice at Supratman

OfficeOffice at Supratman

PuncakCiloto

PuncakCiloto

RailwayRailway

RailwayRailway

SudirmanSudirman Jakarta

Ciater
Ciater

GMail

Akhirnya, bisa juga buka account mail di Gmail yang menghebohkan itu. Emang udah jadi budaya corporate Amerika kali untuk menghebohkan segala sesuatu jauh hari sebelum launching. Inget aja Windows 95. Tapi yang bikin Gmail jadi heboh sebenernya bukan cuman kapasitasnya yang bisa sampai 1Gb per user, tapi soal potensi pelanggaran privacy yang bisa terjadi. Bukan pelanggaran sih, soalnya kita dipaksa sukarela menerima pelanggaran privacy itu kalau mau jadi user.

Trus, apa untungnya punya account email baru, di samping puluhan account mail lain yang bisa kita buat di mana aja tiap hari? Ha-ha :). Buat aku sih, enak aja rasanya punya penampungan 1Gb — bisa buat forward mail2 kerja dan research yang suka cepat penuh dengan file2 Excel dan Powerpoint. Tapi ada juga faktor pengulangan rasa, biarpun nggak mirip, dengan waktu kita pertama kali kenal webmail gratis yang pertama: HoTMaiL, yang dulu belum dibeli Microsoft. Aku dulu bisa punya alamat koen@hotmail.com — kalau sekarang, kayaknya nama k03n atau koenkoenkoen juga belum tentu bisa didapat di sana.

Well, mudah2an hari2 Gmail bisa jadi hari2 akhir Hotmail versi Microsoft.

Udah denger belum, rencana IPO Google dengan penghitungan harga sahamnya yang unik? Ntar deh, ini mah cerita lain.

Internet Flexi

OK, akhirnya dapet juga si infrared. Connect ke Nokia 6585. Yup, tepat seperti yang ditulis di manual, sebuah modem baru terpasang di device XP: Standard Modem over IR. Ketik extra initialisation commands sedikit: at+crm=1;+csc=33 trus dial ke #777, dan … kok … 115 kb/s. Kenapa nggak 153 kb/s yach. Kan kecepatan maksimu 153 kb/s seharusnya. OK. Wait. Ummm … kayaknya kecepatan maksimal si infrared emang cuman segitu. Atau ini setelah Windows untuk “Standard Modem”? OK, lain kali kita coba dengan koneksi infrared yang lebih cepat.

Dan … hello … ini blog pertama yang dikirim dengan koneksi Flexi with Nokia 6585. Cheers …

Nokia 6585

Bye-bye, Sanex. Now I play Flexi in old pal Nokia. Duh, serasa pakai HP beneran. Smooth.
Untuk jadi modem, Nokia 6585 nggak perlu driver. Aktifkan koneksi infra merah, dan XP akan mengenalinya sebagai modem infra merah. Ntar dicoba. Infrared-nya masih ditinggal somewhere.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑