Seorang senior saya bernama A Hok orangnya sangat ramah, senang membantu, jago komputer dan jago membuat maket. Seperti biasa acara wisudaan selalu diisi dengan pembacaan cerita lucu setiap wisudawan. Diceritakan ia ke kampus naik angkot dan berhenti di depan kampus.
Supir: “Dari mana?” sambil menerima uang ribuan dan siap mengambil recehan kembalian.
A Hok: “Dari rumah temen,” dengan ramah dan kalem.
Supir: “?”
OK, buat yang lagi pingin ketawa, sila kunjungi weblog si Jay edisi hari ini :).
Sementara itu, ini beberapa joke Angkot versi Bandung.
Di Jalan Suci, ada dua cewek di pinggir jalan. Angkot Cicaheum-Ledeng langsung berhenti.
Sopir: Ledeng, Neng?
Satu cewek menggeleng.
Sopir: Dago?
Cewek: Nggak.
Sopir: Sion? (FYI: Angkot ini memang nggak lewat stasion, tapi bisa transit di Dago)
Cewek: Nggak.
Sopir: Ke mana?
Cewek: Mau nyeberang.
Angkot melaju lagi.
Di Alun-Alun, ada jalan searah, dimana angkot jurusan Sukajadi-Kelapa dan Kelapa-Sukajadi berjalan searah. Kernet sibuk menawarkan trayek (oops)
Kernet: Sukajadi – jadi – jadi – jadi – jadi !
Satu calon penumpang masuk dengan muka ragu.
Calon penumpang: Jadi?
Penumpang 1 : Jadi donk.
Penumpang 2 : Suka jadi suka enggak.
Dan pasti aku pernah cerita kan, kalo di Bandung ada angkot GAM (Aceh Merdeka! Aceh Merdeka!) dan angkot Zionist (Zion zion zion zion zion!) ??
Postscript dari catatan perjalanan ke kawasan Baduy. Yang ini bersumber dari tulisan R. Cecep Eka Permana. Maaf buat penulis, diculik tanpa sempat minta izin.
Kawasan Baduy tepatnya berada di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak. Diperkirakan pada akhir abad ke-18 wilayah Baduy ini terbentang mulai dari kecamatan Leuwidamar sekarang sampai ke Pantai Selatan. Sekarang luas wilayah Baduy ini sekitar 5102 hektar. Batas wilayah sekarang ini dibuat pada permulaan abad ke-20 bersamaan dengan pembukaan perkebunan karet di desa Leuwidamar dan sekitarnya.
Masyarakat Baduy secara umum terbagi atas tiga golongan, yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Tangtu dan panamping berada pada wilayah desa Kanekes, sedangkan dangka terdapat di luar desa Kanekes. Tangtu menurut pengertian masyarakat Baduy dapat diartikan sebagai masyarakat pendahulu atau cikal bakal, terdiri atas tiga kampung: (1) Cikeusik atau disebut juga tangtu Para Ageung, (2) Cibeo atau disebut juga tangtu Parahiyang, dan (3) Cikartawana atau disebut juga tangtu Kujang. Ketiga tangtu tersebut dikenal pula dengan nama Baduy Dalam. Panamping berarti daerah pinggiran. Masyarakat yang tinggal di daerah panamping masih terikat kepada tangtu-nya masing-masing. Mereka berkewajiban untuk nyanghareup atau menghadap atau melakukan/mengikuti aktivitas sosial budaya dan religi kepada tangtu-nya. Wilayah dangka ini adalah daerah yang berada di luar wilayah Kanekes namun masih merupakan wilayah budaya dan keturunan Baduy.
Pada masyarakat Baduy ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, seperti halnya dengan daerah lain di Indonesia, setiap desa terdiri atas sejumlah kampung. Desa Kanekes ini dipimpin oleh kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah. Seperti kepala desa atau lurah di desa lainnya, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa bila kepala desa lainnya dipilih oleh warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan.
Dari segi pemerintahan tradisional, masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini terdapat tiga Cikartawana. Puun-puun ini merupakan ?tritunggal?, karena selain berkuasa di wilayahnya masing-masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan pemerintah tradisional masyarakat Baduy. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga puun tersebut juga mempunyai wewenang tugas yang berlainan. Wewenang kapuunan Cikeusik menyangkut urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara (seren tahun, kawalu, dan seba), dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. Wewenang kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu ke kawasan Baduy, termasuk pada urusan administratur tertib wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. Sedangkan wewenang kapuunan Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.
Sementara itu, kepercayaan orang Baduy pada dasarnya adalah penghormatan pada roh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yang dinamakan Nu Kawasa. Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan. Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (aturan adat) agar supaya orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan dunia ramai. Orang Baduy bertugas menyejahterakan dunia melalui tapa (perbuatan, bekerja) dan pikukuh. Tapa bagi orang Baduy bukan melakukan samadi atau tirakat berdiam diri di tempat sunyi, melainkan justru ?sedikit bicara banyak kerja?. Bekerja itulah tapanya orang Baduy, khususnya bekerja di ladang.
Objek terpenting dalam kaitannya dengan sistem religi Orang Baduy adalah Sasaka Domas. Objek itu sangatlah bersifat rahasia dan sakral, karena merupakan objek pemujaan paling suci bagi Orang Baduy. Bahkan Orang Baduy sendiri hanya setahun sekali yaitu pada bulan Kalima (upacara muja) dan orang terpilih oleh puun saja yang boleh ke sana. Tempat pemujaan itu merupakan sebuah bukit yang membentuk punden berundak sebanyak tujuh tingkatan, makin ke selatan undak-undakan tersebut makin tinggi dan suci. Dinding tiap-tiap undakan terdapat hambaro (benteng) yang terdiri atas susunan batu tegak (menhir) dari batu kali. Pada bagian puncak punden terdapat menhir dan arca batu. Arca batu inilah yang dikenal dengan sebutan Sasaka Domas (kata ?domas? berarti keramat/suci). Sasaka Domas digambarkan menyerupai bentuk manusia yang sedang bertapa. Arca ini terbuat dari batu andesit dengan pengerjaan dan bentuk yang sangat sederhana (seperti arca tipe polinesia atau arca megalitik). Sasaka Domas ini terletak di tengah hutan yang sangat lebat tidak jauh dari mata air hulu sungai Ciujung. Kompleks Sasaka Domas ini meliputi areal sekitar 0,5 hektar dengan suhu yang sangat lembab, sehingga batu-batu yang ada di sana semuanya berwarna hijau ditumbuhi lumut.
Cerita di Baduy ternyata lebih enak dibagi :). Capek juga sih. Suhu di Cibeo cukup sejuk, tapi tak cukup untuk membuat kedinginan. Di kegelapan malam, ayam-ayam berkokok. Barangkali baru jam 2 atau jam 3 pagi. Orang-orang bangun dan mempersiapkan segala sesuatu. Para tamu kayak kami lebih suka tidur lagi. Subuh masih terasa berat, dan terpaksa meminjam air wudlu dari tabung bambu daripada harus jalan dalam gelap ke kali. Baru jiwa bangun. Aku jalan ke pancuran, dan sempat memonopoli cukup lama. Ke mana yang lainnya? Sempat mandi membersihkan badan dan pikiran. Dan sementara itu langit mulai biru. Desa Cibeo berselimut halimun tipis. Masih sejuk tapi tidak dingin. Suasana hutan tertutup gini selalu bikin aku ingat Wagner lagi. Siegfried hidup di suasana kayak gini. Siegmund menemui Sieglinde di dusun di tengah hutan seperti ini. Tapi kemurnian alam seperti ini tentulah lebih pas dengan Das Rheingold. Ugh, Wagner pun jadi dekaden dibandingkan musik yang bangkit dari hatiku di tempat seperti ini.
Aku balik ke rumah, menikmati segelas kopi. Gelas, di sini terbuat dari ruas bambu. Yummie. Sebagai penghargaan, sebungkus kopi toraja aku sampaikan ke tuan rumah. Jalan-jalan pagi sendirian, aku menikmati pemandangan sekitar lapangan dan ke arah rumah Puun. Masih ada halimun tipis di atasnya. Dan mulai bercampur dengan asap putih dari rumah-rumah. Sinar matahari bergaris-garis mengisi dusun. Bulan masih tersenyum menampakkan diri di atas. Andai boleh bikin foto di sini :).
Berikutnya, menikmati permainan kecapi tradisional. Kecapi dibuat dari kayu basah, tanpa hiasan. Dawai dari kawat-kawat tipis, ditegangkan dengan kayu di bawah. Pentatonik nadanya. Ini bukan kawasan seni, jadi jangan harapkan kacapi ini bisa disinkronkan :).
Sarapan bersuasana mirip makan malam. Tapi tak banyak lagi cerita. Hari makin siang. Orang harus kerja. Maka mulailah kami menyeberangi jembatan dan keluar dari Cibeo. Tak melalui Cikertawana lagi, soalnya kita menempuh jalur yang berbeda. Jalan setapak cukup menarik. Bisa berjalan riang. Tapi tiba-tiba tanjakan sempit yang panjang dan tajam. Panjang. Di tepi bukit. Dan di kiri pemandangan dari ketinggian yang indah luar biasa. Lelah bisa dilupakan hanya dengan melihat pemandangan. Sayangnya, ini masih kawasan Baduy Dalam. Belum boleh mengoperasikan kamera. Tapi di ujung, turunan yang lebih tajam menanti. Tajam dan panjang sekali. Yang ini betul-betul menguras perhatian dan energi. Tidak ada tempat beristirahat. Tajam, licin, basah. Dan di ujungnya, jempatan tipis dan panjang lagi, batas ke Baduy Luar.
Kembali beberapa kampung, lumbung padi (leuit), sungai dilewati. Sempat ada kampung di mana dinding dihias dengan corak (jarang loh). Dan sempat sebentar menikmati latihan gamelan sederhana. Dan waktu kelelahan mulai datang, kami sampai di kampung Balimbing. Di sini, boleh mandi dengan sabun (horee), dan istirahat beberapa jam, sambil makan siang.
Tapi keluar dari Balimbing, kejutan, jalan langsung menanjak. Jalan menanjak tanpa pemanasan; dan jantungku berdetak memprotes. Terpaksa jalan pelan-pelan. Tapi tak lama, masuklah ke Ciboleger. Ujung dari kawasan Baduy Luar. Dan di luar sana, di wilayah republik, mobil menanti.
Beda sekali kawasan Baduy dengan kawasan republik, di mana semak-semak meninggi tidak dipotong. Rumah dibangun asal-asalan tanpa estetika. Kegiatan manusia diarahkan untuk alasan-alasan semu lagi: uang.
Sigh, dan aku harus segera balik kantor lagi. Mengejar EBITDA. Mengejar hidup yang tragis lagi. Entah untuk apa. I’m still no more than nothing.
Udara menyegarkan, membuat lupa pada badan yang basah kena hujan rintik, dan celana yang kotor bekas terpeleset. Suara gemericik air sungai menenangkan hati, membuat lupa pada penat perjalanan panjang, membuat lupa pada riuh republik nun di luar sana. Jembatan bambu tipis melengkung panjang di atas sungai. Di ujung sana, kamera harus dimatikan. Juga berbagai gadget dari dunia kami yang penuh kepalsuan. Jembatan berderit waktu kaki melangkah mantap di atasnya. Dan di ujungnya: inilah dia kawasan Baduy Dalam.
Jembatan ke Baduy Dalam
Beberapa jam sebelumnya, kami mencapai Bojong Manik dari arah Rangkasbitung. Mesin mobil dimatikan di tepi kawasan Baduy Luar, dan perjalanan dengan kaki dimulai. Jalan masih cukup beradab. Hanya ada satu tanjakan yang bener-bener bikin hampir menyerah. Tanjakan dan turunan lain (banyak!) masih bisa diatasi. Canda dan pikiran-pikiran iseng cukup untuk melawan kelelahan. Dusun-dusun Baduy susul menyusul. Semakin ke dalam semakin rapi. Dan 2 jam kemudian, masuklah kami ke jembatan yang menjadi batas ke Baduy Dalam. Tiga titik sungai diseberangi (tanpa jembatan, duh segarnya), dan masuklah ke Dusun Cikertawana. Sesiang ini, dusun ini sepi. Penduduk ke kebun dan ladang yang jaraknya konon relatif jauh dari dusun. Sebentar rehat, kami melanjutkan jalan kaki. Sekitar 4 menit saja, menyeberangi sungai, masuk ke Dusun Cibeo. Ini hentian kami.
Kawasan Baduy Luar
Cibeo, luar biasa. Rumah-rumah panggung tertata rapi, dengan ukuran yang sama, berjajar-jajar. Tiap rumah memiliki interior yang kurang lebih sama. Eit. Persegi panjang dengan perbandingan 1:1½ atau 1:/2 atau barangkali 1:?. Di dalamnya, ada sebuah ruang persegi panjang, menyisakan ruang berbentuk L untuk sisa ruangan. Ada tungku di kedua ruang, membuat atap daun itu menghitam di dalam. Dinding anyaman. Beranda batang-batang bambu, dengan undakan pendek ke tanah.
Di tengah terdapat lapangan berundakan rendah. Di satu ujungnya ada balai tempat acara-acara dusun. Dan di ujung satunya adalah tempat tinggal Puun, tetua desa. Bebersih badan dilakukan di pancuran di luar dusun (atau alternatifnya adalah di kali yang jadi batas dusun). Penggunaan bahan kimia seperti sabun, pasta gigi, shampoo, dilarang. Mandi menyegarkan sekali, membuang segala keringat yang terakumulasi di perjalanan panjang.
Dusun ini dikelilingi gunung, jadi gelap cepat datang. Dan yang bisa dilakukan hanyalah berbincang di dalam rumah.
Orang-orang Baduy Dalam bersifat menerima pendatang. Memang banyak pantangan. Tapi di luar itu, mereka menerima kami dengan ramah sekali. Sopan. Hilang kesan bahwa itu adalah daerah tertutup. Sambil berbincang, pemilik rumah menawarkan souvenir-souvenir yang merupakan kerajinan lokal. Aku ambil satu set pemantik api yang digunakan di sana untuk membuat api. Juga sisir kasar bercelah halus yang pasti nggak bisa dipakai menata rambutku yang tebal-tebal ini. Juga kemudian beberapa kerajinan lain. Ada juga orang Baduy Luar yang masuk menawarkan barang2 souvenir dari dunia luar, kayak kaos dan gantungan kunci dengan tulisan Baduy. Hrms, orang Baduy kan menghindari urusan baca tulis. Belajar dari pengalaman diperbolehkan, tapi sekolah atau semacamnya dilarang. Untuk penerangan, mereka pakai lilin yang jelas diimpor dari luar, bukan semacam obor misalnya. Kami boleh pakai senter. Yang dilarang bukan benda berlistrik, tapi alat elektronik. Jadi kayaknya mereka mengenal teknologi semikonduktor dan melakukan pembatasan dari level itu. So: no HP, no camera, no radio :).
Waktu gelap turun, kami berkumpul. Menikmati makan malam sambil mendengarkan cerita tentang cara hidup sehari-hari di sana. Ke air sebentar dalam kegelapan. Dan menikmati kegelapan dalam mimpi-mimpi panjang. Pertarungan panjang antara kepalsuan dengan ketulusan yang semuanya tersaput kegelapan.
Perderti cosi
Come un attimo
Mentre tutto va
Oltre i limiti
Della mia fantasia
Tu che eri mia!
Voli e brividi
Grandi sogni che
Forse realizzai
A che servono
Se tu non sei qui
Qui con me
Anche se ho sbagliato io?
Resta qui con me
io sar? per te
un angelo vero che songa e che sa
prederti la mano
e darti l?anima
resta qui
resta qui
tu che sei mia
un attimo e noi
voleremo l?
dove tutto ? paradiso se
noi noi saremo l?
soli ma insieme.
Lo ritorner? credimi
L?uomo che hai amato in me
Resta qui con me
io sar? per te
un angelo vero che songa e che sa
rallentare il tempo
che non passer?
resta qui, resta qui,
tu che sei mia
Un attimo e noi
voleremo l?
ogni giorno che
noi saremo insieme
Dengan sebuah kata “pliizzzz,” aku minta Dian untuk menulis kisah satu hari hidup di Bayreuth, kota Wagner. Waktu nulis email itu, aku belum melakukan pre-research terhadap Dian. Tapi coba ke Google misalnya, kita bisa lihat visi menarik yang melingkupi kehidupan Dian. Dan seurieus pula :). Hasil pre-research ini aku pikir nggak salah-salah amat. Dian bukannya mengirimkan tiga empat paragraf, melainkan tak kurang dari enam halaman A4. “Untukku satu hari bisa berupa kumpulan ingatan tentang tahun-tahun sebelumnya, tentang hari ini dan juga khayalanku tentang nanti,”, gitu tulisnya. Dan sangat berharga buat dibaca, terutama buat yang lagi emotionally-collapse kayak aku ;).
Jadi, tulisan Dian aku pasang di halaman Wagner di site ini, dengan ucapan terima kasih setulusnya, dan harapan agar tidak berhenti di sini berbagi hal-hal yang menarik dalam hidup kita ini.
Mengapa kita kadang mudah percaya? Percaya atau tidak, sebal atau tidak, a.l. ini pengaruh hormon. Namanya oxytocin. Pada mamalia non-manusia, hormon ini dikaitkan dengan kelekatan sosial, termasuk fungsi fisiologis yang berkait dengan reproduksi. Lebih jelas, hormon ini membantu hewan mengatasi kecenderungan untuk berjauhan, dan memungkinkan hewan lain melakukan pendekatan.
Michael Kosfeld dkk dari Universitas Zurich melakukan kajian double-blind untuk membandingkan tingkat kepercayaan manusia yang terpapar oxytocing melalui semprotan hidung, dan yang terpapar placebo. Setelah disemprot, para korban testing ini melakukan permainan kepercayaan dalam bentuk investasi uang. Uangnya dalam bentuk unit tertentu (mirip B$ kali ya), yang nantinya boleh dijadikan uang beneran kalau permainan selesai.
Menurut peneliti ini, teramati bahwa oxytocin meningkatkan tingkat trust para investor ini. 45% korban oxytocin berani bermain pada tingkat kepercayaan paling kritis, sementara hanya 21% korban placebo yang berani. Apa artinya oxytocin juga meningkatkan keberanian mengambil resiko? Tidak juga. Soalnya waktu menghadapi statement yang disampaikan melalui komputer, kelompok oxytocin sama tidak percayanya dnegan kelompok placebo.
Kosfeld dkk memang takut bahwa temuan ini dapat disalahgunakan. Hmmh, trus gimana? Lebih enak mempercayai orang yang kita akrabi via Internet dan telepon daripada yang kita akrabi secara fisik, supaya persepsi dan kepercayaan tak tercemari ulah hormon?
Hmmm, no comment deh.
Yuk, berbincang tentang Metamorphosen, satu komposisi dari Richard Strauss yang jarang dibahas. Malah kayaknya belum pernah dibahas di weblog ini.
Dalam buku “Elaborasi Musik”, filsuf Palestina Edward Said memilih komposisi ini sebagai paradigma pengalaman musik yang etis dan tercerahkan, yang dirasakan baik oleh komposer dan pendengarnya:
“In the perspective afforded by such a work as Metamorphosen, music thus becomes an art not primarily or exclusively about authorial power and social authority, but a mode for thinking through or thinking with the integral variety of human cultural practices, generously, non-coercively, and, yes, in a utopian cast, if by utopian we mean worldly, possible, attainable, knowable.”
Tapi tidak selalu anggapan orang seperti ini. Tahun 1947, tuduhan bahwa komposisi ini merupakan kenangan atas Hitler, digembargemborkan di Belanda, negeri yang takluk pada tentara Nazi nyaris tanpa perlawanan. Memang bagian awal komposisi ini ditulis saat Munich Staatstheater dibom pada Oktober 1943, dan sempat dinamai “Duka bagi Munich”. Bagian akhirnya diselesaikan pada April 1945, saat Jerman sedang dalam masa kejatuhan. Barangkali memang ada kaitan antara komposisi ini dengan masa meredupnya Jerman, namun tidak harus lalu dikaitkan dengan Nazi atau Hitler.
Aku sendiri nggak terlalu lekat dengan Metamorphosen. Tod und Verklarung, dari Richard Strauss juga, terasa lebih akrab. CD Metamorphosen ini dulunya aku pinjam dari perpustakaan Lanchester di Coventry, dan aku konversi jadi MP3. Ilegal sih, tapi aku jarang berkelakuan kayak gini. Nanti aku beli CD-nya kalau ada yang jual di sekitar Bandung. Ada kemiripan antara Metamorphosen dan Tod und Verklarung, yang bikin aku pingin sesekali merasakan nuansanya kembali. Bukan cuman bahwa durasinya sama-sama sekitar 25-26 menit, tapi ada nuansa yang …. gimana sih caranya cerita tentang nuansa?
Pendengar diajak melakukan perjalanan dalam bentuk representasi suara atas mourning dan melankoli. Apa sih bedanya? Mengikuti Freud sih, mourning itu gejala psikis yang nantinya selesai jika subyek sudah bisa berlepas dari obyek kedukaan. Sebaliknya, melankoli adalah ketidakmampuan berlepas dari kedukaan itu. Yang ada pada mourning dan tidak ada pada melankoli adalah “reemergence of a viable and coherent subjectivity.” Nah, bentuk subyektivitas inilah yang justru hilang dalam Metamorphosen. Suara tidak mentransformasi diri menjadi subyek. Jadi memang tidak pas untuk mencari semacam kedamaian, resolusi, atau pemulihan spiritual dari musik yang terkesan tenang ini.
Haha. Yeah. Kayaknya aku memang sedang mencari dukungan emosional dari musik yang salah. Haha :). Ganti ah. Tod und Verklarung? Mungkin aja. Atau balik ke kawan lama kita: Wagner. Belum lama ini ada makhluk bernama Dian mengisi buku tamu site ini. Dia sedang di Bayreuth. Gimana ya rasanya tinggal di kota Wagner? Apa Wagner di sana sudah termetamorfosis jadi relik masa lalu, sementara gaungnya di Griya Caraka Bandung masih terasa hidup, aktual, dinamik.
Bagian dari komposisi Tosca dari Giacomo Puccini ini beberapa hari (atau jangan-jangan malah beberapa minggu ini) sering terasa menggaung ringan dari balik kepala. Penasaran dengan teksnya, inilah dia, hasil cari di Google:
E lucevan le stelle, e olezzava la terra
stridea l’uscio dell’orto, e un passo sfiorava la rena.
Entrava ella, fragrante, mi cadea fra le braccia.
Oh! dolci baci, o languide carezze,
mentr’io fremente le belle forme discogliea dai veli!
Svani per sempre il sogno mio d’amore…
L’ora e fuggita e muoio disperato!
E non ho amato mai tanto la vita!
Terjemahan:
How the stars seemed to shimmer, the sweet scents of the garden,
how the creaking gate whispered, and a footstep skimmed over the sand,
how she then entered, so fragrant, and then fell into my two arms!
Ah sweetest of kiss, languorous caresses,
while I stood trembling, searching her features
concealed by her mantle. My dreams of pure love,
forgotten forever! All of it’s gone now!
I die hopeless, despairing, and never before
have I loved life like this!
Pernah nggak aku nulis di sini, bahwa opera Puccini tidak pernah seseru kisah hidup Puccini sendiri?
Tidak hanya zaman sekarang media dianggap kredibel dengan sendirinya (pun tanpa perlu upaya mempertahankan kredibilitas). Cerita berikut ini diceritakan fisikawan/kosmolog George Gamow, dengan setting di Russia tahun 1925.
Fisikawan Abatic Bronstein memamerkan kepada Gamow dan Lev Landau, Ensiklopedia Soviet yang terbaru. Di dalamnya, masih disebutkan adanya zat ether yang mengisi ruang semesta, tempat segala macam gelombang energi merambat di atasnya. Ini tahun 1925, 20 tahun setelah relativitas khusus, dan 10 tahun setelah relativitas umum, dan dalam masa keemasan mekanika kuantum. Artikel itu disusun editor yang pakar fisika, bernama Gessen. Gessen belum pernah kuliah fisika, selain di sekolah, plus baca-baca. Artikelnya menjelaskan soal ether secara rinci, sambil menolak teori Einstein. Gamow berencana mempersoalkan hal ini ke media. Tapi, seperti juga para ilmuwan jail lainnya, ia menempuh cara yang lucu. A.l. begini ditulisnya melalui telegram:
Tergugah oleh artikel Anda mengenai ether, kami menjadi sangat bersemangat untuk mulai membuktikan keberadaannya. Kita buktikan bahwa si Albert itu idealistik yang idiot semata. Mohon dipimpin upaya riset atas materi-materi kalorik, flogiston, dan cairan elektrik (semuanya konsep fisika kuno yang terbukti salah –tambahan) Ttd: Gamow, Landau, Bronstein, Genazvali, Grilokishnikov
Gessen berang, dan langsung membalas dengan serangan personal yang terbuka. Tak tanggung-tanggung, kelima orang itu diadukan ke Akademi Komunis di Moskva, dengan tuduhan mengingkari prinsip materialisme dialektika dan ideologi Marx.
Lev Landau (Лев Дави́дович Ланда́у)
Karena pakar fisika dan media ensiklopedia itu dianggap kredibel, tuduhan itu langsung diterima. Dua mahasiswa penandatangan kehilangan bea hidup dan diusir ke luar kota. Landau dan Bronstein dipecat sebagai dosen, tapi masih boleh meneruskan kerja sebagai peneliti. Gamow belum mendapat sanksi, karena tidak terkait secara organisasi. Namun Akademi juga minta hukuman tambahan bahwa kelima tertuduh tidak boleh hidup di lima kota terbesar di Russia.
Tahun 1932, Gamow yang muak dengan gaya Russia memutuskan bermigrasi ke barat. Landau yang merupakan patriot Russia memutuskan tetap bekerja di Russia, biarpun selalu hidup dalam kesulitan dan sempat masuk penjara di zaman Stalin itu.