Author: Koen (Page 51 of 87)

Metamorphosen

Yuk, berbincang tentang Metamorphosen, satu komposisi dari Richard Strauss yang jarang dibahas. Malah kayaknya belum pernah dibahas di weblog ini.

Dalam buku “Elaborasi Musik”, filsuf Palestina Edward Said memilih komposisi ini sebagai paradigma pengalaman musik yang etis dan tercerahkan, yang dirasakan baik oleh komposer dan pendengarnya:

“In the perspective afforded by such a work as Metamorphosen, music thus becomes an art not primarily or exclusively about authorial power and social authority, but a mode for thinking through or thinking with the integral variety of human cultural practices, generously, non-coercively, and, yes, in a utopian cast, if by utopian we mean worldly, possible, attainable, knowable.”

Tapi tidak selalu anggapan orang seperti ini. Tahun 1947, tuduhan bahwa komposisi ini merupakan kenangan atas Hitler, digembargemborkan di Belanda, negeri yang takluk pada tentara Nazi nyaris tanpa perlawanan. Memang bagian awal komposisi ini ditulis saat Munich Staatstheater dibom pada Oktober 1943, dan sempat dinamai “Duka bagi Munich”. Bagian akhirnya diselesaikan pada April 1945, saat Jerman sedang dalam masa kejatuhan. Barangkali memang ada kaitan antara komposisi ini dengan masa meredupnya Jerman, namun tidak harus lalu dikaitkan dengan Nazi atau Hitler.

Aku sendiri nggak terlalu lekat dengan Metamorphosen. Tod und Verklarung, dari Richard Strauss juga, terasa lebih akrab. CD Metamorphosen ini dulunya aku pinjam dari perpustakaan Lanchester di Coventry, dan aku konversi jadi MP3. Ilegal sih, tapi aku jarang berkelakuan kayak gini. Nanti aku beli CD-nya kalau ada yang jual di sekitar Bandung. Ada kemiripan antara Metamorphosen dan Tod und Verklarung, yang bikin aku pingin sesekali merasakan nuansanya kembali. Bukan cuman bahwa durasinya sama-sama sekitar 25-26 menit, tapi ada nuansa yang …. gimana sih caranya cerita tentang nuansa?

Pendengar diajak melakukan perjalanan dalam bentuk representasi suara atas mourning dan melankoli. Apa sih bedanya? Mengikuti Freud sih, mourning itu gejala psikis yang nantinya selesai jika subyek sudah bisa berlepas dari obyek kedukaan. Sebaliknya, melankoli adalah ketidakmampuan berlepas dari kedukaan itu. Yang ada pada mourning dan tidak ada pada melankoli adalah “reemergence of a viable and coherent subjectivity.” Nah, bentuk subyektivitas inilah yang justru hilang dalam Metamorphosen. Suara tidak mentransformasi diri menjadi subyek. Jadi memang tidak pas untuk mencari semacam kedamaian, resolusi, atau pemulihan spiritual dari musik yang terkesan tenang ini.

Haha. Yeah. Kayaknya aku memang sedang mencari dukungan emosional dari musik yang salah. Haha :). Ganti ah. Tod und Verklarung? Mungkin aja. Atau balik ke kawan lama kita: Wagner. Belum lama ini ada makhluk bernama Dian mengisi buku tamu site ini. Dia sedang di Bayreuth. Gimana ya rasanya tinggal di kota Wagner? Apa Wagner di sana sudah termetamorfosis jadi relik masa lalu, sementara gaungnya di Griya Caraka Bandung masih terasa hidup, aktual, dinamik.

E Lucevan Le Stelle

Bagian dari komposisi Tosca dari Giacomo Puccini ini beberapa hari (atau jangan-jangan malah beberapa minggu ini) sering terasa menggaung ringan dari balik kepala. Penasaran dengan teksnya, inilah dia, hasil cari di Google:

E lucevan le stelle, e olezzava la terra
stridea l’uscio dell’orto, e un passo sfiorava la rena.
Entrava ella, fragrante, mi cadea fra le braccia.
Oh! dolci baci, o languide carezze,
mentr’io fremente le belle forme discogliea dai veli!
Svani per sempre il sogno mio d’amore…
L’ora e fuggita e muoio disperato!
E non ho amato mai tanto la vita!

Terjemahan:

How the stars seemed to shimmer, the sweet scents of the garden,
how the creaking gate whispered, and a footstep skimmed over the sand,
how she then entered, so fragrant, and then fell into my two arms!
Ah sweetest of kiss, languorous caresses,
while I stood trembling, searching her features
concealed by her mantle. My dreams of pure love,
forgotten forever! All of it’s gone now!
I die hopeless, despairing, and never before
have I loved life like this!

Pernah nggak aku nulis di sini, bahwa opera Puccini tidak pernah seseru kisah hidup Puccini sendiri?

Pakar dan Media

Tidak hanya zaman sekarang media dianggap kredibel dengan sendirinya (pun tanpa perlu upaya mempertahankan kredibilitas). Cerita berikut ini diceritakan fisikawan/kosmolog George Gamow, dengan setting di Russia tahun 1925.

Fisikawan Abatic Bronstein memamerkan kepada Gamow dan Lev Landau, Ensiklopedia Soviet yang terbaru. Di dalamnya, masih disebutkan adanya zat ether yang mengisi ruang semesta, tempat segala macam gelombang energi merambat di atasnya. Ini tahun 1925, 20 tahun setelah relativitas khusus, dan 10 tahun setelah relativitas umum, dan dalam masa keemasan mekanika kuantum. Artikel itu disusun editor yang pakar fisika, bernama Gessen. Gessen belum pernah kuliah fisika, selain di sekolah, plus baca-baca. Artikelnya menjelaskan soal ether secara rinci, sambil menolak teori Einstein. Gamow berencana mempersoalkan hal ini ke media. Tapi, seperti juga para ilmuwan jail lainnya, ia menempuh cara yang lucu. A.l. begini ditulisnya melalui telegram:

Tergugah oleh artikel Anda mengenai ether, kami menjadi sangat bersemangat untuk mulai membuktikan keberadaannya. Kita buktikan bahwa si Albert itu idealistik yang idiot semata.
Mohon dipimpin upaya riset atas materi-materi kalorik, flogiston, dan cairan elektrik (semuanya konsep fisika kuno yang terbukti salah –tambahan)
Ttd: Gamow, Landau, Bronstein, Genazvali, Grilokishnikov

Gessen berang, dan langsung membalas dengan serangan personal yang terbuka. Tak tanggung-tanggung, kelima orang itu diadukan ke Akademi Komunis di Moskva, dengan tuduhan mengingkari prinsip materialisme dialektika dan ideologi Marx.

Lev Landau (Лев Дави́дович Ланда́у)

Karena pakar fisika dan media ensiklopedia itu dianggap kredibel, tuduhan itu langsung diterima. Dua mahasiswa penandatangan kehilangan bea hidup dan diusir ke luar kota. Landau dan Bronstein dipecat sebagai dosen, tapi masih boleh meneruskan kerja sebagai peneliti. Gamow belum mendapat sanksi, karena tidak terkait secara organisasi. Namun Akademi juga minta hukuman tambahan bahwa kelima tertuduh tidak boleh hidup di lima kota terbesar di Russia.

Tahun 1932, Gamow yang muak dengan gaya Russia memutuskan bermigrasi ke barat. Landau yang merupakan patriot Russia memutuskan tetap bekerja di Russia, biarpun selalu hidup dalam kesulitan dan sempat masuk penjara di zaman Stalin itu.

Virus: Musical Baton

Emang Musical Baton itu beneran soal musik? Soal personality? Soal persahabatan dan saling pengertian? Bukan! Ini “virus” yang sama dengan mail hoax, dan semacamnya. Cuman melanda weblog dan yang semacamnya (untuk tidak mengacaukan definisi yang tidak definit atas blog).

So, Andika melempar batonnya ke aku, setelah dapat lemparan dari Priyadi, yang dilontar oleh Eko, yang diterjang oleh Boy, yang dirajam oleh Echa, yang diruyak oleh AGentX, yang disawat oleh Lancerlord , yang dibalang oleh Cowboy , yang dihujam oleh Jim, dst.

Dan benarlah yang bilang bahwa para weblogger umumnya narsis. Doyan banget memamerkan diri, membanggakan personal weirdness, dengan berkedok keterpaksaan. Maka virus kayak gini jadi laku keras.

Sorry yach, aku mah nggak narsis. Megaloman sih, iya (warning: pengalihan istilah). Tapi daripada nggak enak hati sama Andika (warning: pura-pura terpaksa), OK deh, aku isi juga.

Total volume of music files on my computer: 1.29 GB on this notebook, excl all external devices

Last CDs I bought:

  • Symphony no 10 (unfinished) — Gustav Mahler
  • Oktett D803 — Frans Schubert
  • A tribute to Ian Antono

Song playing right now: No song, just music — Richard Strauss’ «Tod und Verklarung».

Five song (define song) I listen to a lot, or means a lot to me:

  • Liebestod — Richard Wagner (part of Tristan und Isolde Opera)
  • Elsa’s Dream — Richard Wagner (part of Lohengrin Opera)
  • Innuendo — Queen
  • Bohemian Rhapsody — Queen
  • If

Pass this baton to:
Whoever read this message.

Revenge of the Sith

«Fear is the path to the Dark Side. Fear leads to anger. Anger leads to hate. Hate leads to suffering.» — Master Yoda to Anakin Skywalker

Yang paling ditunggu dari episode ketiga dari epik “Star Wars” tentulah bagaimana Anakin si pahlawan kemanusiaan itu bisa ditarik ke sisi gelap dan berubah menjadi penjahat yang tak punya nurani. Rentetan plot dari bagian pertama dan kedua sudah membuat kita bisa menggambarkan. Jadi yang menarik dari bagian ketiga ini tentu bukan ceritanya, tapi nuansa-nuansa pertentangan di dalamnya, yang diharapkan menyampaikan hal yang luar biasa.

George Lucas tidak mengecewakan kita.

Dengan latar plot yang beritme lambat (sebenarnya tidak perlu selambat itu, tapi mungkin Lucas menyediakan ruang untuk mereka yang belum lihat bagian 1, 2, dan 4); plot diruncingkan. Tidak diklimakskan, karena pertentangan yang utama justru terjadi di dalam batin Anakin sendiri. Penggambarannya sungguh luar biasa. Angkasa Coruscan memerah, indah, kental, gamang, dengan lalu lintas galaktika terus mengalir di depannya. Anakin terus menatap ke angkasa. Nyaris tanpa ketegangan yang tampak. Tapi gemuruhnya hari terasa. Langit merah bersemu oranye hingga violet. Anakin menunduk, meneteskan air mata. Dan demikianlah segalanya telah ditentukan.

Tentu ada bagian lain yang juga ditunggu. Anakin beralih jadi Darth Vader, dan semua Jedi dimusnahkan (hampir). Trus apakah episode 3 ini jadi cerita kemenangan kejahatan? Kalau tidak, ada prinsip paritas yang dilanggar ;). Pada bagian 1 dan 2, Anakin jadi pahlawan, dan kebaikan boleh menang. Pada bagian 4, 5, 6, Darth Vader jadi manusia kelam, tapi kebaikan tetap menang. Titik balik di bagian 3 ini harusnya kebaikan tetap menang. Tapi kalau Anakin jahat, dan dia tokoh aktif, dan dia survive hingga bagian 6, maka di bagian 3 ini dia harus menang. Maka bagian 3 ini adalah bagian di mana kejahatan boleh menang? Masa? Nggak.

Obi-wan, guru dan sahabat Anakin dalam cerita ini akhirnya mampu mengalahkan Anakin, dalam duel Jedi terseru dan terlama. Dan khusus adegan ini, latihan dilakukan hingga 2 bulan terus menerus. Anakin bukan cuma boleh kalah, dia harus mati, hancur, baru film ini berharga. Dan itulah yang terjadi, dia hancur. Tapi Sith Master mengambil jasadnya yang dalam keadaan hancur dan sekarat. Memasang sistem kehidupan padanya, yang menyelamatkannya, tapi membuatnya jauh dari bentuk manusia. Dan itulah yang kita kenal sebagai Darth Vader di bagian 4 hingga 6.

Adegan ala Faust terjadi beberapa saat sebelum Padme meninggal. Dalam kekancuran hati akibat kehilangan Anakin (kehilangan karena menjadi jahat, bukan karena mati), dia masih bilang bahwa di dalam hati Anakin masih tersimpan kebaikan hati yang tidak bisa dihilangkan. Faust sekali kan? Musik latarnya a-la Requiem, bikin aku agak susah menahan air mata.

Yup, Anda nggak salah baca. Kalau kena keindahan yang samar, aku bisa cengeng mendadak :). Mungkin gara2 musiknya, atau mungkin gara2 pola Faust, di mana manusia yang sesat akibat keputusannya sendiri pun dipercaya akan kembali kepada sinar kemanusiaannya yang mulia.

Seperti Faust, seperti Anakin, seperti juga aku.

If Light Were Dark

Soal puisi Perl, Mr BR jagonya. Jago koleksi maksudnya. I wonder if he ever composed his own poetry (in Perl or any other languages). This one is from him, dikirim ke mail list teknologia:

if ((light eq dark) && (dark eq light)
&& ($blaze_of_night{moon} == black_hole)
&& ($ravens_wing{bright} == $tin{bright})){
my $love = $you = $sin{darkness} + 1;
};

… which was derived from these lyrics, by Jim Steinman’s song The Invocation:

If light were dark and dark were light
The moon a black hole in the blaze of night
A raven’s wing as bright as tin
Then you, my love, would be darker than sin.

Sabar dan Nerimo

Aku baru kemarin cerita ke seorang sahabat tentang QS Al Ashr, tentang pentingnya saling mengingatkan dalam kebaikan dan dalam kesabaran, dan bahwa kesabaran dalam hal ini lebih tepat dipetakan sebagai persistence, bukan patience. Persistence itu kesabaran juga. Sabar, kokoh, istiqomah, dalam menjaga atau mewujudkan nilai-nilai, dan kuat hati melawan segala macam bentuk tekanan. Pantang menyerah dalam berjuang.

Sore ini Frans Magnis Suseno memberikan lecture tentang etika. Salah satu yang beliau sebut adalah tentang konsep “nerimo” dalam budaya Jawa. Konsep nerimo, kata Romo Magnis, bukanlah konsep menyerah menerima keadaan. Konsep ini justru merupakan penguat untuk tidak mau patah menerima tekanan dan tindasan.

Thanks, Romo. Ini makin menguatkan hati.

Dan minggu depan, lecture akan dibawakan oleh Putu Wijaya.

Wolfgang Pauli

“This paper isn’t right. It isn’t even wrong.” Ini kalimat yang cukup terkenal dari fisikawan kuantum, Wolfgang Pauli. Mungkin pernah juga aku buat tulisan tentang Pauli. Tapi biar deh, dobel juga. Pauli bilang, yang nggak boleh dobel itu lepton dalam empat bilangan kuantum yang sama. Dia tak ada sebut apa-apa tentang dua tema kembar dalam sebuah weblog.

OK. Konon, orang boleh bertanya apa pun pada Pauli tanpa khawatir dianggap bodoh; karena bagi Pauli semua pertanyaan itu memang bodoh. Ini terjadi bahkan sejak Pauli jadi mahasiswa. Setelah sebuah kuliah oleh Einstein, Pauli memulai diskusi dengan ucapan, “You know, what Einstein said is not too stupid.” Yup, cuman yang sekelas Einstein yang tidak terlalu bodoh.

Einstein dan Pauli

Aku pernah menulis kesan Feynman tentang Pauli. Dia memberikan ulasan mengapa teori Wheeler-Feynman yang dipaparkan Feynman itu salah, tapi sama sekali tanpa dipahami Feynman sendiri. Pauli sendiri pernah menanggapi seorang fisikawan muda lainnya: “So young and already so unknown.”

Waktu Eugene Gugh — seorang fisikawan lainnya — mencoba mendebat salah satu paparan Pauli, Pauli mendengarkan sebentar, lalu memotong: “Gugh, whatever you know, I know.”

Juga Lev Landau, ilmuwan Soviet yang terkenal keras dan arogan. Landau memaparkan papernya kepada Pauli. Melihat wajah Pauli yang ragu, Landau marah. “Kau pikir ini nonsense kan?” katanya menyerang Pauli. Dan Pauli cuma bisa menjawab, “Nggak. Nggak sama sekali. Idenya terlalu kabur, jadi saya belum tahu ini nonsense atau tidak.”

Setelah PD-2, Pauli sempat bertemu lagi dengan Heisenberg, salah satu tokoh besar teori kuantum lainnya. Sama-sama menyatakan sudah menurunkan semua masalah yang belum terpecahkan dalam teori partikel elementer, mereka berkerja bersama, dan akhirnya menyederhanakan hasilnya dalam satu formula. Hasilnya dipaparkan Pauli di Columbia University, di hadapan tokoh-tokoh fisika, termasuk Niels Bohr (f.y.i., anaknya Bohr ini juga namanya Bohr, juga jadi fisikawan, dan juga memenangkan hadiah nobel, dan berultah pada 19 Juni — tapi ini cerita lain). Setelah Pauli berpaparan, Bohr diminta berkomentar. Jeremy Bernstein menyatakan bahwa diskusi ini adalah diskusi paling tidak umum selama dia jadi fisikawan. Mula-mula Bohr menyatakan bahwa teori Heisenberg-Pauli ini gila, tapi tidak cukup gila. Relativitas dan teori kuantum itu gila, melawan akal sehat yang berlaku. Di lain pihak, teori yang dipaparkan Pauli ini memang ajaib, menarik, tapi tidak cukup gila. Pauli membalas menyatakan bahwa teorinya itu cukup gila. Mereka bicara bergantian. Bohr berkeras bahwa teori Pauli tidak cukup gila, sementara Pauli berkeras bahwa teorinya sangat gila. Ada non fisikawan di sana, seperti Dyson. Tapi dia tidak mau berkomentar menanggapi cara fisikawan papan atas ini berdebat.

Tak lama setelah itu, Pauli sakit dan meninggal. Sebelum meninggal, salah satu yang diucapkannya adalah “Ich weiss viel. Ich weiss zu viel. Ich bin ein Quantengreis.” Dia meninggal di RS, kamar 137 — angka keramat bagi para fisikawan mekanika gelombang.

Born to be Hanged

Tahun 1927, fisikawan Max Born menghadiri kongres fisika internasional di Como. Pada salah satu sesi, ia merasa bosan. Jadi, pada saat ruang digelapkan untuk memasang proyektor, ia memanfaatkan peluang untuk kabur melalui sebuah pintu. Di koridor, ia menengok kiri-kanan, khawatir ketahuan, dan menatap Rutherford di pintu yang lain, sedang menengok kiri-kanan juga. Rutherford tertawa, lalu berkata, “Kabur juga ya? Ke danau aja yuk!” Dan ke sana lah akhirnya mereka menghabiskan waktu berbincang tentang berbagai hal, dan mengawali persahabatan mereka.

Tahun 1933, di tengah gemuruh kebangkitan Nazi, Born didepak dari kursi keprofesorannya di Göttingen. Rutherford menyelamatkannya dengan mengirim undangan ke Cambridge. Born sendiri tidak pernah lupa bahwa keberuntungannya diawali sebuah kebetulan akibat kebadungan di Como. Maka berangkatlah Born ke Cambridge. Namun begitu mendarat, kaget ia bukan kepalang. Di stasiun terpampang poster “Born to be Hanged”. Ia baru tenang waktu ia baca lebih lanjut bahwa poster itu hanya iklan sandiwara di teater lokal.

Di Cambridge, ia menyempatkan diri bertemu JJ Thomson yang sudah tua. Jauh sebelumnya, di tahun 1906, Born pernah ke Cambridge bekerja untuk Thomson. Putra Thomson, juga fisikawan, membawanya ke ayahnya, dan berkata “Pak, ini mahasiswa yang duluuuu pernah belajar di sini.” Thomson tua menyambut dengan: “Apakabar? Lihat nih. Ini adalah spektrum dari …” dan perbincangan langsung ke arah riset, melupakan tahun-tahun yang berlalu dengan perang-demi-perang.

Namun akhirnya Born pindah lagi ke Edinburgh, dan menjadi profesor fisika di sana.

The Laughing Stars

Mais toutes ces étoiles-là se taisent. Toi, tu auras des étoiles comme personne n’en a… Quand tu regarderas le ciel, la nuit, puisque j’habiterai dans l’une d’elles, puisque je rirai dans l’une d’elles, alors ce sera pour toi comme si riaient toutes les étoiles. Tu auras, toi, des étoiles qui savent rire!

No dla vsekh etikh lyudei zvyozdy nemiye. A u tebya budut sovsem osobenniye zvyozdy. Ty posmotrishy nochyu na nyebo — a vedy tam budyet takaya zvezda, gde ya zhivu, gde ya smeyusy — i ty uslyshishy, chto vsye zvyozdy smeyutsya. I tebya budut zvyozdy, kotorye umeyut smeyatysya.

Hae autem omnes silent. Tu contra stellas babebis quales nemo habet…
Cum caelum nocte intueberis, quoniam in aliqua habitabo, quiniam in aliqua ridebo, propterea tibi omnes stellae ridere videbuntur. Tu stellas habebis risu praeditas!

Për shumicën gjithë yjet atje lart janë të heshtur. Kurse ti, vetëm ti, do të kesh yje që nuk i ka asnjë tjetër…
Në një prej atyre yjeve do të jetoj unë. Në një prej tyre unë do të qesh. Dhe kështu kur të soditësh qiellin natën, ty do të duket sikur gjithë yjet qeshin. Ti do të kesh yje që qeshin.

Aber alle diese Sterne schweiden. Du, du wirst Sterne haben, wie sie niemand hat… Wenn du bei Nacht den Himmel anschaust, wird es dir sein, als lachten alle Sterne, weil ich auf einem von ihnen wohne, weil ich auf einem von ihnen lache. Du allein wirst Sterne haben, die lachen können!

But for everyone the stars are silent. Except from now on just for you.
When you look up at the sky at night, since I shall be living on one of them and laughing on one of them, for you it will be as if all the stars were laughing. You and only you will have stars that can laugh.

Pero todas esas estrellas no hablan. Tú tendrás estrellas como nadie las ha tenido. Cuando mires al cielo, por la noche, como yo habitaré en una de ellas, como yo reiré en una de ellas, será para ti como si rieran todas las estrellas. ¡Tú tendrás estrellas que saben réir!

Exupéry: Pangeran Ketjil
« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑