Author: Koen (Page 31 of 86)

S-Matrix dan String

Positivisme logika, atau madzhab Wina, mendorong untuk merumuskan kajian ilmiah sedemikian hingga setiap hal hanya bergantung pada entitas yang terpersepsikan, dan membuang segala yang bersifat metafisik. Para fisikawan kuantum menanggapinya dengan mencoba menafikkan konsep seperti posisi dan momentum yang absolut atas partikel. Penganutnya a.l. John Wheeler di tahun 1937 dan Werner Heisenberg di 1943. Heisenberg merumuskannya dalam bentuk S-matrix, dengan setiap partikel dideskripsikan sebagai scattering matrix. Interaksi antar partikel dipaparkan sebagai kalkulasi matriks. Hasilnya tentu rumit sekali. Setiap titik dalam struktur harus terkalkulasikan. Wolfgang Pauli sangat skeptis dengan cara ini. Ia menganggapnya sebagai skema yang tak memiliki arti, karena S-matrix pada akhirnya tidak menghasilkan pemecahan atas masalah-masalah fisika yang mendasarinya. Kemudian suksesnya QED (yang telah menggunakan normalisasi) mengeliminasi perlunya kalkulasi model S-matrix. Tetapi S-matrix lalu dibawa ke kalkulasi interaksi nuklir kuat dari tahun 1950an hingga 1970an. Ini baru berakhir saat QCD dan kuark diakui sebagai teori yang valid.

Pada akhir 1950an, tokoh yang cukup tenar dalam pemakaian S-matrix untuk interaksi nuklir kuat adalah Geoffrey Chew. Persamaan2 diturunkan dalam relasi dispersi, yang diyakini Chew dapat menurunkan seluruh S-matrix secara unik (i.e. tanpa persamaan lainnya). Ini disebutnya bootstrap philosophy. Yang menarik: menurut filosofi ini, setiap interaksi akan menentukan sendiri karakteristik dasarnya. Maka tidak perlu ada yang namanya partikel elementer. Dan Chew membuat satu istilah lagi: demokrasi nuklir — tidak ada partikel yang lebih elementer — semua partikel bersifat saling menyusun. Di tahun 1960an itu ide demokrasi semacam ini sedang laku. Konferensi Asia Afrika (KAA) masih relevan. Martin Luther King dan Presiden Kennedy masih jadi pahlawan. Tapi, Chew mengakui, bahwa teorinya amat rumit; sementara sifat aristokrasi dari teori yang berlawanan lebih mudah. Saat QCD dan kuark dibakukan dalam Standard Model, demokrasi nuklir pun pupus.

Penerus S-matrix mengambil beberapa jalan. Beberapa meninggalkan demokrasi ala barat dan mencintai kebijakan timur dan budaya New Age. Salah satunya Fritjof Capra yang menulis buku The Tao of Physics tentang kesalingterkaitan dinamis antara segala hal. Namun, sebagai pecinta S-matrix, Capra juga berceloteh bahwa teori medan kuantum (QFT) masih jauh dari memadai, serta memberikan alternatifnya yang sangat beraroma bootstrap philosophy. Buku ini memang ditulis beberapa bulan sebelum Standard Model. Tetapi bahkan hingga edisi revisi terakhir tahun 1990an pun, Capra berkeras bahwa teorinya terus makin dibenarkan oleh perkembangan sains, dan bahwa teori semacam QCD masih jauh dari valid.

Sementara itu, fisikawan Gabriele Veneziano menemukan di tahun 1968 bahwa fungsi matematika yang pernah ditemukan Euler, bernama fungsi beta, memiliki sifat yang tepat untuk memerikan S-matrix. Tetapi S-matrix yang ini memiliki dualitas (again??). Tahun 1970, Yoichiro Nanbu, Leonard Susskind, dan Holger Nielsen, merumuskan interpretasi fisika yang lebih sederhana atas formula Veneziano. Menurut reformulasi ini, jika S-matrix dipetakan ke mekanika kuantum, hasilnya serupa jika dalam mekanika klasik seluruh partikel diubah menjadi string. String itu benda 1 dimensi, yang bisa terbuka atau tertutup (menyambung ujungnya). Jika posisi partikel bisa dideskripsikan dalam 3 angka dimensi; maka string dapat disusun dari tak terhingga angka yang menunjukkan posisi tiap2 bagiannya. Sialnya, setelah dihitung serius, teori string versi awal ini mengharuskan adanya 26 dimensi; plus partikel takhion yang dalam realitas tidak boleh ada. Juga, teori awal ini belum mencakup fermion. Fermion baru dimasukkan Pierre Ramond akhir tahun 1970an, dengan menggeneralisasikan persamaan Dirac dari 3 variabel ruang menjadi tak terhingga. Jumlah dimensi yang dibutuhkan dapat diturunkan menjadi 10 saja.

Maka demikianlah asal usul teori string. Kemudian teori itu digabungkan dengan teori supersimetri, membentuk teori superstring. Tokohnya tentu John Schwarz, murid setia Chew. Teori ini sempat sangat lama tidak laku, sampai akhirnya seorang bintang bernama Ed Witten mengangkatnya; sehingga kini teori superstring (dan teori M) menjadi mainstream fisikawan dunia. Ini cukup banyak dibahas di weblog ini :). Tetapi apakah dengan demikian cucu dari S-matrix ini valid? Tokoh semacam Penrose dan Feynman meragukannya. Kita? Kita ikuti saja dengan asyik.

Telkom Blogging Day

Resminya serangkaian acara ini berjudul Kick Off Program-Program Cerdas Bersama Telkom. Berlanjut dari IGTS yang diluncurkan Telkom Divre III tahun 2004, Telkom meneruskan kampanye Internet ke pesantren, ke barak, dst, dan akhirnya dipandang perlu untuk meprogramkan kembali kampanye ini dengan lebih baik, mengerahkan hal terbaik dari produk dan layanan yang dimiliki Telkom. Lalu diluncurkanlah “Cerdas Bersama Telkom” ini. Di setiap daerah, tentu sifat kampanyenya berbeda. Di Kabupaten Banjar misalnya, bentuknya masih pengenalan Internet. Tetapi untuk kota sebesar Bandung, tentunya bentuknya bukan pengenalan lagi. Yang dianggap tepat adalah hal yang diseruserukan sebagai demokrasi informasi oleh golongan kiri, atau Web 2.0 oleh golongan kanan. Dan dimulai dengan blogging.

Kami memutuskan untuk mengundang evangelist blog Indonesia, Sdr Budi Putra, untuk memberi pencerahan tentang blogging kepada para siswa di Gedung Landmark Bandung, 22 Maret 2007, sebagai bagian dari acara kick off. Turut sangat aktif juga Sdr Ikhlasul Amal, evangelist blog yang memiliki semangat yang sama tingginya. Hari pertama, kami membuka dua sesi pelatihan, semuanya untuk siswa. Porsi pelatihan lebih banyak dipegang kedua evangelist itu, sementara pekerja Telkom bekerja sebagai support. Tapi Ikhlas yang selalu ikhlas terus bertanya: kenapa cuma 1 hari? Biasanya orang bingung cari fasilitas saat berminat membuka training. Di depan kita sudah ada fasilitas: kenapa disia2kan? Maka disiapkanlah pelatihan hari ke-2 untuk umum. Hari ke-3, ruangannya akan dipakai untuk diskusi bersama UKM.

Seperti sesi2 Telkom yang normal, tentu kami juga memberikan informasi produk2 Internet Telkom: Speedy, Telkomnet Instan, Telkomnet Flexi, dan Flexi WAP. Tapi, biar unik, kami tetap memberikan kesempatan kepada Ikhlas untuk bercerita — sebagai customer — terntang produk Telkom ini; tanpa tambahan apa pun dari Telkom. Telkom juga mesti belajar berdemokrasi informasi, kan? :)

Beberapa screenshoot (sesuai arah baca tulisan):

telkom-blogging-day.jpg
  • Beberapa siswa siswi sesi pagi
  • Ermadi Dahlan (Direktur Konsumer) melakukan kickoff
  • Beberapa siswa siswi sesi siang
  • Budi Putra memberikan petunjuk blogging dengan WordPress
  • Afianto (Mgr Marketing Jabar) memberikan gift kepada blogger tercepat
  • Afianto menyusun rencana lanjutan dengan Ikhlasul Amal
  • Ikhlasul Amal di sesi untuk umum
  • Peserta umum

Bandung Masih Lautan Api

Pulang dari sebuah sesi blogging di Landmark (akan diceritakan lebih lanjut –red), ada sesi dinner berdua Ikhlasul Amal di Gloria Jeans, Braga Citiwalk. braga-lautan-obor.jpgYang dibahas tentu bukan cuma soal blogging. Ada banyak dunia di luar blogging :). Tetapi, keluar dari Citiwalk, kami berdua menghadapi ribuan siswa seBandung Raya yang berpawai membawa obor. Braga Lautan Obor? Tentu tidak. Ini adalah cara siswa siswi Bandung menunjukkan bahwa Bandung tak pernah kehilangan semangat asalinya: BANDUNG LAUTAN API.

Keacuhan Pemerintah Republik Indonesia memberikan pengakuan atas jasa2 Moh Toha dan rekan-rekan sedikit banyak dirasa menyakitkan warga Bandung. Berbeda dengan perang di Surabaya yang didokumentasikan secara berimbang baik oleh pihak Inggris dan pihak Indonesia, di Bandung pemerintah lebih suka membaca sejarah versi pihak Belanda yang biarpun jelas2 sering bias namun nyaris selalu diasumsikan sebagai catatan yang valid. Barangkali kelemahan orang2 Bandung juga yang malas menulis sejarah dengan rapi. Sejarawan militer Belanda menulis bahwa gudang senjata Dayeuhkolot meledak oleh rokok seorang sipir yang tak disiplin (yang tentu barang buktinya ikut meledak, tetapi catatan semacam ini tetap dianggap valid), sementara klaim pejuang Bandung bahwa Moh Toha berhasil menyusup dan meledakkan gudang senjata itu tak pernah diakui.

Moh Toha bukanlah tokoh fiktif. Ia punya orang tua dan saudara. Ia punya rekan2 seperjuangan, termasuk yang turut menyusup tetapi akhirnya gagal (mereka mundur setelah terjadi kontak senjata yang menewaskan Moh Ramdhan). Ia punya kisah cinta yang kandas juga, di usia 19 tahun itu. Toha memang tidak punya foto. Yang ada di kuncoro.co.uk itu ternyata bukan foto Moh Toha, tetapi pejuang lainnya. Tetapi seperti juga semangat Bandung yang sering diabaikan dan dilupakan bahkan oleh warga Bandung sendiri, Toha ada, dan masih selalu ada. Ia menunjukkan bahwa pengorbanan dan keberanian itu ada — dan hal2 lain, termasuk kecurangan sejarawan dan cinta sebelah tangan :) itu bukan hal2 yang terlalu penting.

Planet Digital

Buku ini berjudul Planet Digital: Manuver CDMA di Indonesia. Terima kasih buat Kawan Budi Putra. Bukan hanya karena berbaik hati memberikan buku ini, tetapi, lebih dari itu, karena telah menulis buku yang menarik ini. Kawan Budi menulisnya sebagai bagian dari triloginya, setelah Planet Selular dan Planet Internet.

planetdigital.jpgBuku ini unik. Menyembunyikan kelengkapan dalam kesederhanaan. Lebih mirip kumpulan feature daripada paparan imiah, sehingga enak dicerna dalam waktu senggang sekalipun. Cerita CDMA dimulai dengan Hedy Lamarr, pemegang patent frequency hopping (lengkap dengan gambar skema), sekaligus pemain film bugil pertama (lengkap dengan foto), yang latar belakang patriotiknya mendorongnya mengembangkan ide CDMA ini. Kemudian Claude Shannon yang teorinya dapat digunakan untuk mengembangkan konsep komunikasi spread spectrum. Dan tentu Irwin Jacobs yang mengusung teknologi CDMA melalui Qualcomm. Dan sejarah digulirkan.

Kemudian buku ini memperdalam ulasan teknologi CDMA diperdalam, termasuk membandingkan dengan teknologi wireless lainnya, serta membandingkan berbagai platform dalam teknologi CDMA sendiri, termasuk CDMA 2000 dan CDMA-One. Setelahnya kita diajak melongok industri CDMA, dari operator telekomunikasi hingga perangkat terminalnya. Lengkap dengan foto2. Fokus kita kemudian dibawa ke Indonesia, dimana satu per satu produk telekomunikasi CDMA diulas: Flexi, Esia, Fren, dan StarOne. Yang dibahas bukan cuma implementasi teknologi, tetapi segmen bisnis dan strategi marketing tiap produk itu. Barulah kemudian semuanya disandingkan dalam kajian strategi kompetisi. Kita dibawa juga ke masa depan pengembangan CDMA dalam jangka dekat, termasuk platform BREW untuk pengembangan content multimedia, serta EVDO sebagai platform broadband di atas CDMA. Niche segment dari CDMA juga tak tertinggal, semisal CDMA 450 untuk kawasan rural, yang sudah cukup mampu membawa teknologi sekelas 3G hingga ke pelosok2.

Budi Putra, kalau barangkali belum mengenal nama ini, adalah seorang jurnalis, dengan spesialisasi pada IT dan telekomunikasi. Pernah memperoleh penghargaan utama dalam berbagai lomba karya tulis jurnalistik yang diselenggarakan oleh Indosat, Excelcomindo, Cisco, HP, Nokia, dan pasti masih menyusul lagi. Lucunya, beliau malah kemudian menseriusi dunia weblog. Ini trend yang aku pikir sehat dan menarik — berlawanan dengan beberapa media yang mulai runtuh kredibilitasnya karena jurnalis2 di dalamnya malah menjadikan media resmi sebagai sarana blogging pribadi tanpa dukungan QA yang memadai.

l’Imagination au Pouvoir

“Imagination is more important than knowledge,” begitu dia tulis. Juga: “A human being is a part of the whole, called by us ‘Universe,’ a part limited in time and space. He experiences himself, his thoughts and feelings as something separated from the rest kind of optical delusion of his consciousness. This delusion is a kind of prison for us, restricting us to our personal desires and to affection for a few persons nearest to us. Our task must be to free ourselves from this prison by widening our circle of compassion to embrace all living creatures and the whole of nature in its beauty. Nobody is able to achieve this completely, but the striving for such achievement is in itself a part of the liberation and a foundation for inner security.”

Selamat Ulang Tahun, Albert Einstein, Tokoh Pilihan Abad ke 20. FYI, ini adalah ulang tahun ke 10000000, biner.

Dan kalau kita di abad ke 21 ini sudah lupa, kenapa seorang fisikawan bisa terpilih jadi tokoh abad ke 20, alih2 matematikawan, psikolog, politisi, teroris, juru damai, dan sebagainya; berarti kita betul2 lupa bahwa Einstein bukan sekedar fisikawan. Ia adalah inspirasi abad ke 20. Berbagai filsafat abad ke 20 memperoleh inspirasi dan semacam pembenaran dari hasil kerja (dan turunan hasil kerja) tokoh ini. Tapi, OK, kita tak sedang bicara soal ini :).

Hari ini kebetulan juga hari π. Tahun2 lalu pernah aku singgung sekilas di sini. Tapi tahun ini hari π diperingati di weblog Jay. Dan Jay jadi membahas konstanta. Dan waktu sekilas meninggalkan komentar, terpaksa aku mengingat kembali tokoh kita ini.

witheinstein.jpgSaat mulai bermain dengan relativitas, Einstein mulai berbagi narasi bahwa waktu adalah dimensi yang sama dengan ruang. Dan dengan demikian ia mulai selau menulisnya sebagai besaran dimensi zeit-raum yang tunggal. Meneruskan permainan relativitas dan efek fotolistrik, ia berbagi diskursus yang lebih menarik: materi dan energi adalah entitas yang sama. E=mc2, dengan c sebuah tetapan yang hanya mengkonversi satuan. Tapi kalau ruang dan waktu memang sama, kenapa c harus punya nilai dan satuan. Berikan saja nilai 1. Kalau perlu satuan, c = 1 kaki per nanodetik :). Tapi kalau c tanpa satuan, kita bisa bayangkan bahwa waktu 1 nanodetik setara dengan jarak 1 kaki :) :). Kita teruskan dengan E = m. Kita bisa bercerita tentang massa sekian GeV tanpa harus mengkonversikan dalam hati menjadi kg. Dan, oh, kalau memang massa dan energi memang harus punya satuan (katakan eV), maka baik jarak maupun waktu sebagai dimensi ‘sebenarnya’ dapat dirumuskan sebagai inversi dimensi massa atau energi. Dengan demikian satuannya adalah eV-1. Kemudian … banyak hal2 menarik dari sini :), asal nggak terantuk sama angka 137.

Par les Rues et par les Chemins

Saat paling pas untuk menikmati Debussy tentu saat makna tak sedang digantungkan pada hal-hal besar, tetapi pada keseharian bahkan kesesaatan. Kesesaatkan. Atau kesesatan, boleh juga, kalau dianggap hidup harus diarahkan pada hal-hal besar :). Pun kefanaan, kalau dikonsepkan, jadi narasi bombastis juga :). parlesrues.gifMemang jadi ada waktunya semua itu dilepas: konsep, komitmen, legenda, visi. Dan biarkan pikiran ini mengaliri segala jalan besar hingga celah sempit yang kita temui hari ini, saat ini, detik ini. Biarkan juga ide-ide jadi frame-frame sporadik yang mencuat ke sana kemari dalam permainan warna yang indah berpola seperti permainan lampu di jalan raya, berpadu dengan percikan air di sungai bersemu coklat dan kenangan yang menarik secara hitam putih ke tenggara dan barat daya. Dan biarkan Debussy menyentak jiwa dengan musik yang pernah dinamai impresionistik itu (entah kenapa).

Klik. Klik. Klik. Beep. Ya. Kepalaku nyeri nian. Sekian hari tak juga mau mereda ia menghajar. Mengira aku dapat menyerah. Tak mungkin. Jiwa ini terlalu bebas untuk dapat diikat oleh belenggu ragawi.

Th!nk Blink!

Richard Oh membahas tentang Think dan Blink. Ini bukan tentang toko buku QB, gudang kecendekiaan yang mendadak melenyap satu demi satu dari bumi Indonesia. Tulisan di edisi perdana majalah Esquire Indonesia ini membahas perbandingan observasi dan pengambilan keputusan model buku Blink! karangan Malcom Gladwell vs Th!nk karangan Michael LeGault.
esquire-indonesia.jpgPara pedoyan buku akan paham bahwa buku Blink memotivasi kita untuk mengasah kembali kepekaan nalar halus kita. Ada yang menggerakkan nalar halus kita itu untuk mengambil pilihan paling baik dan paling tepat, dan ini terlihat dari gejala fisik. Tangan kita berpeluh lebih saat kita mengambil keputusan yang salah, kata Blink, sebelum daya analisis kita akhirnya (jika belum terlambat) memahami bahwa keputusan yang diambil itu salah. Think berpikir sebaliknya. Sempitnya waktu dan derasnya beban membuat kapasitas manusia berpikir kritis makin melemah. Manusia mengambil keputusan2 instan hanya berdasar pikiran spontan, sementara jika kita mau meluangkan waktu untuk menganalisis lebih teliti, kita akan dapat menemukan faktor-faktor kritis yang membantu kita mengambil keputusan.

Kedua konsep itu, kata Oh, menawarkan hal yang sebenarnya sama: dalam hidup yang berdesakan kita perlu mengambil waktu secukupnya untuk berpikir kritis sehingga daya rasio kita selalu tajam dan siaga untuk menghadapi persoalan yang mendesak. Oh memberi contoh menarik dengan menculik Milan Kundera dan Don Quixote dalam bagian ini. Don Quixote memberi contoh bagaimana manusia kadang perlu beringsut ke alam imajinasi untuk menghadapi realitas brutal.

Seandainya weblog ini berusia beberapa tahun lebih tua, katakan awal tahun 1990an, tentu aku sudah menulis di sini (alih2 di buku kecil yang entah sekarang ada di mana) tentang intuisi versi aku sendiri. Intuisi dalam hal ini bukanlah kilasan batin. Ia dibentuk dari rasio; dari knowledge; dari kumpulan pengetahuan yang terolah membentuk kearifan yang kemudian tersimpan secara rapi di layer yang tidak bersifat verbal lagi. Repeat: ia tadinya dibentuk dari rasio, tetapi tidak lagi bekerja secara verbal. Maka intuisi tetap dibentuk melalui pendidikan, pengasahan kearifan, perenungan, pengalaman, kecerdikan, dan segalanya itu. Intuisi kemudian membimbing kita dari dasar pikiran, di level yang berbeda, dengan cara seolah ia ilham yang datang dari langit. Berlalunya tahun barangkali membuat aku tak lagi sepenuhnya sependapat dengan pikiranku lebih dari 10 tahun lalu :) – setidaknya barangkali aku tak lagi menamainya intuisi :). Tetapi membaca perbandingan Blink dan Think, mau tak mau aku jadi terpaksa ingat catatan purba ini.

Bagaimanapun, seperti Oh tulis, memang akhirnya perlu keseimbangan. Persoalannya bukanlah memilih nalar halus atau pikiran kritis. Ada waktu yang perlu diluangkan untuk merenung dan menganalisis, tapi juga ada waktu untuk mengosongkan pikiran dan mempertajam kepekaan batin; untuk akhirnya mengambil keputusan dengan cara yang sistematis dan accountable. Batin dan rasio akan selaras membantu kita memilih langkah yang paling bijak. Dan kapan memilih tools yang mana? Ada porsi yang tepat untuk setiap masalah.

Tapi sialnya, justru waktu aku kemudian berpikir seperti itu, Oh justru mencuplik Yamamoto Tsunemoto: perlakukan masalah besar bagai masalah kecil; perlakukan masalah kecil bagai masalah besar. Trus? :). Ambillah keputusan :).

Dari Ljubljana, Alenka Zupancic berceloteh: komedi adalah bentuk drama yang lebih realis daripada tragedi. Dan itu menjelaskan kenapa tadinya aku beli Esquire Indonesia. Dari namanya aku membayangkan kemiripan dengan squirrel, ésqurial, atau écureuil. Tupai. Cit cit cit. Hush. OK, kemudian ada IEEE Network yang membahas Evolusi 4G Wireless (huh dari tahun 2001 terus membahas 4G), dan IEEE Wireless yang membahas Protocol Engineering for 802.16. Hmm, yang mana dulu ya?

Blogger Profesional Pertama

1 Maret seharusnya jadi hari bersejarah buat blogger Indonesia. Mas Budi Putra, akhirnya betul2 menyatakan diri keluar dari struktur Majalah Tempo, dan berprofesi sebagai blogger. Dengan demikian, afaik, Mas Budi menjadi blogger profesional pertama di Indonesia.

Blogger profesional? Ya, sementara kami2 yang lain menjadikan kegiatan weblog sebagai hobi, pengisi waktu luang, penyalur kegilaan menulis, atau maksimal jadi sumber penghasilan tambahan; Mas Budi benar2 menjadikan blogging sebagai profesi utama. Bisakah? Kebetulan kami bakal cukup beruntung untuk bisa “mewawancarai” jurnalis ini pada hari2 pertama beliau keluar dari Tempo, karena beliau mengisi hari2 pertama sebagai blogger profesional justru di Bandung. Bandung gitu loh. Jadi soal ini pasti akan kami perbincangkan juga.

Tapi, gilakah meninggalkan Tempo? Maksudku, Tempo gitu lho. “Secara gue aja” dulu pernah bercita2 suatu hari bisa bekerja di Tempo (sebelum akhirnya Temponya dipingsankan Adminitrasi Indonesia tahun 1994). Mas Budi sendiri, memberikan pernyataan di sela-sela acara mereservasi hotel (duh, bahasaku Detikcom banget deh): belum sepenuhnya meninggalkan Tempo. Di Tempo, beliau akan tetap meluangkan waktu untuk membina … Blog Tempo Interaktif, yang memang beliau dirikan. Duh, blog lagi blog lagi.

So, kalau ada yang berminat bergabung dalam acara siang ini; kami di Cihampelas Walk, dari jam 11.00 sampai beberapa jam kemudian. Sila bergabung.

SMS kemarin:
Budi: Reservasinya atas nama siapa? Budi Putra?
Koen: Tentu donk.
Budi: Oh, mana tahu atas nama Toekang IT atau The Gadget Net.
Koen: Atas nama Budiputra sih. Tapi waktu ditanya nama lengkapnya, saya bilang Budiputra dot com.

Tumblelog

Mengikuti titah Enda di id-Blog, aku coba tumblelog. Apa itu? Menurut Kottke, seperti yang dipost di Wikipedia, “A tumblelog is a quick and dirty stream of consciousness, a bit like a remaindered links style linklog but with more than just links. They remind me of an older style of blogging, back when people did sites by hand, before Movable Type made post titles all but mandatory, blog entries turned into short magazine articles, and posts belonged to a conversation distributed throughout the entire blogosphere. Robot Wisdom and Bifurcated Rivets are two older style weblogs that feel very much like these tumblelogs with minimal commentary, little cross-blog chatter, the barest whiff of a finished published work, almost pure editing…really just a way to quickly publish the ‘stuff’ that you run across every day on the web“.

Untuk percobaan, aku set di KUnCOro.CO.UK. Tapi isinya baru tulisan dan gambar buat testing.

« Older posts Newer posts »

© 2024 Kuncoro++

Theme by Anders NorénUp ↑