Ada satu kebiasaan buruk yang selalu kulakukan setiap melihat seorang anak kecil merintih kesakitan: aku tak sengaja mempertanyakan kenapa sakitnya nggak dipindah ke aku saja. Dan biasanya itulah yang terjadi. Bukan secara kausal. Kausalitas, kita tatap secara transenden, justru patut ditertawai. Tapi begitulah. Maka benda tak berbahaya tapi ampuh menghentikan aktivasku ini menyerangku: sinusitis.
Kita ulas sedikit, kenapa namanya sinusitis. Jadi formulanya cuman y=sin(x), dengan x berjangkauan [-π,π], dan y menunjuk ke magnitude of pain on your face. Pasang sumbu y tepat di tengah wajah. Nah ini yang terjadi hari2 ini. Tak separah serangan sebelumnya, dimana formulanya malah y=sin2(x), dengan x tetap berjangkauan [-π,π]. Jadi nyerinya ada di kedua sisi wajah kecuali di sumbu y hidung. Kalau polanya berbeda, mungkin namanya bisa diganti jadi cosinusitis, parabolitis, hiperbolitis; entah apa lagi.
Gejalanya, selain nyeri yang menarik di wajah, dan temperatur yang tinggi (tapi untuk waktu singkat bisa jatuh, membuat menggigil, untuk kemudian meninggi lagi); adalah desakan pada tangan untuk mencengkeram wajah, iritasi atas suara dering telepon, dan sesuatu yang selalu terjadi dari aku kecil, tapi nggak pernah bisa aku bahas sampai tuntas: sebuah dialektika.
Mungkin asalnya dari demam. Atau supplai oksigen yang berkurang. Atau kesempatan untuk berbaring tanpa memikirkan pekerjaan dan hal2 rutin lain. Tapi aku jadi memikirkan sesuatu yang tak relevan, dengan cara yang khas: membuat pertentangan. Waktu aku di SMP, aku pikir itu efek Decolgen. Waktu itu aku berpikir untuk menarik sebuah bola sampai membentuk sebuah kubus sempurna. Bagaimana sebaran gaya yang diberlakukan pada si bola. Ingat, waktu bola ditarik di satu sisi, sisi lain bisa mengempis. Intinya bukan bagaimananya, tapi ada sebuah pertentangan panjang. Satu melibatkan ketakterhinggaan, dan satu lagi tidak. Aku masih SMP dan belum belajar kalkulus. Dan dua suara itu mengganggu. Kadang tidak selucu itu. Aku pernah harus mendengar diskusi panjang — yang tidak aku kehendaki — tentang bolehnya pemimpin republik (Soekarno) meninggalkan titik kedaulatannya saat kekuatan ilegal (Belanda) melakukan penyerangan. Ya, suara pendukung Soekarno dan pendukung Soedirman bergantian, berdiskusi panjang, tanpa ampun. Padahal yang aku butuhkan adalah istirahat yang tenang dan damai. Dan hari Minggu malam itu, diskusinya membahas … haha, yang ini benar2 lucu … dua orang dokter yang mendiskusikan nyeri kepalaku. Satu dokter yang tak berdinas, dan sebetulnya sedang mengambil pendidikan lanjut, tapi dia yang menemukanku (entah di mana) dan mengantarkanku ke RS; satu lagi dokter jaga di UGS yang punya otoritas, yang sebenarnya pendidikannya tak selanjut si dokter pengantar. Lucu, suara mereka riuh senada nafasku. Satu nafas, doktor di kiri, satu nafas, dokter di kanan. Aku ingin malam cepat jadi pagi, biar aku bisa lepas dari dokter fiktif itu, dan ketemu dokter beneran. Aku bangun jam 4 pagi, nggak mau tidur lagi. Ke Borromeus pagi itu juga. Dan ketemu dokter yang ramah, bukan tukang debat kayak di tidurku :).
Dalam keadaan segar, biasanya pola pikirku tidak dialektis. Aku mencari terobosan ide, mengevaluasi, mencari kekuatan dan kelemahan, peluang implementasi, dan seterusnya. Bukan menyusun thesis, mencari pertentangan di dalamnya, merumuskan antitesis, mempertandingkan, menyimpulkan sintesis, semacam itu. Aku engineer, bukan filsuf. Jadi gangguan tidur yang ajaib kayak di atas itu menggangguku, bukan membangkitkan ide :).
So, dari Borromeus, aku pergi ke RDC (Telkom Research & Development Centre). Hari Senin itu ada pertemuan membahas pengembangan komunitas di sana. Timnya sendiri dari beberapa divisi, termasuk Divisi Multimedia, Content&Application, Training Centre, dll. Orang2 yang menarik, bergagasan segar. Aku serasa disegarkan lagi. Bukan saja dari gangguan tidur malamnya, tapi juga dari diskusi panjang di Divisiku sendiri, yang nggak lari ke mana2. Orang2 di Divisiku, aku pikir, bukan orang yang paling pas untuk membahas soal komunitas, soal IT, soal Internet. Aku berharap dari sinergi antar divisi macam ini, pengembangan komunitas bisa lebih efektif dilakukan. Sayangnya, tentu saja, hasil diskusinya masih jadi rahasia perusahaan, jadi belum mungkin disebar via blog :). Haha. Weits, bukan berarti rapat menarik ini membuat mataku terbuka lebar. Aku tetap tertidur dua kali. Dimulai dari nyeri yang meningkat lagi di wajah sebelah kanan, naik ke mata. Mata harus ditutup sebelah, menahan nyeri. Yah, malah tidur. Bangun, diskusi lagi, dan proses itu terulang lagi. Malu2in :).
So, selesai rapat, aku langsung pulang. Bobo panjang. Semua HP diset silent. Internet dibatasi beberapa menit saja. Email, BBC, blogwalking singkat, selesai.
Ini hari Rabu. Nyerinya masih. Tapi tak seseram hari Minggu s.d. Selasa kemarin. Mudah2an Kamis besok bisa lihat kantor. Dan aku malah nulis blog. Mudah2an tidak ada salah2 kata, salah ide, pelanggaran etika, dll di entry ini. Kalau ada, mohon maaf. Agak sulit jernih kalau masih menahan nyeri.
Tambahan buat mereka yang kirim email menanyakan ke mana aku sampai nggak nulis blog: Wow, makasih. Tapi blogosfer Indonesia sungguh luas. Satu penulis istirahat, ada ribuan lainnya. Coba luangkan waktu melihat blog2 baru. Keren2 loh :). Aku sendiri mengamati hal buruk terjadi padaku di minggu yang buruk ini: meningkatnya sarkatisme. Jadi terlalu mudah menyerang kebodohan. Aku jadi mirip Dogbert, atau RMS46 — mana yang lebih sarkastik. Bukan berarti toleransi menurun. Toleransiku terhadap hal itu selalu rendah. Tapi biasanya tak harus sarkastik.
Like this:
Like Loading...