Author: Kuncoro Wastuwibowo (Page 19 of 88)

DLP Network Management

Baru seminggu masuk tahun 2009, IEEE Comsoc Indonesia Chapter telah melakukan salah satu kegiatan rutin: menyelenggarakan distinguished lecture. Lecture kali ini mengambil tema Network & Service Management, dengan lecture Prof Mehmet Ulema dari Manhattan College. Ini salah satu seleb IEEE yang tulisannya sering terbaca jauh sebelum zaman bikin tesis. Lecture dilakukan kemarin di ITT Bandung, dan hari ini di Binus Jakarta. Aku ikut yang di Binus hari ini.

Aku sendiri belum berhasil menulis paper tentang network management (di zaman aku masih doyan bikin whitepaper — paper yang materinya dan standar2nya tak tergantung dari vendor itu), karena jangkauannya terlalu luas, dan standarnya terlalu banyak :). Tapi Profesor Ulema mengoverviewkan masalah network management (NM) dengan hutan standardnya itu ringan. Pun sambil mengingatkan bahwa NM lebih merupakan suatu art daripada science. Art yang paling menarik adalah saat kita melakukan integrasi berbagai sistem. NM juga bersifat multidisiplin: dari elektro, komputer, matematika, operational research, ekonomi, dan tentu management. {Dan game theory juga :)}.

Mula2, dipaparkan berbagai dimensi NM, baik dari jenis network, fungsi, stage, dan … uh banyak. Barulah dikaji berbagai standar NM, dari ITU (TMN), IETF (berbagai versi SNMP), ISO OSI (CMIP), dan lain-lain (TMF, OMG, OSF, DMTF, dan yang included dalam standard2 IEEE, 3GPP, hingga (G)MPLS/ASON). Kemudian, tanpa ampun, diperdalamlah berbagai model standard itu; dari TMN dan arsitektur lengkapnya (logika, informasi — SMI dan MIB, fungsi, fisik), pendalaman MIB sendiri, dan MIB II, ke SNMP hingga SNMP v3 dan rencana versi SNMP berikutnya, RMON … hihi, panjang …trus ke arsitektur yang praktis, ke produk yang ada saat ini (komersial dan open source), MPLS (ini singkatan dari mephistopheles), IPv6, 3-play, NGN, dan ditutup dengan trend2 ke depan (autonomic computing etc).

Kuliah ditutup, dan kita masuk ke coffee break. Mahasiswa Bina Nusantara yang tadinya hanya diam malu2 dan ogah tanya2, mendadak melakukan serbuan, dan bertanya langsung. Hihi, kelihatannya mereka lebih suka bertanya informal, bukan tanya di forum sambil dipelototi dosen2 mereka. OK, ini foto Professor Ulema yang sedang asyik menjawab pertanyaan mahasiswa demonstran.

Next, sambil menikmati kopi hitam, gantian Prof Ulema yang mewawancarai aku tentang network development. Aku cerita sambil sesekali (sering kali) minta pendapat beliau tentang cara2 operator2 di Indonesia memanage network. Dualism IMS vs SDP misalnya (banyak SDP yang tidak dirancang untuk jadi IMS-aware). Tapi yang mengejutkan, Prof Ulema mengingatkan bahwa banyak operator internasional yang justru kecewa pada implementasi IMS. Woah, hal baru. Akhirnya kita memperdalam soal itu. Sayangnya, sebelum benar2 selesai, pihak Binus menculik Prof Ulema untuk dipulangkan dengan aman ke negaranya. Via Macau.

Kembali ke Comsoc. Rencana tahun ini adalah meneruskan kuliah2 umum tentang trend teknologi infokom ke kampus2. Tapi kita punya rencana tambahan. Di IET ada kuliah Faraday, dimana para engineer mengajar tentang engineering dengan kemasan menarik ke sekolah2. Ya, Faraday, fisikawan dan engineer yang nggak doyan kalkulus dan tak paham teori Maxwell itu (padahal teori Maxwell adalah formulasi atas garis2 gaya Faraday). Jadi semangatnya mencerahkan tanpa mengkalkulusi. Nah, Comsoc chapter Indonesia berencana melakukan upaya serupa. Nanti kita bahas lagi soal ini deh. Bantu ya.

16 Juni 2005

Berbagai aggregator blog bisa jadi saksi: banyak hal yang bisa terjadi dalam 24 jam. Tapi seorang Daniel Altman memaksa membukukan apa yang terjadi pada sebuah 16 Juni 2005 di bukunya yang terbit tahun 2007: Connected 24 Hours in the Global Economy. Bukan buku yang terkenal di antara para ekonom, aku yakin. Tapi jelas pas buat teknolog yang baru mulai belajar ekonomi kayak aku, untuk turut mengamati kaitan2 baik yang klasik maupun non-intuitif, di sisi teknologi-ekonomi-politik-budaya dari seluruh belahan dunia. Oh ya, waktu 24 jam ini dicatat di New York.

Jam 00:03 waktu New York, artinya di 06:03 waktu Stockholm, cerita dimulai dengan aliansi antara Ericsson dengan Napster. Uh, tahun 2005, setelah gelembung2 dotcom meletus, setelah global clusters roboh, masih ada upaya aliansi? Antara Ericsson yang jadi bendera megah Swedia itu, dengan Napster si bekas anak nakal pembajak musik itu? Memang. Dan Altman membekali kita dengan latar belakang berbagai aliansi, baik yang sukses dan yang tidak. Apa alasan EBay mengakuisisi Paypal (padahal ia sudah punya Billpoint) dan kemudian Skype (yang urusannya di Internet sangat beda)? Kenapa merger Morgan Stanley dan Dean Witter gagal mencapai goal? Juga Chrysler dan Daimler-Benz? Bagaimana akuisisi AOL atas Time-Warner dianggap kelicikan? Dan nantinya, di bab lain tentang Cina: Mengapa dan bagaimana Haier dipertahankan untuk tidak dibeli pihak asing? (Kebijakan yang membuat kita terpaksa mengenang kembali kebodohan Laksamana Sukardi yang menjual Indosat).

Tapi lalu Altman kembali ke Ericsson dan Napster. Operator telekomunikasi di dunia tengah berminat mengembangkan content, sebagai bagian dari pengembangan pasar mobile dan Internet. Dan hasil survei menunjukkan content yang paling diminati: musik. Ericsson sebagai vendor dan konsultan significant tentu berusaha memberikan solusi terbaik. Umumnya para operator tidak merasa perlu menggunakan brand masing2 untuk memasarkan content musik. Jadi untuk itu Ericsson mulai mengajak Napster, yang memahami liku2 jalan2 dan gang2 distribusi musik online hingga ke benak customer. Hm, bukan saja tak menggunakan brand para operator. Pakai brand Ericsson pun tidak. Tapi pasar merespons positif kecerdikan ini. Di akhir hari, baik saham Napster maupun Ericsson mencatat kenaikan.

Kemudian, jam 3:02 waktu New York, atau jam 16:02 waktu Tokyo. Cerita beralih tentang perusahaan2 besar di Jepang, dimulai dari Mitsubishi. Intinya: sejauh mana pemerintah mampu membuat pasar global lebih kompetitif. Lucu membaca bahwa seringkali pemerintah justru jadi biang yang membuat industri tidak kompetitif; padahal itu di negara2 dengan tingkat kolusi rendah. Di sini … ah, skip. Berikutnya 3:09 waktu New York atau 14:09 waktu Ho Chi Minh, kisah dibuka dengan kemauan Intel membangun Vietnam digital, dengan pertanyaan: perusahaan2 multinasional ini lebih banyak membawa progress atau problem? Jawabnya … haha :)

Oh ya, aku tadi menyinggung Haier. Ini hampir di tengah buku. 5:15 waktu New York, 17:15 waktu Qingdao. Qingdao itu kota ukuran menengah, yang dulu terkenal dengan industri bir; warisan dari pemukim Jerman di Tsingtao. Industri bir ini sudah separo diakuisisi oleh perusahaan Amrik. Jadi sekarang yang jadi kebanggaan Qingdao adalah Haier: perusahaan perangkat teknologi yang di tahun 2005 sudah sibuk memasarkan HP sekecil pena hingga kulkas yang segede apa ya … kita bisa berdiri di dalamnya. Tokohnya Wei Duan, cewek keren yang jadi brand manager Haier di usia muda, lulusan Nottingham. Haier, dan beberapa perusahaan lain, menarik Wei yang memilih pulang kembali ke RRC dengan tujuan: membuat negerinya maju lagi.

Haier tidak bercita2 untuk menjadi besar sehingga bisa mudah dibeli kapitalis asing; sebaliknya mereka bercita2 untuk lebih besar lagi untuk suatu hari bisa membeli perusahaan2 asing. Tentu, dengan bergerak di teknologi, mereka langsung menghadapi kompetitor kelas raksasa. Tapi Haier memilih niche market secara hati2 dengan memahami budaya berbagai negeri. Hasilnya, a.l., HP segede pena itu. Atau kulkas dengan laci untuk diekspor ke Amrik, dimana user bisa mengambil isi freezer tanpa harus memasukkan tangan ke freezer. Atau mesin cuci gede buat Pakistan yang terkenal dengan keluarga besarnya, sekaligus mesin cuci kecil2 buat Jepang yang penduduknya gemar bebersih sedikit2 tapi tiap hari. Ada juga HP dengan tombol besar dan font besar khusus buat orang2 tua. Partnership juga dilakukan. Dengan Sanyo di Jepang misalnya, sehingga kedua perusahaan mendapatkan kemudahan distribusi di negara seberang. Ia juga berekspansi langsung ke sarang lawan: Korea Selatan dan Amrik. Maka Haier tumbuh 68% dalam setahun. (Bukan typo, kata bukunya). Strategi lain, uh banyak. Juga masalahnya. Bisakah nantinya Cina tumbuh mengejar Amrik? Atau ikutan loyo kayak Jepang sejak 1990an?

Bab lain membahas supply uang di dunia, harga sebuah korupsi, pasar saham, stabilitas politik dan ekonomi, soal minyak, hegemoni Amrik secara ekonomi, soal hak cipta (perlukah hak cipta untuk ide?), dan masih banyak lagi. Bukan hal baru kan, buat para ekonom? Tapi buat kita yang lain, barangkali pas untuk mulai memahami ekonomi dunia.

Oh ya, buku ini dibeli di Periplus waktu discount buku 50%-70% minggu lalu. Musim maruk buku, yang pas dengan musim libur. Libur ini, siang penuh jalan2, malam penuh baca2 buku sampai hampir pagi. Buku memang sahabat yang menarik.

Bad Science

Konon memang pernah ada masanya dokter di negeri ini diluluskan dengan ujian “multiple choice” dan bikin beberapa rekan khawatir mempercayakan kesehatan kepada dokter. Sebaliknya, di negeri lain, profesi yang — menurut poll — dianggap paling terpercaya adalah dokter. Poll ini diadakan di Inggris. Di negeri itu, profesi yang paling tak dipercaya adalah — hahaha — jurnalis. Agen real estate bahkan dianggap lebih dipercaya daripada jurnalis — sialan :). Bayangkan apa kata poll itu kalau blogger dan penulis pesan di mail list dianggap sebagai profesi. Wow, aku yakin mereka lebih tak dipercaya lagi.

Tapi itu hasil poll. Dalam keseharian, orang ternyata lebih percaya issue di mail list, di blog, dan di koran/TV daripada pendapat ilmiah yang dikeluarkan ilmuwan atau dokter. Salah satu contoh yang sempat membuat para dokter marah besar adalah soal vaksinasi MMR (measles, mumps, rubella). Seorang dokter menuduh vaksinasi itu menyebabkan autisme. Segera media menggembar-gemborkan soal itu, tanpa peduli opini mayoritas kalangan ilmiah yang tak sependapat dengan seorang dokter itu. Hasilnya, terjadi lonjakan jumlah kasus akibat kurangnya vaksinasi, yang mengakibatkan kematian.

Maka seorang dokter lain, Ben Goldacre, membuat simpulan: jurnalisme berbahaya bagi kesehatan. Secara keras ia mulai menulis melawan pseudoscience yang sering dikemas sebagai “pengobatan alternatif” :). Tulisan2nya kemudian dikemas dalam buku Bad Science. Tentu bukan menohok para jurnalis. Justru ini untuk mulai mencerahkan jurnalis dan masyarakat yang masih buta sains. Tujuannya untuk membuat kalangan jurnalis mulai bisa mengemas mana hal yang ilmiah dan mana yang pseudoscience dan mana yang jual jamu berkedok pengobatan alternatif dan mana yang merupakan overhype dari pabrik obat. Buku Bad Science memberi contoh misalnya homeopathy, bracelets yang bermain di efek magnetik,  dan contoh lain. Tapi terutama ia memberikan contoh metode ilmiah yang benar yang diterapkan pada pengobatan, termasuk testing dengan efek placebo dan faktor-faktor lain yang cukup kompleks. Goldacre benar2 ingin pembacanya tervaksinasi terhadap nonsense2 berikutnya yang akan mereka hadapi di media atau di mana saja.

Namun, Goldacre juga mengingatkan kembali: sains tidak memiliki autoritas yang monolitik. Sains sendiri tetaplah proses untuk terus menerus mempertanyakan dan pengujian yang jujur dan terus menerus untuk mencari jawaban.

Kesimpulan: buku ini tak direkomendasikan. Membaca buku ini bisa membuat kita dimusuhi saudara, tetangga, blogger, agen MLM, dan kalangan terdekat kita. Lebih baik hidup damai sajalah, kata penatar P4, dan kata orang besorban penjaja SMS Premium di TV.

Kopi Vietnam

Kopi hari ini: kopi ala Vietnam. Kopi ini dijerang dengan seperangkat filter yang dibuat khusus untuk memberikan rasa kopi yang konon tiada duanya. (Kopi Malang Sidomulyo juga nggak ada duanya kok — semua kopi itu unik).

Filter Kopi Vietnam seukuran cangkir kecil, mudah disimpan. Dan pemakaiannya mudah. Tapi kita harus menggunakan bubuk kopi yang tak terlalu halus. Kopi Vietnam sendiri sudah digiling dengan kekasaran yang pas untuk alat ini. Tapi kopi ala Vietnam tak harus menggunakan kopi dari Vietnam. Kita bisa giling sendiri kopi yang agak kasar. Untuk grinder miniku, aku set waktu 10 detik untuk menghasilkan kekasaran yang pas (sebagai bandingan, aku grind 15 detik untuk Bialetti-Mokka dan French-press, dan 20 detik untuk kopi tubruk).

Pertama, kita masukkan 3 sendok kecil kopi ke badan filter. Pasang spanner di atas cangkir (atau mug atau gelas), dan badan filter di atas spanner. Pasang lagi filter penutup di atas kopi, dan putar2 untuk meratakan kopi. Tanpa tekanan.

Sementara itu, siapkan air panas. Bisa dari dispenser yang berpemanas, atau dari air mendidih yang dibiarkan dingin sebentar. Sekarang, basahi kopi dengan air panas. Tuang air panas sedikit ke filter, sampai kira2 seluruh kopi terbasahi. Lebihkan sedikit di atas filter atas. Air akan terserap cepat. Biarkan. Diamkan 20 detik.

Kemudian, masukkan air panas memenuhi badan filter. Proses brewing langsung dimulai. Tutup filternya. Tunggu sekitar 5 menit. Boleh sambil menyanyi, menari, atau membaca puisi. Setelahnya, angkat spanner; dan temukan kopi hitam kental di dalam cangkir. Kopi Vietnam, yummie.

Kalau ingin membuat es kopi, kopi susu, atau es kopi susu; es dan/atau/justru susu bisa dimasukkan ke cangkir sebelum semua proses ini dilakukan. Cara ini lebih dianjurkan daripada memasukkan es dan/atau/kecuali susu setelahnya. Setelah kopi jadi … jangan buang waktu. Langsung disesap, atau disajikan. Awas, jangan berikan kopi ke anak kecil dan atau ke pinguin. Mereka bisa hiperaktif.

Hmm, nice Sunday. Ugh … ada PR bikin paper ya? Aaaaaa ….

Selangkah ke Repeater Kuantum

Fisikawan di Swiss dilaporkan berhasil membuat piranti solid-state yang dapat menyimpan posisi foton selama satu mikrodetik. Ini diyakini membuka jalan bagi terciptanya network kriptografi kuantum berbasis cahaya, yang diteorii kebal dari pembobolan. Tokoh2 di Swiss itu adalah Gisin dan rekan2nya: Afzelius, Riedmatten, Simon, dan Staudt. Yang dilakukan adalah menjebak foton dalam 100juta atom neodimium yang ditanam di kristal yttrium orthovanadat yang didinginkan pada suhu 3K. Saat sebuah foton yang telah terikat kaitan (entanglement) dipancarkan ke kristal, foton itu tersimpan 1 mikrodetik, dan foton yang dilepaskan masih memiliki kaitan.

Inovasi Gisin dkk ini diharapkan membuka jalan untuk membentuk repeater kuantum. Repeater kuantum adalah komponen yang yang penting dalam jaringan informasi berbasis kuantum. Kita tahu, keadaan (state) pada cahaya hanya bertahan pada waktu yang singkat, sebelum terjadi perubahan yang tak dapat diramalkan. Maka dalam sebuah jaringan, perlu ada perekam keadaan kuantum cahaya yang akan meregenerasikan keadaan itu pada cahaya secara berkala. Nah, repeater kuantum semacam ini belum ada. Yang baru ada adalah piranti yang bisa menyimpan keadaan sebuah foton tanpa merusak keterkaitan kuantum (entanglement).

Oh ya. Entanglement sendiri adalah sebuah kondisi berpasangan pada materi pada skala kuantum. Beberapa entry awal pada blog ini cukup sering membahas ini, serta spekulasi pemanfaatannya. Entangelement memungkinkan jika dua foton berpasangan dipisahkan, pada pengukuran pada satu foton akan juga mengetahu kondisi kuantum foton pasangannya. Namun saat ini, pada serat optik, keterkaitan ini patah pada jarak 300km. Oktober lalu, kota Wina telah memasang network informasi kuantum, dengan rentang 200km, memanfaatkan kaitan kuantum ini. Tanpa repeater, akan sulit membuat rentang yang lebih jauh. Inovasi di Swiss ini diharapkan bisa jadi pembuka jalan.

Sebelum Gisin, telah ada eksperimen lain yang telah dilakukan, dengan menyusun dasar penyimpanan memori dengan interaksi cahaya dengan materi. Namun ini mengharuskan pembekuan atom hingga mendekati nol kelvin. Tim Gisin sendiri akan meneruskan eksperimen untuk mencapai waktu 1 milidetik.

Minahasa Selatan

Ini satu tempat yang paling sempurna di muka bumi :). Lembah agropolitan tempat berbagai hasil bumi aktif diproduksi, dikelilingi bukit2 Minahasa tempat kabut tebal menyerang secara sporadik, lalu meninggalkan kita di bawah matahari ramah, atau hujan lebat, dipagari Danau Muat berliku. Ini Modoinding: satu kecamatan di Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Sulawesi Utara, yang terletak di semenanjung Minahasa, bergeografis unik: tempat ini bagian dari kerutan Lingkar Pasifik, tempat gunung dan perbukitan yang tinggi langsung bersua dengan pantai2 berkarang.

Melalui jalan darat, jarak dari Manado (1°28’N 124°50’E, ibukota provinsi Sulut) ke Amurang (1°10’N 124°35’E, ibukota kabupaten Minsel) sekitar 70km, dengan menyusur pantai laut Sulawesi di kanan dan lereng bernyiur di kiri. Dari Amurang ke Modoinding (0°46’N 124°27’E) ada jarak 70 km lagi, tetapi dengan keliukan trimatra yang kadang setara Dufan :). Keliukan ini cukup membuat sebagian manusia menyerah mengarunginya (dan sebagian lagi — termasuk aku — terkapar jauh sesudahnya). Tapi perjalanan panjang ini memberikan anugerahnya sendiri: panorama alam yang fantastik, dan inspirasi dari daerah yang tengah bangkit.

Kabupaten Minsel berdiri sekitar 5 tahun lalu. Secara cepat, ia mengembangkan diri dari industri pertanian dalam skala luas. Agropolitan, mereka menyebutnya. Performa gemilang ini membuat Minsel dimaklumkan sebagai satu dari 10 kabupaten terbaik di republik kita ini. Namun orang2 Minsel tak berhenti. Mereka kini mencoba mengembangkan bisnis pertanian mereka melalui kekuatan digital: e-Local-Government di sistem pemerintahan, dan web-promotion untuk bisnis dan awareness dunia.

Keinginan itu yang kemudian membawa tim kami menjenguk wilayah ini: Amurang & Modoinding. Tim cukup lengkap, didukung Depkominfo, ELGHD, JICA, dan Telkom. Telkom, selain dibekali PR mengembangkan infrastruktur, juga memberikan konsultansi ke masyarakat tentang web-promotion. Selain itu, CSR Telkom juga menyumbangkan komputer ke ICT learning centre di Kantor Kabupaten Minsel. Asyik melihat para pelajar SMA dan SMP menyerbu learning centre yang baru ini. Ini sesuatu yang baru dimulai; dan diharapkan akan aktif digerakkan oleh community. Jurus2 Web 2.0 harus dikerahkan :).

Foto tersimpan di Facebook, dan beberapa di antaranya terdisplay di tumblelog. Catatan lain: masakan Minahasa OK sekali. Woku ikan segar, ikan panggang, kentang, hingga klappertaart ajaib yang berbahan baku kelapa dari jutaan nyiur yang tumbuh di perbukitan, tanah datar, dan pantai di provinsi ini. Negeri yang keren :). Sayang, belum sempat jumpa blogger Manado dan sekitarnya.

Maryamah Karpov

Seperti semua entry lain di sini yang judulnya disalin dari judul buku, entry ini pun bukan berupa review buku. Ini adalah beberapa kilas kesan selama menikmati buku Maryamah Karpov: bagian keempat dari tetralogi Andrea Hirata. Dibaca secara ekstra cepat, buku ini tamat dalam hitungan jam. Dan terpaksa diulang baca, kerna blum pwas bacanya. (Salah satu efeknya adalah: aku jadi telat menulis entry blog tentang Fresh 4.0).

Judulnya, mengingatkan pada kritik Andrea pada film Indonesia: yang hanya dari judulnya saja bisa diketahui nasib para pelakunya. Justru judul yang buat aku ajaib inilah yang bikin aku mengulang baca buku ini: hey kenapa gerangan buku ini dijuduli Maryamah Karpov. Huh, Andrea memang outstanding dalam berbagai hal :).

Lalu sebuah cermin. Cermin itu tak dibuat buat kita per seorangan. Tapi tetap cermin. Bab awal langsung memaksaku ingat mendiang Papap yang selalu tampak gagah dan percaya diri di depan anak keduanya ini; apa pun yang terjadi di ujung dunia sana. Tanpa keluhan. Tanpa serangan ke siapa pun. Begitulah cara lelaki menghadapi dunia — yang sampai sekarang masih coba aku pelajari. Kapan berhasil, West? :)

Lalu di bab berikutnya, aku harus ketawa membayangkan sidang tesisku yang juga dilangsungkan di bulan Ramadhan, menjelang winter. Tak perlu tolak bala tapi. Cuman gejala mual dan pening yang sama tengah menyiksa. Syukur hari itu supervisor dan pengujiku tak seseram LaPlaggia, dan biarpun mereka chatting sendiri, tapi mereka nggak menyinggung soal sinshe. Dan alih2 mengetik algoritma, aku cuman — atas keinginan sendiri — menggambar alternatif2 konfigurasi network, dan optimalisasinya. Aku sendiri nggak tau apakah aku mahasiswa bimbingan terakhir Mr Bidgood. Tapi yang jelas itu semester terakhir dia aktif di kampus.

Selebihnya, Andrea membawaku teringat ke buku2 Herriot. Penggemar Herriot sejati dia, harus kuakui. Biarpun aku nggak pernah paham: lanun mana yang menyuruhnya mencampuradukkan kota Edensor dengan Herriot. Tapi adegan dia kedinginan di salju; pilihan kata saat dia terdesak dan justru memutuskan menemukan kesempatan; kisah tukang banyol di warung kopi; sedikit banyak membuat kita rada deja vu. Dan tentu ini: semua pilihan kata saat Andrea mendarat dari sebuah bis maha bising, turun di kampung yang sunyi — amat sangat membuat kita merasa sedang membaca detik-detik mendaratnya Herriot kita kali pertama di Darrowby. Pun hanya dari cara dia dengan elegannya membuatku teringat Herriot, Andrea sudah cukup untuk jadi penulis favoritku. Biarpun masuknya kota Edensor masih menggangguku. Kenapa sih, Ikal?

Lalu kembalinya Laskar Pelangi, tentu melegakan pembaca buku dan penonton film Laskar Pelangi. Satu demi satu tokoh ditampilkan ulang. Dan tentu Lintang, yang dicintai siapa pun, bisa menampilkan kembali kekerenan ilmiahnya yang tak setengah2. Banyak kritik soal kekerenan Lintang. Tapi buat aku, Lintang memang harus seperti itu: ia seorang Übermensch ilmu. Orang2 seperti Lintang ada! Dengan kekerenan tak kurang dari itu. Mereka harus ditampilkan. Dan sebaliknya dengan orang2 pintar macam Mahar yang sudah overexposed di Indonesia, dengan segala pseudoscience, sugesti diri, dan semacamnya. Mahar memang perlu ditampilkan, lengkap dengan Tuk Bayan Tula. Tetapi hanya sebagai lelucon, sebagaimana Andrea memaparkannya. {Aku menikmati sekali jokes daur ulang ala Tuk. Begitu baca nama Tuk, aku langsung ingat candaan antiklimaks di Laskar Pelangi, dan yakin ini terjadi lagi di Maryamah Karpov.}

A Ling? Aku juga suka akhir ceritanya yang diambangkan. Ini buku yang punya ending bagus, justru dengan pengambangan semacam itu. Ini buku tentang hidup. Hidup tidak punya happy end. Ia mengalir terus, dengan tantangan tak masuk akal terus menerus yang harus kita arungi dan hadapi.

Trus, Telkom ke mana? Haha :). Orang Telkom sering ditanyai: kok Andrea tidak pernah menulis tentang Telkom? Ini tentu harus Andrea yang menjawab. Tapi aku tidak merasa itu aneh. Ada waktunya aku juga agak menghindar menulis tentang Telkom. Di CV memang aku tulis: I work with Telkom. Tapi tidak banyak cerita tentang Telkom ditulis di blog ini misalnya. Tentu bukan karena tidak bangga pada Telkom. Sebaliknya. Justru kadang merasa bahwa Telkom yang tidak bangga atasku :). Canda :)  :).

Thanx, Andrea. Nice book. Kan kusebut nama belakangmu 7 kali malam ini, untuk barangkali bisa menggugahku pada hal yang amat jarang kupikirkan selama hidup.

Final Sebuah Lomba Blog

Tapi kita punya misi yang kita definisikan sendiri. Beberapa. Dan tak perlu peduli sangat pada tikai dan rerumit yang manusiawi belaka itu. Dengan semangat macam itu, aku menjalani sebuah 4 Desember di Bandung. Judulnya, menilai blog bertema open-source software (OSS) sebagai bagian dari OSS Week yang diselenggarakan POSS ITB. Ada 39 peserta di babak penyisihan, dengan sebagian besar memasok hingga 7 entry blog. Pekerjaan lumayan lama untuk memberi nilai satu per satu. Juri lain, dan Pak Bernhard Sitohang (Ketua POSS) mengeluhkan kualitas blog yang masuk. Tapi kita tahu: sebagian besar memang baru belajar berkomunikasi. Buat aku, ini positif (tapi …). Nilai dari juri berlompatan, sesuai sisi yang ditugaskan untuk dinilai. Dan tanggal 4 ini, para dewan juri menghadapi 5 finalis, pengumpul skor terbanyak.

Tentu ini bukan pengalaman perdana jadi juri lomba blog. Tapi mungkin baru pertama kali aku harus mewawancarai pada finalis. Ya, juara lomba blog ini diharapkan bisa jadi Duta Blog OSS, jadi kita harus yakin. Pak Bernhard bahkan mewanti2: kalau perlu, tidak perlu ada gelar juara (dengan tetap memberikan hadiah ke ranking 1-3). Memag tak ada blog yang tak retak. Tapi para juri mencoba mencari celah2 yang hilang di blog. Blog serius, kenapa serius, mau serius ke mana? Blog becanda, mau apa candaannya, dan sesemangat apa candaan itu? Dan semua memperoleh perlakuan sama: beroleh tantangan, antitesis terhadap sikap yang diberikan di blognya. Ini untuk meneruskan “tapi” di atas. Bukan hanya untuk menguji kedalaman isi blog, tetapi untuk melihat sikap para blogger masa kini terhadap kritik. Ya, semua orang bisa salah. Manusia berhak salah. Tapi semanusiawi apa saat kita mendengar kesalahan kita dipaparkan. Berfikir? Mencoba memperbaiki? Mencoba mencari sintesis? Mencoba menggali kreativitas? Atau justru merasa dijatuhkan? Menyerang balik? Hal-hal ini yang secara kuat membuat aku menilai seorang blogger. Dan membuat aku berani bilang ke Ketua POSS: Dewan Juri berani mempertanggungjawabkan hasil penjuriannya. Yang kami nilai sebagai juara adalah benar2 para juara.

Life is a Gift from God

Para Juara:

  1. Anggriawan Sugianto, seorang mahasiswa informatika yang bisa mencari solusi lengkap berbasis open source, http://anggriawan.web.id
  2. Haryo Triwardhono, seorang pelajar SMA yang gemar software multi platform, http://www.pirradoze.web.id
  3. Dani Iswara, seorang dokter yang mencoba menggunakan dan mengeksplorasi Linux, http://daniiswara.net

Bukan kesengajaan bahwa ketiga juara ini menganggap perlu memiliki domain pribadi. Tapi fenomena sadar brand, dan berani membawa personal brand itu, memang menarik buat aku. Di luar lomba, ternyata tagline sebuah blog juga enak buat dibaca. Banyak yang sok filosofis dengan mencoba memaknai hidup. Ada yang “Life is a Gift from God”, ada yang “Hidup ini seperti telur rebus, bulat, berputar, putih, dan kuning”, tapi ada juga yang semi rekursif dengan “Vivre c’est reinventer la vie” :) *hush*

Foto di antara para finalis:

Foto di antara juri:

Fresh 4.0

Ketemu 700an blogger dalam Pesta Blogger 2008 tentu menarik. Tapi sekaligus menyebalkan. Para blogger itu menarik. Aku pingin talk dengan semuanya. Tapi tentu tak mungkin. Aku jadi malah cuman lompat sana lompat sini, dan akhirnya semua talk jadi sekedar hai hai hai sebelum tergaet ke massa blogger yang lain. OK, Pesta Hai :). My fault. Well, minggu berikutnya ada Fresh 4.0, dengan peserta tak sampai sepersepuluhnya, tempat kita bisa berbincang dan becanda lebih intens :).

Fresh, freedom of sharing, adalah forum offline para pelaku bisnis dan kreasi digital di Jakarta. Fresh melakukan gathering dan diskusi setiap bulan, dengan topik yang berbeda setiap bulan, meliputi market potential, social network, education, digital publishing, digital startups, dan tema-tema lainnya. Ini adalah Fresh ketiga yang aku ikuti, kerna saat Fresh 3.0 di kantor Detikcom bulan lalu, aku sedang harus ke Bandung.

Host untuk Fresh 4.0 adalah Telkom, Divisi Regional II (Jakarta dan sekitarnya). Tempatnya di Aula Pangeran Kuningan, Grha Citra Caraka, kitaran Gatsu Jakarta, 28 November lalu. Hmm, konon Pangeran Kuningan dimakamkan di dekat sini, dan namanya diabadikan di aula ini. Juga diabadikan sebagai nama daeran Kuningan. Tapi umumnya orang Jakarta juga nggak tahu Kisah Pangeran Kuningan ini :).

Aku datang kesorean, bersama Klub Tumbar-Méré-Jahé. Aula yang luas itu sudah dibagi dua: setengah untuk ruang diskusi, setengah lagi untuk networking sambil dinner. Arrangement yang menarik dari Bu Ninong dan Bu Aas dari PR Divre II. Tugas Klub TMJ adalah melakukan quality assurance: mencobai sound system, wifi, sampai mencicipi konsumsi, sambil menari2 bollywood, seperti biasa. Tak lama, panitia mulai datang: Kukuh TW, Catur PW, Pitra SW (maksa). Setelah Maghrib, acara dimulai dengan networking sambil dinner.

Fresh memang bukan macam seminar resmi. Ini juga tempat networking. Dan buat aku, banyak kejutan2 menarik di sini. Ketemu Ahmad Sofyan dan Harry Sufehmi lagi (membuat suasana APK mirip Masjid Raya Birmingham); ketemu Rolly, Yudha, dan Diki yang mau susah2 datang dari Bandung; ketemu Pak Nukman dan Mas Satya yang lagi siap2 live interview di eLifestyle MetroTV; ketemu Boy Avianto yang baru beberapa hari sebelumnya disebut2 di ruang dekat APK (kandidat konsultan yang menarik nih); ketemu Gunawan TW dan Kukuh TW dalam event bersama di luar Klub Blogger 13430; dan puluhan lagi yang keren2 gitu (hihi); termasuk kenalan2 baru.

Abis bosan ngobrol, peserta pindah ke ruang diskusi. Resmi, wow. Catur membagi dua peserta: pihak freelancer dan pihak penyedia job. Huh, pihak penyedia service dan facilitator nggak masuk :). Di sini Oom Prama menyelamatdatangi para peserta Fresh, disambut Pak Nukman yang mereview kegiatan Fresh. Trus … kegiatan seterusnya bisa dibaca di blog Pitra, dan publikasi di Detik. Pak Herman Chang menyajikan presentasi terakhir tentang Peluang memanfaatkan layanan Google untuk mencari revenue. Bu Ninong sempat2nya menyediakan doorprize: dua buah HP Flexi, dan satu modem Speedy. Yang nggak kebagian? Masih dapat kartu Speedy Prepaid, plus kartu perdana Flexi Trendy. Acara berakhir menjelang tengah malam. Herannya, wajahnya masih pada segar ceria. Efek bandrek-bajigur, apa efek networking?

Presentasi

Je me presente, je m’appelle …,” gitu diajarkan Mbak Rossi di hari pertama aku belajar Bahasa Perancis. Huh, mempresentasikan diri :). Sesuatu yang berat buat aku; yang bahkan memperkenalkan diri pun terlalu terhambat. Sekedar menjawab, “Kamu dari mana?” pun tidak pernah merasa mudah dan nyaman. Harus cari pegangan kursi atau setidaknya ballpen, untuk mulai menyusun kata-kata.

Aku “beruntung” tumbuh di sistem pendidikan Indonesia masa lalu, yang memaksa kita berpikir cerdas dan kritis, tetapi tidak memaksa kita berkomunikasi lisan dengan baik. Tidak ada ruang diskusi yang memadai. Sebagian besar diskusi hanya ada dalam pikiran, dan hasilnya harus ditulis. “Beruntung” — karena aku merasa nyaman dengan itu :).

Tapi waktu kuliah, semua harus diubah. Ortu aku berbaik hati membayari SPP. Tapi uang saku, aku harus mulai cari sendiri. Bea siswa engineering crash program, jadi asisten di lab (duh seram), dan juga mulai mengajar. Ngajar komputer sih, di LPK. Seharusnya tak menyeramkan. Tapi ini cerita hari pertamaku. Aku berdiri di depan kelas; menarik nafas; menenangkan diri; menarik nafas lagi; terus keluar; menghadap Kabid Akademik; dan meminta beliau menggantikanku mendadak mengajar di hari pertama. Payah ya? That’s me :). Hari berikutnya, aku mulai harus berani. Dan menjadikan kegugupanku jadi bahan candaan bersama. Hey, itu menarik. “OK, rekan-rekan. Saya mulai gugup lagi. Jadi giliran rekan-rekan bersuara, bertanya, silakan.”

Presentasi di depan dosen killer lebih serem lagi. Bahkan waktu memberi tugas seminar, mata beliau sudah macam dementor gitu. Hiii. Bikin bahan seminar sih, OK aja. Tapi begitu hari H, aku menghabiskan waktu lebih lama setelah Shalat Dhuhur untuk berzikir. Eh, zikir itu lebih kuat dari apa pun. I mean it. Presentasi pun mengalir lancar. Dan berlanjut ke presentasi karya ilmiah yang lama2 jadi hobby-ku, sampai presentasi tugas akhir.

Aman? Nggak. Di luar kampus, aku masih lebih memilih tak bersuara. Survive kok :). Internet membantu kita kan? Diskusi di mail group, di forum. Kalau sempat presentasi pun, paling soal2 teknis. Sambil bawa alat bantu. Helpful banget.

Selingan sedikit waktu aku harus kabur ke Coventry. Sistem perkuliahan di sana mengharuskan kita sering presentasi. Kuliah, termasuk seminar, lalu membuat tugas individual, submit, lalu mempresentasikannya. Dosen2nya bukan hanya orang kampus, tetapi orang2 yang profesional di bidangnya. Kuliah regulasi misalnya, mengharuskan kita berpresentasi di depan petinggi OFCOM (badan regulasi komunikasi UK, sebelumnya bernama OFTEL). Ketatnya waktu membuat ketidakmampuan berkomunikasi harus dibuang sementara. “Ayolah, nggak ada waktu ngurusin soal nervous. Waktunya singkat!” Wow, membantu sekali. Alah bisa kerna terpaksa.

Pulang, aku harus bergeser profesi beberapa kali. Dari network ke IT, lalu ke product management. Di sini, situasi mulai berubah. Aku harus mulai mempresentasikan rencana produk ke rekan-rekan non teknologi. Aku pernah tulis juga di blog ini, tentang bagaimana aku harus menceritakan berbagai jenis teknologi paket data ke CSR. Aku memakai analogi untuk membantu mereka memahami. Tapi yang mungkin para CSR yang keren-keren itu belum tahu, aku juga melangkah melewati jembatan besar untuk bisa berpresentasi di depan publik melalui peran mereka sebagai pendengar yang aktif dan baik.

So, aku mulai bisa bercerita tentang network (Layer 0 sampai Layer 7), sejauh yang memang aku kuasai: NG(M)N, NGMS, IP/MPLS, lalu lompati beberapa layer di atas IP, langsung ke aplikasi. Haha, secara akademis dan historis, memang petanya kayak gitu sih. Cerita blog? Haha, itu sih buat iseng :).

Tapi sejujurnya, sampai sekarang, keharusan berpresentasi tetap bikin aku nervous :). I mean it. Itu udah bagian dari aku :).

Mengatasinya? Nggak bisa. Dilakukan aja. Bikin presentasi yang aku suka: suka merancangnya, suka menceritakannya. Lakukan presentasi tidak secara ekstrim. Sebagian rekan mempresentasikan diri, dan menjadikan Powerpoint sebagai background (I like it). Sebagian yang lain menjadikan Powerpoint sebagai presentasi, dan memposisikan diri sebagai petugas pemandu (boring!). Aku memilih jalan tengah. Kadang alur cerita dalam bentuk ide ada di cerita lisan, dan Powerpoint hanya sebagai background. Tapi kemudian kendali beralih ke rincian di Powerpoint, tempat hal2 detil harus dilihat pembaca (dan kenervousanku memperoleh waktu rehat). Rekan yang mencoba meminta salinan Powerpointku (biasanya aku berikan gratis ke siapa pun yang membutuhkan) biasanya protes: ada missing link. Ya sih. Sebagian presentasi memang bukan di file PPT, tapi di aku :).

Penutup, sedikit tentang PB2008. Pak Widi Nugroho, Boss aku, bikin aku panik dengan kirim SMS bahwa aku harus menggantikan CIO Pak Indra Utoyo di sesi Diskusi Panel di PB2008. Tapi tak lama, beliau mengirim teks, bahwa Pak Indra akan datang. Aku bebas. Tak lama juga, beliau kirim teks lagi, bahwa biarpun Pak Indra datang, tetap harus aku yang ke sesi Diskusi Panel. Duh, ternyata aku masih tidak merasa nyaman dengan ini. Beliau sih ketawa2 aja. “Di MetroTV aja berani kan, Koen?” Duh, beda atuh. Di depan cameraman rasanya lain dengan di depan 1000 blogger yang ganas-ganas. Hihi, alasan. Bukan itu sih. Alasan internal. Syukurnya, pada detik2 terakhir, peta berubah. Telkom tetap diwakili CIO kami, Pak Indra Utoyo. Thank you, Boss :).


Gb 1. Mainan laser pointer — obat gugup waktu presentasi :)

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorenUp ↑