Buku memang sering jadi bahan pembuka obrolan yang menarik. Biarpun kadang bikin serba salah juga. Gimana cerita ke pensiunan PLN tentang buku bahasa C? Gimana cerita ke orang Inggris keturunan Kenya tentang C#? Aku kadang nggak gampang menggampangkan sih. Jadi merasa punya kewajiban buat ngejawab sedapat mungkin sesuai audiencenya. Dih.
Yang aman kali bawa buku Dilbert, Calvin, Mutts. Hmmm, jadi inget Margareth, mantan ketua senat di psikologi Maranatha, yang juga ketemu di Parahyangan. Aku masih hutang janji kirim cerita tentang Dilbert via mail.
Wow, dapet temen chat yang menarik lagi di KA. Mr H. Beliau kayaknya doyan baca Internet, jadi mendingan aku nggak tulis namanya di sini.
Masuk Parahyangan, sebenernya aku lagi males berkomunikasi dengan manusia. Abis ketimpa semacam musibah, tapi nggak usah diceritain di sini :).
Jadi deh aku menghabisi waktu dengan cafe-au-lait versi Parahyangan (not recommended), dan beberapa artikel tentang Softswitch. Trus ada panggilan jiwa untuk mojok ke kamar yang paling ujung. Balik lagi, kayaknya posisi artikel kita berubah. Aku baca lagi, tapi si Mr H ngeliatin aja. Trus dia mulai nanya: «Maaf, saya ikut baca sekilas tadi. Itu bacaan elektronik atau arsitektur?»
Aku cerita sekilas tentang softswitch. Dan bagaimana teknologi ini bisa berarti banyak bagi dunia telekomunikasi Indonesia. Layanan yang lebih beragam, terdiferensiasi, dan bisa lebih murah atau lebih mahal sesuai keinginan. Dia sesekali menanggapi dan tanya-tanya.
Trus aku tanya, «Kalau bapak sendiri, bidangnya apa?»
«Saya sebenarnya di chemistry. Anak saya yang sekolah komputer. Sering ngobrol-ngobrol juga soal telekomunikasi, network, dan lain-lain.»
«Anak bapak sekolahnya di luar ya?»
Aku asal nebak aja sebenernya. Yang aku lihat sih: mahasiswa komputer Indonesia masa kini yang diobrolin nggak jauh dari database dan aplikasi- aplikasi yang masih berbau komputer. Kalau ada mahasiswa komputer cerita tentang telekom, network, handphone, dan aplikasi komputer dalam arti luas, kayaknya bukan mahasiswa Indonesia deh. Sorry yach.
«Anak saya di Sheffield. Saya juga dulu ambil chemistry di London dan di Leeds.»
Gitu deh awal ceritanya. Trus jadi cerita ke mana-mana. Cerita kehidupan dia sebagai orang asing di England, cerita kenapa dia nggak ngabur ke luar waktu terjadi tragedi 1998, cerita tentang handphone, cerita pergeseran dan pemaksaan paradigma serta budaya, cerita anak-anaknya, cerita kartun Dilbert. Etc.
Nggak kerasa kereta masuk Jatinegara. Aku turun dari kereta sambil masih ketawa sendirian. Duh, laper padahal …
Bening bener malam ini. Sejuk, dan sepi. Nggak sering kayak gini di Griya Caraka. Kayaknya si mas/mbak jangkrik di dekat jendela itu ikutan kesepian, dan jadi ikutan mengiringi sepi malam dengan kerikan panjang pendek. Krrrrr krrrrrr krrrrrr.
Suara jangkrik itu unik. Dia bisa mengisi kesunyian tanpa menghilangkan kesunyian. Mirip dengan Chopin yang selalu pas dipadu dengan hujan deras. Dia sekedar menambahkan bumbu untuk kenikmatan sunyi malam. Krrrrrrr …
Dengan suara Mr/Ms Cricket kayak gini, siapa yang perlu Beethoven malam ini?
Perlu rapat yang bertubi-tubi untuk mendebatkan soal ini, termasuk mendefinisikan arti kata misi dan berhasil.
Aku sendiri menyetel visi «menjadi warga negara yang berperan aktif dalam perdamaian dunia» dan misi «mencegah pertumpahan darah dalam acara Click-Day» — misi yang cukup relevan kalau kita melihat persiapan acara yang berbau-bau kopasgat gitu. Dan satu-satunya tujuan aku berlompatan seharian kemaren, bener-bener adalah buat mencegah terjadinya pertumpahan darah. Well, I’ll skip the detail. Pokoknya lucu :). Yang jelas, misi tercapai.
Hari ini kayaknya dunia lebih damai. Jadi aku meluangkan waktu ngabur keliling kota sebentar, trus balik sekedar ikut tepuk tangan dan salam-salaman aja. Siapa ya juaranya tadi?
Dengan mata bulatnya, dia bertanya «Kak, kalau selesai milih jawaban, yang ditekan ‘lanjut’ apa ‘kirim’?»
Seneng juga jadi kakak :), apalagi sama anak yang umurnya kira-kira sepertiganya aku :) :). Klik-klik-klik. Satu-satu pertanyaan dia lahap. Begitu masuk soal matematik, spidol birunya beraksi di kertas buram, cret-cret-cret … klik-klik.
Apa aja sih pertanyaannya? Selain matematika, ada IPA, IPS, sampai hal-hal yang konon berbau infokom: PDA, satelit, parabola, penemu radio, web, dan semacamnya. Dan makhluk-makhluk mungil yang masihpakai rok atau celana merah tua itu melahap sigap tanpa ragu.
Memang itu dunia mereka, kayaknya. Mudah-mudahan. Aku lebih seneng mereka buang-buang uang buat beli segala piranti lucu dengan mikroprosesor berperformansi tinggi, daripada beli bensin buat menambah polusi kota Bandung.
Aku lagi kerja di GOR Pajajaran. Kemarin nemenin anak-anak SD, nanti siang remaja-remaja SLTP, dan besok pemuda-pemudi SMU. Acaranya judulnya TELKOMNet Click Day. Acaranya memang nggak sepenuhnya di depan komputer. Ada juga lomba jingle, basket, lomba mengarang (lisan). Lomba mengarang menarik bener — ngeliat makhluk-makhluk mungil itu dengan spontan harus bikin ulasan tentang satelit, televisi, parabola, mouse, dll.
And thanks untuk Luke sebagai MC, aku boleh mewakili TELKOM memberikan hadiah buat pengarang-pengarang cilik kita.
And congratulations untuk SD Assalaam, yang jadi juara umum hari ini.
Aku bukan lagi mikirin Scott Adams dan Dilbert yang selalu sinis sama kata-kata yang dipakai dalam visi dan misi perusahaan Amerika dan perusahaan yang menjiplak style perusahaan Amerika. Bukan. Aku lagi mikirin tema lain.
Katakan kita punya perusahaan telekomunikasi, didirikan tahun 1990. Apa kira-kira misi kita? Nggak mungkin cuma pasang telepon. Waktu itu belum musim kata konvergensi dan infokom. Tapi setidaknya kita sudah menyebut “integrasi suara dan data”. Kira-kira kayak gitu lah misinya. Apa teknologi yang siap buat tahun itu? Internet cuman ada di kampus-kampus dan lembaga penelitian. ATM belum dirumuskan. SDH ada. ISDN ada. OK, kayaknya yang dibangun jadi ISDN.
Terus orang menuntut telekomunikasi broadband. ITU-T merumuskan broadband ISDN. Tapi bentuknya sel-sel ATM, bukan TDM kayak ISDN. Itu pun nggak jalan. Broadband network ternyata dibentuk oleh Internet, oleh suite protokol-protokol IP. Dan ongkos upgrade dari POTS ke broadband IP nggak jauh beda dari upgrade ISDN ke broadband IP. Jangan lupa, kita harus membayangkan lingkungan multi operator.
Tapi kesalahan akibat visi nggak cuma menimpa industri. Aku ngebayangin bahwa dulu Einstein punya kesalahan yang sama. Dia yakin bener bahwa seluruh materi dan energi itu adalah satu tipe yang sedang dalam bentuk berbeda. Dia kerja keras mencari bentuk tunggal itu. Akibatnya dia menolak mekanika kuantum, dan sibuk mencari satu hal itu. Sebenernya dia nggak produktif lagi, gara-gara memaksakan diri mencari sesuatu yang belum mungkin ditemukan pada masanya. Baru setelah mekanika kuantum dirumuskan dalam QED, dan baru setelah banyak partikel-partikel subatomik lain ditemukan, orang bisa mulai memetakan bentuk energi tunggal. Dan Abdussalam membuktikannya di tahun 1970-an dengan merumuskan ketunggalan energi nuklir lemah dan elektromagnetik, sekitar 20 tahun setelah Einstein wafat. Tak lama banyak ilmuwan merumuskan ketunggalan energi itu dengan energi nuklir kuat. Tinggal gravitasi yang masih diduga-duga tapi belum selesai dirumuskan.
Visi dan misi yang terumuskan, secara tak langsung bisa mendorong kita mengikuti jalan-jalan pintas yang beracun. Bisa. Bisa tidak memang. Aku nggak melakukan generalisasi.
Sekian tahun abis insiden Yogya, dan beberapa bulan abis tragedi sosial di Jakarta, sekali lagi aku punya harapan yang terkabul mendadak. Travelling sore-sore dari Bandung ke Jakarta, bulan Ramadhan. Parahyangan kayaknya, soalnya jam segitu Argogede pasti lagi dalam perjalanan berlawanan arah. Aku beli Chicken Katsu untuk buka puasa, duduk di seat, terus mulai bikin skenario lagi: kayaknya enak kalau orang di sebelahku itu orang Cina. Orang Indonesia keturunan Cina maksudnya. Biar bisa saling curhat tentang tragedi Jakarta yang sampai saat itu masih kerasaaa sekali. Biar bisa curhat bebas, enaknya orang itu bener-bener punya kesan mendalam (dalam arti negatif, tentu) tentang tragedi itu. Dendam kalau perlu. Garang juga oke. Harus cowok, soalnya cewek nggak terlalu bisa aku ajak talk bebas.
Trus nggak lama duduk lelaki tua. Keturunan Cina sih, tapi terlalu tua untuk bisa garang. Aku senyum aja: he-he, meleset dikit.
Nunggu … terus aku mulai basa-basi: “Duduk di sini, Pak?”
Dia senyum juga, “Di belakang. Tapi lagi diduduki tentara.”
Waktu itu setiap pintu gerbong dijaga dua tentara, dan mereka lagi istirahat. Aku berdiri, ngobrol sama si tentara, ngasih tau kalau yang punya seat udah ada. Mereka berdiri, dan nerusin ngobrol sebentar, sementara si bapak itu pindah.
Balik ke seat, bareng sama cowok keturunan Cina lagi, seumuran aku lah. Dan dia cuek duduk di sebelahku. Aku senyum lagi: yang ini rada pas kali. Ngobrolnya dari mana ya? Tau nggak dari mana? Aku komentarin HP-nya dia (Ericsson G688). Terus kita ngebahas HP. Terus tempat beli HP. Terus pertokoan yang dibakarin. Cepet kan?
Aku nggak akan nulis namanya di sini :). Dia tipikal temen bicara yang waktu itu aku harapin: cerdas, masih menyimpan luka dan dendam sama tragedi Jakarta, dan menyalahkan warga pribumi khususnya orang Islam dalam peristiwa itu. Aku cerita juga bahwa Islam tidak mentolerir kekerasan, apalagi ke warga sipil dan rumah-rumah ibadah. Dalam Quran, perang diperbolehkan justru untuk melindungi masjid, gereja, dan sinagog. Kalaupun terjadi perang, level kekerasan di dalamnya juga dibatasi: dilarang merusak rumah warga, dilarang merusak fasilitas umum, dilarang mengganggu orang yang tidak melawan, dll.
Diskusinya lama. Dan kayaknya nggak bakal muat masuk ke weblog. Kali aku bakal nulis cerita khusus soal diskusi ini. Nggak janji tapi.
Ujungnya, kita bisa saling ngerti. Trus jeda. Dia minum. Nyuruh aku berhenti puasa. “Nggak ada yang tahu kok” — katanya. Bales-balesan cela-celaan lah. Aku baca koran (punya dia kayaknya). Terus pramugari mengumumkan waktu maghrib dan membagikan makanan buat yang pesen. Makan bareng. Aku yang pakai chopstick tapi — Hoka-Hoka sih.
Ngobrol lagi. Dia cerita lagi belajar Bahasa Mandarin. Tuh kan. Tadinya aku pikir semua orang Cina yang masih berbudaya Cina bisa bahasa Mandarin. Ternyata dia di rumah berbahasa Taiwan. Dia ngasih tahu beberapa contoh. Aku tanya: tapi kan huruf kanjinya sama. Ada perbedaan, katanya. Soalnya ada modernisasi huruf kanji di RRC. Dia ngasih contoh. Tapi dia rada kaget waktu tahu bahwa aku bisa beberapa huruf kanji. Hobby di SMA, haha :).
Ngobrol lagi soal pekerjaan. Dia ngabur ke AS abis tragedi Jakarta. Jadi kasir, tapi gajinya lebih gede daripada waktu jadi manajer di Jakarta. Terus nanya kenapa tarif SLI dari AS ke RRC lebih murah daripada dari AS ke Indonesia. Aku cerita dikit tentang struktur network dan pembundelannya. Trus dia pamerin kartu telepon calling card berhuruf kanji, khusus untuk koneksi dari AS ke RRC. Sebagai kolektor yang baik, aku minta kartunya :). Abis tarik-tarikan, dia kasih salah satu kartunya.
Sampai Jatinegara, aku pusing berat — belum istirahat. Tapi puas bisa saling curhat dengan orang yang tepat. “Sampai ketemu ya”, gitu basa-basi kami. Nggak pernah ketemu lagi sih sampai sekarang. Tapi kartu telepon-nya masih ada.
LKTI dimulai gara-gara Ziggyt pingin bikin prototip kegiatan untuk workshop elektroteknik yang waktu itu baru kita bikin di Unibraw. Kita ikut LKIP (lomba karya inovatif produktif), memanfaatkan hobby main-main interface dan programming pakai bahasa C. Sebenernya di tingkat FT kita udah menang sih, dan dimodalin untuk terus. Tapi kita keasyikan bereksperimen yang nggak-nggak. Jadi prototipenya nggak pernah jadi. Trus sama dekan disarankan diubah jadi LKTI, dan diajukan ke Univ. Jadi deh.
Aku masih inget bener waktu kita harus presentasi. Ziggyt lagi ke Bandung kayaknya waktu itu. Jadi aku sama Hakim aja yang maju. Kuota waktu 15 menit. Sebagai politisi, Hakim memulai dengan kata pengantar. Dan sebagai politisi yang baik, dia menghabiskan 11 menit untuk pembukaan, dan 30 detik untuk mengestafet pembicaraan ke aku. Aku cuman punya 3,5 menit untuk membahas seluruh aspek teknis: platform, hardware, program, dari keseluruhan sistem. Dan aku berhasil menyelesaikan tepat tiga setengah menit. Kalau kita baca blog ini, kita tahu kenapa aku bisa :). Tapi apa audiens ngerti? Kita tahu jawabannya kayaknya :).
Lumayan juga, masih masuk 3 besar. Tapi itu proyek ilmiah terakhir dengan Hakim. Abis itu aku kerja praktek dan bikin skripsi bareng Ziggyt.
Dan aku masih bangga punya temen politikus sekelas Hakim :).
Sering nggak sih, punya harapan (atau doa kali ya) yang langsung terjadi? Kayak waktu aku ngajak Ziggyt berdoa di KA itu — tapi nggak harus sehebat itu, biarpun boleh selucu itu.
Cerita di KA aja ah, bentar.
Ini cerita zaman di Yogya. Aku masih sering balik ke Bandung (istilah yang nggak bener-bener amat, soalnya aku waktu itu resminya warga kota Malang). Biasanya naik kereta entah apa namanya itu, zweite klasse, berangkat sekitar 9.30.
Di salah satu sesi kereta itu, waktu baru masuk ke kereta, aku mikir rada aneh: sesekali temen duduknya cewek kek, daripada bapak-bapak lagi bapak-bapak lagi. Mahasiswi gitu, biar rada bervariasi. Duduk. Trus aku sempat bikin kriteria: enaknya sih mahasiswi yang doyan
ngobrol, tapi rada-rada berselera ilmiah (gile nggak sih). Nah, pas gitu, dateng deh cewek beneran, pakai jaket putih. Naruh tas di kursi di sebelah aku, terus jalan balik. Sekilas aku intip kertas yang menyembul di luar tas: LKTI (lomba karya tulis ilmiah). Nah lo, kok bisa sih?
Trus aku baru inget bahwa aku orangnya susah mulai pembicaraan. Ha-ha :). Mudah-mudahan aja dia yang ngajak ngobrol duluan.
Trus balik deh si mahasiswi ilmiah itu. Dan … biar lebih lucu … beneran dia yang mulai pembicaraan.
Katanya: «Mas, saya baru ketemu temen. Boleh tukeran tempat duduk nggak?»
Well … saat itu terbukti Hk Kuncoro nomor VIII: Jangan pernah merancang skenario — kalau skenario itu terjadi tepat seperti rancangan kita, hasilnya tidak akan sama dengan bayangan kita.
OK, aku pindah. Nggak jauh, cuman sekitar 4 kursi. Dan dari situ, masih kedengeran dua mahasiswi itu asyik bener ngobrol semaleman. Seat di sebelahku kosong. Bisa berbaring, sambil ngebayangin zaman bikin LKTI bareng Hakim dan Ziggyt.
Minggu ini jadi penghuni Gegerkalong. Kapan ya terakhir aku nulis nama ini di sini? Gegerkalong, di pojok utara Bandung, adalah tempat yang hawanya masih menyisakan rasa Bandung masa lalu: sejuk, juga di tengah hari.
Di Gerlong yang berhawa segar ini aku lagi ikut training lagi. Cihuy. Abis masa puncak penjajahan Ariawest, kayaknya baru sekali aku beneran dapet training di sini. Judulnya CDMA Network Planning.