Author: koen (Page 13 of 123)

Lima Tahun Soeharti Longsor

Lima tahun yang lalu, Soeharto longsor: jatuh terhina. Apa sih yang kita rasakan waktu sang jendral pringisan itu membacakan pidato pengunduran diri? Rasa haru? Rasa lega? Aku yakin, waktu itu yang ada adalah rasa tidak percaya. Tidak percaya bahwa si boss banyak akal itu sebegitu mudahnya menyerah kepada tuntutan rakyat.

Tapi entah akibat tuntutan rakyat, atau IMF, atau pemerintah US, atau penasehat spiritual plus tuyulnya, ternyata si boss memang longsor. Gubrak, begitulah. Dan rasa tidak percaya mulai berubah jadi rasa lega.

Dan perasaan yang sukar dilukiskan. Perasaan punya negara. Lucu ya? Bertahun-tahun, rasanya kita hidup di negara punya orang lain — dibodohi terang-terangan setiap hati, dipaksa jadi tamu di tanah air sendiri. Lucu dan menarik punya perasaan bahwa hari ini tanah air kita adalah benar tanah air kita. Dan rasa eksotik melihat bendera-bendera aneh berkibar: Masyumi, Murba — eks partai-partai terlarang.

Aceh Kenapa?

Aceh. Kenapa sih harus kayak gitu?

Kenapa sih, abis kita ikut mengutuki US yang memilih jalan kekerasan kepada pemerintah Iraq (yang memang zalim) dan membunuhi warga sipil, terus kita justru melakukan hal yang sama di Aceh?

Dan warga Indonesia jadi mirip warga US yang mendukung pemerintahnya apa adanya.

Dan media-media Indonesia jadi mirip CNN dan Fox yang menyiarkan berita dan data hanya yang bersumber dari Kodam.

Lalu di mana hati kita untuk rakyat sipil, i.e. saudara sebangsa kita, yang terbunuh? Atau yang ditugasi untuk membunuh?

Innuendo

«Release your mask!» teriak Freddy Mercury (Innuendo). Sedemikian menjejasnya gerigi kehidupan, sampai orang menghalusinasikan topeng besar nun di atas sana. Sesuatu yang besar namun tersembunyi, jauh tapi mengatur segalanya dengan ketat, tanpa ragu, tanpa ampun.

Bahkan bagi kita yang tidak menghalusinasikannya sebagai topeng, kadang takdir, dan seluruh formulasi alam semesta ini, terasa terlalu lucu.

Tersesatkah kalau kita akhirnya justru melihat ketidakseriusan penataan semesta? Semuanya ringan, lucu, dan serba penuh permainan.

Apa yang dinyanyikan Mercury kalau kita melihat semesta kayak aku lagi melihat semesta saat ini?

«It’s a kind of magic» ?

Webhosting Lokal

Rekan-rekan muda kita para pengusaha webhosting kayaknya memang perlu belajar lebih banyak tentang customer care. Bukan berarti mereka masih bloon, bukan. Sebaliknya, mereka
justru termasuk otak-otak jenius, para hacker kelas 37337, dan ditakuti di seluruh penjuru jagad maya — setidaknya demikian yang dikoar-koarkan di mana-mana.

Contoh yang menarik adalah webhosting NC, tempat aku menempatkan komunikasi.org. Ngasih paket murah sih, dengan fasilitas bagus-bagus: server dengan link kecepatan tinggi, mail yang besar, SMTP, 5 mail list. Abis satu tahun, harga direschedule, jadi aku harus bayar dua
kali lipat, dengan fasilitas yang dikurangi: mail list tinggal 2, dan interfacenya jadi aneh. Nggak lama, SMTP dimatiin, tanpa pemberitahuan. Dan abis itu, mail list yang sedang aktif dimatiin
juga, tanpa pemberitahuan.

Mau pindah? Emang ada yang lebih baik? Maksudku dalam hal customer care. Kalau soal teknis sih … memang kesalahan teknis harus dianggap biasa terjadi, dan nggak perlu dianggap gangguan serius. Dan aku termasuk kagum dengan NC yang bisa menangani kekacauan teknis dengan cepat dan elegant. Nggak terlalu rapi sih memang. Tapi lumayan lah.

Site kuncoro.com tadinya dipasang di MWN, yang konon dikelola hacker juga. Tapi akses ke sana melambat secara konsisten, trus suatu hari dimatiin. Kenapa? Account dimatiin otomatis pada hari H berakhirnya kontrak. Heh, emangnya kita hafal tanggal kontrak kita mati? Nggak
pakai pemberitahuan. Udah gitu, dia malah menganggap aku nunggak 3 bulan pula. Aku minta database dia diberesin, dan sementara itu akses web dan mail dibuka dulu. Tapi mereka keberatan membuka akses mail. Well, aku nggak pingin yang kayak gini sering terulang. Jadi aku lariin domain kuncoro.com ke tempat lain, dipakai buat forwarder aja ke kun.co.ro.

Anak-anak muda itu suka memaki-maki perusahaan besar yang established, karena nggak pernah bisa memuaskan para customernya. Well, setidaknya mereka kacau karena punya pelanggan banyak. Masa sih, punya pelanggan beberapa ribu aja udah nggak mampu mengelola proses billing atau kapasitas server?

Banyak belajar, termasuk belajar rendah hati …

StrUpr

Enak kok kalau bisa bahasa C. Banyak bahasa lain yang diturunkan dari C, termasuk C++, Java, Perl, PHP, dan masih banyak lagi. Kita tinggal perlu belajar dikit tentang perbedaan sintaks yang minor itu, trus jadilah kita programmer di bahasa-bahasa itu. Gitu katanya. Naif yach?

Sintaks C memang sering diculik untuk menyusun bahasa baru, soalnya sifatnya yang manusiawi dan komputerwi sekaligus, dan soalnya bahasa ini merupakan bahasa yang paling banyak dipakai oleh developer profesional untuk menyusun program-program dan proses-proses di seluruh dunia (compared to keluarga Basic dan Pascal yang banyak dipakai end user untuk aplikasi personal). Jadi diharapkan learning curve untuk ke bahasa-bahasa baru itu nggak terlalu lebar, maunya. Tapi, tentu, bahasa-bahasa itu bukan sekedar C yang dipoles ulang. Ada perbedaan paradigma, yang menuansa atau menjurang, yang mengharuskan membentuk sebuah bahasa baru, dan gap ini kemudian berkembang ke arah-arah yang kadang tak teramalkan, dan membentuk jurang besar dengan para pendahulunya.

Seandainya pun bahasa-bahasa itu nggak terpisah, kita punya masalah lucu lain: para pencipta bahasa-bahasa baru punya selera yang berbeda dalam menamai fungsi-fungsi (atau pada oop: metode-metode). Nama fungsi memang bukan termasuk standar bahasa C, dan orang-orang tidak pernah merasa berdosa menamai fungsi-fungsi as delicious as their belly buttons (seenak udelnya sendiri).

Misalnya, dalam bahasa C, kita biasa mengubah semua huruf dalam sebuah teks menjadi huruf besar dengan fungsi strupr. Ini misalnya lho — aku sendiri punya fungsi lain yang aku definisikan sendiri. Trus kita bikin script PHP. Pakai tuh strupr, dan oops … kok jadi lain? Yup. Di PHP, fungsinya berubah nama jadi strtoupper. Dan ini nama fungsi-fungsi yang sama di bahasa yang konon keturunan C, atau sering dipakai bersama program keturunan C:

  • C: strupr(text)
  • awk: toupper(text)
  • PHP: strtoupper(text)
  • JavaScript: text.toUpperCase
  • Perl: uc(text)
  • STL: toupper(text)
  • VCL (Borland, untuk char*): StrUpper(text)
  • VCL (Borland, untuk ansi-string): UpperCase(text)

Yang bukan keturunan C, tapi sering dipakai bersama keturunan C:

  • Ruby (bukan keturunan C): text.upcase
  • PL/SQL: upper(text)
  • MySQL: ucase(text)

Nggak heran, aku beneran harus koleksi pocket reference books #^@(!#^(*!@^#*(!@^#*(!@.

Kenangan Asal

Memori suka lari ngasal ke mana aja yang dia suka.

Aku lagi menghitung dengan π. Itu pi, kita tahu. Tapi aku inget ada yang maksa nulis sebagai phi. Biar nggak ketauan kampring kali, dikerenin dikit, tapi malah jadi salah. Dan kampring.

Trus keinget siapa orangnya: guru kelas dua SMP, di SMP tiga Malang. Kebayang mukanya. Trus kepalanya yang rada botak. Trus suasana di kelas IIB yang sejuk dan cenderung dingin dengan sinar matahari tipis. Aku malah bisa membayangkan tepat, gimana Pak Guru itu menulis phi di papan tulis, lalu mengajarkan cara mengucapkannya, seolah anak kelas dua SMP belum pernah mendengar simbol π sebelumnya. Trus kebaca buku matematika coklat. Buku tulisku. Dan tercium bau kertas buku tulisku. Dan abis tercium baunya, baru aku inget nama Pak Guru itu.

Kenapa sih, kenangan yang nggak diharapkan malah tersimpan rapi?

Kartu Hotel

Banyak kegiatan yang dimulai tanpa sengaja dan tanpa perencanaan. Ini salah satunya: koleksi kartu akses hotel. Kurang kerjaan beneran gitu, koleksi kartu ginian? Iya sih, kalau diseriusin.

Ceritanya cuman bahwa aku males balikin kartu hotel di Ibis Montmartre sekian tahun lalu. Padahal pesan untuk balikin kartu itu udah ditulis dalam dua bahasa di halaman depan kartu. Cuek aja — emang mau dimasukin black list. Tapi di rumah, rasanya kasihan juga ngeliat kartu itu sendirian (nggak persis gitu sih, tapi pura-puranya gitu lah). Jadi aku tembak temen yang baru balik dari Zurich buat menyerahkan kartu hotelnya. Eh, ternyata baik hati dia. Nggak lama, praktek tak terpuji itu aku ulangi buat boss yang pulang dari Australia (biarpun aku belum pernah tahu di mana letak negara yang satu ini).

Trus? Ya udah … jadi banyak … tapi nggak pernah diakui sebagai kegiatan koleksi secara resmi. Cuman kegiatan nodongin kenalan-kenalan aja :).

Ada yang mau menyerahkan kartu akses hotelnya secara sukarela? Kontak ya.

QB

Kunjungan berikutnya, ke QB World, PI. Bener-bener refreshing, bersantai di dua lantai penuh buku-buku menarik. Err, nggak semua menarik sih. Banyak yang generik aja. Tapi sedikit yang menarik itu udah lebih dari cukup buat menghabiskan sore.

Beli buku apa?

Kapan-kapan aja deh dibahas.

IITELMIT

IITELMIT, Senayan, Jakarta. Tapi ini IITELMIT paling alit, pelit, dan amit-amit yang aku pernah visit. Size ruangannya sekitar sepertiga IITELMIT tahun kemaren, padahal yang tahun kemaren juga cuma sepertiganya tahun 2000. Asli amit-amit, soalnya size sekecil itu isinya bukan semuanya soal infokom. Ada yang pamer majalah komputer, koran, teh (!), dan sederetan booth punya panitia.

Kayak biasa, Telkom dan Indosat bersaing dengan amit-amit di pintu masuk. Di sebelahnya berjajar Siemens dan Ericsson, memamerkan teknologi yang nggak baru-baru amat. Sisanya booth kecil-kecil. Nah lo, di mana Alcatel? Lucent? Huawei? Ini pameran infokom apa pameran boikot? Apa akibat SARS dan Bali Bomber? Mungkin aja — nyaris nggak ada orang non-Indonesia berjaga di booth ini.

Tapi aku udah telanjur dateng. Ya udah deh, ambil aja apa yang ada. Ada NMS dari Alott, ada Schlumberger, ada HP-HP yang bisa dipakai buat TELKOM-Flexi / CDMA, ada pintu keluar, ada pameran Ritech di sebelahnya (nggak seru juga kok).

Nyesel? Nggak. Hari ini ada lima kegiatan lain selain IITELMIT. Nggak buang-buang waktu kok.

« Older posts Newer posts »

© 2025 Kuncoro++

Theme by Anders NorĂ©nUp ↑