“Nah ini dia Mas Koen. Jadi gimana nih blog menghadapi serangan Twitter dan Facebook?” Itu kalimat pertama dari Mas Ferly waktu aku datang ke Green Room of MetroTV. Dan dengan segera, tema awal “Tips dan Trik Membuat Blog” di e-Lifestyle itu ditambahi tagline “Blogger Strikes Back” :). Blog bukan saja masih relevan melewati satu dekade usianya, tetapi justru membentuk sinergi kuat dengan social media lainnya. Blog masih jadi alat ampuh bagi personal branding, professional networking, dan business. Tokoh Puti Karina Puar ditampilkan sebagai generasi yang tumbuh dalam arus social media itu. ABG labil versi online, yang justru tampil elegan, educated-syle, tidak harus alay mengikuti arus.

Tahun 2010 ini aku seharusnya memperingati 1 dekade blogging. Lupa tanggal awalnya, karena versi awal blogku – yang dibuat dengan script PHP sederhana itu – dihapus saat blog berpindah ke Blogger pada Juli 2000. Aku menulis blog karena sebuah passion yang mengganggu, yang tak bisa dihapus oleh kesibukan yang luar biasa, yang tak bisa dienyahkan oleh larinya para blogger ke social media yang lebih centil semacam Facebook atau Twitter. Passion ini menyuruhku membuat mini blog di koen.su kalau aku hanya mampu menulis satu dua kalimat dengan HP, atau di sebuah buku kecil kalau aku benar2 tak bisa menulis di atas benda digital. Juga ia menyuruhku menyebarkan virus blog ini, baik sebagai personal, sebagai bagian dari komunitas blogger, maupun sebagai employee di Telkom (via Santri Indigo dan kegiatan2 lain).

Berlawanan dengan pendapat umum, sebenarnya blog tak lebih sulit dari Facebook atau Twitter. Di WordPress.com, kita bisa membuat account dalam waktu 5 menit, mengetikkan teks di editor yang mirip miniatur Word, menekan tombol Publish, dan langsung menjadi editor kelas dunia: tulisan kita terbaca oleh dunia, terpantau oleh Google. Barulah kemudian para blogger baru diajak penasaran dengan dunia online lainnya: mereka bisa upload foto dan video, memasang karya digital, mengkompetisikan dan menjual hasil karya, dan mengangkat personal uniqueness mereka. Dengan kesempatan pengembangan yang luas itu, program semacam Indigo menganggap kegiatan2 blogging sebagai hal yang menarik untuk dikembangkan. Twitter tak perlu mematikan blog. Ia bisa jadi ruang perbincangan yang lebih dinamis atas tema yang dikaji di blog, dan dalam level tertentu memiliki daya tarik ke blog melebihi feed blog kita.

Kita masih memerlukan banyak blog, terutama yang bersifat tematis, untuk memperkaya diskusi cerdas yang independen. Saat media tampil makin jorok memihak penguasa atau pemilik modal, blog bisa jadi pembanding yang secara tajam dan dalam memberikan wacana pembanding. Publik juga masih haus akan tema2 spesifik: pariwisata, pendidikan, aplikasi mobile, kuliner, lifestyle, hobby, film, buku, musik; yang disoroti dari sisi developer, user, appreciator, dll. Informasi publik di negeri kita masih jauh dari terpenuhi. Blog masih harus hidup, dan masih akan hidup.