Masih Mei, tapi minggu yang baru berlalu boleh dinamai minggu 24/7. Perjalanan, koordinasi, presentasi, dan persiapan presentasinya: Jakarta, Bandung, Jakarta, Yogya, Jakarta; 24 jam selama 7 hari. Tamu di kantor pun harus ditundai. Blog dilupakan dulu. Baru sekarang aku punya waktu untuk blogging.
Beterbangan (mmm) melintasi negeri dengan pesawat komersial; aku kadang masih ingat waktu2 aku sering menumpang pesawat TNI-AU. Hercules, Cassa, dll. Jalur umum: Malang ke Bandung, atau Malang ke Jakarta.
Hampir seluruh penerbangan mengambil waktu pagi, sekitar jam 6 atau 7. Selalu ditimbang dulu badan penumpang setiap akan naik pesawat. Aku selalu pakai ransel setiap ditimbang: biar berat badan mendekati 50kg. Malu kan kalau terlalu ringan :).
Mesin menderu kencang memekakkan setiap pesawat siap take off. Tetapi — pun saat take off — di dalam anak2 kecil masih berlarian. Dan air crew masih berdiri di dekat pintu belakang, dengan rokok terus menyala. ‘Kursi’-nya berupa kursi gantung; dan kami berpegangan saat kursi itu mengayun.
Jalur penerbangan pun bisa tentatif. Kadang aku cuman diinformasii bahwa paginya ada flight. Aku bisa lupa, ini flight ke Jakarta atau Bandung. Peduli ah, pokoknya berangkat dulu :). Tapi, jalurnya bisa lebih bervariasi. Pernah, penerbangan dari Malang ke Bandung mengambil jalur: Malang – Surabaya – Madiun – Makassar – Jakarta, dan terlalu malam untuk meneruskan ke Bandung.
Tapi pendaratan di Bandung memang paling menarik. Landasannya pendek, sampai sekarang. Pesawat menderu keras saat dia harus mengurangi kecepatan di jalur pendek itu. Dan kadang pesawat bisa memantul: turun, menyentuh landasan, memantul, naik lagi, turun, menyentuh landasan lagi. Asik sih.
Pernah membayangkan flight mirip angkot? Hmmm :). Ceritanya, pesawat dari Malang itu seharusnya bertujuan ke Bandung. Tetapi ada instruksi untuk mendarat di Jakarta. Masalahnya, ada beberapa personal yang benar2 harus ke Bandung segera. Jadi tampaknya mereka memutuskan untuk …. mmm. Begitulah. Di atas Bandung, kami dimaklumati: “Yang turun Bandung, ke depan!” Wow, aku di belakang, dan jalur jalan penuh barang. Jadi harus berjalan semi-melompat, saat pesawat turun dan landing. Tiga orang sudah turun. Aku teriak: “Bandung Pak!” dan crew di pintu teriak ke ruang pilot: “Tunggu, satu lagi!” Aku bergegas ke pintu. Pesawat sudah mulai bergerak lagi waktu aku melompat ke luar. Mau lari ke tepi landasan, dari samping terdengar teriakan: “Tiarap dulu! Awas baling-baling!” Aku tiarap, sampai pesawat melewati, dan pergi ke jalur pacu lagi. Berdiri, aku jalan ke samping, dan tak melihat satu petugas pun — mereka sudah kembali ke ruang. Sampai jalan ke luar, tak ada petugas tampak di mata, termasuk tiga penumpang yang tadi turun sebelum aku. Sampai aku keluar bandara, dan jalan ke tempat angkot di Andir.
Dan kenangan2 semacam itu bikin aku terhenyak mendengar jatuhnya Hercules tanggal 20 Mei kemarin, menewaskan sekitar 100 manusia. Dukaku untuk Keluarga TNI-AU.
jadi inget cerita mas kun di IBCC…
*sudah lama tidak berkumpul*
Kapan donk mau biki Kopdar “Batagor-exile” ?
Yg mas Koen alami selama naik Hercules itu hanya kecelakaan yang tertunda… Tapi yah, namanya juga tentara.
Menurut survei Kompas, yang dibanggakan rakyat negeri ini ternyata adalah (1) budaya (2) tentara. Tentara, tumbal negeri. Dan ‘takut mati’ adalah kecelakaan yang lebih besar daripada kematian itu sendiri (yang niscaya).
wah sempat punya pengalaman seperti itu ya mas? seru sekali
Hmmm, juga ingat penerbanganku dg Hercules belasan tahun lalu. Rute Denpasar-Dili-Baucau-Kupang. Serem, soalnya pesawatnya juga ngangkut pasukan dan amunisi ke Timor Timur yg saat itu masih bergolak. Habis itu kapok naik Hercules :).
Duka untuk para korban dan keluarga yg ditinggalkan.
Jadi, terus naik Fokker? Hihi :). Fokker malah serem, terbangnya rendah selalu. Btw, Dili kayak apa sih dari atas?
Fokker 28 terbangnya masih bisa sampai 28.000 feet koq. Cuma 6.000 feet lebih rendah dari kelas Boeing 737. Cuma kabinnya lebih berisik. Dili dari atas, mmm, gak terlalu memperhatikan sih (tahu kan, di Hercules gak banyak jendela), tapi setidaknya masih jauh lebih hijau daripada kupang (kalau yg ini mah dari udara kelihatan coklat aja, kering kerontang).
hore..Mas Koen ngeblog lagi…
Salam Mas…Ntar ikut ah naik herculesnya
Jangan2 setelah insiden ini, kita warga sipil (incl keluarga militer) tak diperkenankan lagi ikut beterbangan di Hercules.
memang pengalaman yg tdk terlupakan ya, di maskapai mana lagi kita bisa denger suara ayam berkokok waktu mau take-off … hehehehe
dulu waktu jaman kuliah, sering numpang hercules jkt-mlg. tapi emang sih, sensasi naek hercules “terasa lebih aman” dibandingin naek foker atau casa, soalnya baling2nya ada 4 dan waktu membelah angkasa gak terlalu “goyang” ditiup angin. sayangnya karna ini pesawat militer, banyak insiden kecil yg tdk sampai terekspos ke publik.
Wah, kalaw ayam berkokok mah Kereta Api Bandung-Yogya. Gara2 itu aku namatin buku Stephen Hawking 2 kali dalam 7 jam — biar melupakan si ayam :). Tapi itu belasan tahun lalu sih. Sekarang … entah. Mungkin kambing atau kerbau :)
dulu waktu masih kuliah, naik hercules malang-jkt, bareng sama korban perang dari papua, sebagian ada yang kena tembak, bareng juga dengan berbagai macam hewan peliharaan salah satunya ya ayam itu.
terbang bersama hercules memiliki sensasi yang tidak akan pernah dimiliki ketika terbang bersama maskapai komersial lainnya. Beruntung aku pernah mengalami terbang bersama hercules :)
Pasti seru. Blog donk.
Awalnya pas aku baca paragraf “flight mirip angkot” aku membayangkan tiap penumpang yang turun di bandung dibekali dengan parasut.
After reading this piece, perasaanku jadi campur aduk miris tapi pengen ketawa.
Btw, waktu itu ranselnya Mas Koen beratnya berapa kilo ? ;)
Koen + ransel berat < 50kg. Aku masih gagal mencapai 50kg dengan ransel penuh baju dan buku itu. Aku masuk 50kg waktu jadi tentara2an di awal kerja di Telkom :).
mangkanya mas. itu kopinya di kurangin. minum susu biar sehat dantambah berat badan.
Kalo Masalah Hercules jadi inget waktu kuliah system digital. kalo feed back nya kecil = burung, agak gedean = casa, kalo gede langsung di cap hercules. padahl sama instrukturnya sengaja di zoom respon layout nya. dapet nilai 10 dech dari perfect score 100.
*baru tahu radar bisa di zoom*
aku kehilangan sepupuku di kecelakaan pesawat hercules tempo hari itu. suami-istri sekaligus. sampai sekarang masih suka merinding kalau ingat.
Turut berduka yaa :(
pernah sekali dgn hercules tentara australia, saat tsunami aceh,
setelah sebelumnya, ditolak numpang pesawat perangnya amerika,
kursi gantung, mesin yg sangat bising, barang2…
tapi ada yg menarik, ada satu crew yg kerjaannya mondar2 mandiri sepanjang pesawat bahkan keluar pesawat saat pesawat di darat, dengan telinga berheadphone dengan kabel, bisa kebayang kabelnya cukup panjang untuk dapat menjangkau seluruh badan pesawat, ujung kabel nya sendiri dicolokkan di dekat pintu depan.
begitulah, dia kadang menggulung kabel itu di lengan, dan mengaitkan di tempat2 dia dapat mengaitkan saat di harus kebagian belakang pesawat,
dan frequencynya cukup tinggi dia mondar mandir,
setibanya di banda aceh, setelah turun dari pesawat, kembail takjub melihat bagaimana tentara australia itu bekerja dengan sangat efisien dan cepat, menurunkan barang, dan terakhir dgn sleeping bag tidur di sekitar parkiran pesawat,
yg memalukan, tak lama datang pswat hercules yg lain, kali dengan jelas di badan pswat teretera, tni au.
yg lucunya, saat itu aku melihat petugas yg berheadphone berkabel itu, cuma kali ini di hercules nya tni au, sedang berusaha merapikan kabelnya yg kusut!
sekusut negerinya … :)
wah pengalaman anda mantabs benar jadi anda ada catatan tersendiri dengan hercules, selamat saya dulu pernah mau diajak oleh om saya pulang ke semarang naik hercules tapi saya menolak karna ngeliat pesawatnya aja saya udah takut, salam kenal ya