Wagner dan Blogger

Tentu Wagner bukan cuma Siegfried dan Tristan. Ada rentetan panjang simfoni, mars, dan opera sepanjang hidup Richard Wagner. Tapi aku yang nggak pernah paham bahasa Jerman, dan baru akhir2 ini menyelidik rincian kisah2 opera dan simfoni Wagner, memang hanya bisa menikmati sebagian diantaranya: sebagian yang sungguh2 pas. Bagian yang lain, entah kenapa tak terasa akrab. Bahkan di catatan tentang Wagner yang dibuat tahun 2000 itu, opera yang cerlang ceria seperti Das Liebesverbot dan Rienzi nyaris tak disebut. Dan baru beberapa hari lalu aku baca pengakuan Wagner. Pernah ada masa saat ia menulis opera dengan berfokus pada reaksi publik: apa yang kira2 akan menarik publik, apa yang akan memukau penonton, apa yang bakal menimbulkan reaksi masyarakat. Dan contoh yang ia sebut adalah Die Feen dan dua opera di atas. Reaksi publik? Memang luar biasa. Dan nama Wagner mulai terangkat di Paris. Wagner menyebut opera2nya masa itu dengan opera berbasis pikiran. Aku sendiri akan menyebutnya opera marketing. Marketing yang sukses, btw.

Sejak Faust, lalu Fliegende Hollander, Wagner melakukan apa yang disebutnya opera berbasis intuisi. Pun sebelum ia mengakrabi filsafat Schopenhauer. Ia hanya mengikuti kata hatinya, yang tentu sudah dimatangkan oleh profesionalisme dan sekaligus nurani. Lalu Tannhauser. Ya, mulai masuk komposisi2 favoritku (vaforitku). Termasuk masterpiecenya: Der Ring Des Nibelungen. Dan tak harus Wagner. Beethoven misalnya. Simfoni kelima yang tertata rapi dengan motif, empat nada empat nada, kenapa justru bikin air mata menitik. Simfoni ketiga dan ketujuh, kenapa bikin kita kadang harus menarik nafas kagum.

Tentu, sebagai INTP, aku menjunjung rasionalitas. Tapi, seperti yang pasti rekan2 di milis2 zaman dulu pada bozan, aku akan selalu menyebutkan bahwa rasionalitas itu multilayer. Taktik singkat, taktik rada panjang (bukan strategi sebenernya, tapi kadang dikira demikian), hingga rasionalitas yang terasah dan tak harus verbal tetapi bisa menjadi guide secara intuitif. Dan dalam tahap ini, rasionalitas tak harus lagi berwujud kausalitas dangkal (idiom ini, entah kenapa, mengingatkan sama gaya tulisanku di SMA dulu); tapi bisa berupa intuisi — dan terkomunikasikan bukan secara verbal, tetapi menyeberang antar hati.

Musik Indonesia belum kacau balau. Kalau kita sempat menjelajah ranah indie, kita sering menemui pernik-pernih cerlang. Tapi tentu musik yang didentamkan dan dilengkingkan di media lebih sering musik berbau marketing juga. Dan tak terbatas di dunia seni, ini terbawa ke dunia kita juga: blogging. Haha, dunia blogging.

Ribuan blog Indonesia, dengan tumpukan intan, mutiara, permata, tapi di sisi lain juga tumpukan sampah marketing. Dan kitsch juga. Blog dengan title atau summary menggelitik yang membuat orang terpaksa berkunjung. Isi blog yang dipaksakan provokatif atau mengharukan, yang memaksa orang melink atau mengcomment. Dan tentu SEO! Yang ini bahkan ditulis bukan untuk menghamba kulit manusia, tetapi menghamba mesin (untuk tidak menyebut — karena tidak selalu — menghamba uang). Aku cukup sering jadi juri yang harus membacai banyak blog, dan harus amat sangat kesal membacai sampah yang dipurapurakan sebagai blog itu. Tapi kekesalan itu kecil, dibanding keceriaanku menemukan blog-blog beneran, yang inspiring, membuka mata, provokatif alami, mengharukan beneran. Dan bukan kata2 itu yang membedakan mana yang tulus mana yang kitsch. Ia terkomunikasikan tidak secara verbal.

Tapi apakah rasionalitas dangkal mesti dikutuk? Dibubarkan? Tentu tidak. Wagner pun pernah terjerumus ke kesalahan yang sama. Mudah2an suatu hari kita para blogger juga kembali menulis sesuai bisik nurani  — kejernihan dan kejailannya sekaligus. Dan kalau tidak, haha, dunia tetap indah dengan titik cahaya sekedarnya. Kilaunya mencerlangkan dunia.

Kita tutup malam dengan Gotterdämmerung. Der Ring itu ajaib. Secara ringkas ia menjelaskan kehancuran para penyusun semesta akibat kejahatan2 mereka sendiri. Diperlukan alih generasi yang menggantikan keserakahan dengan kasih sayang, dalam dua generasi. Tapi akhirnya kasih sayang pun harus hancur di Gotterdämmerung. Hihi. Indah ya (^_^)V

45 Replies to “Wagner dan Blogger”

    • Itu sih karena kesal ke diri sendiri: bulan Ramadhan kok yang meningkat drastis malah karma plurk :). Sekarang udah turun teratur sih. Bulan depan deh.

  1. blogger tetap jaya, yang penting tetap posting tanpa embel-embel apapun……
    selamat menjalankan ibadah Shaum kang Kuncoro….. :)
    mampir atuh ke tempat saya sekali-kali……hatur nuhun….

    • Nah itu dia :).
      Saya udah mampir kok. Nanti saya comment deh, abis episode SBY ini selesai :)

    • Iya juga sih. Pengaruhnya ke para pemikir masa kini masih signifikan, biarpun namanya tak sering2 disebut. Pas kan?

  2. yeaaahh…akhirnya menulis tentang wagner, walaupun Wagner Festspiele-nya sudah lewat. Tapi tulisan yang ini kok malah jadi meyakinkan (aku ya…:) ) kenapa karya wagner bisa bertahan sampai kini, apalagi dihubungkan dengan blog ;) Huh, dasar wagnerian yang blogger atau blogger yang wagnerian atau …kayaknya wagner perlu punya blog juga :p (kalau dia masih hidup… :) )

    • Berarti berhasil donk, membebaskan diri dari menulis dengan “dalam rangka” — haha. Bukan berarti “dalam rangka” selalu salah sih. Memperamai OK juga.
      Kalau Wagner jadi blogger, isinya bakal menarik. Dari zaman dia masih jadi anarkis yang berteman Bakunin, perenung bergaya Schopenhauer, sahabat penguasa zaman Ludwig II (tapi sambil terus menulis karya yang menohok kekuasaan dan kebesaran), jadi mentor bagi Nietzsche, sampai waktu memojokkan diri ke Italia.
      Aku selalu berpikir: kenapa para kurcaci licik itu diberi Wagner motif yang indah. Dan ketukan para pekerja itu membentuk ritme yang megah. Hagen bertutur dengan gaya musikal yang indah sekali. Keberpihakan Wagner pada kaum yang kecil dan terkalahkan itu nyata. Biarpun tak verbal juga (karna, buat dia sih gampang: bisa musikal).

  3. Maksudnya? Saya tidak boleh menulis yang menggelitik dan mengharukan? Atau ada link yang hilang? Saya jadi takut memamerkan alamat blog saya di sini.

    • Hush. Tentu saja maksudnya itu: kita menulis seperti apa adanya kita harus menulis. Biar saja pembaca terharu atau tergelitik. Terserah. Tapi jangan menulis “hal yang akan membuat pembaca terharu” atau semacam itu.
      Kenapa ya, mendadak ingat zikir menangis. Kita suka zikir sampai bisa menangis. Tapi kalau zikir terpimpin, diperindah dengan pilihan kata yang bikin kita terharu & menangis, kok kayaknya kitsch banget ya. Bukan ikhlas zikir membisikkan nama-Nya.

  4. Wagner selain Siegfried, Tristan dan Richard ada juga Connell.

    Eoe – Connell Wagner

    • Siegfried dan Tristan itu kayaknya Farnon, bukan Wagner :D :D :D. Dari Eoe Wagner ke Wisma Antara kita2 beda berapa derajat/menit/detik?

      • That’s what i thought. Jarak diantara kita adalah antara Halte Busway Polda dan Halte Busway Monas(??). Menunggu undangan Rawon.

  5. saya percaya akan proses, begitu juga perkembangan blog saat ini menurut sedang mengalami proses bereuforia pada trends ngeblog.
    dibutuhkan pengawal-pengawal seperti mas kun agar proses tersebut bisa lebih baik dan tidak terdistorsi oleh hal-hal yang mengarah pada sampah.

    • Hey, no way. Ini Internet 2.0. Jangan ada ‘pengawal’ dan hal-hal semacam itu lagi. Juga istilah konyol semacam ‘seleb’ (^_^). Ini dunia kita, bersama-sama, dan masing-masing.
      Tulisan di atas jelas bukan misalnya semacam guidance buat blogger. Tapi hanya cercah kata seorang blogger saja.

  6. Apakah sebuah tulisan itu tulus atau kitsch, kupikir biarkan pembaca yang menilainya. Tentu taste-kitalah yang paling bisa menilai.
    Meanwhile, batasan antara tulus dan engga’ tulus kadang jadi susah kalau di kontekskan dalam kata pertemanan apalagi teman dekat. Pun dengan hal comment meng comment. Anyway … comment yang ini tulus koq ;)

  7. Mas Koen kan sudah kenyang nih mbolak-mbalik blog. Kayaknya pantes nih buat buku Panduan Memilih Blog…kekeke…

  8. Kalau blog adalah kolam renang, kolam dangkal tetap diperlukan. Beranjak dari kolam dangkal banyak yang melanjutkan berlomba kecepatan di lajur olimpik atau meloncat indah ke kedalaman kolam lainnya. Soal tulus ngga tulus, semuanya sepertinya sudah tulus ingin nyebur ke air *think positip ajah* ^_^

  9. komunikasi yang tidak verbal itu, apa bebas subjektifitas? kayaknya gak, ya… tergantung kacamata pembaca.
    imho, biar aja segala keragaman blog itu tetap ada: blog kitsch, blog dangkal, blog curhat, blog cemerlang, blog marketing, blog hiatus :p dan sebagainya… sila pilih yang kamu suka ;)

    • Di Web 2.0, tentu kita secara jujur mengakui segala subyektivitas, dan membuka kedok segala yang dikira obyektif :).
      Nggak setuju ah, soal blog hiatus. Neenoy harus ngeblog lagi!

  10. mas.. salam kenal ya.. saya baru pertama kali ini berkunjung ke blog nya.. haha…

    domainnya keren…^^..

    • Comment tulus tidak? Hehe, canda. Itu href yang di tanda titik terakhir secara otomatis ternofollow oleh wordpress, bukan aku sengaja.

      • hahahaha.. luar biasa Kang kuncoro ini… kelihatan juga yah titk yang ada link nya.. namanya juga admin..hehehe..

        tadinya mau koment tentang wagner, berhubung saya tergelitik dengan komentar ini, jadi disini aja deh..hehehe..

        Salam Dahsyat!!

  11. […] ajang kompetisi blogger. Nah, ditulisannya sekitar tanggal 8 kemarin mas koen mengangkat tentang wagner & Blogger. Bahasannya mencoba menggelitik para blogger yang terlalu mengedepankan ketenaran, menebak keyword […]

  12. mas koen yg sdh malang-melintang di dunia blog ternyata sdh paham permaslahan pelik ni ….

    jd kesindir juga neh ….. :)
    coba kemabli menyelami nurani lagi untuk sebuah postingan berikutnya :)

  13. betul, pak koen. setidaknya, kita masih memiliki matahari yang memberikan cahaya untuk semua… ^^

  14. Trma kash asm. Kun..
    dah bs membuat saya yg newbie berfikir lebih bijak..
    Beberapa kali saya cemati tulisan dan komentar baru donk…
    hihhihii

  15. waduh, kena deh. untuk pemula seperti saya jadinya cenderung takut posting, karna faktor publikasi yang memaksakan alias kitsch tadi. Tp cuek aja deh, yg penting ngeblooooog!

  16. tulisan bagus!

    saya sendiri sih selalu berpikiran bahwa tulisan yg bagus adalah tulisan yang jujur, ditulis tanpa pretensi. bahwa dia akan menjadi inspirasi, akan mengharukan, menghibur akan membuka mata…. itu adalah kilauan yang akan dihasilkan….. tapi proses menulis itu sendiri, saya percaya, tak perlu dibatasi tujuan, biarkan saja nurani yang bicara.

    tapi ya begitulah mas Koen…. saya mah cuma orang Dayeuh :p itu mah kata sayah sajah….. bukan sebuah kebenaran :p

    • Huh, jauh2 masih mengaku Lady Day aja neh :). Saya aja udah nggak ngaku Earl Grey (Earl of Greya Caraka) lagi.

  17. Hallo Mas,
    bisa pas banget nih baru aja saya berasa kemaren enaknya kalau lagi asik2 blogwalking terus ketabrak sama blog yg bener2 berasa nulisnya dari hati gak mikirin traffic.. karena udah jarang nemu yang model begini… :)
    Eh iyaa, semoga komen saya ini gak kitsch, hehehe.. :P

    salam kenal ya mas koen.

    Cheers from Angola,
    Nadia.

  18. ommmmmm. . . . . . .
    gimana caranya bkin blog n supaya banyak penggemarnya?
    Saya dode dari bali.
    Tolong di bantu ya! ! ! ! ! ! !

Leave a Reply to Ike Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.